“Nggghh ....”
Suara lenguhan keluar dari bibir Rania ketika Bastian mulai menyapu lehernya dengan kecupan yang lebih panas lagi. Desahan itu semakin terdengar jelas ketika bibir basah seorang pria mulai menggelitik bahkan menggigit lembut daun telinga Rania.
Bibir bastian menari-menari di leher dan daun telinga Rania, sementara tangannya mulai melepas sendiri celananya, membuat rongga yang luar biasa hingga sebuah benda yang mulai menegang merasa lega.
Bastian mendorong lembut tubuh Rania hingga rebah ke atas ranjang. Melepas rok span yang dikenakan wanita itu, lalu menarik paksa segi tiga pengaman milik Rania. Basah, itulah yang terasa di tangan Bastian ketika menyentuh segitiga pengaman milik Rania.
Tidak lama, sebuah benda mulai memaksa masuk ke dalam tubuh Rania. Sesuatu yang membuat rasa sakit dan nyeri menguasai bagian bawah miliknya.
“Auuhh ... sakit ...,” lirih Rania. Ia berusaha mendorong tubuh kekar itu.
“Jangan ...,” ucapnya lagi. Rania sadar kalau semua ini tidak boleh terjadi. Setelah dua puluh tiga tahun berhasil mempertahankan kesuciannya, Rania tidak ingin sesuatu yang ia pertahankan selama itu berakhir begitu saja.
Namun sayang, sang pria yang dikuasai gairah yang memuncak, terus mendesak agar benda itu masuk dengan sempurna. Keras dan tegang, tidak bisa untuk ditahan.
“Cukup, hentikan!!” Rania berusaha mendorong dengan kuat, namun tenaganya tidak cukup kuat untuk melakukan hal itu. Tangannya lemah dan tubuhnya goyang karena reaksi alergi yang ia alami saat ini.
Penolakan yang dilakukan oleh Rania, malah membuat sang pria bergejolak. Ia mengunci ke dua tangan Rania dan dengan cepat, ia menghujam pusaka miliknya ke dalam tubuh Rania.
“Aaahhh ...,” teriak Rania. Ke dua matanya membesar ketika menerima hujaman yang sangat menyakitkan.
“Tolong, ini tidak boleh terjadi,” ucap Rania. Manik cokelat terang miliknya berkaca-kaca. Rasa sakit pun masih menguasai bagian bawah tubuhnya.
Rania masih linglung. Bahkan ia tidak tahu, dengan siapa ia bercinta saat ini. Apa lagi suasana kamar masih temaram. Yang ia tahu, semua ini tidak boleh terjadi. Yang ia tahu, saat ini kesuciannya sudah hilang dan itu sangat menyakitkan.
Berbeda dengan pria yang saat ini menindih tubuhnya, pria itu malah menikmati sensasi yang luar biasa. Tempat sempit itu membuat miliknya bergetar hebat dan bergelora.
Rania menangis, berharap Bastian menghentikan kegiatan itu. Namun sayang, bukannya berhenti, sang pria malah mulai menggerakkan tubuhnya. Perlahan tapi pasti, ia mulai memacu gerakannya sehingga rasa sakit yang sebelumnya dirasakan oleh Rania, berubah menjadi sebuah kenikmatan yang luar biasa.
Pada akhirnya, suara erangan dan lenguhan panjang terdengar dari bibir cantik Rania seiringan dengan gerakan yang semakin lama semakin cepat dari sang pria.
Rania tidak mampu lagi untuk menolak. Ia hanya bisa menikmati semua itu. Menikmati pergerakan yang seakan sulit untuk dihentikan. Semakin lama, semakin terasa nikmat hingga pada akhirnya ke duanya pun mengapai tujuannya. Sama-sama terlelap dan terkapar di atas ranjang tanpa sadar dengan siapa mereka bermain saat ini.
Ya, Bastian dan Rania bahkan tidak tahu jika mereka baru saja bercinta malam ini. Rania yang tanpa sadar salah masuk kamar dan Bastian yang dikuasai alkohol membuat ke duanya linglung dan hilang kendali.
