Waktu sudah menunjukkan pukul sembilan pagi. Bastian terjaga, merasa ada yang ganjal pada dirinya. Tangan kanan pria itu segera menekan saklar lampu utama, membuat kamar yang temaram menjadi terang benderang.
Bastian menyibak selimut. Kaget, ada noda darah segar yang menempel di sprei ranjang yang saat ini ia duduki. Bastian memerhatikan sprei itu, mencoba mengingat kembali apa yang terjadi semalam.
Hanya beberapa detik, lalu pria itu segera berdiri dan merasa tidak peduli. Tapi tiba-tiba kakinya menginjak sesuatu sebuah benda bulat mirip gelang yang terbuat dari batu giok asli.
Bastian menggeser kakinya, mengambil benda yang sangat ia kenali itu. Ya, itu memang gelang. Gelang yang terbuat dari beberapa butir batu giok asli yang dipadu dengan rantai yang terbuat dari emas asli milik Rania. Gelang yang salah satu sisinya ada ukiran bergambar mahkota dengan corak yang khas. Sepertinya hanya Rania saja yang punya ukiran dengan corak demikian.
Bastian sangat tahu jika itu gelang milik Rania sebab dulu ia pernah bersama wanita itu dua tahun lamanya. Menjalin kasih hingga sesuatu pun terjadi, membuat hubungan mereka kandas di tengah jalan.
Bastian mengambil gelang itu, memasukkannya ke dalam saku jas yang ia gantung di dinding bangku yang ada di kamar itu. Kemudian pria itu berlalu ke kamar mandi, membersihkan diri dan pergi dari kamar hotel menuju kantor miliknya.
***
The Lion Hotel Jakarta.
Rania masih sibuk dengan layar komputernya. Sesekali ia melirik jam tangan dan jarum pendek di jam itu menunjukkan pukul sepuluh pagi. Wanita itu tidak sabar menunggu waktu istirahat siang, sebab ia ingin kembali ke hotel tempat ia mengikuti pelatihan, menanyakan ke staf hotel apakah cleaning service di hotel itu menemukan gelang miliknya.
“Rania, ke ruanganku sekarang!” ucap Bastian tiba-tiba. Pria itu baru saja datang dan menyentak konsentrasi Rania.
Rania mengangguk. Sungguh ia tidak nyaman saat ini. Apa lagi mulai saat ini, ia akan sering bertemu dengan Bastian. Hampir setiap hari.
Sebelumnya di kantor cabang, ia tidak terlalu sering melihat bosnya itu karena Bastian memang jarang berada di sana.
Rania bangkit dari duduknya, menekan langkah menuju ruangan direktur utama perusahaan itu. Sebuah hotel berbintang lima yang sangat bonafit di Jakarta.
“Permisi, Pak,” ucap Rania sopan.
“Duduk!” perintah Bastian dengan wajah tegas penuh kesombongan.
Rania berusaha tersenyum walau sebenarnya ia sangat enggan melakukan hal itu. Rania berjalan mendekat, lalu duduk di kursi yang berhadapan dengan Bastian.
Bastian menekan sebuah remot. Remot yang berfungsi untuk membuka tutup pintu secara otomatis, bahkan bisa membuka dan mengunci pintu secara otomatis juga. Bastian ingin memastikan kalau pintu itu sudah terkunci dengan aman.
“Ada apa anda memanggil saya, Pak?” tanya Rania, sopan. Masih membekas di otaknya wajah polos Bastian yang terlelap nikmat di kamar hotel tadi malam, namun berusaha ditepis oleh wanita itu.
Bastian hanya diam. Tatapannya sangat tajam seolah ingin menerkam wanita cantik yang kini duduk di hadapannya.
“Maaf, Pak?” ucap Rania. Ia sedikit mengernyit.
Bastian menghela napas. Ia ambil sesuatu dari dalam saku jasnya lalu ia lempar dengan lembut sebuah benda ke atas meja hingga berhenti tepat di hadapan Rania.
Rania terkejut melihat benda yang ada di hadapannya. Sebuah gelang yang sudah ia rawat dan jaga dengan baik selama ini. Gelang yang diberikan oleh ibunya sedari ia kecil.
