Kinar hanya patuh kepada Anan karena tahu itu salah satu bentuk pengabdian istri kepada suami. Bukan karena mau di atur-atur sesuka hati apa lagi menjadi babu di rumah sendiri. Beruntungnya Anan bukan tipe suami yang menuntut istri untuk selalu berada di dapur dan melayaninya kapan pun Anan butuh. Menikah, hidup Kinar masih menjadi milik Kinar. Kinar masih bebas melakukan apa saja dan bisa berekspresi sama seperti sebelumnya. Pada dasarnya Ana tidak memberi tali kekang bak anjing bertuan.“Yakin tidak mau di sewakan saja?” Kinar mengangguk dengan kepala masih memandangi gedung apartemen yang dirinya tinggali belum ada satu bulan. “Kalau begitu, aku akan meminta orang untuk membersihkannya seminggu sekali. Kamu juga masih bisa berkunjung ke sini. Kita masih bisa menghabiskan waktu kapan pun kamu mau.”“Hm, begitu lebih baik.” Kinar menjawab dengan helaan napas panjang. Menundukkan kepalanya ke bawah, sibuk menatapi kedua tangannya yang saling terpaut. Berdebat dengan Anan perkara di ma
Hubungan Banyu dan Zahra mulai merenggang entah sejak kapan. Banyu merasakannya terlebih dahulu namun karena merasa itu tidaklah penting dan biasa terjadi di hubungan manapun, Banyu mengabaikannya. Banyu tidak mau membahas masalah ini dan merusak mood Zahra. Di samping dirinya yang sedang sibuk karena akhir bulan dan sering lembur, yang bisa Banyu lakukan adalah bersenang-senang sendiri.“Kamu yakin ini bukan masalah serius?” tanya teman kerja Banyu yang duduk di sampingnya. “Kalau aku jadi kamu, aku tidak mau mengambil risiko kehilangan setelah berada dijenjang serius seperti ini.”“Yang menikah saja bisa bercerai. Apalagi aku dan Zahra yang hanya masih bertunangan. Semua keinginan kita tidak harus selalu terwujud, Ndri.” Andri namanya. Banyu menatapnya sejenak lalu mengambil botol minuman dan menuangkannya ke dalam gelasnya. “Jika harus berakhir, aku bisa apa? Aku tidak mau menahan langkah seseorang yang ingin menjangkau mimpi ke depan setinggi mungkin. Aku tidak suka dikekang maka
Hubungan Banyu dan Zahra mulai merenggang entah sejak kapan. Banyu merasakannya terlebih dahulu namun karena merasa itu tidaklah penting dan biasa terjadi di hubungan manapun, Banyu mengabaikannya. Banyu tidak mau membahas masalah ini dan merusak mood Zahra. Di samping dirinya yang sedang sibuk karena akhir bulan dan sering lembur, yang bisa Banyu lakukan adalah bersenang-senang sendiri.“Kamu yakin ini bukan masalah serius?” tanya teman kerja Banyu yang duduk di sampingnya. “Kalau aku jadi kamu, aku tidak mau mengambil risiko kehilangan setelah berada dijenjang serius seperti ini.”“Yang menikah saja bisa bercerai. Apalagi aku dan Zahra yang hanya masih bertunangan. Semua keinginan kita tidak harus selalu terwujud, Ndri.” Andri namanya. Banyu menatapnya sejenak lalu mengambil botol minuman dan menuangkannya ke dalam gelasnya. “Jika harus berakhir, aku bisa apa? Aku tidak mau menahan langkah seseorang yang ingin menjangkau mimpi ke depan setinggi mungkin. Aku tidak suka dikekang maka
