Malam hari, suasana rumah Taufik begitu hening, hanya terdengar suara langkah kaki di lantai marmer rumah mewah Taufik. Saat itu, Ernita sedang membersihkan ruang tamu karena Tia sudah pulang. Ia hanya bekerja pagi sampai sore saja lantaran memiliki anak dan suami di rumahnya.
Ernya tak menyangka bahwa malam itu Loren, ibu Taufik, datang lagi. Taufik sudah tiba di rumah setelah hari yang panjang, dan Loren segera mendekatinya. "Taufik, ayo kita makan malam bersama di restoran. Aku ingin kamu beristirahat setelah seharian bekerja," ajak Loren dengan suara lembut, namun nada perintahnya tak bisa disembunyikan. Taufik terlihat lelah namun tetap mengangguk. "Baik, Mah. Tapi, aku ingin berbicara sebentar denganmu tentang Ernita." Loren memutar bola matanya. "Apa lagi yang perlu dibicarakan tentang perempuan itu? Bukankah kamu sudah memutuskan segala sesuatunya?" tanyanya, masih dengan nada yang penuh kecurigaan. Malam itu, Ernita yang sedang merapikan beberapa barang di ruang tamu mendengar percakapan mereka dengan jelas. Ia tahu bahwa pembicaraan itu tentang dirinya. Penasaran dan merasa sedikit cemas, Ernita memilih untuk mendekat secara diam-diam, bersembunyi di balik pintu yang sedikit terbuka. Dengan hati-hati, ia mendengarkan percakapan antara Taufik dan ibunya. "Mah, aku tahu kamu tidak suka dengan keputusan ini, tapi ada alasan kenapa aku memutuskan untuk menyuruh Ernita menyusui anak-anak kembar kita," Taufik mulai menjelaskan dengan suara berat, seperti berusaha meyakinkan ibunya. Loren mengangkat alisnya. "Alasan? Apa alasanmu, Taufik? Kita sudah punya pembantu di rumah ini, kenapa harus perempuan asing itu yang menyusui cucuku?" Suaranya terdengar kecewa. Taufik menarik napas panjang, lalu berkata dengan hati-hati. "Nita ... dia memiliki banyak kesamaan dengan Fatma. Aku tidak tahu bagaimana menjelaskannya, Bu, tapi dia sangat mirip dengan istriku. Aku ingin anak-anak merasa aman, merasa ada yang mengasuh mereka dengan penuh kasih sayang. Tidak hanya sebagai ibu susu, tetapi juga sebagai pengganti Fatma yang tiba-tiba pergi begitu saja." Loren terdiam sejenak mendengarkan penjelasan Taufik dengan penuh perhatian, meskipun wajahnya terlihat terkejut. Ia tahu betul betapa besar kehilangan Taufik setelah istrinya, Fatma, meninggal pasca melahirkan bayi kembar mereka, Asrul dan Arkaf. Kehilangan itu menghancurkan hati Taufik, dan Loren tahu betul betapa beratnya Taufik menjalani hidup tanpa Fatma. "Jadi, kamu berpikir Nita bisa menggantikan tempat Fatma? Ini bukan hal yang mudah, Taufik. Kamu tahu kan, aku tidak suka ada orang asing terlalu dekat dengan cucu-cucuku. Aku merasa tidak nyaman dengan hal ini." Loren menjawab dengan nada yang lebih lembut, meskipun masih ada rasa ketidaksetujuan yang tersisa. Taufik menatap ibunya dengan penuh perhatian. "Aku tahu ini sulit, Mah. Tapi Ernita sudah membantu kami lebih dari yang bisa aku jelaskan. Dia sudah menjadi ibu susu untuk anak-anak, dan mereka menerima kasih sayangnya. Aku hanya ingin mereka tumbuh dengan cinta yang tulus, bahkan jika itu bukan dari ibu kandung mereka." Loren terdiam. Ia tahu Taufik benar-benar berusaha memberikan yang terbaik untuk anak-anaknya. Namun ada rasa cemas yang masih menghantuinya. Apakah ini benar-benar keputusan yang tepat? Apakah Ernita benar-benar bisa menggantikan tempat Fatma dalam hidup mereka? Di sisi lain, Ernita yang mendengarkan percakapan itu merasa campur aduk. Perasaan cemas