Share

Luka di Bibir Rania

Penulis: NHOVIE EN
last update Terakhir Diperbarui: 2024-09-14 07:50:32

Waktu sudah menunjukkan pukul sembilan pagi. Bastian terjaga, merasa ada yang ganjal pada dirinya. Tangan kanan pria itu segera menekan saklar lampu utama, membuat kamar yang temaram menjadi terang benderang.

Bastian menyibak selimut. Kaget, ada noda darah segar yang menempel di sprei ranjang yang saat ini ia duduki. Bastian memerhatikan sprei itu, mencoba mengingat kembali apa yang terjadi semalam.

Hanya beberapa detik, lalu pria itu segera berdiri dan merasa tidak peduli. Tapi tiba-tiba kakinya menginjak sesuatu sebuah benda bulat mirip gelang yang terbuat dari batu giok asli.

Bastian menggeser kakinya, mengambil benda yang sangat ia kenali itu. Ya, itu memang gelang. Gelang yang terbuat dari beberapa butir batu giok asli yang dipadu dengan rantai yang terbuat dari emas asli milik Rania. Gelang yang salah satu sisinya ada ukiran bergambar mahkota dengan corak yang khas. Sepertinya hanya Rania saja yang punya ukiran dengan corak demikian.

Bastian sangat tahu jika itu gelang milik Rania sebab dulu ia pernah bersama wanita itu dua tahun lamanya. Menjalin kasih hingga sesuatu pun terjadi, membuat hubungan mereka kandas di tengah jalan.

Bastian mengambil gelang itu, memasukkannya ke dalam saku jas yang ia gantung di dinding bangku yang ada di kamar itu. Kemudian pria itu berlalu ke kamar mandi, membersihkan diri dan pergi dari kamar hotel menuju kantor miliknya.

***

The Lion Hotel Jakarta.

Rania masih sibuk dengan layar komputernya. Sesekali ia melirik jam tangan dan jarum pendek di jam itu menunjukkan pukul sepuluh pagi. Wanita itu tidak sabar menunggu waktu istirahat siang, sebab ia ingin kembali ke hotel tempat ia mengikuti pelatihan, menanyakan ke staf hotel apakah cleaning service di hotel itu menemukan gelang miliknya.

“Rania, ke ruanganku sekarang!” ucap Bastian tiba-tiba. Pria itu baru saja datang dan menyentak konsentrasi Rania.

Rania mengangguk. Sungguh ia tidak nyaman saat ini. Apa lagi mulai saat ini, ia akan sering bertemu dengan Bastian. Hampir setiap hari.

Sebelumnya di kantor cabang, ia tidak terlalu sering melihat bosnya itu karena Bastian memang jarang berada di sana.

Rania bangkit dari duduknya, menekan langkah menuju ruangan direktur utama perusahaan itu. Sebuah hotel berbintang lima yang sangat bonafit di Jakarta.

“Permisi, Pak,” ucap Rania sopan.

“Duduk!” perintah Bastian dengan wajah tegas penuh kesombongan.

Rania berusaha tersenyum walau sebenarnya ia sangat enggan melakukan hal itu. Rania berjalan mendekat, lalu duduk di kursi yang berhadapan dengan Bastian.

Bastian menekan sebuah remot. Remot yang berfungsi untuk membuka tutup pintu secara otomatis, bahkan bisa membuka dan mengunci pintu secara otomatis juga. Bastian ingin memastikan kalau pintu itu sudah terkunci dengan aman.

“Ada apa anda memanggil saya, Pak?” tanya Rania, sopan. Masih membekas di otaknya wajah polos Bastian yang terlelap nikmat di kamar hotel tadi malam, namun berusaha ditepis oleh wanita itu.

Bastian hanya diam. Tatapannya sangat tajam seolah ingin menerkam wanita cantik yang kini duduk di hadapannya.

“Maaf, Pak?” ucap Rania. Ia sedikit mengernyit.

Bastian menghela napas. Ia ambil sesuatu dari dalam saku jasnya lalu ia lempar dengan lembut sebuah benda ke atas meja hingga berhenti tepat di hadapan Rania.

Rania terkejut melihat benda yang ada di hadapannya. Sebuah gelang yang sudah ia rawat dan jaga dengan baik selama ini. Gelang yang diberikan oleh ibunya sedari ia kecil.

“Dari mana anda mendapatkan gelang ini, Pak?” tanya Rania dengan senyum sumringah. Ia sangat bahagia, sebab gelang itu benar-benar sangat berharga baginya.

