"Bu Embun. Ada tamu." "Siapa?" tanya Embun, berjaga-jaga. "Kakaknya, Bu." Embun mengangguk. "Boleh antarkan ke sini? Terima kasih." Usai Embun mengucapkan itu, Bening bangkit berdiri dan membereskan beberapa berkas. "Bu, aku di ruangan sebelah ya." Wanita muda itu meringis. "Mau bereskan beberapa hal dulu, nanti aku lanjut laporannya ke Ibu." Embun tersenyum. "Terima kasih, Bening. Besok kita jadwalkan rapat, dengan manajer cabang juga ya." Setelah Bening meninggalkan ruangan, Rindang muncul diantar karyawan kafe yang bekerja di bagian depan. Kakak Embun tersebut mengamati sang adik lamat-lamat sebelum kemudian memeluk Embun. "Hobinya sok kuat," omel Rindang pelan di depan telinga Embun. "Kan lagi di tempat kerja, Kak," gumam Embun. Namun, perlahan ekspresinya yang tadinya tampak profesional saat berbincang dengan karyawannya hilang, berganti menjadi ekspresi sedih dan ingin menangis. "Kak, capek. Bingung." Rindang mengusap punggung Embun, naik turun, berkali-kali untuk men
"Sebenarnya, apa bisnis Kaisar sampai-sampai bisa punya rumah di kawasan ini, Embun? Benarkah cuma kos-kosan biasa?"Embun melihat layar ponselnya lagi. "Mungkin bukan di kawasan elitnya, Kak. Bisa jadi hanya di area sekitaran sana."Lalu, istri Kaisar itu melihat sang kakak. "Ternyata Kaisar kirim supir buat antar juga, Kak. Kak Rindang mau pindah aja ke sana?"Karena penasaran dan ingin memastikan rumah adik iparnya, Rindang mengangguk."Tadi sudah izin sama orang rumah?" tanya Embun kemudian saat mereka menuruni tangga ke lantai 1."Sudah." Rindang menjawab singkat."Keponakanku gimana?""Sama bapaknya."Embun mengangguk-angguk. Tidak biasanya Rindang menjawab sependek dan selugas ini kalau Embun bertanya soal keponakan. Biasanya, si kakak akan menambahkan cerita soal tingkah apa yang diperbuat anaknya, atau kabar terbaru apa di rumah tangganya.Namun, Embun tidak bertanya lebih jauh.Keduanya diantarkan ke rumah Kaisar setelah Embun berpamitan pada para karyawannya, serta mengatak
Ada pesan dari Kaisar.Sepertinya pria itu sudah mendapatkan laporan kalau Embun sudah sampai di rumah.[Mbok Dasimah sudah lama kerja pada Papa, sekarang mengurusi rumah itu karena tidak banyak juga yang dikerjakan.]Pesan-pesan lain masuk kemudian.[Mbok Dasimah akan mengurusi keperluan kamu selama kamu di sana. Agar kamu tidak kelelahan juga.][Beliau baik. Misal kamu perlu sesuatu, bilang saja pada Mbok.][Jangan sungkan.]Embun membaca pesan-pesan tersebut dalam diam. Di sampingnya, Rindang duduk, mengamati adiknya."Embun, aku akan menemani kamu sampai kamu merasa lebih baik," ucap sang kakak kemudian, membuat Embun mengalihkan fokusnya pada wanita yang lebih tua darinya tersebut. "Namun, jangan biarkan situasi ini berlarut-larut. Kamu harus bicara dengan Kaisar.""Aku tahu, Kak," balas Embun, diikuti helaan napas. Teguran kakaknya tersebut membuat Embun kembali membuka ponselnya. Dua pesan baru dari Kaisar muncul.[Maafkan aku karena tidak langsung bercerita padamu, Embun.][A
"Sepertinya kau menikmati pengalamanmu ini ya, Nicholas Rahardja?"Nicholas sedikit terkejut. Sepasang matanya melebar selama sedetik, sebelum ia menetralkan ekspresinya. Saat ini, pandangannya terarah lurus pada Dominic Sekalipun ia gugup, Nicholas tidak boleh terlihat demikian."Ambilkan kursi," perintah Xander pada anak buahnya yang langsung bergegas mengangkat kursi terdekat dan meletakkan di depan Nicholas, dua meter dari pria muda itu digantung.Dengan tenang, Dominic melangkah ke kursi tersebut dan duduk di sana. Senyum mengerikan tidak lepas dari bibirnya."Aku mengajukan pertanyaan. Mana sopan santunmu?""Kukira itu pertanyaan retoris." Akhirnya Nicholas berucap. Lidahnya terasa sedikit kaku. Mungkin akibat obat yang tadi dipaksakan padanya.Dominic tertawa pelan. Suaranya yang dalam terdengar menakutkan.Pria itu perlahan bangkit berdiri dan mendekati Nicholas, membuat keponakan Kaisar itu waspada.Akan tetapi, tetap saja Nicholas tidak bisa melindungi dirinya sendiri saat
