Hubungan Banyu dan Zahra mulai merenggang entah sejak kapan. Banyu merasakannya terlebih dahulu namun karena merasa itu tidaklah penting dan biasa terjadi di hubungan manapun, Banyu mengabaikannya. Banyu tidak mau membahas masalah ini dan merusak mood Zahra. Di samping dirinya yang sedang sibuk karena akhir bulan dan sering lembur, yang bisa Banyu lakukan adalah bersenang-senang sendiri.“Kamu yakin ini bukan masalah serius?” tanya teman kerja Banyu yang duduk di sampingnya. “Kalau aku jadi kamu, aku tidak mau mengambil risiko kehilangan setelah berada dijenjang serius seperti ini.”“Yang menikah saja bisa bercerai. Apalagi aku dan Zahra yang hanya masih bertunangan. Semua keinginan kita tidak harus selalu terwujud, Ndri.” Andri namanya. Banyu menatapnya sejenak lalu mengambil botol minuman dan menuangkannya ke dalam gelasnya. “Jika harus berakhir, aku bisa apa? Aku tidak mau menahan langkah seseorang yang ingin menjangkau mimpi ke depan setinggi mungkin. Aku tidak suka dikekang maka
Setelah hari itu, tidak ada yang banyak Kinar katakan. Bukan tidak bisa menerima dari mana asal Anan, Kinar hanya ingin menjaga perasaan sang suami. Jika Anan sudah mulai membuka diri kembali dan menceritakan perjalanan hidupnya hingga di titik ini, maka Kinar akan dengan senang hati menyambutnya. Karena katanya begini: carilah pasangan yang enak untuk di ajak mengobrol, soal apa pun itu. Karena ketika sudah menua nanti, kita hanya tinggal berdua dan tidak melakukan apa-apa selain mengobrol dan menikmati matahari dengan secangkir teh di teras rumah.“Ini serius cuma mau sama Reno?” Kinar hanya mengangguk disertai senyuman. Anan hendak menghadiri rapat dengan beberapa pemegang saham. “Zahra hadir.” Helaan napas Anan memberat dan Kinar tahu artinya apa. “Bisa saja dia berbuat yang tidak kita duga.”“Selama kamu tidak memberi respons di luar batas seperti yang kita rencanakan, aku rasa tidak masalah. Sepertinya juga hubungannya dengan Banyu mulai merenggang.”Kinar tahu karena Teguh memb
Hari-hari terus berlalu. Yang kemarin menjadi pembicaraan serius antara Anan dan Kinar bak lenyap terbawa oleh angin. Fokus yang mereka kerjakan hanyalah yang ada di depan mata saat ini dan detik ini. Sisanya telah tertutup.Udara pagi hari di Bandung masih terbilang segar. Walau tidak semuanya seperti itu, namun tempat di mana Kinar tinggal saat ini, selain suasana yang sepi sunyi, polusi udara tidak membludak bak ibu kota. Kinar senang saat subuh-subuh terbangun lalu membuka jendela di mana ruang kerjanya berada. Anan menyiapkan satu ruangan untuknya bisa menjamah setiap imajinasi menjadi rangkaian kalimat.“Jadi pergi?” tanya Anan yang entah sejak kapan berdiri di belakang tubuhnya.Kinar menoleh setelah memasok udara ke dalam paru-parunya dan melempar senyum kepada Anan.“Jadi. Kenapa? Ada sesuatu yang kamu mau?” Kinar menawarkan jikalau Anan membutuhkan sesuatu.Anan menggeleng. “Hati-hati.” Satu usapan mampir ke kepala Kinar yang membuat di empunya terdiam cukup lama. “Kabari ka
Secara acak, Kinar ingin tahu kehidupan Anan Pradipta. Mulai dari mana asalnya dan bagaimana bisa berakhir di keluarga Pradipta yang kondang itu. Pengakuan ‘diadopsi’ seperti yang Anan katakan belum cukup membuat Kinar puas. Kinar masih ingin tahu lebih dan lagi pula, mereka menikah secara resmi, tidak ada perjanjian di dalamnya maupun apa pun itu namanya. Mereka pasangan suami istri dan Kinar rasa itu memang wajar dirinya ketahui. Tapi Kinar belum menemukan waktu yang tepat. Anan masih sibuk dan Kinar takut pertanyaan yang akan dirinya ajukan justru merusak mood sang suami.“Mikirin apa?” tanya Anan yang baru saja selesai mandi. Pria itu meletakkan handuk basahnya di tempatnya dan duduk di samping Kinar. “Mau makan sesuatu?”“Ck!” decak Kinar dengan memutar kedua matanya malas. Anan tertawa kecil. “Belum genap satu bulan aku menjadi istri kamu, lihat!” Kinar tunjukkan lengannya yang sedikit membesar dari sebelumnya. “Kamu terlalu getol menawariku makan!”“Kenapa jadi aku yang disalah
