“Nggghh ....”
Suara lenguhan keluar dari bibir Rania ketika Bastian mulai menyapu lehernya dengan kecupan yang lebih panas lagi. Desahan itu semakin terdengar jelas ketika bibir basah seorang pria mulai menggelitik bahkan menggigit lembut daun telinga Rania.
Bibir bastian menari-menari di leher dan daun telinga Rania, sementara tangannya mulai melepas sendiri celananya, membuat rongga yang luar biasa hingga sebuah benda yang mulai menegang merasa lega.
Bastian mendorong lembut tubuh Rania hingga rebah ke atas ranjang. Melepas rok span yang dikenakan wanita itu, lalu menarik paksa segi tiga pengaman milik Rania. Basah, itulah yang terasa di tangan Bastian ketika menyentuh segitiga pengaman milik Rania.
Tidak lama, sebuah benda mulai memaksa masuk ke dalam tubuh Rania. Sesuatu yang membuat rasa sakit dan nyeri menguasai bagian bawah miliknya.
“Auuhh ... sakit ...,” lirih Rania. Ia berusaha mendorong tubuh kekar itu.
“Jangan ...,” ucapnya lagi. Rania sadar kalau semua ini tidak boleh terjadi. Setelah dua puluh tiga tahun berhasil mempertahankan kesuciannya, Rania tidak ingin sesuatu yang ia pertahankan selama itu berakhir begitu saja.
Namun sayang, sang pria yang dikuasai gairah yang memuncak, terus mendesak agar benda itu masuk dengan sempurna. Keras dan tegang, tidak bisa untuk ditahan.
“Cukup, hentikan!!” Rania berusaha mendorong dengan kuat, namun tenaganya tidak cukup kuat untuk melakukan hal itu. Tangannya lemah dan tubuhnya goyang karena reaksi alergi yang ia alami saat ini.
Penolakan yang dilakukan oleh Rania, malah membuat sang pria bergejolak. Ia mengunci ke dua tangan Rania dan dengan cepat, ia menghujam pusaka miliknya ke dalam tubuh Rania.
“Aaahhh ...,” teriak Rania. Ke dua matanya membesar ketika menerima hujaman yang sangat menyakitkan.
“Tolong, ini tidak boleh terjadi,” ucap Rania. Manik cokelat terang miliknya berkaca-kaca. Rasa sakit pun masih menguasai bagian bawah tubuhnya.
Rania masih linglung. Bahkan ia tidak tahu, dengan siapa ia bercinta saat ini. Apa lagi suasana kamar masih temaram. Yang ia tahu, semua ini tidak boleh terjadi. Yang ia tahu, saat ini kesuciannya sudah hilang dan itu sangat menyakitkan.
Berbeda dengan pria yang saat ini menindih tubuhnya, pria itu malah menikmati sensasi yang luar biasa. Tempat sempit itu membuat miliknya bergetar hebat dan bergelora.
Rania menangis, berharap Bastian menghentikan kegiatan itu. Namun sayang, bukannya berhenti, sang pria malah mulai menggerakkan tubuhnya. Perlahan tapi pasti, ia mulai memacu gerakannya sehingga rasa sakit yang sebelumnya dirasakan oleh Rania, berubah menjadi sebuah kenikmatan yang luar biasa.
Pada akhirnya, suara erangan dan lenguhan panjang terdengar dari bibir cantik Rania seiringan dengan gerakan yang semakin lama semakin cepat dari sang pria.
Rania tidak mampu lagi untuk menolak. Ia hanya bisa menikmati semua itu. Menikmati pergerakan yang seakan sulit untuk dihentikan. Semakin lama, semakin terasa nikmat hingga pada akhirnya ke duanya pun mengapai tujuannya. Sama-sama terlelap dan terkapar di atas ranjang tanpa sadar dengan siapa mereka bermain saat ini.
Ya, Bastian dan Rania bahkan tidak tahu jika mereka baru saja bercinta malam ini. Rania yang tanpa sadar salah masuk kamar dan Bastian yang dikuasai alkohol membuat ke duanya linglung dan hilang kendali.
