“Nggghh ....”
Suara lenguhan keluar dari bibir Rania ketika Bastian mulai menyapu lehernya dengan kecupan yang lebih panas lagi. Desahan itu semakin terdengar jelas ketika bibir basah seorang pria mulai menggelitik bahkan menggigit lembut daun telinga Rania.
Bibir bastian menari-menari di leher dan daun telinga Rania, sementara tangannya mulai melepas sendiri celananya, membuat rongga yang luar biasa hingga sebuah benda yang mulai menegang merasa lega.
Bastian mendorong lembut tubuh Rania hingga rebah ke atas ranjang. Melepas rok span yang dikenakan wanita itu, lalu menarik paksa segi tiga pengaman milik Rania. Basah, itulah yang terasa di tangan Bastian ketika menyentuh segitiga pengaman milik Rania.
Tidak lama, sebuah benda mulai memaksa masuk ke dalam tubuh Rania. Sesuatu yang membuat rasa sakit dan nyeri menguasai bagian bawah miliknya.
“Auuhh ... sakit ...,” lirih Rania. Ia berusaha mendorong tubuh kekar itu.
“Jangan ...,” ucapnya lagi. Rania sadar kalau semua ini tidak boleh terjadi. Setelah dua puluh tiga tahun berhasil mempertahankan kesuciannya, Rania tidak ingin sesuatu yang ia pertahankan selama itu berakhir begitu saja.
Namun sayang, sang pria yang dikuasai gairah yang memuncak, terus mendesak agar benda itu masuk dengan sempurna. Keras dan tegang, tidak bisa untuk ditahan.
“Cukup, hentikan!!” Rania berusaha mendorong dengan kuat, namun tenaganya tidak cukup kuat untuk melakukan hal itu. Tangannya lemah dan tubuhnya goyang karena reaksi alergi yang ia alami saat ini.
Penolakan yang dilakukan oleh Rania, malah membuat sang pria bergejolak. Ia mengunci ke dua tangan Rania dan dengan cepat, ia menghujam pusaka miliknya ke dalam tubuh Rania.
“Aaahhh ...,” teriak Rania. Ke dua matanya membesar ketika menerima hujaman yang sangat menyakitkan.
“Tolong, ini tidak boleh terjadi,” ucap Rania. Manik cokelat terang miliknya berkaca-kaca. Rasa sakit pun masih menguasai bagian bawah tubuhnya.
Rania masih linglung. Bahkan ia tidak tahu, dengan siapa ia bercinta saat ini. Apa lagi suasana kamar masih temaram. Yang ia tahu, semua ini tidak boleh terjadi. Yang ia tahu, saat ini kesuciannya sudah hilang dan itu sangat menyakitkan.
Berbeda dengan pria yang saat ini menindih tubuhnya, pria itu malah menikmati sensasi yang luar biasa. Tempat sempit itu membuat miliknya bergetar hebat dan bergelora.
Rania menangis, berharap Bastian menghentikan kegiatan itu. Namun sayang, bukannya berhenti, sang pria malah mulai menggerakkan tubuhnya. Perlahan tapi pasti, ia mulai memacu gerakannya sehingga rasa sakit yang sebelumnya dirasakan oleh Rania, berubah menjadi sebuah kenikmatan yang luar biasa.
Pada akhirnya, suara erangan dan lenguhan panjang terdengar dari bibir cantik Rania seiringan dengan gerakan yang semakin lama semakin cepat dari sang pria.
Rania tidak mampu lagi untuk menolak. Ia hanya bisa menikmati semua itu. Menikmati pergerakan yang seakan sulit untuk dihentikan. Semakin lama, semakin terasa nikmat hingga pada akhirnya ke duanya pun mengapai tujuannya. Sama-sama terlelap dan terkapar di atas ranjang tanpa sadar dengan siapa mereka bermain saat ini.
Ya, Bastian dan Rania bahkan tidak tahu jika mereka baru saja bercinta malam ini. Rania yang tanpa sadar salah masuk kamar dan Bastian yang dikuasai alkohol membuat ke duanya linglung dan hilang kendali.