Bastian berdecak. Tampak emosi namun masih saja diam.

“Terima kasih sudah mengembalikan gelang ini. Apa ada lagi yang bisa saya lakukan, Pak? Jika tidak ada, saya akan kembali bekerja,” ucap Rania.

“Mengapa kamu melakukannya?” Tiba-tiba sebuah kalimat keluar dari bibir Bastian. Pria itu bahkan tidak menoleh sama sekali ke arah Rania.

Rania gelagapan. Ia tahu maksud pertanyaan Bastian. Wanita yang pintar bicara itu tiba-tiba saja kehilangan kata-kata.

“M—maaf, Pak. Ini semua hanya salah paham. Saya tidak tahu kenapa saya bisa berada di dalam kamar anda tadi malam. Sa—saya ... Saya tidak enak badan karena alergi.” Rania berucap seraya menunduk.

Bastian menghela napas, “Kamu tahu kalau saya akan menikah,” ucap Bastian.

“Iya, saya tahu ... Saya sungguh tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi semalam.” Rania tiba-tiba saja terdiam.

Bastian bangkit dari duduknya, berjalan perlahan lalu kini menyandarkan bokongnya di tepi meja tepat di samping Rania.

“Jangan sampai Maya tahu, atau kamu akan dapat masalah besar,” ucap Bastian.

“I—iya, saya akan pastikan kalau bu Maya atau siapa pun tidak akan tahu,” ucap Rania seraya tergagap.

Tiba-tiba saja Bastian memegang lengan kiri Rania, menarik wanita itu dengan kasar lalu menyandarkannya ke dinding ruangan.

“Pak, apa yang akan anda lakukan?” tanya Rania.

Bastian sama sekali tidak menjawab. Pria itu seketika mendaratkan bibirnya dengan kasar ke bibir Rania. Ia kulum bibir manis Rania dengan paksa.

“Auh, sakit!” lirih Rania seraya memegang bibirnya yang berdarah.

Ya, Bastian membuat bibir itu terluka. Bastian menggigitnya dengan kasar hingga menyisakan luka menganga di bibir cantik Rania.

Bastian menyentuh bibirnya sesaat, membersihkan sisa darah yang menempel di bibirnya. Pria itu seketika membetulkan jasnya, menekan kembali remot pintu dan pergi begitu saja meninggalkan ruangan itu.

Rania masih terpaku. Bibirnya terasa perih dan berdarah. Ia tidak tahu, kenapa Bastian tiba-tiba melakukan hal itu. Ia memang merindukan ciuman manis dari Bastian, tapi bukan ciuman yang seperti itu. Ciuman yang dirindukannya adalah ciuman penuh kelembutan yang sering mereka lakukan dulunya ketika mereka masih menjalin kasih. Ciuman penuh cinta.

Namun yang Rania dapatkan saat ini malah sebaliknya. Bastian menyakitinya, menciumnya dengan brutal dan membuat luka menganga di bibir Rania. Membuat Rania seolah tidak punya harga diri di depan Bastain.

Rania segera meninggalkan ruangan bos besarnya itu. Ia berlari menuju kamar mandi. Ia seka air mata dan juga bibirnya yang terluka. Ia marah dan kecewa dengan Bastian.

Kenapa kamu lakukan semua ini padaku, Tian? Apa salahku padamu? Bukankah kamu yang sudah memutuskan hubungan kita dulunya. Kamu yang meninggalkan aku dan memilih Maya. Lalu kenapa kamu melakukan semua ini kepadaku?  Rania membatin seraya terisak.

Tiba-tiba saja seseorang masuk. Rania dengan cepat mencuci mukanya dan menyeka pipinya untuk menyembunyikan air mata yang tadinya mengalir tanpa bisa dicegah.

“Rania, bibir kamu kenapa?” tanya Inaya—rekan kerja Rania.

“Oh ini ... aku sariawan, berusaha memencetnya tapi nggak tahunya malah kena kuku dan jadinya luka,” bohong Rania.

“Ya Ampun, Rania ... Tajam sekali kukumu sehingga membuat luka robekan seperti itu. Mau aku ambilkan plester?” tawar Inaya.

“Tidak, aku nggak apa-apa kok. Aku mau ke ruangan dulu,” ucap Rania.

Inaya mengangguk. Wanita itu terus memerhatikan langkah kaki Rania. Setelah Rania menghilang dari pandangan, Inaya pun langsung menghubungi seseorang.

***

Flowerina Resto and Cafe.