Kehidupan seseorang itu jalannya tidak bisa ditebak dan juga tidak bisa hanya dilihat dari luarannya saja. Ada yang terlihat bahagia, selalu tersenyum di muka umum, tahu-tahu bercerai. Ada yang doyan berdebat hingga mendapat tatapan risih dari orang sekitar, ternyata rumah tangganya adem ayem saja. Ada masalah yang menghampiri, begitupun dengan solusi.Suasana pagi hari di komplek perumahan di mana Anan dan Kinar tinggali cukup terbilang nyaman. Walau selalu riuh entah karena apa, beberapa minggu menempati rumah ini, Kinar bisa menyatakan ‘lumayan dan layak’. Meski tidak sepenuhnya enak, namanya juga warga baru, butuh adaptasi dan perkenalan secara perlahan terhadap orang sekitar.Agaknya berbeda dengan pagi kali ini. Kinar baru terlelap sekitar pukul tiga dini hari. Setelah semalaman mendengarkan cerita tentang Anan meski tidak secara menyeluruh dan mencurahkan segala keluh kesah yang ada. Tetangga samping rumah Kinar berulah lagi. Ini tidak seperti biasanya karena percekcokan yang p
Kinar itu pemarah. Begitu kiranya Anan Pradipta menyimpulkan karakter istrinya. Secara tidak gamblang karena Anan sadar harus menjaga nama baik Kinar. Walau bukan penulis kondang seperti penulis kebanyakan namun Kinar bisa dikatakan famous. Pengikutnya di media sosial sudah bisa dikategorikan membludak dan Anan harus mengacungi jempol untuk itu.“Kamu yakin tidak akan melakukan hal yang sama seperti yang kamu lakukan kepada Reno? Bisa aku percaya ucapanmu itu!?” Kinar bertanya kepada Anan dengan sedikit hardikan. Mengintimidasi suaminya dan berharap akan membuat Anan sedikit terpengaruh. “Aku tidak bisa percaya secepat itu. Kamu selalu bertindak di luar nalar dan membuat aku terus was-was.”“Memangnya apa yang aku lakukan?” tanya Anan. Wajahnya berekspresi bingung yang Kinar lihat justru tidak demikian. Anan seperti menyembunyikan sesuatu yang tidak bisa Kinar tebak. “Kamu terlalu mencurigaiku. Kamu tahu itu tidak akan berhasil pada kelanggengan hubungan kita. Kamu dan aku harus memeg
Ini adalah kedua kalinya Anan dan Kinar makan bersama dengan Zahra. Untuk selera, Anan menukikkan alis sebelah kanannya dan bergumam jika pilihan Zahra tidaklah buruk. Seakan-akan wanita itu tahu caranya menyenangkan tamu.“Karena kamu tamu agung makanya dia memilih tempat mahal yang privasinya betul-betul di jaga,” ucap Kinar.“Kata siapa?” Anan menggelengkan kepalanya seraya menggandeng tangan Kinar. “Aku lebih suka nasi padang, lamongan pinggir jalan atau bahkan angkringan yang harganya murah meriah. Makan di tempat mahal seperti ini terlalu membuang-buang uang. Aku jelas menyayangkan itu.”“Juga tidak mungkin di siang bolong seterik ini Zahra mengajakmu makan di pinggir jalan. Warung tenda itu selalu buka di sore hari hingga dini hari. Jangan konyol!” hardik Kinar.“Sayang, kenapa kamu selalu menghinaku?” Anan meletakkan kedua tangannya di atas meja dan menatap Kinar intens. “Aku tidak seroyal itu dan lagi pula kamu tahu dari mana aku berasal.”“Oh, jadi sekarang kamu mulai tidak
Sore hari saat mentari orange masih menyinari bumi pasundan dan Kinar menyesap kopi panasnya beserta kue nastar kesukaannya, Reno datang menghampirinya. Memamerkan gigi-gigi kecilnya, Reno duduk di kursi kosong yang ada di samping Kinar.“Ada apa?” tanya Kinar. “Kelihatannya bahagia sekali.” Kinar hanya menebak karena merasa tidak biasa dengan senyuman yang Reno berikan.“Tante mau mengabulkan?” Reno memberikan ponselnya kepada Kinar. Dan sebuah foto sudah terpampang dengan jelas di galeri. “Aku mau kucing.”Kinar mengerutkan keningnya. Langsung paham ke mana arahnya tapi di antara semua hadiah yang sudah Anan dan Kinar tawarkan, kenapa kucing? Kinar hanya menghela napas dan tersenyum kecil. Lalu sekali lagi melihat hewan berbulu kesayangan sejuta umat manusia. Yang Reno tunjukkan kepada Kinar berwarna orange, yang menurut orang-orang adalah ras terkuat di bumi dengan kelakuan bar-barnya.“Kenapa kucing?” Kinar penasaran. “Anan menawarkan semua mainan mewah yang belum tentu dimiliki o