"Dion Pradana?" Tanpa sadar, Kaisar bergumam pelan. Ada kernyit heran dan bingung di dahinya. Selain karena pria ini berani menghubunginya setelah semua sikap buruknya pada Kaisar dan Embun, Kaisar juga mendapatkan laporan bahwa adanya dugaan Dion terlibat dalam insiden kebakaran waktu itu bersama Aletta. Meskipun sepertinya pewaris keluarga Pradana itu sudah kena batunya. Namun, itu tidak menjamin bahwa Dion tidak akan melakukan hal serupa di masa depan. Sehingga Kaisar harus tetap waspada. "Ya." Terdengar sahutan Dion di seberang saluran telepon. "Ini aku. Apa kita bisa bertemu?" "Hm." Kaisar masihlah terdengar dingin saat bicara. Pria itu menimbang-nimbang, teringat jebakan Aletta di malam itu, tanpa sadar. "Datanglah ke kantorku." "Tidak bisa," balas Dion, kemudian menghela napas. "Ada banyak mata musuh di sana." Kaisar mengernyit. Pria ini ... seakan-akan sedang menyampaikan kalau musuh mereka saat ini sama dan keduanya sedang berada di pihak yang sama. "Atau,
"Di dalamnya ada semua bukti konkret mengenai segala hal yang berkaitan dengan insiden kebakaran proyek Ashtana, sekaligus membuktikan siapa dalang sebenarnya dari peristiwa itu." Mendengar hal itu, ekspresi terkejut dan keheranan Kaisar tidak dapat ditutupi lagi, sekalipun reaksi pria itu tidak terlalu terlihat. Segera, Kaisar mengecek isi amplop cokelat tersebut. Di dalamnya, selain ada foto-foto bukti keterlibatan Dion dan Aletta dalam insiden kebakaran waktu itu, Dion juga melampirkan sederet struk transaksi yang memperkuat bukti-bukti yang ada. Selain itu, bukti terkuat yang diberikan Dion adalah sebuah perekam suara yang berisi percakapannya dengan Aletta mengenai rencana mereka. Suatu hal yang diam-diam Dion lakukan waktu itu untuk berjaga-jaga. Tangan Kaisar terkepal. Dengan bukti sejelas ini, ia bisa membuat polisi memburu Aletta dan menjebloskannya ke penjara! Namun, ada satu masalah. "Apa tujuanmu memberikan ini semua padaku?" Kaisar bertanya. Tatapan dinginnya terar
"Sial. Satu alasan lagi untuk segera membereskan kekacauan ini." "Jadi," ucap Dion kemudian, menyadari emosi yang tampil di sepasang mata kelam Kaisar. "Apakah kita sepakat? Seret mereka ke penjara dan aku akan membantumu." Kaisar menatap Dion. "Sejak awal, itu memang rencanaku." Sekalipun mereka pernah berdiri di pihak yang berlawanan dan Dion sempat mengincar istrinya, tapi mau tidak mau Kaisar harus mengapresiasi usaha Dion yang satu ini. Pewaris Pradana itu bisa sampai sejauh ini. Pasti tidak mudah, meski Kaisar bisa menduga sebab kenapa Dion memilih jalur ini sekarang. "Terima kasih atas informasinya, Dion Pradana." Kaisar akhirnya berucap, membuat Dion tersenyum miring. "Aku tinggal tunggu hasilnya, kan?" balas Dion, sebelum berlalu dari hadapan Kaisar. Sementara itu, sepeninggal Dion, Kaisar diam. Memikirkan mengenai strategi yang harus diambil setelah ini. Namun, saat pandangannya jatuh ke ponselnya yang berada di atas meja, soro mata Kaisar yang tadinya gelap kini be