Rania sebelumnya masuk begitu saja ke dalam kamar Bastian, menabrak tubuh Bastian dalam kegelapan. Bastian yang dikuasai alkohol dan birahi, menyambut tubuh cantik itu, mencium aroma wangi yang begitu nikmat hingga tanpa sadar langsung menyapu wajah dan leher Rania dengan ciuman panas.
Bastian, pemilik salah satu hotel bintang lima yang ada di Jakarta. Mantan kekasih sekaligus bos dari wanita cantik yang dulunya pernah diberikan janji manis oleh Bastian. Sayangnya, sebentar lagi Bastian akan menikah. Ia akan menikah dengan mantan sahabat Rania—Maya.
***
Waktu sudah menunjukkan pukul empat dini hari. Rania tiba-tiba saja terjaga, merasakan linu di sekujur tubuhnya. Ia masih bingung. Badannya masih panas dan kepalanya masih pusing.
Rania memegang kepalanya, mencoba mencerna apa yang sudah terjadi tadi malam. Apa lagi tubuhnya terasa remuk redam. Terlebih bagian penting dari tubuhnya terasa perih dan ngilu. Yang ia ingat, kemarin pagi ia tidak enak badan. Namun ia masih memaksakan diri pergi ke acara pelatihan karena acara itu sangat penting untuk karirnya. Ia sudah minum tablet penurun panas dan ia yakin kalau ia mampu menghadiri acara itu.
Namun sayang, makan malam yang disediakan oleh panitia sebagian besar adalah menu seafood. Rania alergi dengan udang. Apabila ia makan udang, maka kepalanya akan langsung pusing, tubuhnya panas dan sempoyongan. Terkadang reaksinya gata-gatal, tapi sangat jarang terjadi.
Ia sudah mencoba tidak memakan makanan itu, namun teman-temannya tetap memaksa sehingga Rania tidak mampu lagi menolak. Ia pun makan beberapa ekor udang yang membuat tubuhnya tidak stabil.
Rania mencoba duduk, menyibak selimut yang sebelumnya menutupi seluruh tubuhnya. Wanita itu berusaha menggapai sebuah saklar lampu, ia pun menekannya hingga membuat ruangan itu jadi terang benderang.
Tidak, darah apa ini? Kenapa aku seperti ini? Apa yang terjadi? Ah, mana mungkin aku—
Masih membatin, Rania menoleh ke arah samping. Ia semakin terkejut ketika melihat Bastian terlelap nikmat tanpa busana di sampingnya. Dengan cepat, wanita itu kembali menekan saklar lampu utama. Ia hanya menyalakan lampu tidur yang temaram.
Tubuh Rania tiba-tiba bergetar. Air matanya tidak mampu ia bendung. Ia kehilangan kesuciannya. Kesucian yang sudah susah payah ia pertahankan. Di tambah yang merebut kesucian itu adalah lelaki yang sebentar lagi akan menikah. Lelaki yang sampai saat ini masih ada di hatinya, namun begitu sering menyakitinya. Lelaki yang dulu pernah membuatnya begitu spesial, sebelum semuanya berubah seratus delapan puluh derajat.
Bastian. Ya, lelaki itu adalah Bastian. Pemilik hotel bintang lima tempat Rania bekerja. Bos sekaligus mantan kekasih Rania yang dulu sempat menjanjikan cinta. Pria yang pernah mengecup lembut bibir manis wanita itu untuk pertama kalinya. Pria yang dulunya pernah berjanji akan menikah dengannya.
Namun sayang, janji tinggallah janji. Semua itu kandas tiba-tiba karena orang ketiga. Bastian memilih mengikuti permintaan ke dua orang tuanya untuk menikah dengan Maya.
Rania segera menyeka air mata. Ia bergegas mengenakan kembali pakaiannya dengan baik. Pergi meninggalkan kamar hotel itu tanpa memedulikan Bastian. Ia sangat hancur saat ini.
Rania yang masih berurai air mata, menyetop sebuah taksi dan meminta sang sopir taksi mengantarnya ke apartemen sewaan yang sudah ia tempati semenjak ia bekerja di perusahaan milik Bastian.