Rania sebelumnya masuk begitu saja ke dalam kamar Bastian, menabrak tubuh Bastian dalam kegelapan. Bastian yang dikuasai alkohol dan birahi, menyambut tubuh cantik itu, mencium aroma wangi yang begitu nikmat hingga tanpa sadar langsung menyapu wajah dan leher Rania dengan ciuman panas.
Bastian, pemilik salah satu hotel bintang lima yang ada di Jakarta. Mantan kekasih sekaligus bos dari wanita cantik yang dulunya pernah diberikan janji manis oleh Bastian. Sayangnya, sebentar lagi Bastian akan menikah. Ia akan menikah dengan mantan sahabat Rania—Maya.
***
Waktu sudah menunjukkan pukul empat dini hari. Rania tiba-tiba saja terjaga, merasakan linu di sekujur tubuhnya. Ia masih bingung. Badannya masih panas dan kepalanya masih pusing.
Rania memegang kepalanya, mencoba mencerna apa yang sudah terjadi tadi malam. Apa lagi tubuhnya terasa remuk redam. Terlebih bagian penting dari tubuhnya terasa perih dan ngilu. Yang ia ingat, kemarin pagi ia tidak enak badan. Namun ia masih memaksakan diri pergi ke acara pelatihan karena acara itu sangat penting untuk karirnya. Ia sudah minum tablet penurun panas dan ia yakin kalau ia mampu menghadiri acara itu.
Namun sayang, makan malam yang disediakan oleh panitia sebagian besar adalah menu seafood. Rania alergi dengan udang. Apabila ia makan udang, maka kepalanya akan langsung pusing, tubuhnya panas dan sempoyongan. Terkadang reaksinya gata-gatal, tapi sangat jarang terjadi.
Ia sudah mencoba tidak memakan makanan itu, namun teman-temannya tetap memaksa sehingga Rania tidak mampu lagi menolak. Ia pun makan beberapa ekor udang yang membuat tubuhnya tidak stabil.
Rania mencoba duduk, menyibak selimut yang sebelumnya menutupi seluruh tubuhnya. Wanita itu berusaha menggapai sebuah saklar lampu, ia pun menekannya hingga membuat ruangan itu jadi terang benderang.
Tidak, darah apa ini? Kenapa aku seperti ini? Apa yang terjadi? Ah, mana mungkin aku—
Masih membatin, Rania menoleh ke arah samping. Ia semakin terkejut ketika melihat Bastian terlelap nikmat tanpa busana di sampingnya. Dengan cepat, wanita itu kembali menekan saklar lampu utama. Ia hanya menyalakan lampu tidur yang temaram.
Tubuh Rania tiba-tiba bergetar. Air matanya tidak mampu ia bendung. Ia kehilangan kesuciannya. Kesucian yang sudah susah payah ia pertahankan. Di tambah yang merebut kesucian itu adalah lelaki yang sebentar lagi akan menikah. Lelaki yang sampai saat ini masih ada di hatinya, namun begitu sering menyakitinya. Lelaki yang dulu pernah membuatnya begitu spesial, sebelum semuanya berubah seratus delapan puluh derajat.
Bastian. Ya, lelaki itu adalah Bastian. Pemilik hotel bintang lima tempat Rania bekerja. Bos sekaligus mantan kekasih Rania yang dulu sempat menjanjikan cinta. Pria yang pernah mengecup lembut bibir manis wanita itu untuk pertama kalinya. Pria yang dulunya pernah berjanji akan menikah dengannya.
Namun sayang, janji tinggallah janji. Semua itu kandas tiba-tiba karena orang ketiga. Bastian memilih mengikuti permintaan ke dua orang tuanya untuk menikah dengan Maya.
Rania segera menyeka air mata. Ia bergegas mengenakan kembali pakaiannya dengan baik. Pergi meninggalkan kamar hotel itu tanpa memedulikan Bastian. Ia sangat hancur saat ini.
Rania yang masih berurai air mata, menyetop sebuah taksi dan meminta sang sopir taksi mengantarnya ke apartemen sewaan yang sudah ia tempati semenjak ia bekerja di perusahaan milik Bastian.