"Kecuali kau bisa memberikan sesuatu padaku."Nicholas menahan rasa sakit akibat cengkeraman tangan Dominic di rahangnya. Pria muda itu mempertahankan ekspresi datar tak terbaca, sembari membalas tatapan Dominic.Hal itu membuat Dominic kembali tertawa."Tidakkah kau penasaran apa yang aku inginkan?" ucap Dominic."Saya punya dugaan," balas Nicholas. Nada suaranya datar, bahkan tidak seperti Nicholas yang biasanya."Begitu? Apakah kau mau memberikan hal itu untukku, demi bisa bebas dari sini?"Nicholas tidak menjawab pertanyaan Dominic. Pria muda itu hanya diam menatap raja dunia hiburan itu hingga Dominic kembali menyeringai. "Kau--"Tiba-tiba ponsel Xander berdering nyaring, membuat Dominic langsung mengarahkan pandangan dinginnya pada si bawahan."Mohon maaf, Tuan," kata Xander buru-buru, sebelum memutar tubuhnya dan mengangkat panggilan tersebut.Tak berapa lama, pria bermata abu-abu itu berkata, "Tuan Dominic, pihak Rahardja ingin membuka forum negosiasi."Nicholas melihat serin
Di tempat Dominic, pria itu juga memantau jalannya negosiasi dengan pihak Rahardja. Jemarinya mengetuk-ngetuk lengan kursi dengan tidak sabar."Masih belum?" tanyanya untuk yang ke sekian kalinya pada sang asisten.Si asisten sendiri tampak gugup dan gelisah karena bosnya makin tampak uring-uringan saja."Masih diusahakan, Tuan. Pihak Rahardja menawar di bawah lima persen."Dominic mendengus. Namun, ia tidak mengatakan apa-apa lagi karena tengah menekan dirinya agar bersabar.Jika ia berhasil mendapatkan saham dari Rahardja, otomatis ia akan menjadi pemegang saham yang diperhitungkan di Rahardja Group, sesuatu yang memang diincarnya sejak awal. Dominic akan bisa menguasai bisnis negara ini seperti yang ia inginkan.Karena, ya, Dominic Romero memiliki rahasia yang ia sembunyikan. Sesuatu yang ia dapatkan dari Henri Pradana.***Beberapa hari yang lalu ...."Kita sudah sampai, Pak."Dominic bergumam pelan. Ia menunggu asistennya membukakan pintu mobil dan menjinjing keranjang buah yang
"Asalkan Anda bersedia memberikan saham Rahardja Group pada saya.”Henri tidak menjawab. Sebagian dari dirinya masih merasa terkejut dan bingung, sebagian lagi mencoba berpikir apa motivasi penguasa industri hiburan ini sebenarnya.Lalu, kenapa juga ia menyasar keluarganya? Apakah Dominic ada sangkut pautnya dengan penculikan istri dan anak Henri?Karena lawan bicaranya cukup lama terdiam, Dominic kemudian menambahkan, “Kalau Anda lebih teliti lagi, ada rekaman juga saat Anda sedang bermesraan dengan Nyonya Lidya.”Henri kembali tekesiap. Seperti orang kesetanan, Henri mengaduk-aduk amplop hitam di tangannya dan menemukan sebuah flashdisk. Namun, sebelum ayah Dion itu mengecek isinya, Dominic sudah berlalu.“Saya tunggu kabar baiknya, Tuan Henri.” Itulah ucapan Dominic sebelum pria itu berlalu, meninggalkan Henri yang perasaannya campur aduk.Di sisi lain, Dominic merasa puas. Sejak ia mulai bekerja sama dengan Aletta, hidupnya jadi penuh hiburan seperti ini.Sesuai dugaan Dominic, He
“Katakan, saya akan datang langsung.”Satria menatap wajah atasannya yang tampak tenang tersebut, lalu mengangguk. Tak bisa ditahan, asisten Kaisar tersebut berpikir, apakah ini adalah tantangan Kaisar untuk perang terbuka. Sekalipun bosnya bukanlah tipe yang senang menyenggol pihak-pihak lain–apalagi Rahardja Group sudah ada di puncak industri negeri ini, rupanya Kaisar sendiri pun tidak bisa menahan dirinya jika orang-orangnya diusik.Terutama keluarga Kaisar sendiri.“Baik, Pak.” Satria mengangguk. Pria berkacamata tersebut kemudian kembali fokus pada earpiece di telinganya.Kaisar memantau perdebatan yang ada, sebelum kemudian disepakati bahwa baik Kaisar maupun Dominic akan terlibat dalam serah terima sandera, yang tidak lain akan dilakukan di properti milik Ganesha.Kesepakatan terakhir tersebut membuat Dominic menyeringai puas karena ia akan bertemu dengan pria yang akan ia hancurkan perlahan tersebut.Ya. Itu juga termasuk dalam rencananya.***“Beliau sudah menunggu di dalam