"Ini buat makan malam nanti ya."Embun mendengarkan dalam diam sembari duduk di kursi makan sementara kakaknya bicara soal makanan-makanan yang baru saja selesai ia masak."Habiskan. Tidak baik buang-buang makanan," ceramah Rindang. "Nanti aku pesan ke Mbok juga buat temani kamu makan.""Iya," balas Embun patuh. Mendebat kakaknya hanya akan membuat wanita yang lebih tua darinya itu mengomel panjang lebar. "Kakak mau diantar? Sudah lama aku tidak ketemu kakak ipar dan keponakanku.""Tidak usah." Rindang menyahut tanpa menatap Embun. Ia sibuk mengemas semua masakan makanan rumahan yang bisa disimpan di freezer untuk waktu yang lama demi Embun. "Kamu istirahat saja."Embun mengguman pelan.Siang tadi, Rindang mendapatkan telepon yang membuat wanita itu harus pulang ke rumah selama beberapa waktu. Embun yang merasa lebih baik sekarang langsung mengizinkan, merasa bahwa ia sudah mengambil waktu kakaknya sangat banyak.Padahal kakaknya ini sudah menikah dan bahkan punya anak sendiri.Sediki
"Baiklah. Memang harus aku yang maju dulu sekarang." Embun akhirnya berdiri setelah merenung cukup lama. Kakaknya sudah pulang ke rumah beberapa jam yang lalu, dan Embun di sini hanya dengan Mbok Dasimah, si pengurus rumah. "Mbok," panggil Embun setelah mengambil tasnya, mencari keberadaan si pengurus rumah. Seorang wanita tua datang menghampiri Embun. "Ya, Bu Embun?" Mbok Dasimah menyahut, sudah mulai terbiasa memanggil Embun dengan sebutan 'ibu' dan bukannya 'nyonya'. "Saya mau ke tempat Kaisar ya." Embun tersenyum saat menyampaikan itu. Ia tengah mengemas sebuah termos berisi sop ayam, serta beberapa kotak makan berisi perkedel kentang dan makanan favorit Kaisar lainnya yang ia masak tadi ke dalam sebuah totebag. Khusus untuk suaminya. "Ah, kalau begitu saya minta supir menyiapkan mobil dulu ya, Bu." Mbok Dasimah berucap kemudian. "Tidak usah," balas Embun. "Saya berniat naik taksi." "Sudah mau malam, Bu. Lebih baik ditemani," nasehat Mbok Dasimah. "Biar lebih aman juga
"Selamat datang kembali, Kek." Nicholas langsung menyambut Surya yang baru saja keluar dari dalam lift. Ia dan pamannya, Kaisar, menunggu kedatangan Surya sejak tadi di lantai ruang rapat direksi. "Nic." Surya menepuk-nepuk bahu cucunya tersebut. Meskipun sudah tua, gerakannya masih tegas dan tenaga Surya masih bisa dibilang kokoh. "Aku dengar kamu banyak membantu pamanmu. Kerja bagus." "Ah." Nicholas tersenyum mendengar pujian dari kakeknya tersebut. Sekalipun ia merasa apa yang ia lakukan itu sudah sepantasnya, tapi memang benar ia telah bekerja keras. "Terima kasih, Kek." "Seluruh pemegang saham sudah berkumpul." Tiba-tiba Kaisar berkata. Sikap tubuhnya yang penuh kharisma mengisyaratkan Surya dan Nicholas untuk mengikutinya. Surya mengangguk. Pria tua itu menyejajari langkah putra bungsunya. "Setelah ini, luangkan waktumu untuk penjelasan yang kamu janjikan." Surya mengingatkan. Kaisar hanya mengangguk. Mereka memasuki ruang rapat direksi yang sudah dipenuhi oleh para peme
Beberapa waktu yang lalu .... "Papa harus mengubah strategi."Ucapan putranya membuat Henri menghela napas. Sejujurnya, saat istrinya masih dalam masa kritis seperti sekarang ini, Henri tengah kehilangan gairah untuk melanjutkan hidup.Peduli setan dengan perusahaan ataupun hartanya. Mungkin ini adalah cara Tuhan dalam menghukumnya atas kelakuan bejat Henri beberapa bulan belakangan ini. Namun, jika ia tidak bertahan, istrinya, Rahma, akan kesulitan juga saat ia pulih nanti. Dengan pemikiran positif bahwa sang istri akan segera pulih, Henri bertahan. Meskipun sama sekali tidak memiliki keinginan untuk balas dendam. Berbeda dengan sang putra. "Papa tidak mau terlibat permainan apa pun lagi, Nak," ungkap Henri pada putranya. Dion mendengus. "Lucu. Bukankah Papa adalah pemain politik ulung?" "Bukan kamu yang menemukan ibumu saat itu." Ekspresi Dion langsung mengeras, mengingat rekaman yang ditunjukkan oleh Aletta waktu ia disandera. Dion jelas menyaksikan bagaimana ibunya disiks
