“Katakan, saya akan datang langsung.”Satria menatap wajah atasannya yang tampak tenang tersebut, lalu mengangguk. Tak bisa ditahan, asisten Kaisar tersebut berpikir, apakah ini adalah tantangan Kaisar untuk perang terbuka. Sekalipun bosnya bukanlah tipe yang senang menyenggol pihak-pihak lain–apalagi Rahardja Group sudah ada di puncak industri negeri ini, rupanya Kaisar sendiri pun tidak bisa menahan dirinya jika orang-orangnya diusik.Terutama keluarga Kaisar sendiri.“Baik, Pak.” Satria mengangguk. Pria berkacamata tersebut kemudian kembali fokus pada earpiece di telinganya.Kaisar memantau perdebatan yang ada, sebelum kemudian disepakati bahwa baik Kaisar maupun Dominic akan terlibat dalam serah terima sandera, yang tidak lain akan dilakukan di properti milik Ganesha.Kesepakatan terakhir tersebut membuat Dominic menyeringai puas karena ia akan bertemu dengan pria yang akan ia hancurkan perlahan tersebut.Ya. Itu juga termasuk dalam rencananya.***“Beliau sudah menunggu di dalam
“Bisa kita percepat prosesnya, Tuan Dominic? Saya ingin segera bertemu dengan keponakan saya.” Ada kilat marah dalam sepasang mata Dominic. Pria itu tampak jelas sedang tersinggung dan kesal karena merasa Kaisar tidak menghormatinya. Padahal saat ini, jelas-jelas Dominic berada di posisi yang lebih tinggi dibandingkan dengan Kaisar. Ialah yang memegang kuasa atas pertemuan ini, dan Dominic pulalah yang menahan Nicholas sekaligus memiliki kesempatan untuk melakukan apa pun pada pria muda tersebut. Nyawa Nicholas Rahardja ada di tangannya dan Kaisar berani-beraninya meremehkan Dominic! "Sepertinya Anda tidak memiliki rasa takut ya," komentar Dominic dengan nada sakartis. "Apakah Anda sadar bahwa saat ini juga, saya bisa memerintahkan anak buah saya untuk menghabisi keponakan Anda?" Kaisar tidak menyahut. Pandangannya yang dingin terarah langsung ke sepasang mata Dominic. Namun, di sana memang tidak ada rasa takut dan suami Embun tersebut tetap tampak tenang. "Anda tersinggung deng
"Jangan memancing saya. Atau Anda akan menyesal karena sudah mencoba mencari tahu sejauh mana saya bisa membalas dendam, Tuan Dominic." Tubuh Dominic bereaksi lebih dulu tanpa sadar. Badannya yang besar dan kekar tersebut menegang karena waspada, sebelum kemudian pria itu membuat wajahnya lebih rileks dan tenang. "Begitu?" tantang Dominic dengan senyum tipisnya. "Saya jadi penasaran." Kaisar tidak menanggapi kembali ucapan Dominic dan menoleh pada kepala tim legalnya. "Selesai?" tanya suami Embun tersebut. Si kepala tim legal mengangguk. "Sudah, Pak. Semua sudah dibereskan." Kaisar mengalihkan pandangannya ke arah Nicholas. "Nic." Si keponakan mengangguk dan bangkit berdiri. Namun, dua orang anak buah Dominic langsung mencekal bahunya, lalu menekan Nicholas agar kembali duduk, menahan pria muda itu. "Lepaskan dia," ucap Dominic, yang baru saja selesai mengecek berkas. Ada senyum penuh kepuasan di wajahnya. Nicholas sedikit menggerakkan bahunya, menepiskan tangan yang masih
