Waktu sudah menunjukkan pukul sembilan pagi. Bastian terjaga, merasa ada yang ganjal pada dirinya. Tangan kanan pria itu segera menekan saklar lampu utama, membuat kamar yang temaram menjadi terang benderang.
Bastian menyibak selimut. Kaget, ada noda darah segar yang menempel di sprei ranjang yang saat ini ia duduki. Bastian memerhatikan sprei itu, mencoba mengingat kembali apa yang terjadi semalam.
Hanya beberapa detik, lalu pria itu segera berdiri dan merasa tidak peduli. Tapi tiba-tiba kakinya menginjak sesuatu sebuah benda bulat mirip gelang yang terbuat dari batu giok asli.
Bastian menggeser kakinya, mengambil benda yang sangat ia kenali itu. Ya, itu memang gelang. Gelang yang terbuat dari beberapa butir batu giok asli yang dipadu dengan rantai yang terbuat dari emas asli milik Rania. Gelang yang salah satu sisinya ada ukiran bergambar mahkota dengan corak yang khas. Sepertinya hanya Rania saja yang punya ukiran dengan corak demikian.
Bastian sangat tahu jika itu gelang milik Rania sebab dulu ia pernah bersama wanita itu dua tahun lamanya. Menjalin kasih hingga sesuatu pun terjadi, membuat hubungan mereka kandas di tengah jalan.
Bastian mengambil gelang itu, memasukkannya ke dalam saku jas yang ia gantung di dinding bangku yang ada di kamar itu. Kemudian pria itu berlalu ke kamar mandi, membersihkan diri dan pergi dari kamar hotel menuju kantor miliknya.
***
The Lion Hotel Jakarta.
Rania masih sibuk dengan layar komputernya. Sesekali ia melirik jam tangan dan jarum pendek di jam itu menunjukkan pukul sepuluh pagi. Wanita itu tidak sabar menunggu waktu istirahat siang, sebab ia ingin kembali ke hotel tempat ia mengikuti pelatihan, menanyakan ke staf hotel apakah cleaning service di hotel itu menemukan gelang miliknya.
“Rania, ke ruanganku sekarang!” ucap Bastian tiba-tiba. Pria itu baru saja datang dan menyentak konsentrasi Rania.
Rania mengangguk. Sungguh ia tidak nyaman saat ini. Apa lagi mulai saat ini, ia akan sering bertemu dengan Bastian. Hampir setiap hari.
Sebelumnya di kantor cabang, ia tidak terlalu sering melihat bosnya itu karena Bastian memang jarang berada di sana.
Rania bangkit dari duduknya, menekan langkah menuju ruangan direktur utama perusahaan itu. Sebuah hotel berbintang lima yang sangat bonafit di Jakarta.
“Permisi, Pak,” ucap Rania sopan.
“Duduk!” perintah Bastian dengan wajah tegas penuh kesombongan.
Rania berusaha tersenyum walau sebenarnya ia sangat enggan melakukan hal itu. Rania berjalan mendekat, lalu duduk di kursi yang berhadapan dengan Bastian.
Bastian menekan sebuah remot. Remot yang berfungsi untuk membuka tutup pintu secara otomatis, bahkan bisa membuka dan mengunci pintu secara otomatis juga. Bastian ingin memastikan kalau pintu itu sudah terkunci dengan aman.
“Ada apa anda memanggil saya, Pak?” tanya Rania, sopan. Masih membekas di otaknya wajah polos Bastian yang terlelap nikmat di kamar hotel tadi malam, namun berusaha ditepis oleh wanita itu.
Bastian hanya diam. Tatapannya sangat tajam seolah ingin menerkam wanita cantik yang kini duduk di hadapannya.
“Maaf, Pak?” ucap Rania. Ia sedikit mengernyit.
Bastian menghela napas. Ia ambil sesuatu dari dalam saku jasnya lalu ia lempar dengan lembut sebuah benda ke atas meja hingga berhenti tepat di hadapan Rania.
Rania terkejut melihat benda yang ada di hadapannya. Sebuah gelang yang sudah ia rawat dan jaga dengan baik selama ini. Gelang yang diberikan oleh ibunya sedari ia kecil.