dan terharu bercampur dalam hatinya. Ia tahu bahwa dirinya hanyalah ibu susu, namun di balik itu ada perasaan yang lebih dalam. Ia merasakan ikatan yang tumbuh dengan anak-anak Taufik, bahkan jika itu hanya sementara. Namun ia juga tidak ingin terjebak dalam perasaan yang lebih besar, yang mungkin tidak bisa ia hindari. Loren akhirnya menghela napas panjang, tampak menerima penjelasan Taufik, meskipun ada ketegangan yang masih terasa. "Baiklah, Taufik. Aku akan mencoba memahami keputusanmu. Tapi aku ingin kamu hati-hati dengan Nita. Jangan biarkan dirimu terlalu terikat padanya," kata Loren masih dengan nada khawatir. Taufik tersenyum kecil, seolah lega karena ibunya mulai menerima situasi ini. "Aku janji, Mah. Aku akan berhati-hati." Ernita yang mendengar semua itu merasa lega, namun juga tertekan. Ia tidak tahu bagaimana harus bertindak selanjutnya, apakah ia harus terus menjadi bagian dari kehidupan Taufik dan anak-anaknya ataukah ia harus segera mengundurkan diri agar tidak menambah beban mereka. Namun, satu hal yang pasti, perasaan yang ia miliki terhadap bayi-bayi itu semakin dalam, dan itu membuatnya merasa terhubung dengan mereka lebih dari yang ia bayangkan. Taufik dan Loren akhirnya pergi ke restoran untuk makan malam, sementara Ernita kembali ke ruang tamu, memikirkan percakapan yang baru saja ia dengar. Ia tahu bahwa keputusannya untuk tetap tinggal di rumah itu, menyusui bayi kembar Taufik, adalah langkah yang penuh risiko. Namun ia tidak bisa lagi mundur begitu saja. Ia harus menjalani peran barunya dengan sepenuh hati. Ernita duduk terdiam di ruang tamu, matanya menatap kosong ke arah bayi kembar yang tertidur lelap di buaian mereka. Walaupun tubuh mereka tenang, hatinya tetap bergejolak. Dia tidak bisa menahan rasa cemas yang semakin menggerogoti pikirannya. Mengingat percakapan tadi, dia merasa berada di tengah antara dua dunia yang berbeda. Di satu sisi, dia merasa terhormat karena bisa memberi kasih sayang kepada bayi-bayi itu, yang kini menganggapnya sebagai sosok ibu pengganti. Namun, di sisi lain, Ernita merasa terperangkap dalam peran yang tidak pernah ia bayangkan sebelumnya. Ia teringat akan kehidupannya dulu, sebelum kehilangan bayinya yang pertama, sebelum hidupnya dihancurkan oleh caci maki suami dan mertuanya. Dulu, ia memiliki impian untuk membesarkan keluarganya dengan bahagia untuk menjadi ibu yang penuh kasih sayang bagi anak-anaknya. Namun sekarang, impian itu terasa jauh dan tak terjangkau. Kini ia hanya bisa menjalani hidup dengan seadanya, bertahan dengan pekerjaan yang tak pernah ia duga. Namun Ernita tidak bisa memungkiri bahwa rasa sayang kepada anak-anak Taufik tumbuh setiap hari. Meskipun mereka bukan darah dagingnya, ia merasa seolah-olah mereka adalah bagian dari dirinya. Bayi-bayi itu membutuhkan ASI, dan dia dengan senang hati memberikannya, meskipun hatinya terkadang terasa perih karena mengingat kehilangan bayinya. Ernita merasa seperti seorang ibu yang tak berdaya, terperangkap dalam situasi yang rumit. Ia tahu dirinya hanyalah ibu susu sementara, tapi perasaan sayang itu sulit ditahan. Di luar, hujan mulai turun perlahan, membawa ketenangan yang terasa kontras dengan kekhawatiran yang ada di dalam hati Ernita. Dia menyadari bahwa kehidupannya telah berubah begitu cepat. Sekarang, ia hanya ingin menjalani hari-harinya dengan tenang dan memberi yang terbaik untuk anak-anak Taufik. Namun dia tahu bahwa masa depan masih penuh