Rania sebelumnya masuk begitu saja ke dalam kamar Bastian, menabrak tubuh Bastian dalam kegelapan. Bastian yang dikuasai alkohol dan birahi, menyambut tubuh cantik itu, mencium aroma wangi yang begitu nikmat hingga tanpa sadar langsung menyapu wajah dan leher Rania dengan ciuman panas.
Bastian, pemilik salah satu hotel bintang lima yang ada di Jakarta. Mantan kekasih sekaligus bos dari wanita cantik yang dulunya pernah diberikan janji manis oleh Bastian. Sayangnya, sebentar lagi Bastian akan menikah. Ia akan menikah dengan mantan sahabat Rania—Maya.
***
Waktu sudah menunjukkan pukul empat dini hari. Rania tiba-tiba saja terjaga, merasakan linu di sekujur tubuhnya. Ia masih bingung. Badannya masih panas dan kepalanya masih pusing.
Rania memegang kepalanya, mencoba mencerna apa yang sudah terjadi tadi malam. Apa lagi tubuhnya terasa remuk redam. Terlebih bagian penting dari tubuhnya terasa perih dan ngilu. Yang ia ingat, kemarin pagi ia tidak enak badan. Namun ia masih memaksakan diri pergi ke acara pelatihan karena acara itu sangat penting untuk karirnya. Ia sudah minum tablet penurun panas dan ia yakin kalau ia mampu menghadiri acara itu.
Namun sayang, makan malam yang disediakan oleh panitia sebagian besar adalah menu seafood. Rania alergi dengan udang. Apabila ia makan udang, maka kepalanya akan langsung pusing, tubuhnya panas dan sempoyongan. Terkadang reaksinya gata-gatal, tapi sangat jarang terjadi.
Ia sudah mencoba tidak memakan makanan itu, namun teman-temannya tetap memaksa sehingga Rania tidak mampu lagi menolak. Ia pun makan beberapa ekor udang yang membuat tubuhnya tidak stabil.
Rania mencoba duduk, menyibak selimut yang sebelumnya menutupi seluruh tubuhnya. Wanita itu berusaha menggapai sebuah saklar lampu, ia pun menekannya hingga membuat ruangan itu jadi terang benderang.
Tidak, darah apa ini? Kenapa aku seperti ini? Apa yang terjadi? Ah, mana mungkin aku—
Masih membatin, Rania menoleh ke arah samping. Ia semakin terkejut ketika melihat Bastian terlelap nikmat tanpa busana di sampingnya. Dengan cepat, wanita itu kembali menekan saklar lampu utama. Ia hanya menyalakan lampu tidur yang temaram.
Tubuh Rania tiba-tiba bergetar. Air matanya tidak mampu ia bendung. Ia kehilangan kesuciannya. Kesucian yang sudah susah payah ia pertahankan. Di tambah yang merebut kesucian itu adalah lelaki yang sebentar lagi akan menikah. Lelaki yang sampai saat ini masih ada di hatinya, namun begitu sering menyakitinya. Lelaki yang dulu pernah membuatnya begitu spesial, sebelum semuanya berubah seratus delapan puluh derajat.
Bastian. Ya, lelaki itu adalah Bastian. Pemilik hotel bintang lima tempat Rania bekerja. Bos sekaligus mantan kekasih Rania yang dulu sempat menjanjikan cinta. Pria yang pernah mengecup lembut bibir manis wanita itu untuk pertama kalinya. Pria yang dulunya pernah berjanji akan menikah dengannya.
Namun sayang, janji tinggallah janji. Semua itu kandas tiba-tiba karena orang ketiga. Bastian memilih mengikuti permintaan ke dua orang tuanya untuk menikah dengan Maya.
Rania segera menyeka air mata. Ia bergegas mengenakan kembali pakaiannya dengan baik. Pergi meninggalkan kamar hotel itu tanpa memedulikan Bastian. Ia sangat hancur saat ini.
Rania yang masih berurai air mata, menyetop sebuah taksi dan meminta sang sopir taksi mengantarnya ke apartemen sewaan yang sudah ia tempati semenjak ia bekerja di perusahaan milik Bastian.