“Dari mana anda mendapatkan gelang ini, Pak?” tanya Rania dengan senyum sumringah. Ia sangat bahagia, sebab gelang itu benar-benar sangat berharga baginya.
Bastian berdecak. Tampak emosi namun masih saja diam.
“Terima kasih sudah mengembalikan gelang ini. Apa ada lagi yang bisa saya lakukan, Pak? Jika tidak ada, saya akan kembali bekerja,” ucap Rania.
“Mengapa kamu melakukannya?” Tiba-tiba sebuah kalimat keluar dari bibir Bastian. Pria itu bahkan tidak menoleh sama sekali ke arah Rania.
Rania gelagapan. Ia tahu maksud pertanyaan Bastian. Wanita yang pintar bicara itu tiba-tiba saja kehilangan kata-kata.
“M—maaf, Pak. Ini semua hanya salah paham. Saya tidak tahu kenapa saya bisa berada di dalam kamar anda tadi malam. Sa—saya ... Saya tidak enak badan karena alergi.” Rania berucap seraya menunduk.
Bastian menghela napas, “Kamu tahu kalau saya akan menikah,” ucap Bastian.
“Iya, saya tahu ... Saya sungguh tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi semalam.” Rania tiba-tiba saja terdiam.
Bastian bangkit dari duduknya, berjalan perlahan lalu kini menyandarkan bokongnya di tepi meja tepat di samping Rania.
“Jangan sampai Maya tahu, atau kamu akan dapat masalah besar,” ucap Bastian.
“I—iya, saya akan pastikan kalau bu Maya atau siapa pun tidak akan tahu,” ucap Rania seraya tergagap.
Tiba-tiba saja Bastian memegang lengan kiri Rania, menarik wanita itu dengan kasar lalu menyandarkannya ke dinding ruangan.
“Pak, apa yang akan anda lakukan?” tanya Rania.
Bastian sama sekali tidak menjawab. Pria itu seketika mendaratkan bibirnya dengan kasar ke bibir Rania. Ia kulum bibir manis Rania dengan paksa.
“Auh, sakit!” lirih Rania seraya memegang bibirnya yang berdarah.
Ya, Bastian membuat bibir itu terluka. Bastian menggigitnya dengan kasar hingga menyisakan luka menganga di bibir cantik Rania.
Bastian menyentuh bibirnya sesaat, membersihkan sisa darah yang menempel di bibirnya. Pria itu seketika membetulkan jasnya, menekan kembali remot pintu dan pergi begitu saja meninggalkan ruangan itu.
Rania masih terpaku. Bibirnya terasa perih dan berdarah. Ia tidak tahu, kenapa Bastian tiba-tiba melakukan hal itu. Ia memang merindukan ciuman manis dari Bastian, tapi bukan ciuman yang seperti itu. Ciuman yang dirindukannya adalah ciuman penuh kelembutan yang sering mereka lakukan dulunya ketika mereka masih menjalin kasih. Ciuman penuh cinta.
Namun yang Rania dapatkan saat ini malah sebaliknya. Bastian menyakitinya, menciumnya dengan brutal dan membuat luka menganga di bibir Rania. Membuat Rania seolah tidak punya harga diri di depan Bastain.
Rania segera meninggalkan ruangan bos besarnya itu. Ia berlari menuju kamar mandi. Ia seka air mata dan juga bibirnya yang terluka. Ia marah dan kecewa dengan Bastian.
Kenapa kamu lakukan semua ini padaku, Tian? Apa salahku padamu? Bukankah kamu yang sudah memutuskan hubungan kita dulunya. Kamu yang meninggalkan aku dan memilih Maya. Lalu kenapa kamu melakukan semua ini kepadaku? Rania membatin seraya terisak.
Tiba-tiba saja seseorang masuk. Rania dengan cepat mencuci mukanya dan menyeka pipinya untuk menyembunyikan air mata yang tadinya mengalir tanpa bisa dicegah.
“Rania, bibir kamu kenapa?” tanya Inaya—rekan kerja Rania.
