[Nic? Halooo?]Nicholas terkekeh pelan sebelum jarinya bergerak menekan opsi 'panggil' di layar ponselnya. Pria muda itu memilih untuk mengejutkan Friska dengan sebuah panggilan video.Di kamarnya, Friska yang sedang menyortir barang-barang di kamarnya untuk didonasikan ke yayasan, terkejut mendapati panggilan video setelah ia mengirimkan pesan pada Nicholas."Eh? Aduh! Bagaimana--"Masalahnya, penampilan Friska ... sedang tidak seperti biasanya. Wajahnya yang biasa dihias dengan make up yang berani kini tampak polos dan rambut merahnya hanya dicepol asal-asalan.Sekilas, wanita itu melirik ke arah cermin untuk mengecek penampilannya.Berantakan.Friska akhirnya melewatkan panggilan Nicholas hingga pria itu mengirimkan pesan padanya.[Lho? Kok tidak diangkat? Katanya mau mengecek?]Friska manyun. "Kan aku cuma minta foto, Nic," balasnya.[Lebih baik langsung telepon saja, Fris.]Lalu, tanpa aba-aba lagi, ponsel Friska kembali berdering. Panggilan video dari Nicholas kembali masuk.Kal
"Istirahat."Itu adalah perintah sang paman sebelum menutup panggilan secara sepihak. Padahal Nicholas hanya bertanya mengenai agenda rapat pemegang saham yang akan segera dilaksanakan. Namun, Kaisar langsung memotongnya dengan tegas dan tidak memberikan informasi apa pun.Lagi pula, Nicholas sudah baik!Ia sudah pulih, karena toh ia tidak menerima banyak luka ataupun penyiksaan dari pertemuannya dengan Dominic kemarin. Nicholas juga sudah mencoba kembali menenggelamkan diri dalam kesibukan kantor, seperti dulu.Meskipun tidak intens seperti saat ia menerima tugas dari sang paman.Namun, memang. Entah kenapa, belakangan pamannya itu menjadi lebih dingin, kaku, dan selalu tak ingin diganggu. Tidak seperti biasanya.Ah, sebenarnya akan lebih tepat jika dikatakan kalau pamannya ... berubah kembali seperti dulu. Sebelum menikah dengan bibinya yang sekarang."Ck, padahal Paman sudah jadi hangat dan banyak senyum kalau bersama Tante Embun."Apakah mungkin perubahan sang paman berkaitan den
"Siapa yang hamil!?" Nicholas masih memandang kotak susu di tangannya dan berpikir. Punya asisten rumah tangga di sini jelas tidak mungkin. Ia dengar Embun di sini bersama kakaknya. Mungkin kakak dari bibi Nicholas itu yang sedang hamil? Bisa jadi. Tapi jika seperti itu, kenapa beliau repot-repot merawat Embun? Bukannya orang hamil harus banyak-banyak istirahat? Atau ... justru bibinya itu yang hamil. Sebentar. Jadi istri pamannya itu sedang mengandung? "Masuk akal," gumam Nicholas. Keningnya mengerut, berpikir mengenai beberapa hal yang ia dengar terjadi pada Kaisar dan Embun. Bibinya sakit. Pingsan, katanya kelelahan. Tapi paman Nicholas jadi sangat protektif. "Astaga, kenapa tidak mengabariku?" pikir Nicholas lagi. "Tapi kalo Paman tahu ... sepertinya mereka tidak mungkin pisah rumah begini." Tenggelam dalam pikirannya sendiri, Nicholas tidak menyadari bahwa pintu depan terbuka dan Embun masuk ke dapur. "Nic?" Embun terdengar lega. "Kukira siapa yang datang. Pintunya tida
"Kalau bisa, videokan. Pasti bagus untuk jadi kenang-kenangan." Embun tertawa kecil mendengar usul Nicholas. "Kamu jahil, Nic," komentarnya, membuat ringisan si keponakan makin lebar. Tampaknya Nic senang karena bisa memancing tawa dari sang bibi. "Tante, jangan terlalu banyak pikiran ya," ucap Nicholas. "Misal ada masalah dengan Paman, jangan dipendam. Lampiaskan saja. Kalau Tante ingin marah pada Paman, marahi saja." "Kenapa kamu justru menyuruhku memarahi pamanmu?" tanya Embun. Ia tampak lebih rileks saat mengobrol dengan Nicholas. "Habis. Tante Embun terlihat seperti orang yang banyak berpikir sebelum bertindak," ucap Nicholas. "Orang yang seperti itu biasanya berpikir seribu kali karena takut keputusan yang diambil akan dia sesali. Tapi efeknya justru cenderung buruk pada diri sendiri." Pria muda itu tampak lebih serius saat menambahkan, "Berpikir sebelum bertindak itu memang disarankan. Tapi terlalu banyak berpikir bisa menjadikan orang kehilangan kesempatan. Ujungnya peny