Setelah hari itu, tidak ada yang banyak Kinar katakan. Bukan tidak bisa menerima dari mana asal Anan, Kinar hanya ingin menjaga perasaan sang suami. Jika Anan sudah mulai membuka diri kembali dan menceritakan perjalanan hidupnya hingga di titik ini, maka Kinar akan dengan senang hati menyambutnya. Karena katanya begini: carilah pasangan yang enak untuk di ajak mengobrol, soal apa pun itu. Karena ketika sudah menua nanti, kita hanya tinggal berdua dan tidak melakukan apa-apa selain mengobrol dan menikmati matahari dengan secangkir teh di teras rumah.“Ini serius cuma mau sama Reno?” Kinar hanya mengangguk disertai senyuman. Anan hendak menghadiri rapat dengan beberapa pemegang saham. “Zahra hadir.” Helaan napas Anan memberat dan Kinar tahu artinya apa. “Bisa saja dia berbuat yang tidak kita duga.”“Selama kamu tidak memberi respons di luar batas seperti yang kita rencanakan, aku rasa tidak masalah. Sepertinya juga hubungannya dengan Banyu mulai merenggang.”Kinar tahu karena Teguh memb
Hari-hari terus berlalu. Yang kemarin menjadi pembicaraan serius antara Anan dan Kinar bak lenyap terbawa oleh angin. Fokus yang mereka kerjakan hanyalah yang ada di depan mata saat ini dan detik ini. Sisanya telah tertutup.Udara pagi hari di Bandung masih terbilang segar. Walau tidak semuanya seperti itu, namun tempat di mana Kinar tinggal saat ini, selain suasana yang sepi sunyi, polusi udara tidak membludak bak ibu kota. Kinar senang saat subuh-subuh terbangun lalu membuka jendela di mana ruang kerjanya berada. Anan menyiapkan satu ruangan untuknya bisa menjamah setiap imajinasi menjadi rangkaian kalimat.“Jadi pergi?” tanya Anan yang entah sejak kapan berdiri di belakang tubuhnya.Kinar menoleh setelah memasok udara ke dalam paru-parunya dan melempar senyum kepada Anan.“Jadi. Kenapa? Ada sesuatu yang kamu mau?” Kinar menawarkan jikalau Anan membutuhkan sesuatu.Anan menggeleng. “Hati-hati.” Satu usapan mampir ke kepala Kinar yang membuat di empunya terdiam cukup lama. “Kabari ka
Secara acak, Kinar ingin tahu kehidupan Anan Pradipta. Mulai dari mana asalnya dan bagaimana bisa berakhir di keluarga Pradipta yang kondang itu. Pengakuan ‘diadopsi’ seperti yang Anan katakan belum cukup membuat Kinar puas. Kinar masih ingin tahu lebih dan lagi pula, mereka menikah secara resmi, tidak ada perjanjian di dalamnya maupun apa pun itu namanya. Mereka pasangan suami istri dan Kinar rasa itu memang wajar dirinya ketahui. Tapi Kinar belum menemukan waktu yang tepat. Anan masih sibuk dan Kinar takut pertanyaan yang akan dirinya ajukan justru merusak mood sang suami.“Mikirin apa?” tanya Anan yang baru saja selesai mandi. Pria itu meletakkan handuk basahnya di tempatnya dan duduk di samping Kinar. “Mau makan sesuatu?”“Ck!” decak Kinar dengan memutar kedua matanya malas. Anan tertawa kecil. “Belum genap satu bulan aku menjadi istri kamu, lihat!” Kinar tunjukkan lengannya yang sedikit membesar dari sebelumnya. “Kamu terlalu getol menawariku makan!”“Kenapa jadi aku yang disalah
Kehidupan seseorang itu jalannya tidak bisa ditebak dan juga tidak bisa hanya dilihat dari luarannya saja. Ada yang terlihat bahagia, selalu tersenyum di muka umum, tahu-tahu bercerai. Ada yang doyan berdebat hingga mendapat tatapan risih dari orang sekitar, ternyata rumah tangganya adem ayem saja. Ada masalah yang menghampiri, begitupun dengan solusi.Suasana pagi hari di komplek perumahan di mana Anan dan Kinar tinggali cukup terbilang nyaman. Walau selalu riuh entah karena apa, beberapa minggu menempati rumah ini, Kinar bisa menyatakan ‘lumayan dan layak’. Meski tidak sepenuhnya enak, namanya juga warga baru, butuh adaptasi dan perkenalan secara perlahan terhadap orang sekitar.Agaknya berbeda dengan pagi kali ini. Kinar baru terlelap sekitar pukul tiga dini hari. Setelah semalaman mendengarkan cerita tentang Anan meski tidak secara menyeluruh dan mencurahkan segala keluh kesah yang ada. Tetangga samping rumah Kinar berulah lagi. Ini tidak seperti biasanya karena percekcokan yang p
