“Bisa kita percepat prosesnya, Tuan Dominic? Saya ingin segera bertemu dengan keponakan saya.” Ada kilat marah dalam sepasang mata Dominic. Pria itu tampak jelas sedang tersinggung dan kesal karena merasa Kaisar tidak menghormatinya. Padahal saat ini, jelas-jelas Dominic berada di posisi yang lebih tinggi dibandingkan dengan Kaisar. Ialah yang memegang kuasa atas pertemuan ini, dan Dominic pulalah yang menahan Nicholas sekaligus memiliki kesempatan untuk melakukan apa pun pada pria muda tersebut. Nyawa Nicholas Rahardja ada di tangannya dan Kaisar berani-beraninya meremehkan Dominic! "Sepertinya Anda tidak memiliki rasa takut ya," komentar Dominic dengan nada sakartis. "Apakah Anda sadar bahwa saat ini juga, saya bisa memerintahkan anak buah saya untuk menghabisi keponakan Anda?" Kaisar tidak menyahut. Pandangannya yang dingin terarah langsung ke sepasang mata Dominic. Namun, di sana memang tidak ada rasa takut dan suami Embun tersebut tetap tampak tenang. "Anda tersinggung deng
"Jangan memancing saya. Atau Anda akan menyesal karena sudah mencoba mencari tahu sejauh mana saya bisa membalas dendam, Tuan Dominic." Tubuh Dominic bereaksi lebih dulu tanpa sadar. Badannya yang besar dan kekar tersebut menegang karena waspada, sebelum kemudian pria itu membuat wajahnya lebih rileks dan tenang. "Begitu?" tantang Dominic dengan senyum tipisnya. "Saya jadi penasaran." Kaisar tidak menanggapi kembali ucapan Dominic dan menoleh pada kepala tim legalnya. "Selesai?" tanya suami Embun tersebut. Si kepala tim legal mengangguk. "Sudah, Pak. Semua sudah dibereskan." Kaisar mengalihkan pandangannya ke arah Nicholas. "Nic." Si keponakan mengangguk dan bangkit berdiri. Namun, dua orang anak buah Dominic langsung mencekal bahunya, lalu menekan Nicholas agar kembali duduk, menahan pria muda itu. "Lepaskan dia," ucap Dominic, yang baru saja selesai mengecek berkas. Ada senyum penuh kepuasan di wajahnya. Nicholas sedikit menggerakkan bahunya, menepiskan tangan yang masih
"Kamu fokus pada pemulihanmu saja. Biar aku yang urus." "Tapi, Paman--" "Nic." Kaisar memotong protes keponakannya. Perlahan, pria itu menepuk bahu Nicholas dan melanjutkan, "Kamu sudah bekerja keras. Istirahatlah." Ucapan itu membuat Nicholas terdiam. Apakah ... itu berarti ia sudah cukup menebus keteledorannya waktu itu? Meskipun Kaisar memang tidak pernah menyalahkannya, tapi Nicholas tetap berpikir bahwa ialah hang bertanggung jawab. Namun ... karena Kaisar sudah mengatakan itu. Mungkin benar. Ini adalah waktunya Nicholas menyerahkan sisanya pada sang paman. "... Terima kasih, Paman." *** "Minum dulu jusnya, Embun." Dirawat oleh Rindang yang cukup bawel memiliki sisi baik dan buruknya sendiri. Embun senang mendapatkan perhatian kakaknya. Karena toh ia merindukan si kakak. Sudah lama sekali rasanya perhatian Rindang terfokus sepenuhnya pada Embun. Namun, sisi buruknya ... kakaknya terlampau terlalu perhatian padanya. Benar-benar--fokus pada Embun. Bahkan lebih parah dar
"Kita akhiri saja sampai di sini, Lidya. Hubungan kita adalah sebuah kesalahan." Setelah sebuah telepon singkat yang ia terima dari Henri, Lidya jadi makin tidak tenang. Apalagi mengingat ancaman yang diberikan oleh Aletta. Bagaimana Lidya merasa tertekan karena ucapan Henri dan ancaman Aletta membuat wanita paruh baya tersebut sadar bahwa ia telah melakukan kesalahan. Sebesar apa pun ia menikmati kebersamaannya dengan Henri, jika hal tersebut diketahui oleh suaminya, Surya, dan Rahma, istri Henri, tentunya itu akan membuat semua pihak sakit hati. Tidak peduli bagaimana Lidya akan menjelaskan bahwa ia melakukan itu karena merasa iri akan kesempurnaan hidup Rahma yang memiliki suami yang begitu perhatian itu--berbeda dengan Surya yang kini membiarkan Lidya bersenang-senang sendiri semaunya. Ditambah lagi, saat ini Rahma tengah berada di rumah sakit karena ulah wanita iblis yang sama dengan yang mengancamnya. "Aletta sudah gila. Sebenarnya apa yang ia ingin capai dari semua ini?"