“Dari mana anda mendapatkan gelang ini, Pak?” tanya Rania dengan senyum sumringah. Ia sangat bahagia, sebab gelang itu benar-benar sangat berharga baginya.
Bastian berdecak. Tampak emosi namun masih saja diam.
“Terima kasih sudah mengembalikan gelang ini. Apa ada lagi yang bisa saya lakukan, Pak? Jika tidak ada, saya akan kembali bekerja,” ucap Rania.
“Mengapa kamu melakukannya?” Tiba-tiba sebuah kalimat keluar dari bibir Bastian. Pria itu bahkan tidak menoleh sama sekali ke arah Rania.
Rania gelagapan. Ia tahu maksud pertanyaan Bastian. Wanita yang pintar bicara itu tiba-tiba saja kehilangan kata-kata.
“M—maaf, Pak. Ini semua hanya salah paham. Saya tidak tahu kenapa saya bisa berada di dalam kamar anda tadi malam. Sa—saya ... Saya tidak enak badan karena alergi.” Rania berucap seraya menunduk.
Bastian menghela napas, “Kamu tahu kalau saya akan menikah,” ucap Bastian.
“Iya, saya tahu ... Saya sungguh tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi semalam.” Rania tiba-tiba saja terdiam.
Bastian bangkit dari duduknya, berjalan perlahan lalu kini menyandarkan bokongnya di tepi meja tepat di samping Rania.
“Jangan sampai Maya tahu, atau kamu akan dapat masalah besar,” ucap Bastian.
“I—iya, saya akan pastikan kalau bu Maya atau siapa pun tidak akan tahu,” ucap Rania seraya tergagap.
Tiba-tiba saja Bastian memegang lengan kiri Rania, menarik wanita itu dengan kasar lalu menyandarkannya ke dinding ruangan.
“Pak, apa yang akan anda lakukan?” tanya Rania.
Bastian sama sekali tidak menjawab. Pria itu seketika mendaratkan bibirnya dengan kasar ke bibir Rania. Ia kulum bibir manis Rania dengan paksa.
“Auh, sakit!” lirih Rania seraya memegang bibirnya yang berdarah.
Ya, Bastian membuat bibir itu terluka. Bastian menggigitnya dengan kasar hingga menyisakan luka menganga di bibir cantik Rania.
Bastian menyentuh bibirnya sesaat, membersihkan sisa darah yang menempel di bibirnya. Pria itu seketika membetulkan jasnya, menekan kembali remot pintu dan pergi begitu saja meninggalkan ruangan itu.
Rania masih terpaku. Bibirnya terasa perih dan berdarah. Ia tidak tahu, kenapa Bastian tiba-tiba melakukan hal itu. Ia memang merindukan ciuman manis dari Bastian, tapi bukan ciuman yang seperti itu. Ciuman yang dirindukannya adalah ciuman penuh kelembutan yang sering mereka lakukan dulunya ketika mereka masih menjalin kasih. Ciuman penuh cinta.
Namun yang Rania dapatkan saat ini malah sebaliknya. Bastian menyakitinya, menciumnya dengan brutal dan membuat luka menganga di bibir Rania. Membuat Rania seolah tidak punya harga diri di depan Bastain.
Rania segera meninggalkan ruangan bos besarnya itu. Ia berlari menuju kamar mandi. Ia seka air mata dan juga bibirnya yang terluka. Ia marah dan kecewa dengan Bastian.
Kenapa kamu lakukan semua ini padaku, Tian? Apa salahku padamu? Bukankah kamu yang sudah memutuskan hubungan kita dulunya. Kamu yang meninggalkan aku dan memilih Maya. Lalu kenapa kamu melakukan semua ini kepadaku? Rania membatin seraya terisak.
Tiba-tiba saja seseorang masuk. Rania dengan cepat mencuci mukanya dan menyeka pipinya untuk menyembunyikan air mata yang tadinya mengalir tanpa bisa dicegah.
“Rania, bibir kamu kenapa?” tanya Inaya—rekan kerja Rania.