Kinar itu pemarah. Begitu kiranya Anan Pradipta menyimpulkan karakter istrinya. Secara tidak gamblang karena Anan sadar harus menjaga nama baik Kinar. Walau bukan penulis kondang seperti penulis kebanyakan namun Kinar bisa dikatakan famous. Pengikutnya di media sosial sudah bisa dikategorikan membludak dan Anan harus mengacungi jempol untuk itu.“Kamu yakin tidak akan melakukan hal yang sama seperti yang kamu lakukan kepada Reno? Bisa aku percaya ucapanmu itu!?” Kinar bertanya kepada Anan dengan sedikit hardikan. Mengintimidasi suaminya dan berharap akan membuat Anan sedikit terpengaruh. “Aku tidak bisa percaya secepat itu. Kamu selalu bertindak di luar nalar dan membuat aku terus was-was.”“Memangnya apa yang aku lakukan?” tanya Anan. Wajahnya berekspresi bingung yang Kinar lihat justru tidak demikian. Anan seperti menyembunyikan sesuatu yang tidak bisa Kinar tebak. “Kamu terlalu mencurigaiku. Kamu tahu itu tidak akan berhasil pada kelanggengan hubungan kita. Kamu dan aku harus memeg
“Aduh lupa!”Teriakan Ara membuat Kinar yang sedang santai menikmati minuman dinginnya terpaksa harus menoleh. Ara si pemilik suara kecil agak cempreng dengan rambut berwarna merah gelap membuat Kinar geleng-geleng kepala. Bukan sekali, dua kali Ara menjadi heboh sendiri. Namun terlalu sering sehingga Kinar hafal betul dengan wanita yang lebih muda dua tahun di bawahnya itu.“Nggak kamu catat dulu?” tanya Kinar kalem.“Kamu kalem banget, sih, Nar?” Ara terkekeh dengan kepala bergoyang mirip bolo-bolo. “Padahal aku ini nggak ada kalemnya sama sekali tapi kamu sabar banget menghadapi aku yang super random ini.”“Aku juga random kok.” Kinar membela dirinya sendiri.Kinar sungkan saat ada orang lain yang menilai dirinya hanya dari covernya saja. Kinar selalu mendapat penilaian positif dan itu sedikit membuatnya sungkan. Yang sebenarnya terjadi adalah kebalikannya. Kinar juga punya momen-momen tertentu untuk meledak. Kinar juga bisa marah pada hal-hal kecil yang membuat orang sekitarnya te
Prinsip hidup yang selama ini Anan pegang cukup sederhana. Dengan tidak mencampuri urusan orang lain, arti dari ketenangan yang sebenarnya sudah Anan dapatkan. Tapi namanya manusia memang suka lupa diri dan semena-mena.Di saat Anan bersikeras tidak mau mendengar apa pun masalah dan keluh kesah orang lain, justru Tuhan mempertemukan dengan manusia-manusia yang sifatnya meribetkan. Dan Anan harus menjadi pendengar yang baik sedangkan itu tidak pernah tersemat sedikit pun di dalam dirinya.“Kita terlalu keras, ya?” tanya Kinar sembari merapikan dasi dileher Anan. “Aku terdengar kejam.”“Itu demi kebaikan mereka. Lagi pula mereka datang kepada kita sudah bentuk kesalahan fatal. Kita hanyalah saudara jauh dan yang seharusnya mereka datangi adalah keluarganya.” Anan tetap tidak mau salah dan pendapatnya adalah yang paling benar.Kinar mengembuskan napasnya. Tangan kanannya mengusap jas Anan seolah ada debu yang menempel di sana.“Kalau itu terjadi pada anakmu ….” Kinar tak kuasa melanjutka