“Oh ini ... aku sariawan, berusaha memencetnya tapi nggak tahunya malah kena kuku dan jadinya luka,” bohong Rania.
“Ya Ampun, Rania ... Tajam sekali kukumu sehingga membuat luka robekan seperti itu. Mau aku ambilkan plester?” tawar Inaya.
“Tidak, aku nggak apa-apa kok. Aku mau ke ruangan dulu,” ucap Rania.
Inaya mengangguk. Wanita itu terus memerhatikan langkah kaki Rania. Setelah Rania menghilang dari pandangan, Inaya pun langsung menghubungi seseorang.
***
Flowerina Resto and Cafe.
Rania masuk ke resto itu, berjalan menuju sebuah meja. Di salah satu kursi, sudah duduk seorang wanita cantik yang dulunya sangat berarti bagi Rania. Namun sayang, kini wanita itu tidak lebih dari musuh.
“Ada apa kamu memanggilku ke sini?” tanya Rania. Kini ia sudah duduk di salah satu kursi tepat di depan Maya. Maya sengaja memanggilnya datang ke sana dan mengajaknya berbincang empat mata.
“Ada apa dengan bibirmu?” tanya Maya dengan tatapan sinis.
“Oh, ini ... Aku tidak sengaja melukainya sendiri. Kena kuku ketika aku ingin memencet sariawanku,” bohong Rania.
“Aku harap kamu tidak bohong.” Maya menatap ke dua netra Rania dengan tajam.
“Buat apa aku bohong?” balas Rania.
“Entahlah ... Rania, kamu tahukan kalau sebentar lagi aku akan menikah dengan Bastian. Dua minggu lagi aku jadi nyonya besar di keluarga Bastian.” Maya menatap Rania dengan tajam.
“Iya, aku tahu itu dan aku ucapkan selamat akan hal itu,” balas Rania.
“Jadi aku harap kamu jangan macam-macam terhadapku, Rania. Aku tahu, kamu dulu adalah mantan kekasihnya Bastian, namun itu dulu. Sekarang Bastian adalah milikku. Aku sudah bertunangan dengannya dan dua minggu lagi aku akan menikah dengan Bastian. Jadi aku harap, kamu jangan membuat gara-gara. Aku tidak akan segan-segan mencelakaimu jika kamu berani menggoda Bastian.” Maya mencoba mengancam.
“Apa maksudmu, Maya? Aku sama sekali tidak pernah menggoda Bastian. Lagi pula Bastian adalah masa laluku. Aku sudah melupakannya sejak lama, bahkan sejak ia memutuskan hubungan denganku dan lebih memilih kamu untuk melanjutkan hidupnya.” Rania memalingkan wajah sesaat.
“Baguslah kalau kamu mengerti. Aku hanya ingin mengingatkan. Jangan sampai nanti kamu menyesal karena sudah berani membuat masalah denganku.” Kembali Maya menatap tajam ke dua netra cokelat terang milik Rania.
Rania terdiam. Ia sadar kalau dirinya bukanlah apa-apa jika dibandingkan dengan Maya. Ia tidak punya kuasa apa pun. Berbeda dengan Maya yang merupakan anak seorang terpandang yang merupakan rekan bisnis keluarga Bastian. Apa pun yang ia inginkan, pasti bisa ia lakukan.
“Dua minggu lagi aku akan menikah dengan Bastian. Tolong kamu jangan mengacau di sana.” Maya berdiri, meninggalkan begitu saja minuman yang sudah ia pesan tanpa menyentuhnya.
Rania menghela napas. Ia tatap minuman yang ada di hadapannya yang sama sekali belum ia sentuh.
Maya mengancamku. Aku tahu ia tidak main-main dengan ancamannya. Ah, bagaimana kalau Maya tahu semalam aku tidur dengan tunangannya? Tidak, maya tidak boleh tahu. Karir dan reputasiku di kantor akan hancur jika Maya mengetahuinya. Rania membatin.
Rania bergegas meninggalkan resto itu. Sungguh, ia tidak ingin mendapat masalah karena pasti akan sangat berpengaruh untuk karirnya.