"Dion Pradana?" Tanpa sadar, Kaisar bergumam pelan. Ada kernyit heran dan bingung di dahinya. Selain karena pria ini berani menghubunginya setelah semua sikap buruknya pada Kaisar dan Embun, Kaisar juga mendapatkan laporan bahwa adanya dugaan Dion terlibat dalam insiden kebakaran waktu itu bersama Aletta. Meskipun sepertinya pewaris keluarga Pradana itu sudah kena batunya. Namun, itu tidak menjamin bahwa Dion tidak akan melakukan hal serupa di masa depan. Sehingga Kaisar harus tetap waspada. "Ya." Terdengar sahutan Dion di seberang saluran telepon. "Ini aku. Apa kita bisa bertemu?" "Hm." Kaisar masihlah terdengar dingin saat bicara. Pria itu menimbang-nimbang, teringat jebakan Aletta di malam itu, tanpa sadar. "Datanglah ke kantorku." "Tidak bisa," balas Dion, kemudian menghela napas. "Ada banyak mata musuh di sana." Kaisar mengernyit. Pria ini ... seakan-akan sedang menyampaikan kalau musuh mereka saat ini sama dan keduanya sedang berada di pihak yang sama. "Atau,
"Di dalamnya ada semua bukti konkret mengenai segala hal yang berkaitan dengan insiden kebakaran proyek Ashtana, sekaligus membuktikan siapa dalang sebenarnya dari peristiwa itu." Mendengar hal itu, ekspresi terkejut dan keheranan Kaisar tidak dapat ditutupi lagi, sekalipun reaksi pria itu tidak terlalu terlihat. Segera, Kaisar mengecek isi amplop cokelat tersebut. Di dalamnya, selain ada foto-foto bukti keterlibatan Dion dan Aletta dalam insiden kebakaran waktu itu, Dion juga melampirkan sederet struk transaksi yang memperkuat bukti-bukti yang ada. Selain itu, bukti terkuat yang diberikan Dion adalah sebuah perekam suara yang berisi percakapannya dengan Aletta mengenai rencana mereka. Suatu hal yang diam-diam Dion lakukan waktu itu untuk berjaga-jaga. Tangan Kaisar terkepal. Dengan bukti sejelas ini, ia bisa membuat polisi memburu Aletta dan menjebloskannya ke penjara! Namun, ada satu masalah. "Apa tujuanmu memberikan ini semua padaku?" Kaisar bertanya. Tatapan dinginnya terar
"Sial. Satu alasan lagi untuk segera membereskan kekacauan ini." "Jadi," ucap Dion kemudian, menyadari emosi yang tampil di sepasang mata kelam Kaisar. "Apakah kita sepakat? Seret mereka ke penjara dan aku akan membantumu." Kaisar menatap Dion. "Sejak awal, itu memang rencanaku." Sekalipun mereka pernah berdiri di pihak yang berlawanan dan Dion sempat mengincar istrinya, tapi mau tidak mau Kaisar harus mengapresiasi usaha Dion yang satu ini. Pewaris Pradana itu bisa sampai sejauh ini. Pasti tidak mudah, meski Kaisar bisa menduga sebab kenapa Dion memilih jalur ini sekarang. "Terima kasih atas informasinya, Dion Pradana." Kaisar akhirnya berucap, membuat Dion tersenyum miring. "Aku tinggal tunggu hasilnya, kan?" balas Dion, sebelum berlalu dari hadapan Kaisar. Sementara itu, sepeninggal Dion, Kaisar diam. Memikirkan mengenai strategi yang harus diambil setelah ini. Namun, saat pandangannya jatuh ke ponselnya yang berada di atas meja, soro mata Kaisar yang tadinya gelap kini be
"Ini buat makan malam nanti ya."Embun mendengarkan dalam diam sembari duduk di kursi makan sementara kakaknya bicara soal makanan-makanan yang baru saja selesai ia masak."Habiskan. Tidak baik buang-buang makanan," ceramah Rindang. "Nanti aku pesan ke Mbok juga buat temani kamu makan.""Iya," balas Embun patuh. Mendebat kakaknya hanya akan membuat wanita yang lebih tua darinya itu mengomel panjang lebar. "Kakak mau diantar? Sudah lama aku tidak ketemu kakak ipar dan keponakanku.""Tidak usah." Rindang menyahut tanpa menatap Embun. Ia sibuk mengemas semua masakan makanan rumahan yang bisa disimpan di freezer untuk waktu yang lama demi Embun. "Kamu istirahat saja."Embun mengguman pelan.Siang tadi, Rindang mendapatkan telepon yang membuat wanita itu harus pulang ke rumah selama beberapa waktu. Embun yang merasa lebih baik sekarang langsung mengizinkan, merasa bahwa ia sudah mengambil waktu kakaknya sangat banyak.Padahal kakaknya ini sudah menikah dan bahkan punya anak sendiri.Sediki