"Kamu fokus pada pemulihanmu saja. Biar aku yang urus." "Tapi, Paman--" "Nic." Kaisar memotong protes keponakannya. Perlahan, pria itu menepuk bahu Nicholas dan melanjutkan, "Kamu sudah bekerja keras. Istirahatlah." Ucapan itu membuat Nicholas terdiam. Apakah ... itu berarti ia sudah cukup menebus keteledorannya waktu itu? Meskipun Kaisar memang tidak pernah menyalahkannya, tapi Nicholas tetap berpikir bahwa ialah hang bertanggung jawab. Namun ... karena Kaisar sudah mengatakan itu. Mungkin benar. Ini adalah waktunya Nicholas menyerahkan sisanya pada sang paman. "... Terima kasih, Paman." *** "Minum dulu jusnya, Embun." Dirawat oleh Rindang yang cukup bawel memiliki sisi baik dan buruknya sendiri. Embun senang mendapatkan perhatian kakaknya. Karena toh ia merindukan si kakak. Sudah lama sekali rasanya perhatian Rindang terfokus sepenuhnya pada Embun. Namun, sisi buruknya ... kakaknya terlampau terlalu perhatian padanya. Benar-benar--fokus pada Embun. Bahkan lebih parah dar
"Kita akhiri saja sampai di sini, Lidya. Hubungan kita adalah sebuah kesalahan." Setelah sebuah telepon singkat yang ia terima dari Henri, Lidya jadi makin tidak tenang. Apalagi mengingat ancaman yang diberikan oleh Aletta. Bagaimana Lidya merasa tertekan karena ucapan Henri dan ancaman Aletta membuat wanita paruh baya tersebut sadar bahwa ia telah melakukan kesalahan. Sebesar apa pun ia menikmati kebersamaannya dengan Henri, jika hal tersebut diketahui oleh suaminya, Surya, dan Rahma, istri Henri, tentunya itu akan membuat semua pihak sakit hati. Tidak peduli bagaimana Lidya akan menjelaskan bahwa ia melakukan itu karena merasa iri akan kesempurnaan hidup Rahma yang memiliki suami yang begitu perhatian itu--berbeda dengan Surya yang kini membiarkan Lidya bersenang-senang sendiri semaunya. Ditambah lagi, saat ini Rahma tengah berada di rumah sakit karena ulah wanita iblis yang sama dengan yang mengancamnya. "Aletta sudah gila. Sebenarnya apa yang ia ingin capai dari semua ini?"
[Nic? Halooo?]Nicholas terkekeh pelan sebelum jarinya bergerak menekan opsi 'panggil' di layar ponselnya. Pria muda itu memilih untuk mengejutkan Friska dengan sebuah panggilan video.Di kamarnya, Friska yang sedang menyortir barang-barang di kamarnya untuk didonasikan ke yayasan, terkejut mendapati panggilan video setelah ia mengirimkan pesan pada Nicholas."Eh? Aduh! Bagaimana--"Masalahnya, penampilan Friska ... sedang tidak seperti biasanya. Wajahnya yang biasa dihias dengan make up yang berani kini tampak polos dan rambut merahnya hanya dicepol asal-asalan.Sekilas, wanita itu melirik ke arah cermin untuk mengecek penampilannya.Berantakan.Friska akhirnya melewatkan panggilan Nicholas hingga pria itu mengirimkan pesan padanya.[Lho? Kok tidak diangkat? Katanya mau mengecek?]Friska manyun. "Kan aku cuma minta foto, Nic," balasnya.[Lebih baik langsung telepon saja, Fris.]Lalu, tanpa aba-aba lagi, ponsel Friska kembali berdering. Panggilan video dari Nicholas kembali masuk.Kal
"Istirahat."Itu adalah perintah sang paman sebelum menutup panggilan secara sepihak. Padahal Nicholas hanya bertanya mengenai agenda rapat pemegang saham yang akan segera dilaksanakan. Namun, Kaisar langsung memotongnya dengan tegas dan tidak memberikan informasi apa pun.Lagi pula, Nicholas sudah baik!Ia sudah pulih, karena toh ia tidak menerima banyak luka ataupun penyiksaan dari pertemuannya dengan Dominic kemarin. Nicholas juga sudah mencoba kembali menenggelamkan diri dalam kesibukan kantor, seperti dulu.Meskipun tidak intens seperti saat ia menerima tugas dari sang paman.Namun, memang. Entah kenapa, belakangan pamannya itu menjadi lebih dingin, kaku, dan selalu tak ingin diganggu. Tidak seperti biasanya.Ah, sebenarnya akan lebih tepat jika dikatakan kalau pamannya ... berubah kembali seperti dulu. Sebelum menikah dengan bibinya yang sekarang."Ck, padahal Paman sudah jadi hangat dan banyak senyum kalau bersama Tante Embun."Apakah mungkin perubahan sang paman berkaitan den