"Lagi pula," imbuh Dion, tersenyum getir. "Aku sudah kehilangan DairyDeluxe. Berada di sisi Papa Mama dan membalas para bajingan itu adalah satu-satunya pilihan untukku sekarang." Namun, pada akhirnya, Henri harus menemui Kaisar seorang diri karena Dion perlu menyelesaikan sederet urusan yang dibutuhkan agar rencana mereka berjalan lancar. Perasaan Henri Pradana tidak karuan. Jantungnya berdebar keras. Bohong jika dikatakan tidak ada ketakutan dalam dirinya saat memikirkan bahwa ia akan berhadapan dengan Kaisar. Sekalipun memang beberapa kali Henri melawan pria itu dalam rapat. Namun, rupanya benar kata orang. Jika bersalah atau merasa berdosa, pastilah hati tidak tenang dan selalu dihantui rasa cemas. Itulah yang dirasakan Henri saat ini, yang menyadari dengan jelas apa dosanya. Akan tetapi, putranya memang benar. Henri harus mengakui kesalahannya dan memohon maaf. "Pak Henri," ucap Kaisar saat pria itu memasuki ruangannya. "Selamat siang " Tadi, saat membuat janji temu, mem
Pria arogan dan tinggi hati seperti Dominic Romero tidak akan menyangka bahwa ia akan teledor begini. "Ck, kerja orang tidak becus!" batin pria itu. Tangannya masih terkepal keras hingga buku-buku jarinya memutih. Dominic tengah berusaha mengatur emosinya saat ia kembali beradu pandang dengan Kaisar Rahardja yang masih saja tersenyum tipis. Seolah mengatakan, semua atraksi yang dilakukan Dominic kemarin itu sama sekali tidak berguna. Kaisar lah pemenang aslinya. "... P-Pak," panggil asisten Dominic yang duduk di samping pria itu. "Mohon tenang. Anda sedang menjadi pusat p-perhatian." Dengan hati-hati, asisten Dominic tersebut kembali mengingatkan. "Matamu buta?" balas Dominic dalam sebuah bisikan. "Aku tidak melakukan apa pun sejak tadi!" "T-tapi ... ekspresi--" "Menurutmu apakah aku bisa memasang senyum di saat seperti ini!?" Si asisten terdiam. Ia sedikit banyak tahu sepak terjang bisnis Dominic, apalagi yang kemarin atasannya itu lakukan, sekalipun ia bukan sekertaris ut
Beberapa saat yang lalu .... Badan Embun sedikit maju ke depan saat mobil yang ditumpanginya mengerem mendadak. Terkejut, tangannya refleks memegang kursi depan untuk menopang badannya, sekalipun ia sudah mengenakan sabuk pengaman. "Maaf, Bu Embun." Supir yang ditugaskan Kaisar untuk mengantar Embun berkata. "Truk di depan berhenti mendadak." Embun membetulkan posisi duduknya agar kembali nyaman sebelum ia menengok ke depan. Tampaknya bukan masalah truk di depan mereka berhenti mendadak, tapi sepertinya kendaraan tersebut tidak kunjung jalan. "Sepertinya ada masalah di depan, Bu. Saya izin mengeceknya terlebih dahulu," ucap si supir tersebut kemudian. Embun mengangguk. Selama si supir pergi, Embun menatap keluar jendela, sebelum kemudian menoleh ke sisinya, tempat ia meletakkan kotak-kotak bekal untuk Kaisar. Tanpa sadar, wanita itu tersenyum membayangkan wajah suaminya. "Bu Embun, sepertinya tadi ada kecelakaan di depan." Begitu kembali, si supir segera melaporkan. "Tapi ta
"Dom, apa yang harus aku lakukan?" Aleta tampak ketakutan. Wanita itu mulai menggigiti kuku jemarinya. "Jangan berlagak bodoh," ucap Dominic dengan suaranya yang dingin seperti biasa. Aletta lama tidak mendengar suara pria itu. "Memangnya kamu mau menyerahkan dirimu ke polisi?" "Aku tidak segila itu!" jerit Aletta. Kilasan mobil Embun yang terbalik kembali memenuhi ingatannya. Wanita itu ... pasti mati, kan? Ia tidak mungkin selamat. Tidak Embun, dan tidak pula bayinya. Namun, sekalipun itu berarti Embun tidak akan bahagia, begitu pula dengan Kaisar. Dan jika pria itu tahu Embun tewas akibat ulah Aletta, pria itu pasti akan memburunya hingga ke ujung dunia sekalipun. "Dom ... tolong aku," bisik Aletta, kini nyaris menangis. Ia tidak tahu harus bagaimana lagi. "Kamu harus membantuku!" Hening di seberang saluran telepon. Dominic tidak langsung menanggapi ucapan Aletta. Namun, pada akhirnya pria itu mengatakan sesuatu yang membuat Aletta kembali berharap. "Jangan berada di ar