“Auh ....” Seorang wanita melenguh ketika seseorang tanpa sengaja menabraknya. Ia adalah salah satu tamu istimewa di hotel milik Bastian. Wanita itu dan suaminya—Boby—sedang menyewa kamar terbaik dan mahal di hotel itu selama mereka menginap di Jakarta.“Maaf, Bu ... Saya minta maaf, saya benar-benar tidak sengaja,” ucap Rania.“Tidak masalah,” jawab sang wanita seraya menekan langkah tanpa menoleh sedikit pun ke arah Rania.Rania membalik tubuhnya, melihat langkah kaki wanita yang sedang berjalan dengan anggun keluar dari hotel. Rania tersenyum, ia bahkan tidak tahu kenapa ia tersenyum. Walau tidak melihat dengan jelas siapa wanita yang baru saja ia tabrak, Rania merasa ada perasaan yang berbeda di hatinya tatkala berada dekat dengan wanita itu.Sepersekian detik kemudian, Rania tersentak. Ia kembali memasang wajah serius lalu menekan langkah menuju ruangannya.“Rania, kamu kemana saja? Tadi pak Bastian nyariin dan kelihatannya ia marah sama kamu,” ucap salah seorang rekan kerja Rani
Rania terduduk di kursi kerjanya. Masih terngiang jelas adegan serta posisi panas Bastian dan Maya di ruang direktur utama. Walau hanya sekilas, namun cukup membekas dan menyakitkan di hati Rania.“Ada apa, Ran?” tanya Laura—rekan kerja Rania sekaligus sahabat baik wanita itu.Rania bergidik, “A—aku nggak apa-apa kok. Tadi niatnya aku mau antar file ke ruangan pak Bastian untuk ditanda tangani. Tapi nggak tahunya di dalam ada bu Maya.”“Lho, bukannya tadi kamu lihat kalau bu Maya datang dan masuk ke ruangan itu? Kamu ketemu sama bu Maya’kan?” tanya Laura.“Iya tapi aku nggak nyangka kalau—. Ah, lupakan saja.” Rania mencoba menghindari Laura.“Rania, kamu mau kemana?” tanya Laura.Rania tidak menggubris. Ia terus melangkahkan kakinya berjalan menuju lift. Susah payah Rania menahan air mata, karena di dalam lift ia tidak sendirian. Ada beberapa orang lagi yang ada di sana, menuju lantai yang berbeda.Rania sendiri menuju lantai paling atas. Rooftop, itu adalah tempat tujuan wanita itu.
Rania kaget, tiba-tiba saja Bastian melempar dokumen yang baru saja ia berikan ke wajah wanita itu. Beberapa lembar dokumen berserakan di lantai, sementara wajah Rania sedikit perih karena Bastian melempar dokumen itu dengan cukup keras ke wajahnya. Ia terlihat sangat murka.Dengan cepat, Rania mengemasi lembar demi lembar dokumen yang kini sudah tida beraturan. Padahal ia sudah menyusunnya dengan sangat baik sebelumnya.“Kenapa anda melemparnya, Pak?” tanya Rania. Ia masih berusaha bersikap sopan. Bastian sendiri hanya memalingkan wajah tanpa mengucapkan sepatah kata pun kepadanya.“Kamu pikir kenapa?” Bastian bertanya balik. Pria itu masih enggan menatap wajah Rania.Rania menghela napas. Ia lihat lembar demi lembar yang baru saja ia kemas dari lantai. Rania terkejut, matanya terbelalak.“M—maaf, Pak. Ini salah paham. Sa—saya, bukan ini yang saya kerjakan tadi. Saya tidak mau menuduh, tapi bisa jadi ada yang menggantinya dengan dokumen ini. Sebelum mengantarnya ke sini, saya meletak
Jakarta, kediaman Maya.Maya tersenyum simpul membaca pesan singkat yang baru saja ia terima dari salah seorang anak buah Bastian. Rencananya berhasil dan tentu saja membuatnya sangat senang.“Maya, kamu sedang apa?” tanya seseorang. Ia adalah nyonya Ami—ibu kandung Maya.“Eh, mami. Ini lagi memerhatikan desain gaun yang akan aku pakai di nikahan nanti. Menurut mami gimana?” Maya memperlihatkan layar ponselnya ke arah Ami.“Bagus, tapi menurut mami ini terlalu terbuka.” Kening Ami sedikit mengernyit.“Justru model terbaru memang seperti ini, Mi. Mami ini terlalu kuno,” balas Maya.“Terserah kamu saja kalau begitu. Oiya, mami dengar mantan pacarnya Bastian dipindahkan ke kantor pusat. Apa benar?” tanya Ami.Maya meletakkan ponselnya di atas meja. Wanita itu bangkit dan berjalan menuju dinding kaca kamarnya.“Iya, Mi. Ia baru saja dipindahkan hari ini.