“Rania, kenapa pulang pagi buta begini?” tanya Jihan—sepupu Rania yang kini tinggal bersamanya di unit apartemen yang sama.
“Ah, iya ... Aku lupa kalau pagi ini aku harus kerja. Ini adalah hari pertamaku bekerja. Harusnya semalam aku tidak menginap di hotel, tapi karena alergiku kambuh, aku pun istirahat sebentar di kamar hotel. Tapi nggak tahunya malah ketiduran,” ucap Rania seraya tersenyum.
“Bibir dan leher kamu kenapa?” tanya Jihan. Ia memerhatikan leher Rania yang memerah. Bibir wanita itu pun terlihat sedikit bengkak.
“I—ini ... Ah, bukan apa-apa. Ini hanya akibat reaksi alergi. Oiya, aku harus segera mandi. Aku harus bersiap ke kantor. Jika tidak, aku akan dapat masalah nantinya.” Rania berusaha mengalihkan dan segera berlalu menuju kamar mandi.
Jihan memerhatikan sepupunya itu. Ada yang aneh dari cara berjalan Rania, namun Jihan berusaha mengabaikan.
Di kamar mandi, Rania segera menyalakan kran shower sampai batas maksimal. Ia biarkan tubuhnya yang masih berbalut kemeja dan rok span pendek basah oleh guyuran air yang dingin. Rania menangis, terduduk di lantai seraya mengusap rambutnya yang sudah basah. Sesekali ia tarik rambut itu, ia menyesal.
Kenapa semua ini harus terjadi? Kenapa harus Bastian? Kenapa bukan pria lain? Batin Rania. Wanita itu tidak mampu menahan diri. Ia bahkan nyaris menghabiskan semua air matanya di dalam ruangan yang dingin dan pengap itu.
“Rania, kamu ngapain di dalam. Kok lama banget sih? Kamu amankan?” tanya Jihan seraya mengetuk pintu kamar mandi dengan keras.
Rania tersadar. Ia segera mematikan keran lalu berdiri.
“Aku baik-baik saja kok, Jihan. Maaf, aku lagi merenung. Aku takut hari ini sebab ini adalah hari pertamaku masuk di kantor pusat. Apa kamu ingin menggunakan kamar mandi juga?” tanya Rania.
“Nggak sih, tapi aku khawatir sama kamu. Kamu baik-baik sajakan?” tanya Jihan lagi.
“Iya, aku nggak apa-apa kok,” balas Rania.
Rania pun segera melepas pakainnya. Ia bersihkan dirinya dengan cepat lalu ia pun keluar dari kamar mandi setelah mengenakan handuk piyama yang sudah tersedia di dalam kamar mandi.
Rania masuk ke dalam kamar, mengganti pakaiannya dengan kemeja formal khas orang kantoran.
Usai bersiap, Rania pun menatap pergelangan tangan kanannya. Polos, tidak ada benda apa pun yang tersemat di pergelangan tangan Rania. Sebuah gelang yang sangat berharga untuknya. Ia bingung, mencari-cari keberadaan benda kesayangannya. Benda yang sudah ia simpan selama puluhan tahun. Benda yang baru diberikan oleh sang ibu ketika Rania berusia tujuh tahun dan gelang itu selalu ia pakai sampai saat ini.
Rania berusaha mencari. Ia keluarkan semua isi tasnya namun ia tidak menemukan benda yang ia cari.
“Nyari apa, Ran?” tanya Jihan.
“Gelang aku, kok nggak ada?” Rania terlihat bingung.
“Gelang hijau itu?” taya Jihan.
“Iya. Gelang yang diberikan ibu itu lo. Kamu tahukan kalau aku nggak pernah lepas gelang itu sejak ibu memberikannya padaku,” jawab Rania.
“Jangan-jangan ketinggalan di kamar hotel tempat kamu menginap semalam,” ucap Jihan.
“Ya, mungkin saja. Tapi aku tidak punya banyak waktu utnuk mengeceknya ke sana. Aku akan cari nanti,” ucap Rania. Wanita itu segera meninggalkan unit apartemen. Berusaha mengabaikan sebentar gelangnya karena hari ini adalah hari pertamanya. Jadi ia tidak boleh membuat masalah.