"Siapa yang hamil!?" Nicholas masih memandang kotak susu di tangannya dan berpikir. Punya asisten rumah tangga di sini jelas tidak mungkin. Ia dengar Embun di sini bersama kakaknya. Mungkin kakak dari bibi Nicholas itu yang sedang hamil? Bisa jadi. Tapi jika seperti itu, kenapa beliau repot-repot merawat Embun? Bukannya orang hamil harus banyak-banyak istirahat? Atau ... justru bibinya itu yang hamil. Sebentar. Jadi istri pamannya itu sedang mengandung? "Masuk akal," gumam Nicholas. Keningnya mengerut, berpikir mengenai beberapa hal yang ia dengar terjadi pada Kaisar dan Embun. Bibinya sakit. Pingsan, katanya kelelahan. Tapi paman Nicholas jadi sangat protektif. "Astaga, kenapa tidak mengabariku?" pikir Nicholas lagi. "Tapi kalo Paman tahu ... sepertinya mereka tidak mungkin pisah rumah begini." Tenggelam dalam pikirannya sendiri, Nicholas tidak menyadari bahwa pintu depan terbuka dan Embun masuk ke dapur. "Nic?" Embun terdengar lega. "Kukira siapa yang datang. Pintunya tida
Beberapa tahun kemudian .... Seorang anak berusia 4 tahun tengah sibuk berlarian di dalam supermarket. Ia menjelajahi lorong dan sempat berhenti di estalase yang memampangkan makanan manis sebelum akhirnya kembali berlari. Pada akhirnya, anak itu berhenti di pojok ruangan dan berjongkok, bersembunyi di balik tumpukan kotak berisi stok makanan ringan. "Hehehe~" Anak itu tertawa kecil, sebelum kemudian menutup mulutnya sendiri. Ia tengah bersembunyi. Dan yakin bahwa tidak akan ada yang menemukannya di sini. Namun, sepertinya anak itu terlalu percaya diri. "Nathan." Tiba-tiba seorang pria yang tampaknya berada di usia tiga puluhan datang. Tubuhnya yang tinggi besar menjulang di depan tumpukan kardus yang dipakai bocah 4 tahun itu untuk bersembunyi. "Sudah main-mainnya. Ayo pulang." Si bocah yang dipanggil 'Nathan' itu langsung cemberut. "Papa kok tahu aku di sini si?" ucapnya. "Aku lagi main petak umpet, Pa." "Sama siapa?" tanya sang ayah. "Nala." Bocah itu menyebutkan nama saud
"Istriku memang cantik. Tidak perlu pengakuan orang lain lagi." Keheningan menyambut ucapan Kaisar tersebut, sementara Embun tersenyum kikuk akibat ulah sang suami. "Haha, saya setuju, Pak Kaisar. Saya setuju." Orang yang tadi berkomentar menanggapi dengan canggung. "... Bicara yang baik," bisik Embun pelan agar tidak didengar orang lain selain sang suami. "Memang aku sedang menjelekkan orang lain?" balas Kaisar sama pelannya. "Jangan pura-pura tidak tahu seperti itu, Kaisar Rahardja." Kaisar menghela napas. "Baiklah." Keduanya kemudian kembali menghadapi para tamu di depan mereka. "Oh, saya dengar Nyonya Embun sedang hamil, Pak?" Salah seorang tamu mengalihkan topik pembicaraan. "Semoga sehat-sehat selalu ya, baik ibu dan bayinya." Mendapatkan doa baik untuk istri dan anaknya, Kaisar tampak lebih ramah. "Terima kasih. Mohon doanya untuk keluarga kecil kami." Pria itu berkata. Seperti mendapatkan sinyal aman, semua tamu langsung mengobrol mengenai kehamilan Embun. "Apakah