“Rania, kenapa pulang pagi buta begini?” tanya Jihan—sepupu Rania yang kini tinggal bersamanya di unit apartemen yang sama.
“Ah, iya ... Aku lupa kalau pagi ini aku harus kerja. Ini adalah hari pertamaku bekerja. Harusnya semalam aku tidak menginap di hotel, tapi karena alergiku kambuh, aku pun istirahat sebentar di kamar hotel. Tapi nggak tahunya malah ketiduran,” ucap Rania seraya tersenyum.
“Bibir dan leher kamu kenapa?” tanya Jihan. Ia memerhatikan leher Rania yang memerah. Bibir wanita itu pun terlihat sedikit bengkak.
“I—ini ... Ah, bukan apa-apa. Ini hanya akibat reaksi alergi. Oiya, aku harus segera mandi. Aku harus bersiap ke kantor. Jika tidak, aku akan dapat masalah nantinya.” Rania berusaha mengalihkan dan segera berlalu menuju kamar mandi.
Jihan memerhatikan sepupunya itu. Ada yang aneh dari cara berjalan Rania, namun Jihan berusaha mengabaikan.
Di kamar mandi, Rania segera menyalakan kran shower sampai batas maksimal. Ia biarkan tubuhnya yang masih berbalut kemeja dan rok span pendek basah oleh guyuran air yang dingin. Rania menangis, terduduk di lantai seraya mengusap rambutnya yang sudah basah. Sesekali ia tarik rambut itu, ia menyesal.
Kenapa semua ini harus terjadi? Kenapa harus Bastian? Kenapa bukan pria lain? Batin Rania. Wanita itu tidak mampu menahan diri. Ia bahkan nyaris menghabiskan semua air matanya di dalam ruangan yang dingin dan pengap itu.
“Rania, kamu ngapain di dalam. Kok lama banget sih? Kamu amankan?” tanya Jihan seraya mengetuk pintu kamar mandi dengan keras.
Rania tersadar. Ia segera mematikan keran lalu berdiri.
“Aku baik-baik saja kok, Jihan. Maaf, aku lagi merenung. Aku takut hari ini sebab ini adalah hari pertamaku masuk di kantor pusat. Apa kamu ingin menggunakan kamar mandi juga?” tanya Rania.
“Nggak sih, tapi aku khawatir sama kamu. Kamu baik-baik sajakan?” tanya Jihan lagi.
“Iya, aku nggak apa-apa kok,” balas Rania.
Rania pun segera melepas pakainnya. Ia bersihkan dirinya dengan cepat lalu ia pun keluar dari kamar mandi setelah mengenakan handuk piyama yang sudah tersedia di dalam kamar mandi.
Rania masuk ke dalam kamar, mengganti pakaiannya dengan kemeja formal khas orang kantoran.
Usai bersiap, Rania pun menatap pergelangan tangan kanannya. Polos, tidak ada benda apa pun yang tersemat di pergelangan tangan Rania. Sebuah gelang yang sangat berharga untuknya. Ia bingung, mencari-cari keberadaan benda kesayangannya. Benda yang sudah ia simpan selama puluhan tahun. Benda yang baru diberikan oleh sang ibu ketika Rania berusia tujuh tahun dan gelang itu selalu ia pakai sampai saat ini.
Rania berusaha mencari. Ia keluarkan semua isi tasnya namun ia tidak menemukan benda yang ia cari.
“Nyari apa, Ran?” tanya Jihan.
“Gelang aku, kok nggak ada?” Rania terlihat bingung.
“Gelang hijau itu?” taya Jihan.
“Iya. Gelang yang diberikan ibu itu lo. Kamu tahukan kalau aku nggak pernah lepas gelang itu sejak ibu memberikannya padaku,” jawab Rania.
“Jangan-jangan ketinggalan di kamar hotel tempat kamu menginap semalam,” ucap Jihan.
“Ya, mungkin saja. Tapi aku tidak punya banyak waktu utnuk mengeceknya ke sana. Aku akan cari nanti,” ucap Rania. Wanita itu segera meninggalkan unit apartemen. Berusaha mengabaikan sebentar gelangnya karena hari ini adalah hari pertamanya. Jadi ia tidak boleh membuat masalah.