Sebuah tangan kekar terulur ke arah Rania. Rania menoleh ke atas, menatap seorang pria yang kini siap menawarkan bantuan.Rania membalas uluran tangan itu. Sang pria menarik tangan Rania dengan lembut hingga kini berdiri tepat di sampingnya.“Apa yang sudah kamu lakukan terhadap Rania?” tanya Farel. Sorot matanya sangat tajam menoleh ke arah Inaya. Ia sangat marah.“Saya tidak sengaja, Pak. Tadi ketika saya lewat, Rania juga tiba-tiba lewat,” bohong Inaya.“Jangan bohong kamu, Inaya. Saya melihat jelas apa yang sudah kamu lakukan pada Rania.” Farel berjalan mendekat. Pria itu tidak mampu menyembunyikan kemarahannya dari Inaya.“M-maafkan saya, Pak. Sa—saya.” Inaya gugup.“Ini peringatan terakhir buat kamu, Inaya. Kalau sampai nanti kamu menyakiti Rania lagi, saya tidak akan segan-segan memberikan surat peringatan untuk kamu. Saya bisa melaporkan kamu ke pak Bastian atas perbuatan buruk kamu pada karyawan lain. Kamu bisa dapat masalah nanti,” ancam Farel.Inaya sedikit gemetar. Tanpa me
Ballroom The Lion Hotel Jakarta.Ruangan besar di salah satu hotel bintang lima di Jakarta itu sudah di sulap menjadi ruang pesta yang sangat megah dan mewah. Dekorasi bernuansa putih dan sedikit aksen biru metalik—warna kesukaan Maya dan Bastian. Maya pecinta warna putih sementara Bastian pecinta warna biru metalik.Ada dua lantai di sana dan ke dua lantai dipenuhi dengan meja serta kursi yang bisa ditempati oleh tamu undangan yang datang. Ada beberapa suguhan juga yang terhidang di sana. Mulai dari masakan khas Indonesia, sampai masakan luar negeri pun ada.Di bagian depan, terdapat panggung yang berisi pelaminan dengan dekorasi mewah dan berkelas. Sudah duduk di sana Bastian dan Maya dengan pakaian pengantin yang sangat bersinar. Maya terlihat sangat anggun dan seksi dengan pakaian pengantin berwarna putih dengan belahan dada rendah, sementara Bastian tampak gagah dan tampan dengan jas modern dengan warna senada.Sepanjang acara, tidak pernah putus senyum terukir dari bibir ke duany
Will You marry me? Terngiang kalimat itu di telinga Rania. Sementara Farel masih menunggu jawaban wanita itu. Tangannya tampak pegal memegangi kotak perhiasan yang kini masih terpampang manis di depan Rania.“Bagaimana, Ran?” tanya Farel.Rania yang sedari tadi masih melongo, tiba-tiba saja tersenyum kecil. Ia raih tangan Farel lalu ia turunkan tangan itu dengan lembut tanpa mengambil kotak perhiasan yang diberikan Farel kepadanya.“Kenapa, Ran?” tanya Farel. Pria itu tentu sangat kecewa dengan sikap Rania yang secara tidak langsung sudah memberikan jawaban yang tidak diharapkan oleh pria itu.“Aku masih belum siap, Mas. Maaf ...,” jawab Rania.“Tapi kenapa?” Farel masih mendesak.“Aku tidak tahu. Sebaiknya kita jalani saja dulu. Nanti kalau aku sudah siap, aku sendiri yang akan memberitahumu.” Rania berusaha tersenyum.“Apa tidak ada sedikit saja perasaanmu terhadapku, Rania?” Farel menggenggam lembut tangan kanan Rania.“Jujur saja, perasaan itu memang ada. Tapi aku tidak berani memu