dengan ketidakpastian, dan hubungan mereka belum sepenuhnya jelas. Ernita merasa bingung, apakah dia harus terus bertahan dalam peran ini, ataukah ada jalan lain yang bisa membawanya ke arah yang lebih baik. "Semoga aku kuat ...," lirihnya.Pagi itu, Taufik berangkat lebih awal ke kantor karena ada rapat penting dengan klien dari luar negeri. Seperti biasa, sebelum pergi, ia sempat menengok kedua putranya yang sedang tertidur lelap di dalam boks bayi mereka. Ernita pun sudah bersiap dengan pekerjaannya. Hari ini tugasnya tetap sama, merawat dan menyusui bayi kembar Taufik, Asrul dan Arkaf.Namun berbeda dari hari-hari sebelumnya, kali ini ibu Taufik, Loren, memutuskan untuk tinggal di rumah putranya sepanjang hari karena dia mendengar bahwa Tia meminta ijin libur lantaran anaknya sakit.Hal itu dijadikan kesempatan oleh Loren. Tidak sendirian, ia mengajak serta putrinya, Helen, yang merupakan adik perempuan Taufik. Keduanya sudah berencana untuk mengamati dan mencari kesalahan Ernita agar bisa mengusirnya dari rumah itu."Ibu, kenapa kita tidak menyuruh saja Taufik mengganti wanita itu dengan perawat bayi profesional?" bisik Helen saat mereka duduk di ruang tamu sambil memperhatikan gerak-gerik Ernita dari kejauhan.Lore
Sejak Loren dan Helen berpamitan pulang, Ernita kembali menjalani rutinitasnya seperti biasa, mengurus bayi kembar dan memenuhi tugasnya sebagai ibu susu mereka. Namun dalam beberapa minggu terakhir, ia merasakan ada perubahan di lingkungan sekitar. Tatapan para tetangga terhadapnya mulai berbeda, dan ada bisikan-bisikan yang terdengar setiap kali ia melewati mereka.Awalnya, Ernita mencoba mengabaikan hal itu. Namun suatu sore, Tia, salah satu asisten rumah tangga senior, menghampirinya dengan ekspresi cemas."Mbak Nita, saya enggak tahu gimana ngomongnya, tapi … ada gosip yang beredar di luar sana. Katanya, Mbak punya hubungan khusus sama Tuan Taufik."Ernita terdiam, matanya melebar. "Apa? Dari mana datangnya gosip seperti itu?"Tia menggeleng dengan raut gusar. "Saya juga enggak tahu pasti, Mbak. Tapi katanya, ada yang melihat Tuan Taufik sering memperhatikan dan melindungi Mbak lebih dari seharusnya. Apalagi sejak kabar perjodohan Pak Taufik sama anak dari keluarga terpandang itu
Ernita baru saja selesai menyusui bayi kembar ketika Nadya kembali muncul di hadapannya, kali ini dengan ekspresi yang lebih tajam dan penuh amarah."Kamu masih di sini juga? Kenapa belum enyah dari sini?" Suara Nadya terdengar sinis.Ernita menghela napas dalam. "Mbak, saya bekerja di sini, jadi tentu saja saya masih di sini."Nadya mendengus. "Bekerja? Paling kamu cuma mencari cara agar Taufik jatuh hati padamu, ya kan?"Ernita menatapnya tajam. "Mbak, saya tidak punya niat seperti itu. Tuan Taufik adalah majikan saya, dan saya hanya menjadi seorang ibu susu untuk anak-anaknya, tidak lebih."Namun Nadya tidak puas dengan jawaban itu. "Kamu pikir aku bodoh? Semua orang di rumah ini bisa melihat bagaimana Taufik lebih peduli padamu dibanding orang lain. Dia bahkan menolak perjodohan kami, dan aku yakin itu semua karena kamu, kamu sudah menghasutnya!"Ernita terkejut mendengar hal itu. "Menolak perjodohan? Maaf, saya tidak mengerti apa-apa.""Jangan berpura-pura tidak tahu!" Nadya mend