Rania masuk ke resto itu, berjalan menuju sebuah meja. Di salah satu kursi, sudah duduk seorang wanita cantik yang dulunya sangat berarti bagi Rania. Namun sayang, kini wanita itu tidak lebih dari musuh.

“Ada apa kamu memanggilku ke sini?” tanya Rania. Kini ia sudah duduk di salah satu kursi tepat di depan Maya. Maya sengaja memanggilnya datang ke sana dan mengajaknya berbincang empat mata.

“Ada apa dengan bibirmu?” tanya Maya dengan tatapan sinis.

“Oh, ini ... Aku tidak sengaja melukainya sendiri. Kena kuku ketika aku ingin memencet sariawanku,” bohong Rania.

“Aku harap kamu tidak bohong.” Maya menatap ke dua netra Rania dengan tajam.

“Buat apa aku bohong?” balas Rania.

“Entahlah ... Rania, kamu tahukan kalau sebentar lagi aku akan menikah dengan Bastian. Dua minggu lagi aku jadi nyonya besar di keluarga Bastian.” Maya menatap Rania dengan tajam.

“Iya, aku tahu itu dan aku ucapkan selamat akan hal itu,” balas Rania.

“Jadi aku harap kamu jangan macam-macam terhadapku, Rania. Aku tahu, kamu dulu adalah mantan kekasihnya Bastian, namun itu dulu. Sekarang Bastian adalah milikku. Aku sudah bertunangan dengannya dan dua minggu lagi aku akan menikah dengan Bastian. Jadi aku harap, kamu jangan membuat gara-gara. Aku tidak akan segan-segan mencelakaimu jika kamu berani menggoda Bastian.” Maya mencoba mengancam.

“Apa maksudmu, Maya? Aku sama sekali tidak pernah menggoda Bastian. Lagi pula Bastian adalah masa laluku. Aku sudah melupakannya sejak lama, bahkan sejak ia memutuskan hubungan denganku dan lebih memilih kamu untuk melanjutkan hidupnya.” Rania memalingkan wajah sesaat.

“Baguslah kalau kamu mengerti. Aku hanya ingin mengingatkan. Jangan sampai nanti kamu menyesal karena sudah berani membuat masalah denganku.” Kembali Maya menatap tajam ke dua netra cokelat terang milik Rania.

Rania terdiam. Ia sadar kalau dirinya bukanlah apa-apa jika dibandingkan dengan Maya. Ia tidak punya kuasa apa pun. Berbeda dengan Maya yang merupakan anak seorang terpandang yang merupakan rekan bisnis keluarga Bastian. Apa pun yang ia inginkan, pasti bisa ia lakukan.

“Dua minggu lagi aku akan menikah dengan Bastian. Tolong kamu jangan mengacau di sana.” Maya berdiri, meninggalkan begitu saja minuman yang sudah ia pesan tanpa menyentuhnya.

Rania menghela napas. Ia tatap minuman yang ada di hadapannya yang sama sekali belum ia sentuh.

Maya mengancamku. Aku tahu ia tidak main-main dengan ancamannya. Ah, bagaimana kalau Maya tahu semalam aku tidur dengan tunangannya? Tidak, maya tidak boleh tahu. Karir dan reputasiku di kantor akan hancur jika Maya mengetahuinya. Rania membatin.

Rania bergegas meninggalkan resto itu. Sungguh, ia tidak ingin mendapat masalah karena pasti akan sangat berpengaruh untuk karirnya.

Komen (30)
goodnovel comment avatar
Wiediajheng
Ya ampun mayaaa.. jika emang kamu yakin Bastian cinta kamu dan ingin menikah Ama kamu Kenapa pulaakk kamu harus nganc4m2 Rania segala... Takut kamu yaa ditinggalkan Bastian..
goodnovel comment avatar
Wiediajheng
Maksud Bastian apa tuh... Kok nyiuuuum Rania trus dilukain gitu..
goodnovel comment avatar
Endah Spy
j4hat ih si Bastian ngapain juga pakai bikin luka di bibir Rania, nggak perlu bersikap kasar seperti itu napa sih! itu juga si Maya, main ngancam2 si Rania .. dih, kenapa weh? siapa jg yang merebut Bastian, asal kamu tahu aja kalo bastian dan rania malah dah tidur bareng, pasti bakalan reog kamu..
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