Waktu sudah menunjukkan pukul sembilan pagi. Bastian terjaga, merasa ada yang ganjal pada dirinya. Tangan kanan pria itu segera menekan saklar lampu utama, membuat kamar yang temaram menjadi terang benderang.Bastian menyibak selimut. Kaget, ada noda darah segar yang menempel di sprei ranjang yang saat ini ia duduki. Bastian memerhatikan sprei itu, mencoba mengingat kembali apa yang terjadi semalam.Hanya beberapa detik, lalu pria itu segera berdiri dan merasa tidak peduli. Tapi tiba-tiba kakinya menginjak sesuatu sebuah benda bulat mirip gelang yang terbuat dari batu giok asli.Bastian menggeser kakinya, mengambil benda yang sangat ia kenali itu. Ya, itu memang gelang. Gelang yang terbuat dari beberapa butir batu giok asli yang dipadu dengan rantai yang terbuat dari emas asli milik Rania. Gelang yang salah satu sisinya ada ukiran bergambar mahkota dengan corak yang khas. Sepertinya hanya Rania saja yang punya ukiran dengan corak demikian.Bastian sangat tahu jika itu gelang milik Ran
“Auh ....” Seorang wanita melenguh ketika seseorang tanpa sengaja menabraknya. Ia adalah salah satu tamu istimewa di hotel milik Bastian. Wanita itu dan suaminya—Boby—sedang menyewa kamar terbaik dan mahal di hotel itu selama mereka menginap di Jakarta.“Maaf, Bu ... Saya minta maaf, saya benar-benar tidak sengaja,” ucap Rania.“Tidak masalah,” jawab sang wanita seraya menekan langkah tanpa menoleh sedikit pun ke arah Rania.Rania membalik tubuhnya, melihat langkah kaki wanita yang sedang berjalan dengan anggun keluar dari hotel. Rania tersenyum, ia bahkan tidak tahu kenapa ia tersenyum. Walau tidak melihat dengan jelas siapa wanita yang baru saja ia tabrak, Rania merasa ada perasaan yang berbeda di hatinya tatkala berada dekat dengan wanita itu.Sepersekian detik kemudian, Rania tersentak. Ia kembali memasang wajah serius lalu menekan langkah menuju ruangannya.“Rania, kamu kemana saja? Tadi pak Bastian nyariin dan kelihatannya ia marah sama kamu,” ucap salah seorang rekan kerja Rani
Rania terduduk di kursi kerjanya. Masih terngiang jelas adegan serta posisi panas Bastian dan Maya di ruang direktur utama. Walau hanya sekilas, namun cukup membekas dan menyakitkan di hati Rania.“Ada apa, Ran?” tanya Laura—rekan kerja Rania sekaligus sahabat baik wanita itu.Rania bergidik, “A—aku nggak apa-apa kok. Tadi niatnya aku mau antar file ke ruangan pak Bastian untuk ditanda tangani. Tapi nggak tahunya di dalam ada bu Maya.”“Lho, bukannya tadi kamu lihat kalau bu Maya datang dan masuk ke ruangan itu? Kamu ketemu sama bu Maya’kan?” tanya Laura.“Iya tapi aku nggak nyangka kalau—. Ah, lupakan saja.” Rania mencoba menghindari Laura.“Rania, kamu mau kemana?” tanya Laura.Rania tidak menggubris. Ia terus melangkahkan kakinya berjalan menuju lift. Susah payah Rania menahan air mata, karena di dalam lift ia tidak sendirian. Ada beberapa orang lagi yang ada di sana, menuju lantai yang berbeda.Rania sendiri menuju lantai paling atas. Rooftop, itu adalah tempat tujuan wanita itu.