“Rania, kenapa pulang pagi buta begini?” tanya Jihan—sepupu Rania yang kini tinggal bersamanya di unit apartemen yang sama.
“Ah, iya ... Aku lupa kalau pagi ini aku harus kerja. Ini adalah hari pertamaku bekerja. Harusnya semalam aku tidak menginap di hotel, tapi karena alergiku kambuh, aku pun istirahat sebentar di kamar hotel. Tapi nggak tahunya malah ketiduran,” ucap Rania seraya tersenyum.
“Bibir dan leher kamu kenapa?” tanya Jihan. Ia memerhatikan leher Rania yang memerah. Bibir wanita itu pun terlihat sedikit bengkak.
“I—ini ... Ah, bukan apa-apa. Ini hanya akibat reaksi alergi. Oiya, aku harus segera mandi. Aku harus bersiap ke kantor. Jika tidak, aku akan dapat masalah nantinya.” Rania berusaha mengalihkan dan segera berlalu menuju kamar mandi.
Jihan memerhatikan sepupunya itu. Ada yang aneh dari cara berjalan Rania, namun Jihan berusaha mengabaikan.
Di kamar mandi, Rania segera menyalakan kran shower sampai batas maksimal. Ia biarkan tubuhnya yang masih berbalut kemeja dan rok span pendek basah oleh guyuran air yang dingin. Rania menangis, terduduk di lantai seraya mengusap rambutnya yang sudah basah. Sesekali ia tarik rambut itu, ia menyesal.
Kenapa semua ini harus terjadi? Kenapa harus Bastian? Kenapa bukan pria lain? Batin Rania. Wanita itu tidak mampu menahan diri. Ia bahkan nyaris menghabiskan semua air matanya di dalam ruangan yang dingin dan pengap itu.
“Rania, kamu ngapain di dalam. Kok lama banget sih? Kamu amankan?” tanya Jihan seraya mengetuk pintu kamar mandi dengan keras.
Rania tersadar. Ia segera mematikan keran lalu berdiri.
“Aku baik-baik saja kok, Jihan. Maaf, aku lagi merenung. Aku takut hari ini sebab ini adalah hari pertamaku masuk di kantor pusat. Apa kamu ingin menggunakan kamar mandi juga?” tanya Rania.
“Nggak sih, tapi aku khawatir sama kamu. Kamu baik-baik sajakan?” tanya Jihan lagi.
“Iya, aku nggak apa-apa kok,” balas Rania.
Rania pun segera melepas pakainnya. Ia bersihkan dirinya dengan cepat lalu ia pun keluar dari kamar mandi setelah mengenakan handuk piyama yang sudah tersedia di dalam kamar mandi.
Rania masuk ke dalam kamar, mengganti pakaiannya dengan kemeja formal khas orang kantoran.
Usai bersiap, Rania pun menatap pergelangan tangan kanannya. Polos, tidak ada benda apa pun yang tersemat di pergelangan tangan Rania. Sebuah gelang yang sangat berharga untuknya. Ia bingung, mencari-cari keberadaan benda kesayangannya. Benda yang sudah ia simpan selama puluhan tahun. Benda yang baru diberikan oleh sang ibu ketika Rania berusia tujuh tahun dan gelang itu selalu ia pakai sampai saat ini.
Rania berusaha mencari. Ia keluarkan semua isi tasnya namun ia tidak menemukan benda yang ia cari.
“Nyari apa, Ran?” tanya Jihan.
“Gelang aku, kok nggak ada?” Rania terlihat bingung.
“Gelang hijau itu?” taya Jihan.
“Iya. Gelang yang diberikan ibu itu lo. Kamu tahukan kalau aku nggak pernah lepas gelang itu sejak ibu memberikannya padaku,” jawab Rania.
“Jangan-jangan ketinggalan di kamar hotel tempat kamu menginap semalam,” ucap Jihan.
“Ya, mungkin saja. Tapi aku tidak punya banyak waktu utnuk mengeceknya ke sana. Aku akan cari nanti,” ucap Rania. Wanita itu segera meninggalkan unit apartemen. Berusaha mengabaikan sebentar gelangnya karena hari ini adalah hari pertamanya. Jadi ia tidak boleh membuat masalah.