  • Menjadi Ibu Untuk Anak Sang Miliarder   Ancaman Maya

    “Auh ....” Seorang wanita melenguh ketika seseorang tanpa sengaja menabraknya. Ia adalah salah satu tamu istimewa di hotel milik Bastian. Wanita itu dan suaminya—Boby—sedang menyewa kamar terbaik dan mahal di hotel itu selama mereka menginap di Jakarta.“Maaf, Bu ... Saya minta maaf, saya benar-benar tidak sengaja,” ucap Rania.“Tidak masalah,” jawab sang wanita seraya menekan langkah tanpa menoleh sedikit pun ke arah Rania.Rania membalik tubuhnya, melihat langkah kaki wanita yang sedang berjalan dengan anggun keluar dari hotel. Rania tersenyum, ia bahkan tidak tahu kenapa ia tersenyum. Walau tidak melihat dengan jelas siapa wanita yang baru saja ia tabrak, Rania merasa ada perasaan yang berbeda di hatinya tatkala berada dekat dengan wanita itu.Sepersekian detik kemudian, Rania tersentak. Ia kembali memasang wajah serius lalu menekan langkah menuju ruangannya.“Rania, kamu kemana saja? Tadi pak Bastian nyariin dan kelihatannya ia marah sama kamu,” ucap salah seorang rekan kerja Rani

    Terakhir Diperbarui : 2024-09-14
  • Menjadi Ibu Untuk Anak Sang Miliarder   Spot Penuh Kenangan

    Rania terduduk di kursi kerjanya. Masih terngiang jelas adegan serta posisi panas Bastian dan Maya di ruang direktur utama. Walau hanya sekilas, namun cukup membekas dan menyakitkan di hati Rania.“Ada apa, Ran?” tanya Laura—rekan kerja Rania sekaligus sahabat baik wanita itu.Rania bergidik, “A—aku nggak apa-apa kok. Tadi niatnya aku mau antar file ke ruangan pak Bastian untuk ditanda tangani. Tapi nggak tahunya di dalam ada bu Maya.”“Lho, bukannya tadi kamu lihat kalau bu Maya datang dan masuk ke ruangan itu? Kamu ketemu sama bu Maya’kan?” tanya Laura.“Iya tapi aku nggak nyangka kalau—. Ah, lupakan saja.” Rania mencoba menghindari Laura.“Rania, kamu mau kemana?” tanya Laura.Rania tidak menggubris. Ia terus melangkahkan kakinya berjalan menuju lift. Susah payah Rania menahan air mata, karena di dalam lift ia tidak sendirian. Ada beberapa orang lagi yang ada di sana, menuju lantai yang berbeda.Rania sendiri menuju lantai paling atas. Rooftop, itu adalah tempat tujuan wanita itu.

    Terakhir Diperbarui : 2024-09-14
  • Menjadi Ibu Untuk Anak Sang Miliarder   Topeng Inaya

    Rania kaget, tiba-tiba saja Bastian melempar dokumen yang baru saja ia berikan ke wajah wanita itu. Beberapa lembar dokumen berserakan di lantai, sementara wajah Rania sedikit perih karena Bastian melempar dokumen itu dengan cukup keras ke wajahnya. Ia terlihat sangat murka.Dengan cepat, Rania mengemasi lembar demi lembar dokumen yang kini sudah tida beraturan. Padahal ia sudah menyusunnya dengan sangat baik sebelumnya.“Kenapa anda melemparnya, Pak?” tanya Rania. Ia masih berusaha bersikap sopan. Bastian sendiri hanya memalingkan wajah tanpa mengucapkan sepatah kata pun kepadanya.“Kamu pikir kenapa?” Bastian bertanya balik. Pria itu masih enggan menatap wajah Rania.Rania menghela napas. Ia lihat lembar demi lembar yang baru saja ia kemas dari lantai. Rania terkejut, matanya terbelalak.“M—maaf, Pak. Ini salah paham. Sa—saya, bukan ini yang saya kerjakan tadi. Saya tidak mau menuduh, tapi bisa jadi ada yang menggantinya dengan dokumen ini. Sebelum mengantarnya ke sini, saya meletak

    Terakhir Diperbarui : 2024-09-14
  • Menjadi Ibu Untuk Anak Sang Miliarder   Pernyataan Cinta