Rania kaget, tiba-tiba saja Bastian melempar dokumen yang baru saja ia berikan ke wajah wanita itu. Beberapa lembar dokumen berserakan di lantai, sementara wajah Rania sedikit perih karena Bastian melempar dokumen itu dengan cukup keras ke wajahnya. Ia terlihat sangat murka.Dengan cepat, Rania mengemasi lembar demi lembar dokumen yang kini sudah tida beraturan. Padahal ia sudah menyusunnya dengan sangat baik sebelumnya.“Kenapa anda melemparnya, Pak?” tanya Rania. Ia masih berusaha bersikap sopan. Bastian sendiri hanya memalingkan wajah tanpa mengucapkan sepatah kata pun kepadanya.“Kamu pikir kenapa?” Bastian bertanya balik. Pria itu masih enggan menatap wajah Rania.Rania menghela napas. Ia lihat lembar demi lembar yang baru saja ia kemas dari lantai. Rania terkejut, matanya terbelalak.“M—maaf, Pak. Ini salah paham. Sa—saya, bukan ini yang saya kerjakan tadi. Saya tidak mau menuduh, tapi bisa jadi ada yang menggantinya dengan dokumen ini. Sebelum mengantarnya ke sini, saya meletak
Jakarta, kediaman Maya.Maya tersenyum simpul membaca pesan singkat yang baru saja ia terima dari salah seorang anak buah Bastian. Rencananya berhasil dan tentu saja membuatnya sangat senang.“Maya, kamu sedang apa?” tanya seseorang. Ia adalah nyonya Ami—ibu kandung Maya.“Eh, mami. Ini lagi memerhatikan desain gaun yang akan aku pakai di nikahan nanti. Menurut mami gimana?” Maya memperlihatkan layar ponselnya ke arah Ami.“Bagus, tapi menurut mami ini terlalu terbuka.” Kening Ami sedikit mengernyit.“Justru model terbaru memang seperti ini, Mi. Mami ini terlalu kuno,” balas Maya.“Terserah kamu saja kalau begitu. Oiya, mami dengar mantan pacarnya Bastian dipindahkan ke kantor pusat. Apa benar?” tanya Ami.Maya meletakkan ponselnya di atas meja. Wanita itu bangkit dan berjalan menuju dinding kaca kamarnya.“Iya, Mi. Ia baru saja dipindahkan hari ini.
Sebuah tangan kekar terulur ke arah Rania. Rania menoleh ke atas, menatap seorang pria yang kini siap menawarkan bantuan.Rania membalas uluran tangan itu. Sang pria menarik tangan Rania dengan lembut hingga kini berdiri tepat di sampingnya.“Apa yang sudah kamu lakukan terhadap Rania?” tanya Farel. Sorot matanya sangat tajam menoleh ke arah Inaya. Ia sangat marah.“Saya tidak sengaja, Pak. Tadi ketika saya lewat, Rania juga tiba-tiba lewat,” bohong Inaya.“Jangan bohong kamu, Inaya. Saya melihat jelas apa yang sudah kamu lakukan pada Rania.” Farel berjalan mendekat. Pria itu tidak mampu menyembunyikan kemarahannya dari Inaya.“M-maafkan saya, Pak. Sa—saya.” Inaya gugup.“Ini peringatan terakhir buat kamu, Inaya. Kalau sampai nanti kamu menyakiti Rania lagi, saya tidak akan segan-segan memberikan surat peringatan untuk kamu. Saya bisa melaporkan kamu ke pak Bastian atas perbuatan buruk kamu pada karyawan lain. Kamu bisa dapat masalah nanti,” ancam Farel.Inaya sedikit gemetar. Tanpa me
Ballroom The Lion Hotel Jakarta.Ruangan besar di salah satu hotel bintang lima di Jakarta itu sudah di sulap menjadi ruang pesta yang sangat megah dan mewah. Dekorasi bernuansa putih dan sedikit aksen biru metalik—warna kesukaan Maya dan Bastian. Maya pecinta warna putih sementara Bastian pecinta warna biru metalik.Ada dua lantai di sana dan ke dua lantai dipenuhi dengan meja serta kursi yang bisa ditempati oleh tamu undangan yang datang. Ada beberapa suguhan juga yang terhidang di sana. Mulai dari masakan khas Indonesia, sampai masakan luar negeri pun ada.Di bagian depan, terdapat panggung yang berisi pelaminan dengan dekorasi mewah dan berkelas. Sudah duduk di sana Bastian dan Maya dengan pakaian pengantin yang sangat bersinar. Maya terlihat sangat anggun dan seksi dengan pakaian pengantin berwarna putih dengan belahan dada rendah, sementara Bastian tampak gagah dan tampan dengan jas modern dengan warna senada.Sepanjang acara, tidak pernah putus senyum terukir dari bibir ke duany