Waktu sudah menunjukkan pukul sembilan pagi. Bastian terjaga, merasa ada yang ganjal pada dirinya. Tangan kanan pria itu segera menekan saklar lampu utama, membuat kamar yang temaram menjadi terang benderang.Bastian menyibak selimut. Kaget, ada noda darah segar yang menempel di sprei ranjang yang saat ini ia duduki. Bastian memerhatikan sprei itu, mencoba mengingat kembali apa yang terjadi semalam.Hanya beberapa detik, lalu pria itu segera berdiri dan merasa tidak peduli. Tapi tiba-tiba kakinya menginjak sesuatu sebuah benda bulat mirip gelang yang terbuat dari batu giok asli.Bastian menggeser kakinya, mengambil benda yang sangat ia kenali itu. Ya, itu memang gelang. Gelang yang terbuat dari beberapa butir batu giok asli yang dipadu dengan rantai yang terbuat dari emas asli milik Rania. Gelang yang salah satu sisinya ada ukiran bergambar mahkota dengan corak yang khas. Sepertinya hanya Rania saja yang punya ukiran dengan corak demikian.Bastian sangat tahu jika itu gelang milik Ran
“Auh ....” Seorang wanita melenguh ketika seseorang tanpa sengaja menabraknya. Ia adalah salah satu tamu istimewa di hotel milik Bastian. Wanita itu dan suaminya—Boby—sedang menyewa kamar terbaik dan mahal di hotel itu selama mereka menginap di Jakarta.“Maaf, Bu ... Saya minta maaf, saya benar-benar tidak sengaja,” ucap Rania.“Tidak masalah,” jawab sang wanita seraya menekan langkah tanpa menoleh sedikit pun ke arah Rania.Rania membalik tubuhnya, melihat langkah kaki wanita yang sedang berjalan dengan anggun keluar dari hotel. Rania tersenyum, ia bahkan tidak tahu kenapa ia tersenyum. Walau tidak melihat dengan jelas siapa wanita yang baru saja ia tabrak, Rania merasa ada perasaan yang berbeda di hatinya tatkala berada dekat dengan wanita itu.Sepersekian detik kemudian, Rania tersentak. Ia kembali memasang wajah serius lalu menekan langkah menuju ruangannya.“Rania, kamu kemana saja? Tadi pak Bastian nyariin dan kelihatannya ia marah sama kamu,” ucap salah seorang rekan kerja Rani
Rania terduduk di kursi kerjanya. Masih terngiang jelas adegan serta posisi panas Bastian dan Maya di ruang direktur utama. Walau hanya sekilas, namun cukup membekas dan menyakitkan di hati Rania.“Ada apa, Ran?” tanya Laura—rekan kerja Rania sekaligus sahabat baik wanita itu.Rania bergidik, “A—aku nggak apa-apa kok. Tadi niatnya aku mau antar file ke ruangan pak Bastian untuk ditanda tangani. Tapi nggak tahunya di dalam ada bu Maya.”“Lho, bukannya tadi kamu lihat kalau bu Maya datang dan masuk ke ruangan itu? Kamu ketemu sama bu Maya’kan?” tanya Laura.“Iya tapi aku nggak nyangka kalau—. Ah, lupakan saja.” Rania mencoba menghindari Laura.“Rania, kamu mau kemana?” tanya Laura.Rania tidak menggubris. Ia terus melangkahkan kakinya berjalan menuju lift. Susah payah Rania menahan air mata, karena di dalam lift ia tidak sendirian. Ada beberapa orang lagi yang ada di sana, menuju lantai yang berbeda.Rania sendiri menuju lantai paling atas. Rooftop, itu adalah tempat tujuan wanita itu.