"Saya, Kaisar Rahardja, menjadikan Embun Prajaya sebagai istri saya," ucap Kaisar, lurus menatap Embun dengan sorot matanya yang lembut dan penuh kasih. "Pada hari yang istimewa ini, di hadapan semua tamu yang menjadi saksi, saya berjanji akan selalu berada di sisi Embun, setia kepada wanita ini." Ada debar asing dalam dada Embun saat ia mendengarkan janji pernikahan Kaisar. Sebelumnya, mereka hanya menikah di kantor catatan sipil, tanpa berpikir bahwa hubungan mereka akan berkembang seperti ini. Tanpa berekspektasi bahwa mereka akan sama-sama mengikrarkan janji suci sekarang ini. Tidak ada yang romantis, sebelumnya. Embun membutuhkan suami agar ia bisa keluar dari rumah iparnya, dan Kaisar ingin menuruti kata sang ayah. Namun, semuanya sudah berbeda sekarang. "Sebagai suami, saya berjanji dan bersedia akan selalu mencintai Embun. Selalu ada untuk Embun, dalam suka maupun duka, sedih dan senang, sakit dan sehat, dan mendampingi istri saya hingga maut memisahkan." Kaisar mencium
[Info Mengejutkan! Presdir Rahardja Group Ternyata Sudan Menikah Diam-Diam!] Berita itulah yang sedang menjadi perbincangan ramai di media. Banyak pihak yang terkejut dengan kenyataan bahwa Kaisar Rahardja ternyata sudah menikah dan mempunyai istri. Oleh karena itu, banyak wartawan dan rekan media massa lain yang menyesaki Ashtana Hotel, tempat Embun dan Kaisar akan melangsungkan pesta pernikahan, sekalipun mereka tidak diizinkan masuk karena Kaisar sudah mewanti-wanti ibunya agar tidak mengundang orang media. Sepertinya pria itu khawatir pemberitaan hanya akan membuat Embun stres dan berdampak pada kehamilan istrinya. "Kaisar, bukankah ini terlalu mewah?" tanya Embun. Wanita itu sedang didandani saat Kaisar mengunjunginya di ruang ganti hotel. "Berapa banyak tamu yang akan datang?" "Tidak banyak," jawab Kaisar, tanpa mengatakan informasi bahwa ibunya hampir mengundang 500 tamu. "Tapi nyaris semuanya teman-teman Mama." Embun menghela napas. "Meski begitu, Mama turut mengundang
"Meskipun terlihat main-main, Nic adalah anak yang baik dan bertanggung jawab. Saya bisa menjamin itu." Usai mengatakan itu, Kaisar menoleh pada keponakannya dan menepuk bahu Nicholas. Sementara Friska diam saja. Seperti sudah berhenti berfungsi. "Nic, bawa pacarmu duduk." Kaisar tiba-tiba berucap. Nicholas menoleh menatap Friska yang wajahnya masih merah, lalu menarik tangan gadis itu pelan. "Mau keluar dulu saja?" bisiknya menawarkan. Nicholas seperti memahami kalau Friska perlu waktu untuk memproses timbunan informasi yang baru saja jatuh di depan matanya. Samar, Friska mengangguk. "Paman. Aku keluar sebentar. Mau cari minum yang manis-manis. Haus." Nicholas langsung izin. "Mau titip sesuatu?" Kaisar menoleh pada Embun, bertanya tanpa kata-kata. "Tidak. Sedang tidak ngidam." Embun tersenyum kecil. "Yakin?" Kaisar mengusap perut Embun. "Kadang si kecil ini berulah tiba-tiba." "Tapi nanti kalau ada apa-apa, apakah aku boleh telepon?" Embun bertanya pada Nic kemudian. "Ap
"Kamu kenal dengan Nic?" Kini, Embun yang tampak heran. Meski begitu, ia mengangguk. "Kamu kenal juga?" balas istri Kaisar itu kemudian. "Dia keponakan suamiku." Friska makin terkejut saat mendengarnya. "Suamimu seorang Rahardja?" tanya Friska, campuran antara keterkejutan dan tidak percaya, karena ia baru tahu bahwa sahabatnya menikahi keluarga Rahardja. Sementara itu, Embun tampak bingung dengan reaksi Friska. "Hm? Ya?" tanggap istri Kaisar tersebut. "Memang aku belum pernah cerita? Nama suamiku Kaisar Rahardja." "Wah." Friska berdeham, lalu menoleh pada Nicholas yang baru bergabung dengan mereka. "Wah. Kebetulan macam apa ini?" "Aku juga sedikit terkejut saat menyadari ini," ungkap Nicholas. Pria itu menggenggam tangan Friska dengan kasual sembari tersenyum pada Embun. "Halo, Tante. Wajah Tante terlihat lebih segar sekarang." "Wah." Friska masih tampak terkesan, apalagi saat mendengar bagaimana Nicholas memanggil sahabatnya. Kalau begini, pria itu makin terdengar jauh leb