Setelah bekerja tanpa henti selama sebulan penuh, akhirnya hari ini Ernita mendapatkan gaji pertamanya. Ia merasa sangat bersyukur karena bisa memenuhi kebutuhannya sendiri tanpa harus bergantung pada orang lain.Pagi itu setelah menyelesaikan tugasnya, ia memberanikan diri untuk berpamitan kepada Taufik, setelah sebelumnya menitipkan bayi kembarnya kepada Tia."Permisi, Tuan, hari ini saya ingin keluar sebentar untuk berjalan-jalan. Hanya sebentar saja," kata Ernita dengan sopan.Taufik yang saat itu sedang menyesap kopi di ruang makan, menatapnya dengan dahi berkerut. "Keluar? Kamu mau ke mana?"Ernita tersenyum. "Saya ingin membeli beberapa keperluan. Lagipula, ini hari gajian pertama saya. Saya ingin sedikit menikmati waktu untuk diri sendiri."Taufik meletakkan cangkir kopinya dan menatapnya dalam. "Kamu yakin tidak ingin aku menyuruh sopir untuk mengantarmu?"Ernita menggeleng. "Tidak perlu, Tuan. Saya ingin berjalan-jalan sendiri, sekalian healing. Lagipula saya tidak akan lama
Malam itu, Ernita duduk di tepi ranjangnya, ia masih memikirkan perhatian Taufik yang semakin hari semakin terasa tulus. Ia tahu bahwa pria itu hanya ingin memastikan dirinya baik-baik saja, tapi perasaan di hatinya mulai sulit dikendalikan."Aku tidak boleh terbawa suasana," batinnya mencoba menepis perasaan aneh yang mulai tumbuh.Namun pikirannya segera teralihkan ketika ia teringat sesuatu. Tatapan pria yang sempat ia lihat sekilas di mall tadi siang. Ia merasa seperti diawasi, tapi saat itu ia tidak terlalu memikirkannya."Apa mungkin hanya perasaanku saja?" gumamnya.Tanpa ia sadari, seseorang memang benar-benar telah mengawasinya dari jauh.Dan keesokan harinya, Ernita bangun lebih pagi dari biasanya. Setelah menyelesaikan tugasnya, ia keluar sebentar ke minimarket dekat rumah untuk membeli beberapa keperluan.Namun saat sedang berjalan kembali ke rumah Taufik, tiba-tiba langkahnya terhenti."Nita?"Suara berat yang sangat familiar itu membuat tubuhnya menegang. Perlahan, ia me
Sementara dari kejauhan, tanpa disadari, dua pasang mata mengintai perdebatan mereka. Ya, mereka adalah Loren dan Helen, ibunda dan adik perempuan Taufik. Mereka berniat mengunjungi Taufik. Namun sebelum sampai di depan rumah Taufik, mereka tanpa sengaja menyaksikan perdebatan Taufik dengan pria yang Loren sama sekali tidak mengenalnya.Loren pun menghentikan mobilnya, "siapa laki-laki yang bersama Taufik?" tanyanya kepada Helen."Mana aku tahu, Bu, aku pun baru melihatnya," jawab Helen acuh tak acuh."Coba kamu selidiki mereka dari dekat, tapi hati-hati jangan sampai ketahuan," titah Loren.Dengan malas, Helen turun dan berjalan mengendap endap kemudian bersembunyi di salah satu pohon yang dekat dengan keberadaan ketiga insan yang dimaksud.Tak lama kemudian, Helen kembali masuk ke mobil. Dia melaporkan semua yang didengarnya.Loren yang duduk di dalam mobilnya, tangannya mengetuk-ngetuk setir dengan gelisah. Helen, yang duduk di sampingnya, tampak berpikir keras setelah melaporkan a
Loren duduk di ruang tamu rumahnya yang megah, jari-jarinya mengetuk meja dengan ritme teratur. Wajahnya menunjukkan ekspresi penuh perhitungan, sementara Helen duduk di seberangnya dengan wajah yang lebih gelisah."Kita tidak bisa langsung bertindak gegabah." Loren memulai pembicaraan. "Kalau kita menyerang Ernita secara langsung, Taufik bisa saja semakin melindunginya."Helen mengangguk pelan, tetapi dalam hatinya ia mulai meragukan niat ibunya. "Lalu, apa yang akan Ibu lakukan?"Loren tersenyum licik. "Kita akan buat Nita terlihat buruk di mata Taufik. Bukan hanya melalui gosip, tapi dengan bukti yang bisa menjatuhkannya."Helen mengernyit. "Apa Ibu berencana menjebaknya?"Loren mengangkat bahu dengan santai. "Sebut saja begitu. Tapi kita harus melakukannya dengan cermat. Aku akan menghubungi seseorang untuk mencari tahu lebih banyak tentang kehidupan pribadinya sebelum bekerja untuk Taufik. Kita perlu menemukan celah yang bisa kita manfaatkan."Helen menghela napas berat. "Ibu yak