Rania kaget, tiba-tiba saja Bastian melempar dokumen yang baru saja ia berikan ke wajah wanita itu. Beberapa lembar dokumen berserakan di lantai, sementara wajah Rania sedikit perih karena Bastian melempar dokumen itu dengan cukup keras ke wajahnya. Ia terlihat sangat murka.Dengan cepat, Rania mengemasi lembar demi lembar dokumen yang kini sudah tida beraturan. Padahal ia sudah menyusunnya dengan sangat baik sebelumnya.“Kenapa anda melemparnya, Pak?” tanya Rania. Ia masih berusaha bersikap sopan. Bastian sendiri hanya memalingkan wajah tanpa mengucapkan sepatah kata pun kepadanya.“Kamu pikir kenapa?” Bastian bertanya balik. Pria itu masih enggan menatap wajah Rania.Rania menghela napas. Ia lihat lembar demi lembar yang baru saja ia kemas dari lantai. Rania terkejut, matanya terbelalak.“M—maaf, Pak. Ini salah paham. Sa—saya, bukan ini yang saya kerjakan tadi. Saya tidak mau menuduh, tapi bisa jadi ada yang menggantinya dengan dokumen ini. Sebelum mengantarnya ke sini, saya meletak
Jakarta, kediaman Maya.Maya tersenyum simpul membaca pesan singkat yang baru saja ia terima dari salah seorang anak buah Bastian. Rencananya berhasil dan tentu saja membuatnya sangat senang.“Maya, kamu sedang apa?” tanya seseorang. Ia adalah nyonya Ami—ibu kandung Maya.“Eh, mami. Ini lagi memerhatikan desain gaun yang akan aku pakai di nikahan nanti. Menurut mami gimana?” Maya memperlihatkan layar ponselnya ke arah Ami.“Bagus, tapi menurut mami ini terlalu terbuka.” Kening Ami sedikit mengernyit.“Justru model terbaru memang seperti ini, Mi. Mami ini terlalu kuno,” balas Maya.“Terserah kamu saja kalau begitu. Oiya, mami dengar mantan pacarnya Bastian dipindahkan ke kantor pusat. Apa benar?” tanya Ami.Maya meletakkan ponselnya di atas meja. Wanita itu bangkit dan berjalan menuju dinding kaca kamarnya.“Iya, Mi. Ia baru saja dipindahkan hari ini.
Sebuah tangan kekar terulur ke arah Rania. Rania menoleh ke atas, menatap seorang pria yang kini siap menawarkan bantuan.Rania membalas uluran tangan itu. Sang pria menarik tangan Rania dengan lembut hingga kini berdiri tepat di sampingnya.“Apa yang sudah kamu lakukan terhadap Rania?” tanya Farel. Sorot matanya sangat tajam menoleh ke arah Inaya. Ia sangat marah.“Saya tidak sengaja, Pak. Tadi ketika saya lewat, Rania juga tiba-tiba lewat,” bohong Inaya.“Jangan bohong kamu, Inaya. Saya melihat jelas apa yang sudah kamu lakukan pada Rania.” Farel berjalan mendekat. Pria itu tidak mampu menyembunyikan kemarahannya dari Inaya.“M-maafkan saya, Pak. Sa—saya.” Inaya gugup.“Ini peringatan terakhir buat kamu, Inaya. Kalau sampai nanti kamu menyakiti Rania lagi, saya tidak akan segan-segan memberikan surat peringatan untuk kamu. Saya bisa melaporkan kamu ke pak Bastian atas perbuatan buruk kamu pada karyawan lain. Kamu bisa dapat masalah nanti,” ancam Farel.Inaya sedikit gemetar. Tanpa me
Ballroom The Lion Hotel Jakarta.Ruangan besar di salah satu hotel bintang lima di Jakarta itu sudah di sulap menjadi ruang pesta yang sangat megah dan mewah. Dekorasi bernuansa putih dan sedikit aksen biru metalik—warna kesukaan Maya dan Bastian. Maya pecinta warna putih sementara Bastian pecinta warna biru metalik.Ada dua lantai di sana dan ke dua lantai dipenuhi dengan meja serta kursi yang bisa ditempati oleh tamu undangan yang datang. Ada beberapa suguhan juga yang terhidang di sana. Mulai dari masakan khas Indonesia, sampai masakan luar negeri pun ada.Di bagian depan, terdapat panggung yang berisi pelaminan dengan dekorasi mewah dan berkelas. Sudah duduk di sana Bastian dan Maya dengan pakaian pengantin yang sangat bersinar. Maya terlihat sangat anggun dan seksi dengan pakaian pengantin berwarna putih dengan belahan dada rendah, sementara Bastian tampak gagah dan tampan dengan jas modern dengan warna senada.Sepanjang acara, tidak pernah putus senyum terukir dari bibir ke duany