    Jakarta, kediaman Maya.Maya tersenyum simpul membaca pesan singkat yang baru saja ia terima dari salah seorang anak buah Bastian. Rencananya berhasil dan tentu saja membuatnya sangat senang.“Maya, kamu sedang apa?” tanya seseorang. Ia adalah nyonya Ami—ibu kandung Maya.“Eh, mami. Ini lagi memerhatikan desain gaun yang akan aku pakai di nikahan nanti. Menurut mami gimana?” Maya memperlihatkan layar ponselnya ke arah Ami.“Bagus, tapi menurut mami ini terlalu terbuka.” Kening Ami sedikit mengernyit.“Justru model terbaru memang seperti ini, Mi. Mami ini terlalu kuno,” balas Maya.“Terserah kamu saja kalau begitu. Oiya, mami dengar mantan pacarnya Bastian dipindahkan ke kantor pusat. Apa benar?” tanya Ami.Maya meletakkan ponselnya di atas meja. Wanita itu bangkit dan berjalan menuju dinding kaca kamarnya.“Iya, Mi. Ia baru saja dipindahkan hari ini.

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-14
  • Menjadi Ibu Untuk Anak Sang Miliarder   Permintaan Inaya?

    Sebuah tangan kekar terulur ke arah Rania. Rania menoleh ke atas, menatap seorang pria yang kini siap menawarkan bantuan.Rania membalas uluran tangan itu. Sang pria menarik tangan Rania dengan lembut hingga kini berdiri tepat di sampingnya.“Apa yang sudah kamu lakukan terhadap Rania?” tanya Farel. Sorot matanya sangat tajam menoleh ke arah Inaya. Ia sangat marah.“Saya tidak sengaja, Pak. Tadi ketika saya lewat, Rania juga tiba-tiba lewat,” bohong Inaya.“Jangan bohong kamu, Inaya. Saya melihat jelas apa yang sudah kamu lakukan pada Rania.” Farel berjalan mendekat. Pria itu tidak mampu menyembunyikan kemarahannya dari Inaya.“M-maafkan saya, Pak. Sa—saya.” Inaya gugup.“Ini peringatan terakhir buat kamu, Inaya. Kalau sampai nanti kamu menyakiti Rania lagi, saya tidak akan segan-segan memberikan surat peringatan untuk kamu. Saya bisa melaporkan kamu ke pak Bastian atas perbuatan buruk kamu pada karyawan lain. Kamu bisa dapat masalah nanti,” ancam Farel.Inaya sedikit gemetar. Tanpa me

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-16
  • Menjadi Ibu Untuk Anak Sang Miliarder   Will You Marry Me?

    Ballroom The Lion Hotel Jakarta.Ruangan besar di salah satu hotel bintang lima di Jakarta itu sudah di sulap menjadi ruang pesta yang sangat megah dan mewah. Dekorasi bernuansa putih dan sedikit aksen biru metalik—warna kesukaan Maya dan Bastian. Maya pecinta warna putih sementara Bastian pecinta warna biru metalik.Ada dua lantai di sana dan ke dua lantai dipenuhi dengan meja serta kursi yang bisa ditempati oleh tamu undangan yang datang. Ada beberapa suguhan juga yang terhidang di sana. Mulai dari masakan khas Indonesia, sampai masakan luar negeri pun ada.Di bagian depan, terdapat panggung yang berisi pelaminan dengan dekorasi mewah dan berkelas. Sudah duduk di sana Bastian dan Maya dengan pakaian pengantin yang sangat bersinar. Maya terlihat sangat anggun dan seksi dengan pakaian pengantin berwarna putih dengan belahan dada rendah, sementara Bastian tampak gagah dan tampan dengan jas modern dengan warna senada.Sepanjang acara, tidak pernah putus senyum terukir dari bibir ke duany

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-17
  • Menjadi Ibu Untuk Anak Sang Miliarder   Malam Pertama

    Will You marry me? Terngiang kalimat itu di telinga Rania. Sementara Farel masih menunggu jawaban wanita itu. Tangannya tampak pegal memegangi kotak perhiasan yang kini masih terpampang manis di depan Rania.“Bagaimana, Ran?” tanya Farel.Rania yang sedari tadi masih melongo, tiba-tiba saja tersenyum kecil. Ia raih tangan Farel lalu ia turunkan tangan itu dengan lembut tanpa mengambil kotak perhiasan yang diberikan Farel kepadanya.“Kenapa, Ran?” tanya Farel. Pria itu tentu sangat kecewa dengan sikap Rania yang secara tidak langsung sudah memberikan jawaban yang tidak diharapkan oleh pria itu.“Aku masih belum siap, Mas. Maaf ...,” jawab Rania.“Tapi kenapa?” Farel masih mendesak.“Aku tidak tahu. Sebaiknya kita jalani saja dulu. Nanti kalau aku sudah siap, aku sendiri yang akan memberitahumu.” Rania berusaha tersenyum.“Apa tidak ada sedikit saja perasaanmu terhadapku, Rania?” Farel menggenggam lembut tangan kanan Rania.“Jujur saja, perasaan itu memang ada. Tapi aku tidak berani memu