Will You marry me? Terngiang kalimat itu di telinga Rania. Sementara Farel masih menunggu jawaban wanita itu. Tangannya tampak pegal memegangi kotak perhiasan yang kini masih terpampang manis di depan Rania.“Bagaimana, Ran?” tanya Farel.Rania yang sedari tadi masih melongo, tiba-tiba saja tersenyum kecil. Ia raih tangan Farel lalu ia turunkan tangan itu dengan lembut tanpa mengambil kotak perhiasan yang diberikan Farel kepadanya.“Kenapa, Ran?” tanya Farel. Pria itu tentu sangat kecewa dengan sikap Rania yang secara tidak langsung sudah memberikan jawaban yang tidak diharapkan oleh pria itu.“Aku masih belum siap, Mas. Maaf ...,” jawab Rania.“Tapi kenapa?” Farel masih mendesak.“Aku tidak tahu. Sebaiknya kita jalani saja dulu. Nanti kalau aku sudah siap, aku sendiri yang akan memberitahumu.” Rania berusaha tersenyum.“Apa tidak ada sedikit saja perasaanmu terhadapku, Rania?” Farel menggenggam lembut tangan kanan Rania.“Jujur saja, perasaan itu memang ada. Tapi aku tidak berani memu
Pagi itu, sinar matahari masuk melalui jendela ruang keluarga rumah Rania. Di atas meja, beberapa cangkir teh hangat tersusun rapi, sementara di ruang tamu terdengar tawa renyah Bintang yang sedang bermain di atas karpet bersama mobil-mobilan kecilnya.“Ma, lihat ini!” teriak Bintang sambil menunjukkan mainan barunya yang kemarin ia beli bersama Rania.Sebelum Rania sempat menjawab, suara bel rumah berbunyi.“Sebentar, Bintang,” kata Rania sambil melangkah ke pintu.Begitu pintu terbuka, seorang pria dengan setelan kasual—kaus putih dan celana jeans—tersenyum hangat. Satria, pria yang belakangan ini sering mampir ke rumah Rania, berdiri dengan sebuah kantong kertas besar di tangannya.“Pagi, Rania. Ini untuk Bintang,” ujarnya sambil menyerahkan kantong itu.Rania melirik kantong tersebut, lalu ke arah Satria dengan ekspresi sedikit bingung. “Kamu nggak perlu repot-repot setiap kali datang, Mas.”Satria hanya tertawa kecil. “Aku nggak merasa repot, kok. Aku senang bisa membawakan sesua
Kepulan asap pesawat terbang tampak membumbung tinggi di udara Bandara Soekarno-Hatta. Maya berdiri di tepi jendela kaca besar di ruang tunggu, memandang ke arah landasan pacu. Matanya kosong, wajahnya lelah, tetapi bibirnya tetap membentuk garis tegas seolah ia tidak ingin menunjukkan kelemahan. Di tangannya, paspor dan tiket penerbangan ke Frankfurt, Jerman, tergenggam erat.Hari ini, segalanya berubah. Perceraian yang baru saja disahkan beberapa minggu lalu telah menghapus statusnya sebagai istri dari Bastian, seorang pengusaha ternama di Jakarta.“Bu Maya, sudah waktunya boarding,” suara sopir pribadinya memecah keheningan.Maya menoleh sekilas. “Kamu pulang saja. Terima kasih sudah mengantarkan,” jawabnya singkat.Pria itu mengangguk hormat sebelum pergi, meninggalkan Maya sendirian.Maya menarik napas panjang dan berjalan menuju gerbang keberangkatan. Sepanjang langkahnya, ingatan tentang rumah megah yang pernah ia tinggali bersama Bastian menghantui pikirannya. Di sana, ia pern