Satu bulan lebih berlalu semenjak kejadian malam menyedihkan itu. Malam di mana Rania kehilangan kesuciannya.Rania terjaga. Kali ini ia sendirian di kamar apartemen sewaannya sebab Jihan sudah beberapa hari dinas luar kota. Rania merasa sangat pusing, perutnya juga terasa mual.Belum sempat melirik ke jam dinding, Rania langsung turun dari ranjang dan berjalan cepat menuju kamar mandi. Ia muntah di sana. Memuntahkan udara ke westafel yang terdapat di dalam kamar mandi.Rania menyeka wajahnya dengan air. Ia tatap wajah cantiknya lewat pantulan cermin yang ada di hadapannya. Wajah itu tampak sangat pucat.Rania kembali menghidupkan kran air. Ia tampung air mengalir itu dengan ke dua telapak tangannya lalu kembali ia basuhkan ke wajahnya. Segar, itulah yang terasa saat ini.Merasa dirinya sudah sedikit lega, Rania pun beranjak masuk kembali ke dalam kamar. Ia dudukkan bokongnya di tepi ranjang lalu ia tatap jam dinding yang terdapat di dalam kamar itu. Benda bulat itu menunjukkan pukul e
Dua bulan berlalu, dan kehidupan Rania berubah drastis. Kini ia bukan lagi gadis sederhana yang hidup di Lembang, melainkan seorang wanita anggun yang memancarkan pesona luar biasa. Perubahan itu begitu kentara, dari caranya berbicara hingga kepercayaan diri yang perlahan tumbuh. Namun, selama dua bulan terakhir, Rania memilih menghindar dari dunia luar, termasuk dari Bastian. Ia memutuskan untuk fokus pada dirinya, mempersiapkan diri menjadi sosok yang baru.Hari ini adalah hari besar. Untuk pertama kalinya, Rania akan diperkenalkan kepada keluarga besar dan kolega Boby serta Rita. Sebuah acara istimewa digelar di ballroom mewah salah satu hotel bintang lima di Bandung.Sore itu, ballroom tersebut dipenuhi oleh dekorasi elegan bernuansa emas dan putih. Meja-meja bundar ditata sempurna, dikelilingi tamu undangan dari keluarga besar hingga kolega bisnis Boby. Semua hadir dengan antusias, tak sabar menyaksikan kejutan malam itu.Rania berdiri di balik pintu utama ballroom, mengenakan ga
Setelah keheningan sejenak yang terasa membebani di pikiran Rania, Rania pun akhirnya membuka suara. Ia pandangi wajah Rita dan Boby bergantian, mencoba meyakinkan hati kalau memang sudah saatnya ia jujur.Pada akhirnya, Rania menghela napas panjang. Ia tahu, cepat atau lambat, ia harus menceritakan semuanya. Setelah beberapa saat, ia akhirnya bersuara.“Bastian…” Rania memulai dengan suara yang gemetar. Ia menatap Rita dan Boby bergantian, mencari keberanian di mata mereka yang penuh perhatian. “Dia adalah… ayah kandung Bintang.”Rita yang tadinya tenang kini sedikit terkejut. Matanya membulat, tapi ia tetap menjaga ekspresinya agar tidak membuat Rania merasa terhakimi. Boby pun mengernyit, namun tetap sabar menunggu penjelasan lebih lanjut.“Hubungan kami dulu sangat rumit,” lanjut Rania dengan suara yang mulai bergetar. “Kami sempat berpacaran ketika masih kuliah. Kami sempat punya Impian untuk hi
Udara malam di taman belakang rumah Boby dan Rita terasa sejuk, dihiasi gemerlap bintang di langit yang cerah. Gemericik air dari kolam kecil di tengah taman memberikan ketenangan tersendiri. Rania duduk di salah satu kursi taman, ditemani secangkir cokelat hangat yang mengepul di tangannya. Boby dan Rita duduk di seberangnya, masing-masing dengan secangkir cokelat dan sepiring brownies di atas meja kecil di antara mereka.Setelah Bintang terlelap, mereka memutuskan ini waktu yang tepat untuk berbincang lebih dalam. Boby membuka percakapan dengan suara lembut namun penuh ketegasan.“Rania,” katanya, menatap putrinya dengan penuh haru, “Ada hal yang selama ini belum sempat kami ceritakan. Kami ingin kamu tahu apa yang sebenarnya terjadi dulu.”Rania memandang ayah kandungnya dengan ekspresi campur aduk. Ia tahu percakapan ini penting, namun ia tidak menyangka akan langsung membahas masa lalu.“Dulu,” Boby melanjutkan, &l