“Oh ini ... aku sariawan, berusaha memencetnya tapi nggak tahunya malah kena kuku dan jadinya luka,” bohong Rania.
“Ya Ampun, Rania ... Tajam sekali kukumu sehingga membuat luka robekan seperti itu. Mau aku ambilkan plester?” tawar Inaya.
“Tidak, aku nggak apa-apa kok. Aku mau ke ruangan dulu,” ucap Rania.
Inaya mengangguk. Wanita itu terus memerhatikan langkah kaki Rania. Setelah Rania menghilang dari pandangan, Inaya pun langsung menghubungi seseorang.
***
Flowerina Resto and Cafe.
Rania masuk ke resto itu, berjalan menuju sebuah meja. Di salah satu kursi, sudah duduk seorang wanita cantik yang dulunya sangat berarti bagi Rania. Namun sayang, kini wanita itu tidak lebih dari musuh.
“Ada apa kamu memanggilku ke sini?” tanya Rania. Kini ia sudah duduk di salah satu kursi tepat di depan Maya. Maya sengaja memanggilnya datang ke sana dan mengajaknya berbincang empat mata.
“Ada apa dengan bibirmu?” tanya Maya dengan tatapan sinis.
“Oh, ini ... Aku tidak sengaja melukainya sendiri. Kena kuku ketika aku ingin memencet sariawanku,” bohong Rania.
“Aku harap kamu tidak bohong.” Maya menatap ke dua netra Rania dengan tajam.
“Buat apa aku bohong?” balas Rania.
“Entahlah ... Rania, kamu tahukan kalau sebentar lagi aku akan menikah dengan Bastian. Dua minggu lagi aku jadi nyonya besar di keluarga Bastian.” Maya menatap Rania dengan tajam.
“Iya, aku tahu itu dan aku ucapkan selamat akan hal itu,” balas Rania.
“Jadi aku harap kamu jangan macam-macam terhadapku, Rania. Aku tahu, kamu dulu adalah mantan kekasihnya Bastian, namun itu dulu. Sekarang Bastian adalah milikku. Aku sudah bertunangan dengannya dan dua minggu lagi aku akan menikah dengan Bastian. Jadi aku harap, kamu jangan membuat gara-gara. Aku tidak akan segan-segan mencelakaimu jika kamu berani menggoda Bastian.” Maya mencoba mengancam.
“Apa maksudmu, Maya? Aku sama sekali tidak pernah menggoda Bastian. Lagi pula Bastian adalah masa laluku. Aku sudah melupakannya sejak lama, bahkan sejak ia memutuskan hubungan denganku dan lebih memilih kamu untuk melanjutkan hidupnya.” Rania memalingkan wajah sesaat.
“Baguslah kalau kamu mengerti. Aku hanya ingin mengingatkan. Jangan sampai nanti kamu menyesal karena sudah berani membuat masalah denganku.” Kembali Maya menatap tajam ke dua netra cokelat terang milik Rania.
Rania terdiam. Ia sadar kalau dirinya bukanlah apa-apa jika dibandingkan dengan Maya. Ia tidak punya kuasa apa pun. Berbeda dengan Maya yang merupakan anak seorang terpandang yang merupakan rekan bisnis keluarga Bastian. Apa pun yang ia inginkan, pasti bisa ia lakukan.
“Dua minggu lagi aku akan menikah dengan Bastian. Tolong kamu jangan mengacau di sana.” Maya berdiri, meninggalkan begitu saja minuman yang sudah ia pesan tanpa menyentuhnya.
Rania menghela napas. Ia tatap minuman yang ada di hadapannya yang sama sekali belum ia sentuh.
Maya mengancamku. Aku tahu ia tidak main-main dengan ancamannya. Ah, bagaimana kalau Maya tahu semalam aku tidur dengan tunangannya? Tidak, maya tidak boleh tahu. Karir dan reputasiku di kantor akan hancur jika Maya mengetahuinya. Rania membatin.
Rania bergegas meninggalkan resto itu. Sungguh, ia tidak ingin mendapat masalah karena pasti akan sangat berpengaruh untuk karirnya.