Tentang hidup ….Kinar Dewi tidak mengharapkan apa-apa selain baik-baik saja. Maksud dari baik-baik saja di sini bukan sekadar adem ayem dengan segudang uang dan fasilitas yang telah terpenuhi. Namun jauh dari masalah walaupun itu mustahil. Namun setidaknya meminimalisir problem selalu Kinar usahakan.Seperti pagi ini contohnya. Tidak tahu dari mana datangnya. Kinar tidak mau menebak atau menyalahkan salah satu pihak. Bagi Kinar, masalah itu tercipta karena ada pihak-pihak tertentu yang terlibat. Mau dibalas penuh emosi bak kebakaran jenggot, masalah itu telah tercipta. Dan konyol kalau misalnya masalah itu muncul sendiri.“Jadi siapa yang mulai duluan?” tanya Kinar tegas dan jelas.Semua mata yang ada di ruang tamu rumahnya menatap Kinar dengan tatapan mata yang berbeda-beda. Anan yang santai sambil menarik napasnya dalam-dalam. Kinar tahu, semalaman Anan lembur karena ini awal bulan dan baru bisa memejamkan matanya subuh tadi. Sekarang pukul tujuh pagi yang artinya tidur Anan amatla
“Emang orangnya kayak gitu?” tanya Anan sambil mendorong troli belanja. Kinar mengajak Anan berbelanja sayur, buah dan kebutuhan lainnya. Mumpung sekalian dekat dengan supermarket.Anan mendengar ucapan terakhir Rika yang menurutnya amatlah nyelekit. Sedangkan Kinar memberi respons yang santai dan biasa saja. Seakan-akan memang istrinya itu sudah biasa mendengar kalimat tersebut.“Mungkin,” jawab Kinar sekenanya sambil memasukkan buah-buahan ke dalam troli. “Aku ketemu dan kenal Rika di komunitas menulis beberapa tahun yang lalu. Dan kita nggak dekat-dekat banget buat bertukar nasib hidup.”“Kamu nggak kesinggung? Minimal kamu keluarin ekspresi marahlah biar dia sungkan dan jera.”“Buat apa?” Kinar membalikkan tubuhnya ke belakang di mana Anan berdiri. “Kalau aku marah, aku nggak ada bedanya sama dia dan aku punya level yang sama kayak dia sedangkan aku paling anti buat lakuin itu.”“Kenapa?” Anan penasaran dan terus mengejar jawaban dari Kinar. “Sesekali marah nggak akan bikin kamu r
“Sebenarnya titik kehidupan masing-masing orang itu berbeda.” Kinar mengatakan sesuai pengalaman yang pernah dialaminya. “Aku berada di posisi ini karena aku pernah merasakan titik terendah dalam hidupku yang mana aku ingin mati. Tapi aku sadar, semengenaskan apa pun kehidupanku waktu itu, selalu ada takdir milik orang lain yang paling mengerikan. Dan untuk itu aku hanya bisa mensyukuri jalanku.”Rika hanya mengangguk. Rekan sesama penulis Kinar itu sedang mencurahkan isi hati dan pikirannya. Yang jika Kinar menilai itu adalah sebuah ujian yang tiap-tiap orang selalu merasakannya. Kinar enggan berkomentar panjang lebar. Toh masa-masa sulit yang pernah Kinar lalui telah lewat. Sekarang yang tersisa hanyalah secuil nasihat dan kenangan yang memang patut untuk dikenang.“Orang-orang kalau ngomong selalu enak.” Rika seruput es tehnya. “Tau kok soalnya cuma tinggal ngomong doang. Enak ya jadi kamu, seneng ya jadi kamu, nggak perlu effort berlebih hidup kamu udah kejamin. Andai mereka tau g
“Kali ini tentang apa?”Kinar menyeruput cokelat dinginnya dengan santai dan hidupnya memang sesantai itu sekarang. Setelah menjadi Nyonya Pradipta, kegiatan Kinar selain menulis adalah berkumpul bersama para kalangan atas. Yang jika Kinar jabarkan bagaimana rasanya … itu membosankan. Jujur saja, Kinar lebih suka hidupnya yang sederhana dan biasa-biasa saja. Tidak banyak kegiatan selain menulis, rebahan, menonton sendirian di bioskop dan makan nasi padang. Bonusnya jalan-jalan sore di alun-alun dan belie s krim.Dalam benak Kinar terbersit kerinduan masa lalunya yang sangat sulit untuk dirinya ulang kembali. Bukannya tidak mau kembali ke masa itu. Kinar hanya harus bertindak penuh kehati-hatian. Karena siapa, sih, yang nggak kenal sama keluarga Pradipta?Media yang tersembunyi di dalam pelosok saja tahu mereka. Maka dari itu Kinar harus menyamar terlebih dulu jika ingin menikmati masa lalunya. Agar orang-orang tidak tahu identitasnya terlebih wajahnya yang sudah tersorot oleh penjuru