Jam sudah menunjukkan pukul tujuh malam ketika sebuah mobil SUV hitam berhenti perlahan di depan rumah kecil yang dulunya dihuni oleh Rania di Lembang. Lampu depan mobil itu memancar terang, menerangi halaman yang tampak sunyi. Dari dalam mobil, seorang pria bertubuh tegap dengan wajah yang memancarkan ketegasan turun. Itu adalah Bastian.Langkahnya mantap menuju pintu utama. Tangannya mengetuk dengan sopan, berharap suara ketukan itu akan memanggil seseorang dari dalam. Namun, alih-alih melihat Rania atau Cucu, seorang gadis muda yang tak dikenalnya membuka pintu.“Selamat malam, ada yang bisa saya bantu?” Gadis itu menyapa ramah, menatap Bastian dengan sedikit rasa heran.“Selamat malam,” Bastian menjawab sambil melirik ke dalam rumah yang terlihat berbeda dari yang ia ingat. “Rania dan Bintang ada di rumah?” tanyanya langsung.Gadis itu tersenyum kecil. “Oh, maaf, mbak Rania dan keluarganya sudah pindah ke Band
Setelah hari-hari penuh pertimbangan dan renungan, Rania akhirnya mantap dengan keputusannya. Pagi ini, ia, Bintang, dan Cucu bersiap meninggalkan rumah kecil mereka di Lembang untuk memulai babak baru di Bandung. Udara pagi Lembang terasa sejuk seperti biasa, namun ada rasa haru yang mengiringi kepergian mereka.Mobil SUV putih yang dikemudikan sopir pribadi Rita sudah menunggu di depan rumah. Tidak banyak barang yang mereka bawa, hanya koper kecil berisi pakaian dan beberapa barang penting. Rita sudah menyiapkan segalanya di rumah baru mereka, memastikan Rania dan Bintang tidak perlu repot membawa banyak hal.Mobil pick up milik Rania pun ikut menanti mereka. Mobil itu sudah penuh dengan barang-barang milik Bintang. Mainan baru yang sangat banyak. Tidak hanya dari nenek dan kakeknya, tapi juga dari Bastian. Awalnya Rita meminta agar barang-barang itu ditinggalkan saja, Rita akan belikan yang baru di Bandung. Namun Rania menolak, ia sudah terbiasa hidup sederhana. Jadi Rania tidak ma
Pagi ini, langit Lembang tampak gelap, awan-awan kelabu menggantung rendah, seolah siap menumpahkan air kapan saja. Saat mobil SUV putih yang membawa Rita dan Emma mendekati rumah Rania, hujan deras mulai turun, membasahi jalanan dan membuat suhu udara semakin dingin.“Bu, coat ini sudah saya siapkan,” kata Emma sambil menyerahkan coat tebal berwarna krem pada majikannya.“Terima kasih, Emma,” ucap Rita sambil tersenyum. Ia mengenakan coat itu dengan hati-hati. Udara Lembang memang menusuk, tapi semangat Rita untuk bertemu Rania dan Bintang menghangatkannya.Mobil berhenti tepat di depan rumah Rania. Sopir dengan sigap membuka payung besar untuk melindungi Rita dan Emma dari hujan lebat. Mereka berjalan menuju pintu rumah Rania, langkah-langkah mereka tergesa karena derasnya hujan.Cucu yang mendengar suara mobil langsung membuka pintu, menyambut mereka dengan wajah penuh senyum. “Bu Rita, silakan masuk. Maaf, cuaca kurang bersahabat,” ujar Cucu ramah, sambil menyingkirkan beberapa ge