“Auh ....” Seorang wanita melenguh ketika seseorang tanpa sengaja menabraknya. Ia adalah salah satu tamu istimewa di hotel milik Bastian. Wanita itu dan suaminya—Boby—sedang menyewa kamar terbaik dan mahal di hotel itu selama mereka menginap di Jakarta.“Maaf, Bu ... Saya minta maaf, saya benar-benar tidak sengaja,” ucap Rania.“Tidak masalah,” jawab sang wanita seraya menekan langkah tanpa menoleh sedikit pun ke arah Rania.Rania membalik tubuhnya, melihat langkah kaki wanita yang sedang berjalan dengan anggun keluar dari hotel. Rania tersenyum, ia bahkan tidak tahu kenapa ia tersenyum. Walau tidak melihat dengan jelas siapa wanita yang baru saja ia tabrak, Rania merasa ada perasaan yang berbeda di hatinya tatkala berada dekat dengan wanita itu.Sepersekian detik kemudian, Rania tersentak. Ia kembali memasang wajah serius lalu menekan langkah menuju ruangannya.“Rania, kamu kemana saja? Tadi pak Bastian nyariin dan kelihatannya ia marah sama kamu,” ucap salah seorang rekan kerja Rani
Rania terduduk di kursi kerjanya. Masih terngiang jelas adegan serta posisi panas Bastian dan Maya di ruang direktur utama. Walau hanya sekilas, namun cukup membekas dan menyakitkan di hati Rania.“Ada apa, Ran?” tanya Laura—rekan kerja Rania sekaligus sahabat baik wanita itu.Rania bergidik, “A—aku nggak apa-apa kok. Tadi niatnya aku mau antar file ke ruangan pak Bastian untuk ditanda tangani. Tapi nggak tahunya di dalam ada bu Maya.”“Lho, bukannya tadi kamu lihat kalau bu Maya datang dan masuk ke ruangan itu? Kamu ketemu sama bu Maya’kan?” tanya Laura.“Iya tapi aku nggak nyangka kalau—. Ah, lupakan saja.” Rania mencoba menghindari Laura.“Rania, kamu mau kemana?” tanya Laura.Rania tidak menggubris. Ia terus melangkahkan kakinya berjalan menuju lift. Susah payah Rania menahan air mata, karena di dalam lift ia tidak sendirian. Ada beberapa orang lagi yang ada di sana, menuju lantai yang berbeda.Rania sendiri menuju lantai paling atas. Rooftop, itu adalah tempat tujuan wanita itu.
Rania kaget, tiba-tiba saja Bastian melempar dokumen yang baru saja ia berikan ke wajah wanita itu. Beberapa lembar dokumen berserakan di lantai, sementara wajah Rania sedikit perih karena Bastian melempar dokumen itu dengan cukup keras ke wajahnya. Ia terlihat sangat murka.Dengan cepat, Rania mengemasi lembar demi lembar dokumen yang kini sudah tida beraturan. Padahal ia sudah menyusunnya dengan sangat baik sebelumnya.“Kenapa anda melemparnya, Pak?” tanya Rania. Ia masih berusaha bersikap sopan. Bastian sendiri hanya memalingkan wajah tanpa mengucapkan sepatah kata pun kepadanya.“Kamu pikir kenapa?” Bastian bertanya balik. Pria itu masih enggan menatap wajah Rania.Rania menghela napas. Ia lihat lembar demi lembar yang baru saja ia kemas dari lantai. Rania terkejut, matanya terbelalak.“M—maaf, Pak. Ini salah paham. Sa—saya, bukan ini yang saya kerjakan tadi. Saya tidak mau menuduh, tapi bisa jadi ada yang menggantinya dengan dokumen ini. Sebelum mengantarnya ke sini, saya meletak
Jakarta, kediaman Maya.Maya tersenyum simpul membaca pesan singkat yang baru saja ia terima dari salah seorang anak buah Bastian. Rencananya berhasil dan tentu saja membuatnya sangat senang.“Maya, kamu sedang apa?” tanya seseorang. Ia adalah nyonya Ami—ibu kandung Maya.“Eh, mami. Ini lagi memerhatikan desain gaun yang akan aku pakai di nikahan nanti. Menurut mami gimana?” Maya memperlihatkan layar ponselnya ke arah Ami.“Bagus, tapi menurut mami ini terlalu terbuka.” Kening Ami sedikit mengernyit.“Justru model terbaru memang seperti ini, Mi. Mami ini terlalu kuno,” balas Maya.“Terserah kamu saja kalau begitu. Oiya, mami dengar mantan pacarnya Bastian dipindahkan ke kantor pusat. Apa benar?” tanya Ami.Maya meletakkan ponselnya di atas meja. Wanita itu bangkit dan berjalan menuju dinding kaca kamarnya.“Iya, Mi. Ia baru saja dipindahkan hari ini.