Waktu sudah menunjukkan pukul sembilan pagi. Bastian terjaga, merasa ada yang ganjal pada dirinya. Tangan kanan pria itu segera menekan saklar lampu utama, membuat kamar yang temaram menjadi terang benderang.Bastian menyibak selimut. Kaget, ada noda darah segar yang menempel di sprei ranjang yang saat ini ia duduki. Bastian memerhatikan sprei itu, mencoba mengingat kembali apa yang terjadi semalam.Hanya beberapa detik, lalu pria itu segera berdiri dan merasa tidak peduli. Tapi tiba-tiba kakinya menginjak sesuatu sebuah benda bulat mirip gelang yang terbuat dari batu giok asli.Bastian menggeser kakinya, mengambil benda yang sangat ia kenali itu. Ya, itu memang gelang. Gelang yang terbuat dari beberapa butir batu giok asli yang dipadu dengan rantai yang terbuat dari emas asli milik Rania. Gelang yang salah satu sisinya ada ukiran bergambar mahkota dengan corak yang khas. Sepertinya hanya Rania saja yang punya ukiran dengan corak demikian.Bastian sangat tahu jika itu gelang milik Ran
“Auh ....” Seorang wanita melenguh ketika seseorang tanpa sengaja menabraknya. Ia adalah salah satu tamu istimewa di hotel milik Bastian. Wanita itu dan suaminya—Boby—sedang menyewa kamar terbaik dan mahal di hotel itu selama mereka menginap di Jakarta.“Maaf, Bu ... Saya minta maaf, saya benar-benar tidak sengaja,” ucap Rania.“Tidak masalah,” jawab sang wanita seraya menekan langkah tanpa menoleh sedikit pun ke arah Rania.Rania membalik tubuhnya, melihat langkah kaki wanita yang sedang berjalan dengan anggun keluar dari hotel. Rania tersenyum, ia bahkan tidak tahu kenapa ia tersenyum. Walau tidak melihat dengan jelas siapa wanita yang baru saja ia tabrak, Rania merasa ada perasaan yang berbeda di hatinya tatkala berada dekat dengan wanita itu.Sepersekian detik kemudian, Rania tersentak. Ia kembali memasang wajah serius lalu menekan langkah menuju ruangannya.“Rania, kamu kemana saja? Tadi pak Bastian nyariin dan kelihatannya ia marah sama kamu,” ucap salah seorang rekan kerja Rani
Rania terduduk di kursi kerjanya. Masih terngiang jelas adegan serta posisi panas Bastian dan Maya di ruang direktur utama. Walau hanya sekilas, namun cukup membekas dan menyakitkan di hati Rania.“Ada apa, Ran?” tanya Laura—rekan kerja Rania sekaligus sahabat baik wanita itu.Rania bergidik, “A—aku nggak apa-apa kok. Tadi niatnya aku mau antar file ke ruangan pak Bastian untuk ditanda tangani. Tapi nggak tahunya di dalam ada bu Maya.”“Lho, bukannya tadi kamu lihat kalau bu Maya datang dan masuk ke ruangan itu? Kamu ketemu sama bu Maya’kan?” tanya Laura.“Iya tapi aku nggak nyangka kalau—. Ah, lupakan saja.” Rania mencoba menghindari Laura.“Rania, kamu mau kemana?” tanya Laura.Rania tidak menggubris. Ia terus melangkahkan kakinya berjalan menuju lift. Susah payah Rania menahan air mata, karena di dalam lift ia tidak sendirian. Ada beberapa orang lagi yang ada di sana, menuju lantai yang berbeda.Rania sendiri menuju lantai paling atas. Rooftop, itu adalah tempat tujuan wanita itu.