Loren duduk di ruang tamunya dengan ekspresi puas. Ia sudah menghubungi beberapa kenalannya untuk menggali lebih dalam tentang masa lalu Ernita. Tak butuh waktu lama baginya untuk mendapatkan informasi yang bisa digunakannya sebagai senjata."Ibu yakin ini akan berhasil?" tanya Helen dengan ragu.Loren meneguk kopinya dengan tenang. "Tentu saja. Aku tidak akan membiarkan perempuan itu terus berada di sisi Taufik."Helen menghela napas. Meskipun ia tidak terlalu menyukai Ernita, ia juga merasa ibunya mungkin sungguh keterlaluan dalam masalah ini.Sementara di Rumah Taufik, Ernita Mulai Merasa Gelisah. Hari itu, ia tengah menyuapi si kembar ketika Tia, asisten rumah tangga Taufik, datang menghampirinya."Mbak Nita, barusan ada yang mencari Mbak di luar," ujar Tia dengan suara pelan.Ernita menoleh dengan bingung. "Siapa?"Tia menggeleng. "Saya tidak tahu, tapi dia laki-laki yang terlihat mencurigakan. Begitu saya bilang Mbak tidak bisa menemui siapa pun sekarang, dia langsung pergi tanp
Hari itu, setelah menjalani serangkaian pertemuan bisnis yang melelahkan, Taufik pulang lebih awal dari biasanya. Matahari mulai condong ke barat, menyisakan cahaya keemasan yang menari-nari di sela dedaunan. Sesampainya di rumah, langkahnya terhenti di depan pintu belakang yang terbuka. Pandangannya langsung tertuju pada taman kecil di belakang rumah.Di sana, Ernita duduk di bangku kayu panjang, menggendong Arkaf di tangan kanan dan Asrul di pangkuan kiri. Kedua bayi itu tampak nyaman dalam pelukannya, tertawa kecil saat Ernita bernyanyi dengan lembut sambil menggoyang-goyangkan tubuh mereka perlahan. Senyum hangat terpancar dari wajah Ernita, begitu tenang, begitu penuh kasih. Pemandangan itu menusuk hati Taufik dengan perasaan yang tak bisa ia jelaskan.Selama ini, Ernita memang sudah seperti ibu bagi anak-anaknya. Ia merawat dengan sepenuh hati, tanpa pamrih, dan selalu hadir dalam setiap kebutuhannya. Tak sekalipun Ernita mengeluh. Bahkan saat Taufik tengah disibukkan dengan uru
Sudah hampir dua bulan Loren kehilangan jejak anak semata wayangnya, Taufik. Selama itu pula ia merasa hidupnya kosong. Rumah besar yang dulu ramai kini terasa hampa, sepi dan membosankan. Sejak kepergian Taufik, tidak ada lagi suara tawa bayi kembar yang sering membuatnya kesal namun diam-diam ia rindukan. Tidak ada pula wajah dingin Taufik yang penuh teka-teki, atau sapaan sopan Ernita yang membuatnya ingin marah tanpa sebab.Loren telah mengerahkan berbagai cara untuk melacak keberadaan anaknya. Ia menyuruh orang suruhan menyelidiki segala kemungkinan: dari alamat rumah kontrakan hingga menelusuri relasi bisnis Taufik yang lama. Namun semua nihil. Rumah telah dijual, perusahaan telah berpindah tangan ke orang asing yang bahkan mengaku tak tahu ke mana pemilik sebelumnya pergi."Gila! Ke mana dia membawa semua orang itu?!" teriak Loren kesal pada suatu sore, membanting ponsel ke sofa empuk di ruang tamu. Helen hanya bisa duduk diam, menatap ibunya dengan sorot khawatir."Mungkin Kak