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-18
  • Menjadi Ibu Untuk Anak Sang Miliarder   Kabar Mengejutkan

    Satu bulan lebih berlalu semenjak kejadian malam menyedihkan itu. Malam di mana Rania kehilangan kesuciannya.Rania terjaga. Kali ini ia sendirian di kamar apartemen sewaannya sebab Jihan sudah beberapa hari dinas luar kota. Rania merasa sangat pusing, perutnya juga terasa mual.Belum sempat melirik ke jam dinding, Rania langsung turun dari ranjang dan berjalan cepat menuju kamar mandi. Ia muntah di sana. Memuntahkan udara ke westafel yang terdapat di dalam kamar mandi.Rania menyeka wajahnya dengan air. Ia tatap wajah cantiknya lewat pantulan cermin yang ada di hadapannya. Wajah itu tampak sangat pucat.Rania kembali menghidupkan kran air. Ia tampung air mengalir itu dengan ke dua telapak tangannya lalu kembali ia basuhkan ke wajahnya. Segar, itulah yang terasa saat ini.Merasa dirinya sudah sedikit lega, Rania pun beranjak masuk kembali ke dalam kamar. Ia dudukkan bokongnya di tepi ranjang lalu ia tatap jam dinding yang terdapat di dalam kamar itu. Benda bulat itu menunjukkan pukul e

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-21

Bab terbaru

  • Menjadi Ibu Untuk Anak Sang Miliarder   Keputusan Berat

    Ruangan rumah sakit dipenuhi keheningan yang mencekam. Jam dinding menunjukkan pukul dua siang ketika pintu kamar terbuka dan seorang dokter spesialis masuk dengan raut wajah serius. Semua mata langsung tertuju padanya.Dokter itu berjalan mendekati ranjang tempat Bintang terbaring lemah. Ia memeriksa kondisi bocah itu dengan seksama, mencatat beberapa hal di berkasnya sebelum akhirnya menatap seluruh keluarga yang berkumpul di dalam ruangan.“Saya ingin membicarakan hasil pemeriksaan terbaru Bintang,” kata dokter dengan suara tenang namun tegas.Rania menggenggam tangan kecil putranya yang terasa dingin. Hatinya berdebar kencang. Begitu pula dengan Rita, Boby, Nora, Prakas, dan tentu saja Bastian yang berdiri dengan wajah tegang di sudut ruangan.Dokter menarik napas dalam, lalu berkata, “Hasil menunjukkan bahwa Bintang mengalami gagal hati akut. Kondisinya cukup serius, dan kami harus bertindak cepat untuk menyelamatkannya.”Ruangan kembali sunyi. Pernyataan itu seperti petir di sia

  • Menjadi Ibu Untuk Anak Sang Miliarder   Suasana Yang Berbeda

    Pagi itu, udara rumah sakit masih terasa dingin. Rita dan Boby tiba lebih awal dari biasanya, membawa sekantong penuh buah segar dan makanan untuk Rania. Keduanya berjalan menuju kamar tempat Bintang dirawat dengan hati yang dipenuhi kecemasan.Saat mereka masuk, mata mereka langsung tertuju pada sosok Bastian yang tertidur di sofa dengan posisi yang terlihat tidak nyaman. Tubuhnya sedikit membungkuk, kepalanya bertumpu pada lengannya, dan nafasnya terdengar teratur namun lelah. Selimut tipis yang diberikan perawat tadi malam masih membungkus tubuhnya.Rania yang sedang duduk di tepi tempat tidur Bintang, menoleh dan tersenyum lemah melihat kedua orang tuanya.“Dia tidak tidur semalaman,” bisik Rania, sebelum mereka sempat bertanya.Rita menghela napas panjang. Meski dalam hatinya masih ada sedikit ganjalan terhadap Bastian, ia tidak bisa menyangkal bahwa lelaki itu benar-benar peduli terhadap anaknya.“Bagaimana keadaan Bintang?” tanya Boby, suaranya lirih.Rania menatap buah hatinya