Sebuah tangan kekar terulur ke arah Rania. Rania menoleh ke atas, menatap seorang pria yang kini siap menawarkan bantuan.Rania membalas uluran tangan itu. Sang pria menarik tangan Rania dengan lembut hingga kini berdiri tepat di sampingnya.“Apa yang sudah kamu lakukan terhadap Rania?” tanya Farel. Sorot matanya sangat tajam menoleh ke arah Inaya. Ia sangat marah.“Saya tidak sengaja, Pak. Tadi ketika saya lewat, Rania juga tiba-tiba lewat,” bohong Inaya.“Jangan bohong kamu, Inaya. Saya melihat jelas apa yang sudah kamu lakukan pada Rania.” Farel berjalan mendekat. Pria itu tidak mampu menyembunyikan kemarahannya dari Inaya.“M-maafkan saya, Pak. Sa—saya.” Inaya gugup.“Ini peringatan terakhir buat kamu, Inaya. Kalau sampai nanti kamu menyakiti Rania lagi, saya tidak akan segan-segan memberikan surat peringatan untuk kamu. Saya bisa melaporkan kamu ke pak Bastian atas perbuatan buruk kamu pada karyawan lain. Kamu bisa dapat masalah nanti,” ancam Farel.Inaya sedikit gemetar. Tanpa me
Ballroom The Lion Hotel Jakarta.Ruangan besar di salah satu hotel bintang lima di Jakarta itu sudah di sulap menjadi ruang pesta yang sangat megah dan mewah. Dekorasi bernuansa putih dan sedikit aksen biru metalik—warna kesukaan Maya dan Bastian. Maya pecinta warna putih sementara Bastian pecinta warna biru metalik.Ada dua lantai di sana dan ke dua lantai dipenuhi dengan meja serta kursi yang bisa ditempati oleh tamu undangan yang datang. Ada beberapa suguhan juga yang terhidang di sana. Mulai dari masakan khas Indonesia, sampai masakan luar negeri pun ada.Di bagian depan, terdapat panggung yang berisi pelaminan dengan dekorasi mewah dan berkelas. Sudah duduk di sana Bastian dan Maya dengan pakaian pengantin yang sangat bersinar. Maya terlihat sangat anggun dan seksi dengan pakaian pengantin berwarna putih dengan belahan dada rendah, sementara Bastian tampak gagah dan tampan dengan jas modern dengan warna senada.Sepanjang acara, tidak pernah putus senyum terukir dari bibir ke duany
Will You marry me? Terngiang kalimat itu di telinga Rania. Sementara Farel masih menunggu jawaban wanita itu. Tangannya tampak pegal memegangi kotak perhiasan yang kini masih terpampang manis di depan Rania.“Bagaimana, Ran?” tanya Farel.Rania yang sedari tadi masih melongo, tiba-tiba saja tersenyum kecil. Ia raih tangan Farel lalu ia turunkan tangan itu dengan lembut tanpa mengambil kotak perhiasan yang diberikan Farel kepadanya.“Kenapa, Ran?” tanya Farel. Pria itu tentu sangat kecewa dengan sikap Rania yang secara tidak langsung sudah memberikan jawaban yang tidak diharapkan oleh pria itu.“Aku masih belum siap, Mas. Maaf ...,” jawab Rania.“Tapi kenapa?” Farel masih mendesak.“Aku tidak tahu. Sebaiknya kita jalani saja dulu. Nanti kalau aku sudah siap, aku sendiri yang akan memberitahumu.” Rania berusaha tersenyum.“Apa tidak ada sedikit saja perasaanmu terhadapku, Rania?” Farel menggenggam lembut tangan kanan Rania.“Jujur saja, perasaan itu memang ada. Tapi aku tidak berani memu