Sejak peristiwa keguguran itu, dunia Hesti seperti runtuh. Bukan hanya karena kehilangan calon buah hati, tetapi juga karena kehilangan tempat untuk merasa aman dan dicintai. Ia tidak bisa melupakan perlakuan kasar Gudel, suaminya, yang tanpa empati membandingkannya dengan wanita lain di tengah luka hatinya. Belum lagi sindiran menyakitkan dari mertuanya yang datang seolah hanya untuk menyalahkan, bukan menghibur.Hari-hari berikutnya menjadi penderitaan panjang bagi Hesti. Ia merasa asing di rumah yang seharusnya menjadi tempatnya berlindung. Gudel memang sudah mulai menunjukkan sedikit perhatian setelah dokter menyarankan perawatan, tapi bagi Hesti semua sudah terlambat. Hatinya sudah telanjur retak. Kepercayaan dan cintanya pada Gudel telah tercabik oleh ucapan dan sikap yang sulit dilupakan.Pada suatu pagi yang tenang, saat Gudel pergi bekerja, Hesti mengepak barang-barangnya. Dia tidak membawa banyak. Hanya beberapa baju, dokumen penting, dan secuil harapan untuk bisa sembuh dar
Satu minggu berlalu sejak perdebatan sengit antara Hesti dan Gudel. Ketegangan tak juga mereda, bahkan semakin memburuk. Hesti yang sedang hamil dua bulan tampak semakin murung, sering menangis diam-diam di kamar, dan kehilangan selera makan. Wajahnya yang dulu berseri kini tampak pucat dan lelah.Pagi itu, Hesti terbangun dengan perut yang terasa nyeri. Ia menggigil di ranjang, menahan sakit yang datang tiba-tiba seperti gelombang yang menyerang bertubi-tubi. Gudel masih tertidur di sofa ruang tamu, tak menyadari istrinya yang sedang menahan derita di kamar.Tak kuat menahan rasa sakit, Hesti bangkit perlahan, berjalan tertatih keluar kamar dan memanggil suaminya. "Mas ... Mas Gudel ...." Suaranya lirih nyaris tak terdengar.Gudel membuka matanya malas. "Apa sih, pagi-pagi begini udah berisik aja," gerutunya, lalu bangkit dengan wajah kesal. Saat melihat wajah pucat Hesti yang nyaris roboh di ambang pintu, ia segera sadar ada sesuatu yang tidak beres. "Kamu kenapa?""Perutku sakit, M
Pagi itu udara masih sejuk ketika Hesti membuka jendela kamarnya. Matahari baru saja menyinari atap-atap rumah, sementara embun pagi masih bergelayut di dedaunan. Ia mengusap perutnya yang mulai sedikit membuncit, wanita itu tengah hamil dua bulan, dan ini adalah momen yang ditunggunya sejak lama. Hesti ingin memastikan janin dalam kandungannya tumbuh sehat. Maka pagi itu, dengan wajah penuh semangat, ia menghampiri Gudel yang masih duduk santai di sofa ruang tengah sambil memegang ponsel."Mas," panggil Hesti lembut. "Hari ini kita ke rumah sakit, ya. Aku sudah buat janji sama dokter kandungan jam sepuluh."Gudel mendongak sejenak. Ia mengangguk kecil, namun ekspresi wajahnya berubah ragu. Ia menggaruk kepalanya yang tidak gatal lalu menatap Hesti dengan sedikit gelisah."Sayang, aku kayaknya nggak bisa menemani kamu hari ini," ucap Gudel. "Aku ada urusan penting."Hesti mengerutkan kening. "Urusan penting? Apa nggak bisa ditunda? Ini cek kandungan pertama kita lho, Mas. Kamu kan sud
Pagi itu, sinar matahari menyelinap lembut di balik tirai rumah bernuansa coklat kayu yang kini menjadi tempat tinggal baru bagi Taufik, Ernita, Tia, dan dua bayi kembar. Rumah dua lantai itu dikelilingi taman kecil dan suasana lingkungan yang sepi serta asri. Aroma tanah pagi dan semilir angin yang membawa suara burung-burung menjadikan pagi-pagi mereka terasa begitu damai.Ernita duduk di kursi goyang yang berada di dekat jendela ruang keluarga. Di pangkuannya, salah satu dari si kembar tengah menyusu dengan tenang. Bayi satunya masih tertidur di ranjang kecil yang diletakkan tak jauh darinya. Ernita mengenakan daster sederhana berwarna biru muda, wajahnya bersih tanpa polesan apa pun, namun tetap memancarkan keteduhan.Tak lama kemudian, Tia datang membawa secangkir teh hangat."Mbak, tehnya ya. Saya taruh di sini," ucap Tia sambil tersenyum, meletakkan cangkir di meja kecil di samping kursi Ernita."Terima kasih, Mbak Tia. Kamu sudah masak pagi ini?" tanya Ernita lembut."Sudah, M