Rania kaget, tiba-tiba saja Bastian melempar dokumen yang baru saja ia berikan ke wajah wanita itu. Beberapa lembar dokumen berserakan di lantai, sementara wajah Rania sedikit perih karena Bastian melempar dokumen itu dengan cukup keras ke wajahnya. Ia terlihat sangat murka.Dengan cepat, Rania mengemasi lembar demi lembar dokumen yang kini sudah tida beraturan. Padahal ia sudah menyusunnya dengan sangat baik sebelumnya.“Kenapa anda melemparnya, Pak?” tanya Rania. Ia masih berusaha bersikap sopan. Bastian sendiri hanya memalingkan wajah tanpa mengucapkan sepatah kata pun kepadanya.“Kamu pikir kenapa?” Bastian bertanya balik. Pria itu masih enggan menatap wajah Rania.Rania menghela napas. Ia lihat lembar demi lembar yang baru saja ia kemas dari lantai. Rania terkejut, matanya terbelalak.“M—maaf, Pak. Ini salah paham. Sa—saya, bukan ini yang saya kerjakan tadi. Saya tidak mau menuduh, tapi bisa jadi ada yang menggantinya dengan dokumen ini. Sebelum mengantarnya ke sini, saya meletak
Jakarta, kediaman Maya.Maya tersenyum simpul membaca pesan singkat yang baru saja ia terima dari salah seorang anak buah Bastian. Rencananya berhasil dan tentu saja membuatnya sangat senang.“Maya, kamu sedang apa?” tanya seseorang. Ia adalah nyonya Ami—ibu kandung Maya.“Eh, mami. Ini lagi memerhatikan desain gaun yang akan aku pakai di nikahan nanti. Menurut mami gimana?” Maya memperlihatkan layar ponselnya ke arah Ami.“Bagus, tapi menurut mami ini terlalu terbuka.” Kening Ami sedikit mengernyit.“Justru model terbaru memang seperti ini, Mi. Mami ini terlalu kuno,” balas Maya.“Terserah kamu saja kalau begitu. Oiya, mami dengar mantan pacarnya Bastian dipindahkan ke kantor pusat. Apa benar?” tanya Ami.Maya meletakkan ponselnya di atas meja. Wanita itu bangkit dan berjalan menuju dinding kaca kamarnya.“Iya, Mi. Ia baru saja dipindahkan hari ini.
Sebuah tangan kekar terulur ke arah Rania. Rania menoleh ke atas, menatap seorang pria yang kini siap menawarkan bantuan.Rania membalas uluran tangan itu. Sang pria menarik tangan Rania dengan lembut hingga kini berdiri tepat di sampingnya.“Apa yang sudah kamu lakukan terhadap Rania?” tanya Farel. Sorot matanya sangat tajam menoleh ke arah Inaya. Ia sangat marah.“Saya tidak sengaja, Pak. Tadi ketika saya lewat, Rania juga tiba-tiba lewat,” bohong Inaya.“Jangan bohong kamu, Inaya. Saya melihat jelas apa yang sudah kamu lakukan pada Rania.” Farel berjalan mendekat. Pria itu tidak mampu menyembunyikan kemarahannya dari Inaya.“M-maafkan saya, Pak. Sa—saya.” Inaya gugup.“Ini peringatan terakhir buat kamu, Inaya. Kalau sampai nanti kamu menyakiti Rania lagi, saya tidak akan segan-segan memberikan surat peringatan untuk kamu. Saya bisa melaporkan kamu ke pak Bastian atas perbuatan buruk kamu pada karyawan lain. Kamu bisa dapat masalah nanti,” ancam Farel.Inaya sedikit gemetar. Tanpa me
Ballroom The Lion Hotel Jakarta.Ruangan besar di salah satu hotel bintang lima di Jakarta itu sudah di sulap menjadi ruang pesta yang sangat megah dan mewah. Dekorasi bernuansa putih dan sedikit aksen biru metalik—warna kesukaan Maya dan Bastian. Maya pecinta warna putih sementara Bastian pecinta warna biru metalik.Ada dua lantai di sana dan ke dua lantai dipenuhi dengan meja serta kursi yang bisa ditempati oleh tamu undangan yang datang. Ada beberapa suguhan juga yang terhidang di sana. Mulai dari masakan khas Indonesia, sampai masakan luar negeri pun ada.Di bagian depan, terdapat panggung yang berisi pelaminan dengan dekorasi mewah dan berkelas. Sudah duduk di sana Bastian dan Maya dengan pakaian pengantin yang sangat bersinar. Maya terlihat sangat anggun dan seksi dengan pakaian pengantin berwarna putih dengan belahan dada rendah, sementara Bastian tampak gagah dan tampan dengan jas modern dengan warna senada.Sepanjang acara, tidak pernah putus senyum terukir dari bibir ke duany