  • Menjadi Ibu Untuk Anak Sang Miliarder   Bersama-sama Menjaga Bintang

    Satria berdiri di sudut ruangan, memperhatikan bagaimana Bastian duduk di samping tempat tidur Bintang, menggenggam tangan kecilnya dengan penuh kepedulian. Ada sesuatu dalam tatapan Bastian—ketulusan, ketakutan, sekaligus rasa tanggung jawab yang begitu besar. Hal yang selama ini Satria ingin berikan untuk Rania dan Bintang, namun nyatanya, dia hanya orang luar dalam kisah ini.Ia menghela napas panjang. Melawan perasaannya sendiri, ia akhirnya memilih untuk mundur. Untuk saat ini, Bintang memang membutuhkan orang tua kandungnya. Tidak ada ruang untuknya di sini. Dengan langkah pelan, ia mendekati Rita dan Boby yang masih berdiri di dekat pintu.“Tante, Om... Aku pamit dulu,” katanya dengan suara rendah.Rita menatapnya dengan sorot mata penuh pengertian. “Terima kasih sudah datang, Satria. Kami sangat menghargainya.”Satria tersenyum tipis. “Tidak masalah, Tante. Jika ada yang bisa aku bantu, aku selalu siap.”Boby menepuk pundaknya dengan ringan, tanda penghormatan dan terima kasih

  • Menjadi Ibu Untuk Anak Sang Miliarder   Butuh Transplantasi?

    Suasana di rumah sakit masih dipenuhi kecemasan. Setelah diputuskan untuk dirawat inap, Bintang kini berada di kamar VVIP dengan perawatan terbaik. Monitor di samping tempat tidurnya terus berbunyi pelan, menampilkan angka-angka yang mengukur kondisi tubuhnya. Rania tak bergeming dari sisi putranya, menggenggam tangan mungil itu dengan erat. Di wajahnya tergambar kelelahan, namun ia tak ingin pergi barang sejenak pun.Di ruang tunggu rumah sakit, Prakas dan Nora berdiri dengan gelisah. Sesekali, Prakas melirik jam tangannya, menanti kedatangan Bastian yang sudah dalam perjalanan dari Singapura. Nora memeluk dirinya sendiri, berusaha menenangkan diri meski hatinya terus bergetar memikirkan cucunya.Tak lama, langkah cepat terdengar dari arah pintu masuk. Bastian muncul dengan wajah yang penuh kecemasan, masih mengenakan pakaian dari penerbangannya yang terburu-buru. Matanya langsung mencari kedua orang tuanya. Begitu melihat mereka, ia berjalan cepat dan langsung bertanya,“Mami, Papi!

  • Menjadi Ibu Untuk Anak Sang Miliarder   Diagnosa Yang Mengejutkan

    Di lorong rumah sakit yang terasa begitu dingin, Nora dan Prakas berjalan mendekati Rita dan Boby. Ekspresi wajah mereka menyiratkan kekhawatiran yang mendalam. Sebagai orang tua Bastian, mereka memang harus menjaga jarak agar tidak terlalu mencolok. Namun, saat ini, hati mereka benar-benar tak tenang melihat kondisi Bintang yang terbaring lemah di ruang IGD.“Rita... Boby...” suara Nora bergetar saat berbicara, matanya yang mulai berkaca-kaca menatap penuh simpati. “Kami sangat prihatin dengan kondisi Bintang. Apa yang sebenarnya terjadi?”Boby menarik napas panjang, seolah berusaha menahan emosinya yang sudah meluap-luap sejak tadi. Sementara itu, Rita hanya mampu mengusap air matanya yang terus mengalir. “Kami masih menunggu hasil lab,” ucapnya dengan suara lirih. “Dokter masih melakukan berbagai pemeriksaan untuk memastikan penyebabnya.”Prakas menatap Rita dan Boby dengan penuh empati. Ia ingin sekali mengatakan bahwa Bintang bukan hanya cucu mereka, tetapi juga cucu kandungnya s