“Segala sesuatu di dunia ini ada harganya. Tidak ada nilai yang tidak bisa diubah menjadi uang. Orang yang berani mengatakan cinta adalah hal tidak ternilai itu seperti pencuri yang mencuri barang gratis. Jika kamu tidak bisa membeli kebahagiaan dengan uang, itu karena kamu tidak punya cukup uang.”Kinar Dewi hanya memandangi Ivana dengan sungguh-sungguh. Wanita elegan itu menyeruput kopi panasnya yang masih mengeluarkan asap dengan santai. Sore hari di Bandung dan kemacetan yang terjadi di mana-mana. Semilir angin dan gulungan awan hitam bisa Kinar lihat dari kaca jendela. Tempat duduknya memiliki spot tertuju ke mana saja dan pojokan adalah favorit Kinar sejak dulu.“Uang lagi dan cinta bukan sesuatu yang harus kita khawatirkan. Aku membeli Banyu bukan dengan hatiku meski ada kontrak di atas hitam putih tapi uangku lebih berkuasa. Itulah kenapa kita perlu menjadi kaya agar bisa membeli apa pun yang kita mau. Ini terdengar egois karena tidak semua orang terlahir dengan privilege. Ya
Pada akhirnya ....Di dunia ini, ada tiga jenis manusia, yaitu, ada yang seperti makanan, selalu dibutuhkan orang lain, ada yang seperti obat, diperlukan oleh orang lain saat sakit, dan ada yang seperti penyakit, selalu dibenci oleh orang lain.Kinar membaca tulisannya sendiri dengan saksama lalu memberi penjelasan hanya dalam benaknya saja. Kinar malas untuk menjabarkan dengan mengetikkan di layar laptopnya. Selain terlalu panjang dan berbelit-belit, Kinar sedang melawan moodnya yang berantakan.Hari ini Kinar sedang mati kebosanan. Jalan satu-satunya adalah hengkang dari rumah dan berakhir di ruangan Anan. Ternyata pilihan untuk ke kantor Anan juga bukan sesuatu yang tepat. Suaminya itu sedang sibuk dan Kinar tidak punya objek untuk melampiaskan marahnya. Ugh, rasanya dongkol luar biasa.“Mau es krim, Bu?” tawar Kamila yang masuk setelah mengetuk pintu. Senyum wanita yang usianya sepantaran dengan Anan itu terukir. “Akan saya belikan.” Kamila sudah akan membawa kedua kakinya menuju
“Jika sudah tidak bisa berjuang, baiknya jangan memberi harapan kosong.” Itu hanya sepenggal saran yang bisa Anan berikan kepada Teguh. “Dia juga manusia sama seperti kamu. Pastinya saat ada harapan yang telah dia lambungkan lalu tidak bisa digapainya, rasa sakit menyerangnya. Jadi putuskan saja ingin mengambil langkah yang bagaimana. Maju atau mundur, berhenti atau bertahan.”Teguh diam. Duduk dengan wajah penuh kebingungan dan sorot mata yang lelah. Teguh belum mendapatkan keputusan hendak membawa hubungan bersama Rani ke mana. Jika tujuannya adalah pelaminan, itu sudah dari awal Teguh angankan kala hubungan ini terbentuk. Namun restu yang tak kunjung datang membuat Teguh serba galau. Harus bagaimana?“Kamu ini pria. Sejatinya kamu akan memperjuangkan apa yang menurut kamu tepat dan nyaman di hatimu. Tidak lembek seperti kerupuk terguyur air,” cibir Anan. Meski kalimatnya tidak sadis, seharusnya itu mampu menembus harga diri Teguh untuk bisa bangkit dari keterpurukannya. “Jika di aw