"Ini buat makan malam nanti ya."Embun mendengarkan dalam diam sembari duduk di kursi makan sementara kakaknya bicara soal makanan-makanan yang baru saja selesai ia masak."Habiskan. Tidak baik buang-buang makanan," ceramah Rindang. "Nanti aku pesan ke Mbok juga buat temani kamu makan.""Iya," balas Embun patuh. Mendebat kakaknya hanya akan membuat wanita yang lebih tua darinya itu mengomel panjang lebar. "Kakak mau diantar? Sudah lama aku tidak ketemu kakak ipar dan keponakanku.""Tidak usah." Rindang menyahut tanpa menatap Embun. Ia sibuk mengemas semua masakan makanan rumahan yang bisa disimpan di freezer untuk waktu yang lama demi Embun. "Kamu istirahat saja."Embun mengguman pelan.Siang tadi, Rindang mendapatkan telepon yang membuat wanita itu harus pulang ke rumah selama beberapa waktu. Embun yang merasa lebih baik sekarang langsung mengizinkan, merasa bahwa ia sudah mengambil waktu kakaknya sangat banyak.Padahal kakaknya ini sudah menikah dan bahkan punya anak sendiri.Sediki
"Baiklah. Memang harus aku yang maju dulu sekarang." Embun akhirnya berdiri setelah merenung cukup lama. Kakaknya sudah pulang ke rumah beberapa jam yang lalu, dan Embun di sini hanya dengan Mbok Dasimah, si pengurus rumah. "Mbok," panggil Embun setelah mengambil tasnya, mencari keberadaan si pengurus rumah. Seorang wanita tua datang menghampiri Embun. "Ya, Bu Embun?" Mbok Dasimah menyahut, sudah mulai terbiasa memanggil Embun dengan sebutan 'ibu' dan bukannya 'nyonya'. "Saya mau ke tempat Kaisar ya." Embun tersenyum saat menyampaikan itu. Ia tengah mengemas sebuah termos berisi sop ayam, serta beberapa kotak makan berisi perkedel kentang dan makanan favorit Kaisar lainnya yang ia masak tadi ke dalam sebuah totebag. Khusus untuk suaminya. "Ah, kalau begitu saya minta supir menyiapkan mobil dulu ya, Bu." Mbok Dasimah berucap kemudian. "Tidak usah," balas Embun. "Saya berniat naik taksi." "Sudah mau malam, Bu. Lebih baik ditemani," nasehat Mbok Dasimah. "Biar lebih aman juga
"Selamat datang kembali, Kek." Nicholas langsung menyambut Surya yang baru saja keluar dari dalam lift. Ia dan pamannya, Kaisar, menunggu kedatangan Surya sejak tadi di lantai ruang rapat direksi. "Nic." Surya menepuk-nepuk bahu cucunya tersebut. Meskipun sudah tua, gerakannya masih tegas dan tenaga Surya masih bisa dibilang kokoh. "Aku dengar kamu banyak membantu pamanmu. Kerja bagus." "Ah." Nicholas tersenyum mendengar pujian dari kakeknya tersebut. Sekalipun ia merasa apa yang ia lakukan itu sudah sepantasnya, tapi memang benar ia telah bekerja keras. "Terima kasih, Kek." "Seluruh pemegang saham sudah berkumpul." Tiba-tiba Kaisar berkata. Sikap tubuhnya yang penuh kharisma mengisyaratkan Surya dan Nicholas untuk mengikutinya. Surya mengangguk. Pria tua itu menyejajari langkah putra bungsunya. "Setelah ini, luangkan waktumu untuk penjelasan yang kamu janjikan." Surya mengingatkan. Kaisar hanya mengangguk. Mereka memasuki ruang rapat direksi yang sudah dipenuhi oleh para peme
Beberapa waktu yang lalu .... "Papa harus mengubah strategi."Ucapan putranya membuat Henri menghela napas. Sejujurnya, saat istrinya masih dalam masa kritis seperti sekarang ini, Henri tengah kehilangan gairah untuk melanjutkan hidup.Peduli setan dengan perusahaan ataupun hartanya. Mungkin ini adalah cara Tuhan dalam menghukumnya atas kelakuan bejat Henri beberapa bulan belakangan ini. Namun, jika ia tidak bertahan, istrinya, Rahma, akan kesulitan juga saat ia pulih nanti. Dengan pemikiran positif bahwa sang istri akan segera pulih, Henri bertahan. Meskipun sama sekali tidak memiliki keinginan untuk balas dendam. Berbeda dengan sang putra. "Papa tidak mau terlibat permainan apa pun lagi, Nak," ungkap Henri pada putranya. Dion mendengus. "Lucu. Bukankah Papa adalah pemain politik ulung?" "Bukan kamu yang menemukan ibumu saat itu." Ekspresi Dion langsung mengeras, mengingat rekaman yang ditunjukkan oleh Aletta waktu ia disandera. Dion jelas menyaksikan bagaimana ibunya disiks