Satu bulan lebih berlalu semenjak kejadian malam menyedihkan itu. Malam di mana Rania kehilangan kesuciannya.Rania terjaga. Kali ini ia sendirian di kamar apartemen sewaannya sebab Jihan sudah beberapa hari dinas luar kota. Rania merasa sangat pusing, perutnya juga terasa mual.Belum sempat melirik ke jam dinding, Rania langsung turun dari ranjang dan berjalan cepat menuju kamar mandi. Ia muntah di sana. Memuntahkan udara ke westafel yang terdapat di dalam kamar mandi.Rania menyeka wajahnya dengan air. Ia tatap wajah cantiknya lewat pantulan cermin yang ada di hadapannya. Wajah itu tampak sangat pucat.Rania kembali menghidupkan kran air. Ia tampung air mengalir itu dengan ke dua telapak tangannya lalu kembali ia basuhkan ke wajahnya. Segar, itulah yang terasa saat ini.Merasa dirinya sudah sedikit lega, Rania pun beranjak masuk kembali ke dalam kamar. Ia dudukkan bokongnya di tepi ranjang lalu ia tatap jam dinding yang terdapat di dalam kamar itu. Benda bulat itu menunjukkan pukul e
Di sebuah kafe kecil di sudut Jakarta, Maya duduk dengan gelisah. Sesekali matanya melirik jam tangan emas yang melingkar di pergelangan tangannya. Beberapa saat kemudian, Ronald masuk, mengenakan kemeja santai. Wajahnya tenang, hampir tanpa ekspresi, seperti tidak ada beban yang menghantuinya.“Kamu terlambat,” ujar Maya ketus saat Ronald mendekatinya.Ronald hanya tersenyum tipis, duduk di hadapan Maya dengan santai. “Santai saja, Sayang. Jadi, ada apa kali ini?”Maya mendesah berat, memutar cangkir kopinya tanpa minat. “Bastian sudah tahu. Dia mulai menyelidiki semuanya. Aku yakin dia sudah punya bukti cukup kuat soal dana yang aku selewengkan.”“Lalu?” Ronald bertanya santai, menyandarkan punggungnya di kursi.Maya menatap Ronald dengan tajam. “Kamu tidak takut sama sekali? Kalau aku kena, kamu juga pasti terseret. Aku bisa saja memberitahu Bastian semuanya.”Ronald tertawa keci
Malam itu, rumah besar Bastian terasa lebih sunyi dari biasanya. Hanya suara detik jam yang terdengar samar, mengiringi langkah pria itu memasuki ruang kerjanya. Pintu kayu besar berderit pelan saat Bastian menutupnya, seolah menyegel dirinya dari dunia luar. Dengan gerakan yang kasar, ia menjatuhkan dirinya di kursi kebesaran di belakang meja kerja. Tatapan matanya kosong, pikirannya penuh dengan bayangan wajah Rania dan tawa kecil Bintang. Naluri di hatinya berkecamuk, memunculkan pertanyaan yang tak bisa ia abaikan. “Bintang…” gumamnya, hampir seperti bisikan. Ada sesuatu yang ia rasakan saat melihat bocah itu—sesuatu yang sulit dijelaskan. Ia menggenggam sisi meja kerjanya dengan erat, mencoba menenangkan diri. Tapi, semakin ia berusaha, semakin kuat amarah yang meluap di hatinya. Ia marah karena Rania telah menikah dan memiliki anak tanpa pernah memberi tahu dirinya, tapi lebih dari itu, ada perasaan lain yang membuat pikirannya tak tenang—naluri emosional yang begitu mendalam
Setelah percakapan emosional di taman belakang, Nora dan Maya kembali ke ruang makan. Prakas dan Bastian masih terlihat berbincang ringan sambil sesekali menyeruput teh hangat yang tersisa. Ketika keduanya melihat kedatangan Nora dan Maya, suasana perlahan berubah lebih serius. Nora duduk di kursinya dengan anggun, sementara Maya memilih tempat yang agak berjauhan dari Bastian, berusaha menghindari tatapan tajam suaminya. Keheningan menyelimuti ruangan sejenak sebelum Nora menghela napas panjang, mencoba mencairkan suasana. “Bastian, Papi…” Nora memulai dengan nada tenang. “Aku sudah berbicara dengan Maya di taman tadi. Dia mengakui kesalahannya dan benar-benar menyesal.” Bastian mendengus kecil, matanya menyipit. “Menyesal? Baru sekarang? Setelah semua bukti jelas di depan mata?” “Bastian, dengarkan dulu,” potong Nora dengan lembut. “Maya merasa tertekan. Dia merasa diabaikan olehmu, dan itu yang membuatnya bertindak di luar kendali. Mami tidak membenarkan apa yang dia lakukan, t