  • Menjadi Ibu Untuk Anak Sang Miliarder   Bintang Tiba-Tiba Pingsan

    Langit biru cerah menghiasi pagi yang penuh sukacita di rumah Rania. Halaman yang luas telah disulap menjadi arena pesta bertema karakter Tayo, kesukaan Bintang. Balon berwarna biru, kuning, dan merah bergantungan di setiap sudut, sementara panggung kecil dihiasi dengan ilustrasi bus-bus kecil yang tersenyum ceria. Lagu tema Tayo diputar, menciptakan suasana riang di antara anak-anak yang berlarian dengan penuh kegembiraan.“Selamat ulang tahun, Bintang!” teriak para tamu kecil sambil bertepuk tangan. Bintang, dengan baju kaos bergambar Tayo dan celana jeans kecilnya, tertawa senang saat Rania, ibunya, menggendongnya ke atas panggung.Rania menatap putranya dengan penuh kebahagiaan. Setiap detik pertumbuhan Bintang adalah keajaiban baginya. Anak kecil yang ia perjuangkan seorang diri tanpa seorang suami, kini sudah tumbuh besar dan sehat.“Terima kasih sudah datang, semuanya! Hari ini kita merayakan ulang tahun Bintang yang ke-3. Doakan dia tumbuh menjadi anak yang kuat dan bahagia, y

  • Menjadi Ibu Untuk Anak Sang Miliarder   Hadiah Berharga Dari Nora

    Usai acara ulang tahun, Rania berdiri di sudut ruangan, berbincang santai dengan dua rekannya. Sorot matanya lelah, namun senyumnya tetap terjaga untuk menghormati tamu yang hadir. Tiba-tiba, Nora menghampirinya.“Permisi, Rania,” sapa Nora dengan suara pelan namun penuh ketegasan. “Bisa bicara sebentar?”Rania menoleh, sedikit terkejut melihat Nora berdiri di hadapannya. Ia mengangguk pelan. “Tentu, Bu.”Mereka berjalan ke sudut ruangan yang lebih sepi, menjauh dari keramaian. Lampu redup menciptakan bayangan lembut di dinding, menambah kesan intim pada percakapan mereka.“Ada apa?” tanya Rania, suaranya tenang namun penuh kewaspadaan.Nora menarik napas panjang sebelum berbicara. “Rania, aku hanya ingin meminta maaf. Aku tahu mungkin ini bukan waktu yang tepat, tapi aku tak ingin menunda lebih lama. Aku minta maaf jika dulu aku atau keluarga kami pernah menyakitimu.”Rania terdiam

  • Menjadi Ibu Untuk Anak Sang Miliarder   Mendadak Dilamar

    Lampu-lampu kristal berkilauan memantulkan cahaya lembut di seluruh ruangan mewah hotel bintang lima di pusat kota Bandung. Aroma bunga mawar dan lili memenuhi udara, menciptakan suasana elegan yang memanjakan indera. Para tamu berpakaian formal berdatangan, berjalan di atas karpet merah yang membentang dari pintu masuk hingga ke aula utama. Suara musik orkestra mengalun lembut, menambah kemewahan pesta ulang tahun Rania yang ke-29.Rania berdiri di tengah aula, mengenakan gaun berwarna merah marun yang membalut tubuhnya dengan sempurna. Senyumnya memancarkan kehangatan, meski hatinya berdebar karena momen yang penuh makna ini. Di sampingnya, Bintang, putranya yang berusia dua tahun, tampak menggemaskan dalam setelan kecil berwarna putih dengan dasi kupu-kupu hitam. Matanya yang jernih menyorotkan keceriaan polos seorang anak kecil.Boby dan Rita—orang tua kandung Rania—berdiri dengan penuh kebanggaan di sisi mereka. Boby mengenakan setelan jas hitam klasik, sementara Rita tampil angg

  • Menjadi Ibu Untuk Anak Sang Miliarder   Rencana Nora

    Malam itu begitu sunyi di taman belakang rumah megah milik Prakas dan Nora. Lampu-lampu taman yang redup memancarkan cahaya hangat di antara dedaunan yang bergerak pelan tertiup angin malam. Bastian duduk di bangku kayu tua, menatap kosong ke arah kolam kecil yang tenang. Wajahnya tampak lelah, matanya dipenuhi bayang-bayang masa lalu yang sulit dihapus.Tak lama kemudian, Nora datang menghampiri, membawa secangkir kopi panas di tangannya. Ia duduk di samping putranya tanpa mengucapkan sepatah kata pun, hanya meletakkan kopi di meja kecil di depan mereka. Keheningan menyelimuti sejenak sebelum Nora akhirnya membuka suara dengan lembut.“Kopi hangat selalu bisa menenangkan pikiran yang kacau,” katanya, mencoba mencairkan suasana.Bastian menghela napas, menundukkan kepala. “Terima kasih, Mami,” jawabnya pelan tanpa menyentuh kopi itu.Nora menatap putranya dengan penuh kasih. “Bastian, sudah berapa lama kamu duduk di sini, merenung tanpa arah? Apa kamu pikir dengan begitu semua masalah

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status