"Lagi pula," imbuh Dion, tersenyum getir. "Aku sudah kehilangan DairyDeluxe. Berada di sisi Papa Mama dan membalas para bajingan itu adalah satu-satunya pilihan untukku sekarang." Namun, pada akhirnya, Henri harus menemui Kaisar seorang diri karena Dion perlu menyelesaikan sederet urusan yang dibutuhkan agar rencana mereka berjalan lancar. Perasaan Henri Pradana tidak karuan. Jantungnya berdebar keras. Bohong jika dikatakan tidak ada ketakutan dalam dirinya saat memikirkan bahwa ia akan berhadapan dengan Kaisar. Sekalipun memang beberapa kali Henri melawan pria itu dalam rapat. Namun, rupanya benar kata orang. Jika bersalah atau merasa berdosa, pastilah hati tidak tenang dan selalu dihantui rasa cemas. Itulah yang dirasakan Henri saat ini, yang menyadari dengan jelas apa dosanya. Akan tetapi, putranya memang benar. Henri harus mengakui kesalahannya dan memohon maaf. "Pak Henri," ucap Kaisar saat pria itu memasuki ruangannya. "Selamat siang " Tadi, saat membuat janji temu, mem
Beberapa tahun kemudian .... Seorang anak berusia 4 tahun tengah sibuk berlarian di dalam supermarket. Ia menjelajahi lorong dan sempat berhenti di estalase yang memampangkan makanan manis sebelum akhirnya kembali berlari. Pada akhirnya, anak itu berhenti di pojok ruangan dan berjongkok, bersembunyi di balik tumpukan kotak berisi stok makanan ringan. "Hehehe~" Anak itu tertawa kecil, sebelum kemudian menutup mulutnya sendiri. Ia tengah bersembunyi. Dan yakin bahwa tidak akan ada yang menemukannya di sini. Namun, sepertinya anak itu terlalu percaya diri. "Nathan." Tiba-tiba seorang pria yang tampaknya berada di usia tiga puluhan datang. Tubuhnya yang tinggi besar menjulang di depan tumpukan kardus yang dipakai bocah 4 tahun itu untuk bersembunyi. "Sudah main-mainnya. Ayo pulang." Si bocah yang dipanggil 'Nathan' itu langsung cemberut. "Papa kok tahu aku di sini si?" ucapnya. "Aku lagi main petak umpet, Pa." "Sama siapa?" tanya sang ayah. "Nala." Bocah itu menyebutkan nama saud
"Istriku memang cantik. Tidak perlu pengakuan orang lain lagi." Keheningan menyambut ucapan Kaisar tersebut, sementara Embun tersenyum kikuk akibat ulah sang suami. "Haha, saya setuju, Pak Kaisar. Saya setuju." Orang yang tadi berkomentar menanggapi dengan canggung. "... Bicara yang baik," bisik Embun pelan agar tidak didengar orang lain selain sang suami. "Memang aku sedang menjelekkan orang lain?" balas Kaisar sama pelannya. "Jangan pura-pura tidak tahu seperti itu, Kaisar Rahardja." Kaisar menghela napas. "Baiklah." Keduanya kemudian kembali menghadapi para tamu di depan mereka. "Oh, saya dengar Nyonya Embun sedang hamil, Pak?" Salah seorang tamu mengalihkan topik pembicaraan. "Semoga sehat-sehat selalu ya, baik ibu dan bayinya." Mendapatkan doa baik untuk istri dan anaknya, Kaisar tampak lebih ramah. "Terima kasih. Mohon doanya untuk keluarga kecil kami." Pria itu berkata. Seperti mendapatkan sinyal aman, semua tamu langsung mengobrol mengenai kehamilan Embun. "Apakah