Will You marry me? Terngiang kalimat itu di telinga Rania. Sementara Farel masih menunggu jawaban wanita itu. Tangannya tampak pegal memegangi kotak perhiasan yang kini masih terpampang manis di depan Rania.“Bagaimana, Ran?” tanya Farel.Rania yang sedari tadi masih melongo, tiba-tiba saja tersenyum kecil. Ia raih tangan Farel lalu ia turunkan tangan itu dengan lembut tanpa mengambil kotak perhiasan yang diberikan Farel kepadanya.“Kenapa, Ran?” tanya Farel. Pria itu tentu sangat kecewa dengan sikap Rania yang secara tidak langsung sudah memberikan jawaban yang tidak diharapkan oleh pria itu.“Aku masih belum siap, Mas. Maaf ...,” jawab Rania.“Tapi kenapa?” Farel masih mendesak.“Aku tidak tahu. Sebaiknya kita jalani saja dulu. Nanti kalau aku sudah siap, aku sendiri yang akan memberitahumu.” Rania berusaha tersenyum.“Apa tidak ada sedikit saja perasaanmu terhadapku, Rania?” Farel menggenggam lembut tangan kanan Rania.“Jujur saja, perasaan itu memang ada. Tapi aku tidak berani memu
Ruangan rumah sakit dipenuhi keheningan yang mencekam. Jam dinding menunjukkan pukul dua siang ketika pintu kamar terbuka dan seorang dokter spesialis masuk dengan raut wajah serius. Semua mata langsung tertuju padanya.Dokter itu berjalan mendekati ranjang tempat Bintang terbaring lemah. Ia memeriksa kondisi bocah itu dengan seksama, mencatat beberapa hal di berkasnya sebelum akhirnya menatap seluruh keluarga yang berkumpul di dalam ruangan.“Saya ingin membicarakan hasil pemeriksaan terbaru Bintang,” kata dokter dengan suara tenang namun tegas.Rania menggenggam tangan kecil putranya yang terasa dingin. Hatinya berdebar kencang. Begitu pula dengan Rita, Boby, Nora, Prakas, dan tentu saja Bastian yang berdiri dengan wajah tegang di sudut ruangan.Dokter menarik napas dalam, lalu berkata, “Hasil menunjukkan bahwa Bintang mengalami gagal hati akut. Kondisinya cukup serius, dan kami harus bertindak cepat untuk menyelamatkannya.”Ruangan kembali sunyi. Pernyataan itu seperti petir di sia
Pagi itu, udara rumah sakit masih terasa dingin. Rita dan Boby tiba lebih awal dari biasanya, membawa sekantong penuh buah segar dan makanan untuk Rania. Keduanya berjalan menuju kamar tempat Bintang dirawat dengan hati yang dipenuhi kecemasan.Saat mereka masuk, mata mereka langsung tertuju pada sosok Bastian yang tertidur di sofa dengan posisi yang terlihat tidak nyaman. Tubuhnya sedikit membungkuk, kepalanya bertumpu pada lengannya, dan nafasnya terdengar teratur namun lelah. Selimut tipis yang diberikan perawat tadi malam masih membungkus tubuhnya.Rania yang sedang duduk di tepi tempat tidur Bintang, menoleh dan tersenyum lemah melihat kedua orang tuanya.“Dia tidak tidur semalaman,” bisik Rania, sebelum mereka sempat bertanya.Rita menghela napas panjang. Meski dalam hatinya masih ada sedikit ganjalan terhadap Bastian, ia tidak bisa menyangkal bahwa lelaki itu benar-benar peduli terhadap anaknya.“Bagaimana keadaan Bintang?” tanya Boby, suaranya lirih.Rania menatap buah hatinya
