Ernita terbangun pagi itu dengan perasaan campur aduk. Malam sebelumnya, setelah menyusui bayi kembar Taufik, ia tidur lelap tanpa terganggu, tetapi kini dengan pagi yang cerah, beban baru terasa semakin berat. Ernita tahu, pekerjaannya sebagai ibu susu bukanlah hal yang mudah. Namun pagi ini ia tidak bisa membiarkan dirinya ragu, apalagi setelah ia melihat betapa pentingnya peranannya bagi bayi-bayi tersebut.
Setelah mandi dan mengenakan pakaian kerja yang diberikan oleh Taufik, Ernita menyiapkan sarapan sederhana di dapur. Setelah itu, ia langsung menuju ruang keluarga untuk merawat bayi-bayi kembar yang sedang tidur nyenyak di buaian. Ernita menatap kedua wajah kecil itu, hatinya tergerak oleh kasih sayang yang mendalam, meskipun mereka bukan darah dagingnya. Dia menggendong salah satu bayi dan duduk dengan hati-hati di kursi yang sudah disiapkan. Bayi itu mulai mengisap dengan tenang, sementara Ernita menatap keluar jendela, membiarkan pikirannya melayang. Tentu saja, ia tidak bisa melupakan kesedihannya sendiri. Kehilangan bayinya yang baru lahir begitu mendalam, namun kini ia berusaha merelakan perasaan itu. Ini adalah kesempatan untuk memberikan kasih sayang pada anak-anak yang membutuhkan. Tak lama setelah itu, pintu depan rumah terbuka. Ernita mendengar suara langkah kaki dan melihat seorang wanita tua masuk ke dalam rumah. Sosok itu mengenakan gaun panjang dengan corak bunga yang mencolok, rambutnya yang sudah memutih disanggul rapi, dan wajahnya yang terlihat angkuh. Tanpa basa-basi, wanita tua itu berjalan langsung menuju ruang keluarga. Ernita merasa tidak nyaman, dan ia segera menundukkan kepala, berpikir wanita itu adalah salah satu kerabat Taufik. "Siapa kamu?" Suara wanita itu terdengar tegas dan tajam, hampir seperti bentakan. "Kenapa kamu menyusui cucuku dengan asimu?" Ernita terkejut. Ia masih memegang bayi kembar yang sedang menyusu, dan seketika itu juga rasa cemas menyelimuti hatinya. Ia mengangkat kepala dan melihat wajah wanita tua yang memandangnya dengan tatapan mencurigakan. Sebelum Ernita bisa menjawab, Tia, petugas kebersihan di rumah Taufik, datang dan berdiri di dekat wanita tua itu. Tia dengan cepat berusaha menjelaskan keadaan. "Ibu Loren, ini Nita. Dia bekerja di sini sekarang. Dia datang untuk membantu Tuan Taufik dengan bayi kembar beliau. Nita menawarkan diri untuk menyusui mereka, karena dia masih punya ASI setelah melahirkan anaknya." Loren memandang Tia sejenak, kemudian kembali menatap Ernita dengan tajam. "Jadi kamu ini … pengganti ibu mereka yang dicari anak saya?" tanya Loren dengan nada yang sinis. Ernita merasa terperangkap. Tidak mudah menjelaskan mengapa ia tiba-tiba hadir di rumah ini, merawat cucu Loren tanpa merasa ada sedikit pun ikatan darah. "Saya hanya ingin membantu, Bu," jawab Ernita dengan suara yang tenang. "Saya tidak bisa mengubah apa yang telah terjadi pada bayi-bayi ini, tetapi saya ingin mereka mendapatkan perawatan yang terbaik. Saya tahu betapa pentingnya kasih sayang seorang ibu." Loren mendengus, tampak ragu dan tidak senang. "Jadi, kamu datang ke sini bekerja untuk memberi ASI pada cucu-cucuku? Tapi apa sebelumnya kamu pernah menjadi ibu susu?" Tanya Loren lagi dengan ekspresi mencurigakan. Ernita terdiam. Meskipun hatinya terasa berat, ia tidak bisa membiarkan Loren meragukan niat baiknya. "Saya bukan datang untuk menggantikan siapa pun, Bu. Saya