Siang itu, rumah megah milik keluarga Prakas terasa lebih tenang dari biasanya, meski ketegangan menggantung di udara. Di meja makan yang besar, tersaji hidangan lengkap mulai dari sup asparagus hingga steak salmon, yang semuanya tampak menggugah selera. Namun, tak satu pun dari mereka tampak benar-benar menikmati makanannya. Bastian duduk dengan ekspresi dingin di salah satu ujung meja, sementara Maya duduk di seberangnya dengan wajah yang terlihat penuh kepura-puraan. Nora, sang ibu, duduk di tengah-tengah mereka, sesekali melirik ke arah kedua belah pihak. Prakas, yang memimpin meja makan, akhirnya memecah keheningan. “Baiklah, semua sudah di sini. Mari kita makan dulu sebelum berbicara,” ujar Prakas, mencoba memberi nada netral pada situasi yang jelas tidak bersahabat. Bastian hanya mengangguk singkat. Ia sebenarnya tidak ingin berada di sini, namun rasa hormatnya pada kedua orang tuanya menahan keinginannya untuk pergi. Sementara itu, Maya, dengan senyuman kecil yang tampak di
Malam mulai merangkak, dan suasana di kantor Bastian terasa tegang. Di balik pintu ruangan pribadi yang tertutup rapat, suara-suara tinggi terdengar. Bastian yang biasanya tenang dan dingin kini berbeda. Ia berdiri dengan kedua tangan mengepal di samping tubuhnya, napasnya memburu karena amarah yang membara.“Jadi benar, Maya? Semua ini karena ulahmu?” Suara Bastian menggema di ruangan, tatapannya dingin seperti es yang siap membekukan segala sesuatu di sekitarnya.Maya duduk di kursi berlapis kulit di depannya, berusaha tetap terlihat tenang. Namun, getaran di tangannya menunjukkan sebaliknya. Ia menarik napas dalam-dalam sebelum menjawab dengan nada datar, “Bastian, kamu salah paham. Aku bisa menjelaskan semuanya.”“Jangan berani-berani memutarbalikkan fakta, Maya!” Bastian membentak, suaranya penuh kekerasan. Ia memukul meja dengan keras, membuat berkas-berkas yang ada di atasnya melompat kecil. “Semua bukti menunjukkan bahwa kamu sudah menggelapkan dana perusahaan. Kamu bahkan teg
Malam itu, Bastian berdiri di depan cermin, mengenakan setelan jas gelap yang disesuaikan dengan sempurna. Rambutnya tersisir rapi, dan wajahnya seperti biasa—tegas, dingin, tanpa ekspresi yang benar-benar terbaca. Di tengah kesibukannya memeriksa dasi, Maya muncul dari belakang. Wanita itu, dalam gaun malam yang mewah berwarna biru tua, melangkah perlahan mendekati suaminya sambil memerhatikan penampilannya.“Kau terlihat rapi sekali malam ini,” ucap Maya, nadanya terdengar datar, tapi ada sedikit nada sindiran di baliknya. “Untuk menghadiri pertunangan Farel?”Bastian menghela napas pendek, tetap memandang bayangan dirinya di cermin tanpa menoleh ke arah istrinya. “Ya. Itu penting.”“Kenapa harus begitu formal? Dia hanya—.” Maya berhenti, menelan kalimat yang ingin diucapkannya. Namun, matanya yang mencemooh berbicara lebih banyak daripada kata-katanya.“Dia hanya apa?” potong Bastian, suaranya tenang, tapi tegas. Ia menoleh, memandangi Maya dengan sorot mata tajam.“Farel hanya pri