"Saya, Kaisar Rahardja, menjadikan Embun Prajaya sebagai istri saya," ucap Kaisar, lurus menatap Embun dengan sorot matanya yang lembut dan penuh kasih. "Pada hari yang istimewa ini, di hadapan semua tamu yang menjadi saksi, saya berjanji akan selalu berada di sisi Embun, setia kepada wanita ini." Ada debar asing dalam dada Embun saat ia mendengarkan janji pernikahan Kaisar. Sebelumnya, mereka hanya menikah di kantor catatan sipil, tanpa berpikir bahwa hubungan mereka akan berkembang seperti ini. Tanpa berekspektasi bahwa mereka akan sama-sama mengikrarkan janji suci sekarang ini. Tidak ada yang romantis, sebelumnya. Embun membutuhkan suami agar ia bisa keluar dari rumah iparnya, dan Kaisar ingin menuruti kata sang ayah. Namun, semuanya sudah berbeda sekarang. "Sebagai suami, saya berjanji dan bersedia akan selalu mencintai Embun. Selalu ada untuk Embun, dalam suka maupun duka, sedih dan senang, sakit dan sehat, dan mendampingi istri saya hingga maut memisahkan." Kaisar mencium
[Info Mengejutkan! Presdir Rahardja Group Ternyata Sudan Menikah Diam-Diam!] Berita itulah yang sedang menjadi perbincangan ramai di media. Banyak pihak yang terkejut dengan kenyataan bahwa Kaisar Rahardja ternyata sudah menikah dan mempunyai istri. Oleh karena itu, banyak wartawan dan rekan media massa lain yang menyesaki Ashtana Hotel, tempat Embun dan Kaisar akan melangsungkan pesta pernikahan, sekalipun mereka tidak diizinkan masuk karena Kaisar sudah mewanti-wanti ibunya agar tidak mengundang orang media. Sepertinya pria itu khawatir pemberitaan hanya akan membuat Embun stres dan berdampak pada kehamilan istrinya. "Kaisar, bukankah ini terlalu mewah?" tanya Embun. Wanita itu sedang didandani saat Kaisar mengunjunginya di ruang ganti hotel. "Berapa banyak tamu yang akan datang?" "Tidak banyak," jawab Kaisar, tanpa mengatakan informasi bahwa ibunya hampir mengundang 500 tamu. "Tapi nyaris semuanya teman-teman Mama." Embun menghela napas. "Meski begitu, Mama turut mengundang
"Meskipun terlihat main-main, Nic adalah anak yang baik dan bertanggung jawab. Saya bisa menjamin itu." Usai mengatakan itu, Kaisar menoleh pada keponakannya dan menepuk bahu Nicholas. Sementara Friska diam saja. Seperti sudah berhenti berfungsi. "Nic, bawa pacarmu duduk." Kaisar tiba-tiba berucap. Nicholas menoleh menatap Friska yang wajahnya masih merah, lalu menarik tangan gadis itu pelan. "Mau keluar dulu saja?" bisiknya menawarkan. Nicholas seperti memahami kalau Friska perlu waktu untuk memproses timbunan informasi yang baru saja jatuh di depan matanya. Samar, Friska mengangguk. "Paman. Aku keluar sebentar. Mau cari minum yang manis-manis. Haus." Nicholas langsung izin. "Mau titip sesuatu?" Kaisar menoleh pada Embun, bertanya tanpa kata-kata. "Tidak. Sedang tidak ngidam." Embun tersenyum kecil. "Yakin?" Kaisar mengusap perut Embun. "Kadang si kecil ini berulah tiba-tiba." "Tapi nanti kalau ada apa-apa, apakah aku boleh telepon?" Embun bertanya pada Nic kemudian. "Ap
"Kamu kenal dengan Nic?" Kini, Embun yang tampak heran. Meski begitu, ia mengangguk. "Kamu kenal juga?" balas istri Kaisar itu kemudian. "Dia keponakan suamiku." Friska makin terkejut saat mendengarnya. "Suamimu seorang Rahardja?" tanya Friska, campuran antara keterkejutan dan tidak percaya, karena ia baru tahu bahwa sahabatnya menikahi keluarga Rahardja. Sementara itu, Embun tampak bingung dengan reaksi Friska. "Hm? Ya?" tanggap istri Kaisar tersebut. "Memang aku belum pernah cerita? Nama suamiku Kaisar Rahardja." "Wah." Friska berdeham, lalu menoleh pada Nicholas yang baru bergabung dengan mereka. "Wah. Kebetulan macam apa ini?" "Aku juga sedikit terkejut saat menyadari ini," ungkap Nicholas. Pria itu menggenggam tangan Friska dengan kasual sembari tersenyum pada Embun. "Halo, Tante. Wajah Tante terlihat lebih segar sekarang." "Wah." Friska masih tampak terkesan, apalagi saat mendengar bagaimana Nicholas memanggil sahabatnya. Kalau begini, pria itu makin terdengar jauh leb