"Oh? Mau mengadakan pesta pernikahan?" Embun mendengar keterkejutan dalam suara Rindang. Ia berniat menyahuti sang kakak, tapi sebelum ia sempat mengucapkan apa pun, Rindang sudah melanjutkan. "Embun kurang suka pesta. Tapi saya setuju kalau akan diadakan pesta. Menikah hanya sekali. Sayang jika tidak membuat kenangan baik." Istri Kaisar itu akhirnya menyerah. Ia tidak menanggapi, sementara Lidya dan Rindang justru terlibat obrolan seru soal pesta pernikahan. Ia belum membicarakan hal ini pada Kaisar, sekaligus mendengar tanggapan pria itu. Hingga akhirnya, Lidya pamit karena ia ada janji dengan Surya. Wanita itu berniat menjemput suaminya di kantor. "Kamu istirahat yang cukup. Makan yang benar," ucap Lidya. "Jangan terlalu membebani dirimu. Soal pesta, biar aku yang urus." Tersenyum lemah karena pasrah, Embun mengangguk. "Terima kasih, Ma," ucapnya. Dalam beberapa hari saja, keduanya sudah cukup dekat. Embun harus akui ini semua berkat kegigihan dan keterbukaan Lid
"Embun anak baik. Dia tidak akan membencimu." Lidya teringat ucapan suaminya sebelum ia memutuskan untuk bertemu dengan Embun. Namun, sesaat sebelumnya, bukan hanya itu yang dikhawatirkan Lidya. Wanita itu juga ingin mengakui dosanya pada sang suami. Bahwa ia telah berselingkuh dengan Henri Pradana. Bahwa, sekalipun Lidya melakukan itu karena pernikahan mereka yang sudah dingin, sama sekali tidak membenarkan alasannya mengkhianati sang suami. "Mas Surya, aku--" Namun, sebelum Lidya sempat melakukannya, Surya sudah memotong kalimatnya. "Lidya." Tubuh Lidya membeku saat tiba-tiba Surya menangkup sisi wajahnya, membuat wanita itu menatap sang suami. Surya tersenyum kecil. "Sepertinya kamu sudah kembali," ucapnya pelan. "Menjadi istri yang dulu kucintai." Tangis Lidya pecah. Baru kemudian ia terpikir, perubahan sikap sang suami bisa jadi karena tingkahnya yang tidak karuan; hobi berfoya-foya dan menghabiskan uang suaminya di luar negeri tanpa meluangkan waktu untuk suami dan para
"Selamat sore." Lidya melangkah lebih dekat ke tempat tidur Embun setelah memutus kontak mata dengan yang lebih muda. "Aku tunggu di luar ya," ucap Surya kemudian, membuat baik Embun maupun Lidya menoleh ke arahnya. "Kalau ada apa-apa, panggil saja." Embun melihat ayah mertuanya itu berbalik dan berniat melangkah pergi, sebelum kemudian Lidya menggenggam tangannya. "Pa," bisik ibu Kaisar tersebut. Surya menatap sang istri dan tersenyum lembut. "Tidak apa-apa, dia anak baik," kata pria tua itu. "Bicaralah pada menantu kita. Semuanya akan baik-baik saja." Pria itu meremas tangan istrinya pelan sebelum kemudian melepaskan genggamannya dan berlalu keluar. Meninggalkan Embun berdua dengan Lidya. Hening. Lidya tidak mengatakan apa pun, dan Embun menunggu wanita itu memulai karena ia pikir, akan lebih baik jika ia memberikan kesempatan pada ibu mertuanya untuk menyampaikan niatnya lebih dahulu. Sekalipun Embun juga punya hal untuk dikatakan. Namun, saat Lidya tidak kunjung bi