Will You marry me? Terngiang kalimat itu di telinga Rania. Sementara Farel masih menunggu jawaban wanita itu. Tangannya tampak pegal memegangi kotak perhiasan yang kini masih terpampang manis di depan Rania.“Bagaimana, Ran?” tanya Farel.Rania yang sedari tadi masih melongo, tiba-tiba saja tersenyum kecil. Ia raih tangan Farel lalu ia turunkan tangan itu dengan lembut tanpa mengambil kotak perhiasan yang diberikan Farel kepadanya.“Kenapa, Ran?” tanya Farel. Pria itu tentu sangat kecewa dengan sikap Rania yang secara tidak langsung sudah memberikan jawaban yang tidak diharapkan oleh pria itu.“Aku masih belum siap, Mas. Maaf ...,” jawab Rania.“Tapi kenapa?” Farel masih mendesak.“Aku tidak tahu. Sebaiknya kita jalani saja dulu. Nanti kalau aku sudah siap, aku sendiri yang akan memberitahumu.” Rania berusaha tersenyum.“Apa tidak ada sedikit saja perasaanmu terhadapku, Rania?” Farel menggenggam lembut tangan kanan Rania.“Jujur saja, perasaan itu memang ada. Tapi aku tidak berani memu
Di sebuah kafe kecil di sudut Jakarta, Maya duduk dengan gelisah. Sesekali matanya melirik jam tangan emas yang melingkar di pergelangan tangannya. Beberapa saat kemudian, Ronald masuk, mengenakan kemeja santai. Wajahnya tenang, hampir tanpa ekspresi, seperti tidak ada beban yang menghantuinya.“Kamu terlambat,” ujar Maya ketus saat Ronald mendekatinya.Ronald hanya tersenyum tipis, duduk di hadapan Maya dengan santai. “Santai saja, Sayang. Jadi, ada apa kali ini?”Maya mendesah berat, memutar cangkir kopinya tanpa minat. “Bastian sudah tahu. Dia mulai menyelidiki semuanya. Aku yakin dia sudah punya bukti cukup kuat soal dana yang aku selewengkan.”“Lalu?” Ronald bertanya santai, menyandarkan punggungnya di kursi.Maya menatap Ronald dengan tajam. “Kamu tidak takut sama sekali? Kalau aku kena, kamu juga pasti terseret. Aku bisa saja memberitahu Bastian semuanya.”Ronald tertawa keci
Malam itu, rumah besar Bastian terasa lebih sunyi dari biasanya. Hanya suara detik jam yang terdengar samar, mengiringi langkah pria itu memasuki ruang kerjanya. Pintu kayu besar berderit pelan saat Bastian menutupnya, seolah menyegel dirinya dari dunia luar. Dengan gerakan yang kasar, ia menjatuhkan dirinya di kursi kebesaran di belakang meja kerja. Tatapan matanya kosong, pikirannya penuh dengan bayangan wajah Rania dan tawa kecil Bintang. Naluri di hatinya berkecamuk, memunculkan pertanyaan yang tak bisa ia abaikan. “Bintang…” gumamnya, hampir seperti bisikan. Ada sesuatu yang ia rasakan saat melihat bocah itu—sesuatu yang sulit dijelaskan. Ia menggenggam sisi meja kerjanya dengan erat, mencoba menenangkan diri. Tapi, semakin ia berusaha, semakin kuat amarah yang meluap di hatinya. Ia marah karena Rania telah menikah dan memiliki anak tanpa pernah memberi tahu dirinya, tapi lebih dari itu, ada perasaan lain yang membuat pikirannya tak tenang—naluri emosional yang begitu mendalam