Pagi ini, aroma embun bercampur harum bunga dari taman rumah Rania membuat suasana terasa sejuk. Udara segar Bandung menjadi pelengkap sempurna untuk perjalanan menuju Lembang. Sebuah mobil SUV hitam mewah sudah terparkir rapi di depan rumah, menunggu penumpangnya.Seorang sopir pribadi berdiri di sisi mobil, mengenakan seragam rapi, sementara seorang bodyguard berjaga tidak jauh darinya. Tugas mereka hari ini adalah memastikan perjalanan keluarga Rania berjalan lancar dan aman.Rania muncul dari dalam rumah, mengenakan pakaian kasual tetapi tetap elegan. Rambutnya yang tergerai membuat wajahnya terlihat segar meski kesibukan akhir-akhir ini menguras energinya. Di sampingnya, Bintang berlari kecil dengan semangat khas anak kecil, menggenggam tangan boneka superhero kesayangannya.“Mama, nanti di Lembang kita bisa lihat bunga banyak, kan?” tanya Bintang dengan mata berbinar.“Tentu saja, Sayang,” jawab Rania sambil mengusap kepala p
Siang itu, matahari menyinari gedung perkantoran megah yang menjadi pusat kesibukan Bastian sehari-hari. Di lantai paling atas, ruangan kantor Bastian tampak luas dengan dinding kaca yang memperlihatkan pemandangan kota Jakarta yang sibuk. Suasana ruangan beraroma kopi dan kayu cedar, mencerminkan kepribadian Bastian yang tegas dan profesional.Seorang asisten mengetuk pintu sebelum membukanya. “Pak Bastian, ada Bu Ami dan Pak Gery yang ingin bertemu.”Bastian, yang tengah duduk di belakang meja kerjanya, menghentikan pekerjaannya sejenak. Ia menatap asistennya dengan ekspresi tenang. “Persilakan mereka masuk.”Beberapa saat kemudian, Ami dan Gery memasuki ruangan. Ami mengenakan gaun pastel elegan, sementara Gery terlihat rapi dalam setelan formal. Mereka memasang senyum ramah, meskipun ketegangan terlihat di mata mereka.“Selamat siang, Mami, Papi,” sapa Bastian sambil berdiri dan menjabat tangan mereka. “Silakan duduk.”“Terima kasih, Nak,” jawab Ami dengan nada lembut, berusaha me
Pagi itu, sinar matahari yang hangat menerobos masuk melalui jendela besar di ruang makan. Aroma roti panggang yang baru keluar dari oven bercampur dengan wangi kopi hitam yang pekat memenuhi udara, menciptakan suasana nyaman di rumah keluarga Rania.Di meja makan besar, keluarga kecil itu berkumpul. Boby dan Rita duduk di sisi kepala meja, sementara Cucu, ibu angkat Rania, duduk bersebelahan dengan Bintang yang sibuk menyendokkan bubur ke mulut kecilnya. Rania, mengenakan gaun rumah sederhana berwarna pastel, duduk di sisi lain meja, tampak menikmati secangkir teh hangat.“Mama, tolong minta rotinya,” pinta Bintang dengan suaranya yang riang.Rania tersenyum, mengambil sepotong roti panggang dan menyerahkannya ke tangan kecil putranya. “Pelan-pelan makannya, Sayang. Jangan sampai tumpah lagi, ya.”“Iya, Ma,” jawab Bintang dengan pipi yang sudah menggembung karena bubur.Suasana pagi itu begitu hangat, dipenuhi c
Hujan deras mengguyur Bandung sejak semalam, menciptakan suasana dingin dan temaram yang terasa menusuk hingga ke tulang. Di dalam kamar bernuansa krem yang hangat, Rania duduk di tepi ranjang, menggenggam ponselnya dengan wajah terkejut. Portal berita yang terpampang di layar menampilkan sebuah judul yang membuat dadanya berdebar."Pebisnis Ternama Bastian Pramudista Akan Ceraikan Istrinya, Maya Kartika!"Rania membaca ulang judul itu, seolah ingin memastikan bahwa matanya tidak salah menangkap kata-kata yang terpampang di sana. Ia menelusuri artikel tersebut, membacanya perlahan dengan alis berkerut.Keputusan itu tak disangka. Bastian, pria yang dulu pernah mengisi ruang hatinya, kini menjadi pusat perhatian publik karena rencana perceraian ini. Nama Maya disebut-sebut terlibat dalam skandal yang mencoreng reputasi keluarga mereka.“Bastian...” bisik Rania lirih, hampir tidak percaya.Ia meletakkan ponselnya di samping, menarik napas panjang, lalu memandang keluar jendela. Rintik h