Suasana malam itu di rumah Sonya perlahan-lahan mereda dari kesibukan menjadi hening penuh keletihan yang berbalut kehangatan. Rania melepaskan ikatan rambutnya dan mengusap wajahnya yang lelah, menatap hasil kerja kerasnya bersama tim dengan perasaan bangga bercampur lega. Pesta pertunangan besok akan berjalan dengan cantik sesuai harapan, dan itu adalah buah dari kerja keras tanpa henti yang mereka curahkan sepanjang hari.“Terima kasih, Icha,” Rania berkata dengan suara lembut, menggenggam tangan gadis muda itu yang ikut bersinar dengan kepuasan. “Tanpamu, aku tidak akan sanggup melakukannya.”Icha tersenyum lelah namun bahagia. “Mbak, aku justru yang berterima kasih. Ini pengalaman luar biasa,” katanya, nada suaranya penuh kehangatan. Keduanya tertawa kecil, melepaskan sebagian beban yang mereka rasakan.Sonya, dengan mata yang terlihat berusaha keras melawan kantuk, menghampiri mereka.“Nia,” sapanya seraya memaksa matanya tetap terbuka. “Hasil dekorasimu luar biasa. Aku benar-be
Setibanya di lokasi sekitar pukul sepuluh pagi, Rania segera disambut suasana ramah dan hangat dari keluarga Sonya. Rumah berlantai satu yang terletak di tepi kota Jakarta itu akan disulap menjadi tempat pesta pertunangan yang megah dan elegan, sesuai harapan Sonya dan keluarganya. Halaman rumah yang cukup luas memberi banyak ruang bagi Rania dan timnya untuk berkreasi dengan dekorasi.Sonya dan keluarganya langsung menghampiri Rania begitu ia turun dari mobil bersama Icha, Arman, dan Doni. Senyuman merekah menghiasi wajah Sonya saat memperkenalkan Rania kepada beberapa anggota keluarganya. Setelah berbasa-basi sejenak, mereka membawa Rania dan tim ke meja yang sudah dipenuhi hidangan sarapan. Makanan lezat dan minuman hangat menjadi penyambutan yang membuat Rania merasa diterima layaknya sahabat lama.“Silakan, Nia,” ujar Sonya, panggilan akrab yang digunakan Rania di kalangan orang baru. “Kalian butuh energi untuk bekerja seharian.”Rania tersenyum dan mengucapkan terima kasih. Sela
Hai teman-teman ... Terima kasih yang sebesar-besarnya buat teman-teman yang sudah mampir ke cerita ini dan sudah support cerita ini. Terkhusus buat teman-teman yang sudah berkenan memberikan GEM serta rating yang baik untuk cerita ini, aku ucapkan TERIMA KASIH BANYAK. Hanya Tuhan yang bisa membalas semuanya ^_^Buat teman-teman yang belum support, mohon support ya, biar aku lebih semangat lagi nulisnya. Karena tanpa support dari teman-teman semuanya, aku bukan apa-apa. LUV ... ^_^Jika teman-teman berkenan, mohon bantu share cerita ini agar lebih banyak lagi teman-teman kita yang lain yang tahu perjuangan besar Rania di cerita ini, hehehe ... Buat teman-teman yang belum ikutan GA, yuk ikutan. Kayaknya DEADLINE akan diperpanjang sampai 31 Desember 2024. Yuk bantu ramaikan GA aku ya. Silahkan mampir ke akun pesbuq aku aja ya untuk mengikuti rulesnya ^_^Akhir kata, aku ucapkan Selamat Menikmati Lanjutan Cerita ini ya.Salam Sayang Penuh Cinta, KISS ^_^