Setelah percakapan emosional di taman belakang, Nora dan Maya kembali ke ruang makan. Prakas dan Bastian masih terlihat berbincang ringan sambil sesekali menyeruput teh hangat yang tersisa. Ketika keduanya melihat kedatangan Nora dan Maya, suasana perlahan berubah lebih serius. Nora duduk di kursinya dengan anggun, sementara Maya memilih tempat yang agak berjauhan dari Bastian, berusaha menghindari tatapan tajam suaminya. Keheningan menyelimuti ruangan sejenak sebelum Nora menghela napas panjang, mencoba mencairkan suasana. “Bastian, Papi…” Nora memulai dengan nada tenang. “Aku sudah berbicara dengan Maya di taman tadi. Dia mengakui kesalahannya dan benar-benar menyesal.” Bastian mendengus kecil, matanya menyipit. “Menyesal? Baru sekarang? Setelah semua bukti jelas di depan mata?” “Bastian, dengarkan dulu,” potong Nora dengan lembut. “Maya merasa tertekan. Dia merasa diabaikan olehmu, dan itu yang membuatnya bertindak di luar kendali. Mami tidak membenarkan apa yang dia lakukan, t
Siang itu, rumah megah milik keluarga Prakas terasa lebih tenang dari biasanya, meski ketegangan menggantung di udara. Di meja makan yang besar, tersaji hidangan lengkap mulai dari sup asparagus hingga steak salmon, yang semuanya tampak menggugah selera. Namun, tak satu pun dari mereka tampak benar-benar menikmati makanannya. Bastian duduk dengan ekspresi dingin di salah satu ujung meja, sementara Maya duduk di seberangnya dengan wajah yang terlihat penuh kepura-puraan. Nora, sang ibu, duduk di tengah-tengah mereka, sesekali melirik ke arah kedua belah pihak. Prakas, yang memimpin meja makan, akhirnya memecah keheningan. “Baiklah, semua sudah di sini. Mari kita makan dulu sebelum berbicara,” ujar Prakas, mencoba memberi nada netral pada situasi yang jelas tidak bersahabat. Bastian hanya mengangguk singkat. Ia sebenarnya tidak ingin berada di sini, namun rasa hormatnya pada kedua orang tuanya menahan keinginannya untuk pergi. Sementara itu, Maya, dengan senyuman kecil yang tampak di
Malam mulai merangkak, dan suasana di kantor Bastian terasa tegang. Di balik pintu ruangan pribadi yang tertutup rapat, suara-suara tinggi terdengar. Bastian yang biasanya tenang dan dingin kini berbeda. Ia berdiri dengan kedua tangan mengepal di samping tubuhnya, napasnya memburu karena amarah yang membara.“Jadi benar, Maya? Semua ini karena ulahmu?” Suara Bastian menggema di ruangan, tatapannya dingin seperti es yang siap membekukan segala sesuatu di sekitarnya.Maya duduk di kursi berlapis kulit di depannya, berusaha tetap terlihat tenang. Namun, getaran di tangannya menunjukkan sebaliknya. Ia menarik napas dalam-dalam sebelum menjawab dengan nada datar, “Bastian, kamu salah paham. Aku bisa menjelaskan semuanya.”“Jangan berani-berani memutarbalikkan fakta, Maya!” Bastian membentak, suaranya penuh kekerasan. Ia memukul meja dengan keras, membuat berkas-berkas yang ada di atasnya melompat kecil. “Semua bukti menunjukkan bahwa kamu sudah menggelapkan dana perusahaan. Kamu bahkan teg
Malam itu, Bastian berdiri di depan cermin, mengenakan setelan jas gelap yang disesuaikan dengan sempurna. Rambutnya tersisir rapi, dan wajahnya seperti biasa—tegas, dingin, tanpa ekspresi yang benar-benar terbaca. Di tengah kesibukannya memeriksa dasi, Maya muncul dari belakang. Wanita itu, dalam gaun malam yang mewah berwarna biru tua, melangkah perlahan mendekati suaminya sambil memerhatikan penampilannya.“Kau terlihat rapi sekali malam ini,” ucap Maya, nadanya terdengar datar, tapi ada sedikit nada sindiran di baliknya. “Untuk menghadiri pertunangan Farel?”Bastian menghela napas pendek, tetap memandang bayangan dirinya di cermin tanpa menoleh ke arah istrinya. “Ya. Itu penting.”“Kenapa harus begitu formal? Dia hanya—.” Maya berhenti, menelan kalimat yang ingin diucapkannya. Namun, matanya yang mencemooh berbicara lebih banyak daripada kata-katanya.“Dia hanya apa?” potong Bastian, suaranya tenang, tapi tegas. Ia menoleh, memandangi Maya dengan sorot mata tajam.“Farel hanya pri