Satria berdiri di sudut ruangan, memperhatikan bagaimana Bastian duduk di samping tempat tidur Bintang, menggenggam tangan kecilnya dengan penuh kepedulian. Ada sesuatu dalam tatapan Bastian—ketulusan, ketakutan, sekaligus rasa tanggung jawab yang begitu besar. Hal yang selama ini Satria ingin berikan untuk Rania dan Bintang, namun nyatanya, dia hanya orang luar dalam kisah ini.Ia menghela napas panjang. Melawan perasaannya sendiri, ia akhirnya memilih untuk mundur. Untuk saat ini, Bintang memang membutuhkan orang tua kandungnya. Tidak ada ruang untuknya di sini. Dengan langkah pelan, ia mendekati Rita dan Boby yang masih berdiri di dekat pintu.“Tante, Om... Aku pamit dulu,” katanya dengan suara rendah.Rita menatapnya dengan sorot mata penuh pengertian. “Terima kasih sudah datang, Satria. Kami sangat menghargainya.”Satria tersenyum tipis. “Tidak masalah, Tante. Jika ada yang bisa aku bantu, aku selalu siap.”Boby menepuk pundaknya dengan ringan, tanda penghormatan dan terima kasih
Suasana di rumah sakit masih dipenuhi kecemasan. Setelah diputuskan untuk dirawat inap, Bintang kini berada di kamar VVIP dengan perawatan terbaik. Monitor di samping tempat tidurnya terus berbunyi pelan, menampilkan angka-angka yang mengukur kondisi tubuhnya. Rania tak bergeming dari sisi putranya, menggenggam tangan mungil itu dengan erat. Di wajahnya tergambar kelelahan, namun ia tak ingin pergi barang sejenak pun.Di ruang tunggu rumah sakit, Prakas dan Nora berdiri dengan gelisah. Sesekali, Prakas melirik jam tangannya, menanti kedatangan Bastian yang sudah dalam perjalanan dari Singapura. Nora memeluk dirinya sendiri, berusaha menenangkan diri meski hatinya terus bergetar memikirkan cucunya.Tak lama, langkah cepat terdengar dari arah pintu masuk. Bastian muncul dengan wajah yang penuh kecemasan, masih mengenakan pakaian dari penerbangannya yang terburu-buru. Matanya langsung mencari kedua orang tuanya. Begitu melihat mereka, ia berjalan cepat dan langsung bertanya,“Mami, Papi!
Di lorong rumah sakit yang terasa begitu dingin, Nora dan Prakas berjalan mendekati Rita dan Boby. Ekspresi wajah mereka menyiratkan kekhawatiran yang mendalam. Sebagai orang tua Bastian, mereka memang harus menjaga jarak agar tidak terlalu mencolok. Namun, saat ini, hati mereka benar-benar tak tenang melihat kondisi Bintang yang terbaring lemah di ruang IGD.“Rita... Boby...” suara Nora bergetar saat berbicara, matanya yang mulai berkaca-kaca menatap penuh simpati. “Kami sangat prihatin dengan kondisi Bintang. Apa yang sebenarnya terjadi?”Boby menarik napas panjang, seolah berusaha menahan emosinya yang sudah meluap-luap sejak tadi. Sementara itu, Rita hanya mampu mengusap air matanya yang terus mengalir. “Kami masih menunggu hasil lab,” ucapnya dengan suara lirih. “Dokter masih melakukan berbagai pemeriksaan untuk memastikan penyebabnya.”Prakas menatap Rita dan Boby dengan penuh empati. Ia ingin sekali mengatakan bahwa Bintang bukan hanya cucu mereka, tetapi juga cucu kandungnya s