Di Bandung, di sebuah kamar mewah yang terletak di lantai dua, Rita duduk di tepi ranjang dengan pikiran yang berlarian. Matanya memandang jendela kaca besar yang menghadap taman belakang, namun hatinya masih tertuju pada Rania dan Bintang. Ia mencoba memejamkan mata beberapa kali, tetapi bayangan wajah putrinya terus saja muncul di benaknya.“Masih belum bisa tidur?” Suara Boby terdengar lembut dari sisi lain ranjang.Rita menoleh dan menggeleng pelan. “Tidak, Mas. Aku masih tidak percaya semua ini nyata. Rania... Clarissa kita... dia begitu cantik. Perpaduan wajahmu dan wajahku. Aku tidak pernah menyangka dia akan tumbuh menjadi wanita yang begitu jelita.”Boby tersenyum kecil, mendekat dan duduk di samping Rita. “Itu artinya, perjuanganmu selama ini tidak sia-sia, Sayang. Doamu dijawab oleh Tuhan.”“Tapi aku masih rindu, Mas.” Suara Rita mulai bergetar. “Rasanya ingin kembali ke sana sekarang juga, melihat wajahnya, mendengar tawanya. Dan Bintang... oh, Mas, cucu kita begitu mengge
Malam yang cerah itu menghadirkan suasana hangat di restoran mewah yang berhiaskan lampu-lampu temaram. Meskipun udara Lembang tetap dingin menusuk, kehangatan keluarga yang kini berkumpul membuat malam itu terasa berbeda.Di meja bundar besar, Rania duduk di samping Cucu, sementara Boby dan Rita duduk berseberangan dengan mereka. Di samping Rania, Bintang tampak asyik dengan mainannya, duduk di kursi khusus bayi yang sengaja disiapkan oleh pihak restoran. Meja mereka dipenuhi berbagai hidangan mewah—dari steak daging sapi premium hingga makanan khas Indonesia yang diolah dengan sentuhan elegan.Rita tersenyum hangat sambil memandang Rania, lalu ia membuka percakapan. “Rania, malam ini kami hanya ingin merayakan momen indah ini. Momen di mana keluarga kita akhirnya bisa berkumpul kembali setelah sekian lama terpisah. Rasanya seperti mimpi.”Rania mengangguk pelan, masih berusaha menyesuaikan diri dengan kenyataan baru ini. “Terima kasih, Bu... untuk semuanya,” ujarnya dengan nada pela
Di ruang tamu yang sederhana itu, suasana hening kembali menyelimuti setelah momen haru yang baru saja terjadi. Cucu masih duduk menemani Rita dan Boby, sementara Rania memilih masuk ke kamarnya sejenak untuk menenangkan diri.Boby menghela napas panjang, lalu dengan nada rendah penuh rasa hormat, ia membuka percakapan. “Bu Cucu, kami benar-benar berterima kasih atas semua yang Ibu lakukan untuk Clarissa, untuk putri kami. Kalau bukan karena Ibu, saya tidak tahu apa yang akan terjadi padanya. Kami sangat bersyukur.”Cucu mengangguk pelan, mencoba tersenyum meski air mata mulai menggenang di pelupuk matanya. Ia menunduk, lalu dengan suara lirih berkata, “Saya senang Rania akhirnya menemukan kembali keluarga kandungnya. Tapi...” Ia terdiam sejenak, menahan isak yang mulai menyeruak, “saya takut kehilangan dia dan Bintang.”Kata-kata itu membuat hati Rita dan Boby tersentuh. Rita segera menggenggam tangan Cucu, menatapnya dengan mata berkaca-kaca. “Bu Cucu, tolong jangan berpikir seperti