Suasana malam itu di rumah Sonya perlahan-lahan mereda dari kesibukan menjadi hening penuh keletihan yang berbalut kehangatan. Rania melepaskan ikatan rambutnya dan mengusap wajahnya yang lelah, menatap hasil kerja kerasnya bersama tim dengan perasaan bangga bercampur lega. Pesta pertunangan besok akan berjalan dengan cantik sesuai harapan, dan itu adalah buah dari kerja keras tanpa henti yang mereka curahkan sepanjang hari.“Terima kasih, Icha,” Rania berkata dengan suara lembut, menggenggam tangan gadis muda itu yang ikut bersinar dengan kepuasan. “Tanpamu, aku tidak akan sanggup melakukannya.”Icha tersenyum lelah namun bahagia. “Mbak, aku justru yang berterima kasih. Ini pengalaman luar biasa,” katanya, nada suaranya penuh kehangatan. Keduanya tertawa kecil, melepaskan sebagian beban yang mereka rasakan.Sonya, dengan mata yang terlihat berusaha keras melawan kantuk, menghampiri mereka.“Nia,” sapanya seraya memaksa matanya tetap terbuka. “Hasil dekorasimu luar biasa. Aku benar-be
Setibanya di lokasi sekitar pukul sepuluh pagi, Rania segera disambut suasana ramah dan hangat dari keluarga Sonya. Rumah berlantai satu yang terletak di tepi kota Jakarta itu akan disulap menjadi tempat pesta pertunangan yang megah dan elegan, sesuai harapan Sonya dan keluarganya. Halaman rumah yang cukup luas memberi banyak ruang bagi Rania dan timnya untuk berkreasi dengan dekorasi.Sonya dan keluarganya langsung menghampiri Rania begitu ia turun dari mobil bersama Icha, Arman, dan Doni. Senyuman merekah menghiasi wajah Sonya saat memperkenalkan Rania kepada beberapa anggota keluarganya. Setelah berbasa-basi sejenak, mereka membawa Rania dan tim ke meja yang sudah dipenuhi hidangan sarapan. Makanan lezat dan minuman hangat menjadi penyambutan yang membuat Rania merasa diterima layaknya sahabat lama.“Silakan, Nia,” ujar Sonya, panggilan akrab yang digunakan Rania di kalangan orang baru. “Kalian butuh energi untuk bekerja seharian.”Rania tersenyum dan mengucapkan terima kasih. Sela
Hai teman-teman ... Terima kasih yang sebesar-besarnya buat teman-teman yang sudah mampir ke cerita ini dan sudah support cerita ini. Terkhusus buat teman-teman yang sudah berkenan memberikan GEM serta rating yang baik untuk cerita ini, aku ucapkan TERIMA KASIH BANYAK. Hanya Tuhan yang bisa membalas semuanya ^_^Buat teman-teman yang belum support, mohon support ya, biar aku lebih semangat lagi nulisnya. Karena tanpa support dari teman-teman semuanya, aku bukan apa-apa. LUV ... ^_^Jika teman-teman berkenan, mohon bantu share cerita ini agar lebih banyak lagi teman-teman kita yang lain yang tahu perjuangan besar Rania di cerita ini, hehehe ... Buat teman-teman yang belum ikutan GA, yuk ikutan. Kayaknya DEADLINE akan diperpanjang sampai 31 Desember 2024. Yuk bantu ramaikan GA aku ya. Silahkan mampir ke akun pesbuq aku aja ya untuk mengikuti rulesnya ^_^Akhir kata, aku ucapkan Selamat Menikmati Lanjutan Cerita ini ya.Salam Sayang Penuh Cinta, KISS ^_^