Langit biru cerah menghiasi pagi yang penuh sukacita di rumah Rania. Halaman yang luas telah disulap menjadi arena pesta bertema karakter Tayo, kesukaan Bintang. Balon berwarna biru, kuning, dan merah bergantungan di setiap sudut, sementara panggung kecil dihiasi dengan ilustrasi bus-bus kecil yang tersenyum ceria. Lagu tema Tayo diputar, menciptakan suasana riang di antara anak-anak yang berlarian dengan penuh kegembiraan.“Selamat ulang tahun, Bintang!” teriak para tamu kecil sambil bertepuk tangan. Bintang, dengan baju kaos bergambar Tayo dan celana jeans kecilnya, tertawa senang saat Rania, ibunya, menggendongnya ke atas panggung.Rania menatap putranya dengan penuh kebahagiaan. Setiap detik pertumbuhan Bintang adalah keajaiban baginya. Anak kecil yang ia perjuangkan seorang diri tanpa seorang suami, kini sudah tumbuh besar dan sehat.“Terima kasih sudah datang, semuanya! Hari ini kita merayakan ulang tahun Bintang yang ke-3. Doakan dia tumbuh menjadi anak yang kuat dan bahagia, y
Usai acara ulang tahun, Rania berdiri di sudut ruangan, berbincang santai dengan dua rekannya. Sorot matanya lelah, namun senyumnya tetap terjaga untuk menghormati tamu yang hadir. Tiba-tiba, Nora menghampirinya.“Permisi, Rania,” sapa Nora dengan suara pelan namun penuh ketegasan. “Bisa bicara sebentar?”Rania menoleh, sedikit terkejut melihat Nora berdiri di hadapannya. Ia mengangguk pelan. “Tentu, Bu.”Mereka berjalan ke sudut ruangan yang lebih sepi, menjauh dari keramaian. Lampu redup menciptakan bayangan lembut di dinding, menambah kesan intim pada percakapan mereka.“Ada apa?” tanya Rania, suaranya tenang namun penuh kewaspadaan.Nora menarik napas panjang sebelum berbicara. “Rania, aku hanya ingin meminta maaf. Aku tahu mungkin ini bukan waktu yang tepat, tapi aku tak ingin menunda lebih lama. Aku minta maaf jika dulu aku atau keluarga kami pernah menyakitimu.”Rania terdiam
Lampu-lampu kristal berkilauan memantulkan cahaya lembut di seluruh ruangan mewah hotel bintang lima di pusat kota Bandung. Aroma bunga mawar dan lili memenuhi udara, menciptakan suasana elegan yang memanjakan indera. Para tamu berpakaian formal berdatangan, berjalan di atas karpet merah yang membentang dari pintu masuk hingga ke aula utama. Suara musik orkestra mengalun lembut, menambah kemewahan pesta ulang tahun Rania yang ke-29.Rania berdiri di tengah aula, mengenakan gaun berwarna merah marun yang membalut tubuhnya dengan sempurna. Senyumnya memancarkan kehangatan, meski hatinya berdebar karena momen yang penuh makna ini. Di sampingnya, Bintang, putranya yang berusia dua tahun, tampak menggemaskan dalam setelan kecil berwarna putih dengan dasi kupu-kupu hitam. Matanya yang jernih menyorotkan keceriaan polos seorang anak kecil.Boby dan Rita—orang tua kandung Rania—berdiri dengan penuh kebanggaan di sisi mereka. Boby mengenakan setelan jas hitam klasik, sementara Rita tampil angg
Malam itu begitu sunyi di taman belakang rumah megah milik Prakas dan Nora. Lampu-lampu taman yang redup memancarkan cahaya hangat di antara dedaunan yang bergerak pelan tertiup angin malam. Bastian duduk di bangku kayu tua, menatap kosong ke arah kolam kecil yang tenang. Wajahnya tampak lelah, matanya dipenuhi bayang-bayang masa lalu yang sulit dihapus.Tak lama kemudian, Nora datang menghampiri, membawa secangkir kopi panas di tangannya. Ia duduk di samping putranya tanpa mengucapkan sepatah kata pun, hanya meletakkan kopi di meja kecil di depan mereka. Keheningan menyelimuti sejenak sebelum Nora akhirnya membuka suara dengan lembut.“Kopi hangat selalu bisa menenangkan pikiran yang kacau,” katanya, mencoba mencairkan suasana.Bastian menghela napas, menundukkan kepala. “Terima kasih, Mami,” jawabnya pelan tanpa menyentuh kopi itu.Nora menatap putranya dengan penuh kasih. “Bastian, sudah berapa lama kamu duduk di sini, merenung tanpa arah? Apa kamu pikir dengan begitu semua masalah