Sore ini, Bastian duduk di ruang kerjanya dengan ekspresi wajah yang gelap. Di atas mejanya, berkas-berkas yang menjadi bukti nyata perselingkuhan Maya dan penyelewengan dana yang dilakukan bersama Ronal terhampar dengan jelas. Semua bukti telah ia kumpulkan, dari laporan transaksi mencurigakan hingga foto-foto dan pesan-pesan pribadi yang tidak dapat disangkal lagi.Bastian mengepalkan tangannya, mencoba mengendalikan amarah yang bergejolak dalam dadanya. Namun, semakin ia melihat bukti-bukti itu, semakin sulit baginya untuk menahan diri. Pernikahan yang ia jaga dengan segala usahanya ternyata dihancurkan begitu saja oleh orang yang seharusnya menjadi pasangannya.“Cukup sudah,” gumamnya, suaranya penuh dengan kemarahan yang tertahan.Ia mengambil tumpukan dokumen itu, lalu melangkah cepat menuju kamar utama. Pintu kamar didorongnya dengan keras, membuat Maya yang sedang duduk di depan cermin berdandan terkejut.“Bastian?” Maya berbalik, menatap suaminya dengan bingung.Bastian tidak
Malam itu, suasana di rumah Rania begitu tenang. Suara tawa kecil Bintang menggema di ruang keluarga. Anak itu duduk di karpet sambil bermain balok susun, ditemani Rania yang sesekali tersenyum melihat polah lucunya. Ia tampak cantik dengan balutan baju santai berwarna lembut, rambutnya diikat rapi.Namun, ketenangan itu berubah saat suara klakson halus terdengar dari halaman depan. Rania menoleh ke arah pintu, bingung. “Siapa malam-malam begini?” gumamnya pelan.Tak lama kemudian, Rita muncul dari arah ruang makan. Ia melangkah ke arah pintu utama sambil memanggil Boby. “Pa, ada tamu rupanya. Kamu tahu siapa?”Boby, yang sedang membaca koran di sofa, melipat bacaannya dan ikut berjalan ke pintu. “Sudah kukatakan tadi. Satria bilang ingin mampir,” jawabnya santai.Rania mengernyitkan dahi. “Mas Satria?” tanyanya, nyaris tidak percaya.Rita menoleh dan tersenyum. “Iya, sayang. Kamu nggak dengar kami bicara tadi siang? Dia ingin berkunjung.”Belum sempat Rania menjawab, pintu terbuka, m
Malam sudah menjelang ketika Nora dan Prakas tiba di rumah mereka. Udara dingin mengiringi langkah keduanya yang berat. Meski lampu-lampu rumah menyala terang, suasana hati mereka gelap oleh kabar yang baru saja mereka terima tadi siang dari Bastian.Nora meletakkan tas tangannya di atas meja kecil di ruang tamu, lalu menghela napas panjang. “Pi,” panggilnya pelan, menoleh pada Prakas yang duduk di sofa dengan wajah serius. “Apa yang kita lakukan sekarang?”Prakas tidak langsung menjawab. Ia menatap lurus ke depan, pikirannya melayang ke berbagai kemungkinan yang bisa terjadi.“Pi?” Nora kembali memanggil, suaranya lebih pelan.Prakas menghela napas berat sebelum akhirnya menjawab. “Aku tidak tahu, Mi. Jujur saja, aku tidak pernah menyangka akan menghadapi situasi seperti ini.”Nora duduk di samping suaminya, menatap wajah pria yang sudah menemaninya selama puluhan tahun itu. “Masih jelas di ingatan kita, bagaimana dulu kita menolak Rania untuk menjadi bagian dari keluarga ini. Tapi s