"Oh? Mau mengadakan pesta pernikahan?" Embun mendengar keterkejutan dalam suara Rindang. Ia berniat menyahuti sang kakak, tapi sebelum ia sempat mengucapkan apa pun, Rindang sudah melanjutkan. "Embun kurang suka pesta. Tapi saya setuju kalau akan diadakan pesta. Menikah hanya sekali. Sayang jika tidak membuat kenangan baik." Istri Kaisar itu akhirnya menyerah. Ia tidak menanggapi, sementara Lidya dan Rindang justru terlibat obrolan seru soal pesta pernikahan. Ia belum membicarakan hal ini pada Kaisar, sekaligus mendengar tanggapan pria itu. Hingga akhirnya, Lidya pamit karena ia ada janji dengan Surya. Wanita itu berniat menjemput suaminya di kantor. "Kamu istirahat yang cukup. Makan yang benar," ucap Lidya. "Jangan terlalu membebani dirimu. Soal pesta, biar aku yang urus." Tersenyum lemah karena pasrah, Embun mengangguk. "Terima kasih, Ma," ucapnya. Dalam beberapa hari saja, keduanya sudah cukup dekat. Embun harus akui ini semua berkat kegigihan dan keterbukaan Lid
"Embun anak baik. Dia tidak akan membencimu." Lidya teringat ucapan suaminya sebelum ia memutuskan untuk bertemu dengan Embun. Namun, sesaat sebelumnya, bukan hanya itu yang dikhawatirkan Lidya. Wanita itu juga ingin mengakui dosanya pada sang suami. Bahwa ia telah berselingkuh dengan Henri Pradana. Bahwa, sekalipun Lidya melakukan itu karena pernikahan mereka yang sudah dingin, sama sekali tidak membenarkan alasannya mengkhianati sang suami. "Mas Surya, aku--" Namun, sebelum Lidya sempat melakukannya, Surya sudah memotong kalimatnya. "Lidya." Tubuh Lidya membeku saat tiba-tiba Surya menangkup sisi wajahnya, membuat wanita itu menatap sang suami. Surya tersenyum kecil. "Sepertinya kamu sudah kembali," ucapnya pelan. "Menjadi istri yang dulu kucintai." Tangis Lidya pecah. Baru kemudian ia terpikir, perubahan sikap sang suami bisa jadi karena tingkahnya yang tidak karuan; hobi berfoya-foya dan menghabiskan uang suaminya di luar negeri tanpa meluangkan waktu untuk suami dan para
"Selamat sore." Lidya melangkah lebih dekat ke tempat tidur Embun setelah memutus kontak mata dengan yang lebih muda. "Aku tunggu di luar ya," ucap Surya kemudian, membuat baik Embun maupun Lidya menoleh ke arahnya. "Kalau ada apa-apa, panggil saja." Embun melihat ayah mertuanya itu berbalik dan berniat melangkah pergi, sebelum kemudian Lidya menggenggam tangannya. "Pa," bisik ibu Kaisar tersebut. Surya menatap sang istri dan tersenyum lembut. "Tidak apa-apa, dia anak baik," kata pria tua itu. "Bicaralah pada menantu kita. Semuanya akan baik-baik saja." Pria itu meremas tangan istrinya pelan sebelum kemudian melepaskan genggamannya dan berlalu keluar. Meninggalkan Embun berdua dengan Lidya. Hening. Lidya tidak mengatakan apa pun, dan Embun menunggu wanita itu memulai karena ia pikir, akan lebih baik jika ia memberikan kesempatan pada ibu mertuanya untuk menyampaikan niatnya lebih dahulu. Sekalipun Embun juga punya hal untuk dikatakan. Namun, saat Lidya tidak kunjung bi