Hari-hari di kota baru itu terasa berbeda bagi Ernita. Udara lebih segar, suasana lebih tenang, dan yang paling penting, tidak ada gosip yang menyudutkannya seperti di tempat lama. Rumah yang kini mereka tinggali memiliki pekarangan kecil yang dipenuhi bunga-bunga warna-warni. Ernita setiap pagi menyiram bunga sambil menggendong salah satu bayi kembar, sementara yang satunya masih tertidur pulas di dalam rumah. Senyum di wajahnya kembali tumbuh. Untuk pertama kalinya sejak lama, ia merasa damai.Dan di sisi lain, Taufik mulai menjalani peran barunya sebagai pebisnis yang membangun segalanya dari nol. Dia telah menjual perusahaannya yang lama ke tangan orang asing, juga rumah mewah yang dulu menjadi tempat tinggalnya. Sekarang di kota baru ini, ia membeli sebuah bangunan kecil yang kemudian direnovasi menjadi kantor baru. Dengan modal pengalaman dan reputasi yang sudah menempel kuat pada dirinya, Taufik tidak membutuhkan waktu lama untuk menarik perhatian pebisnis lokal.Dia mulai meng
Taufik mulai merasa bahwa satu-satunya cara untuk menghindari konflik berkepanjangan dengan ibunya, Loren, adalah dengan menghilang dari kehidupannya untuk sementara waktu. Dia telah mengetahui sejauh mana Loren berusaha mengendalikan hidupnya, menyebarkan gosip dan bahkan mengancam Ernita. Baginya, ini sudah terlalu jauh. Oleh karena itu, dia mengambil keputusan drastis, menutup perusahaannya, menjual rumahnya, dan meninggalkan kota ini.Namun sebelum melangkah lebih jauh, Taufik memastikan segala urusan administrasi dan keuangan terselesaikan. Dia tidak ingin meninggalkan masalah atau utang yang bisa membawanya kembali ke kota ini. Dengan bantuan pengacara kepercayaannya, ia mulai mencari pembeli untuk perusahaan dan rumahnya. Beberapa minggu kemudian, seorang investor asing tertarik membeli perusahaannya dengan harga yang cukup tinggi. Tanpa banyak pikir, Taufik menyetujui penawaran tersebut.Setelah penjualan selesai, ia mendiskusikan keputusannya dengan Tia dan Ernita. Tia, yang
Taufik melangkahkan kakinya ke rumah ibunya dengan ekspresi santai, seolah-olah tak ada yang terjadi. Ia sudah memutuskan untuk bermain strategi, berpura-pura tidak tahu bahwa Loren adalah dalang dari semua gosip yang beredar.Saat tiba, Loren menyambutnya dengan senyuman hangat, seakan tak ada hal buruk yang ia lakukan di belakang putranya. "Tumben pulang, Nak. Ada yang mau dibicarakan?" tanyanya, duduk di sofa dengan anggun.Taufik mengangguk, lalu duduk di hadapan ibunya. "Aku cuma ingin menenangkan pikiran. Belakangan ini banyak omongan tidak enak tentang aku dan Ernita. Ibu pasti sudah dengar, kan?"Loren menyesap tehnya perlahan, menyembunyikan ekspresi wajahnya. "Ya, sedikit. Aku juga prihatin, Taufik. Makanya, aku selalu bilang, pilihlah lingkungan dan orang-orang yang pantas berada di sekitarmu."Taufik tersenyum kecil, memperhatikan setiap gerak-gerik ibunya. "Benar juga, Bu. Makanya, aku sedang mencari tahu siapa yang menyebarkan gosip ini. Aku ingin menyelesaikan masalah i