[Nic? Halooo?]Nicholas terkekeh pelan sebelum jarinya bergerak menekan opsi 'panggil' di layar ponselnya. Pria muda itu memilih untuk mengejutkan Friska dengan sebuah panggilan video.Di kamarnya, Friska yang sedang menyortir barang-barang di kamarnya untuk didonasikan ke yayasan, terkejut mendapati panggilan video setelah ia mengirimkan pesan pada Nicholas."Eh? Aduh! Bagaimana--"Masalahnya, penampilan Friska ... sedang tidak seperti biasanya. Wajahnya yang biasa dihias dengan make up yang berani kini tampak polos dan rambut merahnya hanya dicepol asal-asalan.Sekilas, wanita itu melirik ke arah cermin untuk mengecek penampilannya.Berantakan.Friska akhirnya melewatkan panggilan Nicholas hingga pria itu mengirimkan pesan padanya.[Lho? Kok tidak diangkat? Katanya mau mengecek?]Friska manyun. "Kan aku cuma minta foto, Nic," balasnya.[Lebih baik langsung telepon saja, Fris.]Lalu, tanpa aba-aba lagi, ponsel Friska kembali berdering. Panggilan video dari Nicholas kembali masuk.Kal
"Istirahat."Itu adalah perintah sang paman sebelum menutup panggilan secara sepihak. Padahal Nicholas hanya bertanya mengenai agenda rapat pemegang saham yang akan segera dilaksanakan. Namun, Kaisar langsung memotongnya dengan tegas dan tidak memberikan informasi apa pun.Lagi pula, Nicholas sudah baik!Ia sudah pulih, karena toh ia tidak menerima banyak luka ataupun penyiksaan dari pertemuannya dengan Dominic kemarin. Nicholas juga sudah mencoba kembali menenggelamkan diri dalam kesibukan kantor, seperti dulu.Meskipun tidak intens seperti saat ia menerima tugas dari sang paman.Namun, memang. Entah kenapa, belakangan pamannya itu menjadi lebih dingin, kaku, dan selalu tak ingin diganggu. Tidak seperti biasanya.Ah, sebenarnya akan lebih tepat jika dikatakan kalau pamannya ... berubah kembali seperti dulu. Sebelum menikah dengan bibinya yang sekarang."Ck, padahal Paman sudah jadi hangat dan banyak senyum kalau bersama Tante Embun."Apakah mungkin perubahan sang paman berkaitan den
"Siapa yang hamil!?" Nicholas masih memandang kotak susu di tangannya dan berpikir. Punya asisten rumah tangga di sini jelas tidak mungkin. Ia dengar Embun di sini bersama kakaknya. Mungkin kakak dari bibi Nicholas itu yang sedang hamil? Bisa jadi. Tapi jika seperti itu, kenapa beliau repot-repot merawat Embun? Bukannya orang hamil harus banyak-banyak istirahat? Atau ... justru bibinya itu yang hamil. Sebentar. Jadi istri pamannya itu sedang mengandung? "Masuk akal," gumam Nicholas. Keningnya mengerut, berpikir mengenai beberapa hal yang ia dengar terjadi pada Kaisar dan Embun. Bibinya sakit. Pingsan, katanya kelelahan. Tapi paman Nicholas jadi sangat protektif. "Astaga, kenapa tidak mengabariku?" pikir Nicholas lagi. "Tapi kalo Paman tahu ... sepertinya mereka tidak mungkin pisah rumah begini." Tenggelam dalam pikirannya sendiri, Nicholas tidak menyadari bahwa pintu depan terbuka dan Embun masuk ke dapur. "Nic?" Embun terdengar lega. "Kukira siapa yang datang. Pintunya tida
"Kalau bisa, videokan. Pasti bagus untuk jadi kenang-kenangan." Embun tertawa kecil mendengar usul Nicholas. "Kamu jahil, Nic," komentarnya, membuat ringisan si keponakan makin lebar. Tampaknya Nic senang karena bisa memancing tawa dari sang bibi. "Tante, jangan terlalu banyak pikiran ya," ucap Nicholas. "Misal ada masalah dengan Paman, jangan dipendam. Lampiaskan saja. Kalau Tante ingin marah pada Paman, marahi saja." "Kenapa kamu justru menyuruhku memarahi pamanmu?" tanya Embun. Ia tampak lebih rileks saat mengobrol dengan Nicholas. "Habis. Tante Embun terlihat seperti orang yang banyak berpikir sebelum bertindak," ucap Nicholas. "Orang yang seperti itu biasanya berpikir seribu kali karena takut keputusan yang diambil akan dia sesali. Tapi efeknya justru cenderung buruk pada diri sendiri." Pria muda itu tampak lebih serius saat menambahkan, "Berpikir sebelum bertindak itu memang disarankan. Tapi terlalu banyak berpikir bisa menjadikan orang kehilangan kesempatan. Ujungnya peny