hanya mencoba memberikan yang terbaik bagi mereka yang membutuhkan. Saya hanya berharap bisa memberi mereka sedikit rasa aman dan kasih sayang. Bayi saya meninggal waktu lahir jadi saya tidak sempat menyusui, sedangkan ASI saya mengalir terus." Tia menambahkan dengan lebih lembut, "Bu, Nita ini baik. Dia tidak datang untuk mencari masalah. Dia hanya ingin membantu Tuan Taufik dan merawat bayi-bayi ini." Loren tetap tidak tampak yakin. Ia melangkah lebih dekat ke Ernita, memperhatikan bayi yang sedang disusui dengan cermat. "Kamu yakin bisa menjaga mereka dengan baik?" tanyanya, suaranya lebih rendah seolah mencari kelemahan. "Aku tidak ingin melihat cucu-cucuku diserahkan begitu saja kepada orang asing tanpa pertimbangan matang." Ernita menatap wanita itu dengan penuh perhatian, berusaha menenangkan dirinya. "Saya tahu saya bukan ibu mereka, tapi saya akan memberikan yang terbaik. Saya punya pengalaman sebagai seorang ibu, dan saya tahu betapa pentingnya kasih sayang seorang ibu bagi perkembangan bayi." Loren terdiam, matanya tajam meneliti ekspresi Ernita. Sepertinya ia masih ragu, namun ia tidak berkata apa-apa lagi. Beberapa detik berlalu, sebelum akhirnya ia berkata, "Aku akan memantau kamu. Jangan coba-coba menganggap ini pekerjaan yang mudah. Bayi-bayi ini adalah masa depan keluarga kami." Ernita hanya mengangguk, meskipun hatinya merasa sangat terbebani oleh kata-kata itu. Ia tahu bahwa dirinya harus lebih berhati-hati, tidak hanya karena situasi yang tidak biasa ini, tetapi juga karena ia tidak ingin menyebabkan masalah lebih lanjut bagi bayi-bayi itu dan Taufik. Loren akhirnya berjalan pergi, meninggalkan ruang keluarga dengan langkah-langkah yang berat, sementara Ernita melanjutkan tugasnya. Tia duduk di dekatnya, memberikan sedikit dukungan dengan senyuman kecil. "Saya tahu itu tidak mudah, Ernita," kata Tia dengan lembut. "Ibu Loren memang tidak suka ada orang asing yang masuk begitu saja. Tapi kamu sudah melakukan hal yang benar. Mereka membutuhkanmu." Ernita mengangguk, meskipun perasaan di dalam hatinya tidak sepenuhnya tenang. Ia tahu bahwa tinggal di rumah ini akan jauh lebih rumit daripada yang ia bayangkan. Ada banyak aturan yang tidak ia pahami, dan keluarga Taufik tampaknya penuh dengan tekanan dan masalah tersembunyi. Namun untuk saat ini, yang bisa ia lakukan adalah fokus pada bayi-bayi kembar itu, memberikan mereka yang terbaik meskipun ia tahu peranannya bukan tanpa tantangan. Setelah Loren pergi, Ernita kembali menyusui bayi kembar itu, berharap bisa memberikan mereka kasih sayang yang akan membuat mereka tumbuh dengan bahagia. Meskipun ibu Taufik terlihat tidak terlalu marah, ketegangan yang terpendam masih terasa di udara. "Apakah ini akan selalu seperti ini?" pikirnya dalam hati. Ernita tahu bahwa ia tidak bisa sepenuhnya menyandarkan dirinya pada Taufik. Tanggung jawab ini bukan hanya tentang menyusui bayi, tetapi juga tentang menjaga hubungan dengan keluarga Taufik yang kaya raya dan berpengaruh. Tia yang berdiri di samping Ernita mengamati ekspresi wajahnya. "Jangan khawatirkan dia, Ernita. Ibu Loren hanya tampak keras, tapi dia bukan orang yang mudah terpengaruh. Jika Tuan Taufik sudah memutuskan, semua akan berjalan lancar," katanya dengan suara yang menenangkan. Namun Ernita tetap merasa resah. Ia hanya seorang wanita biasa yang terjebak dalam situasi tak terduga, dan ia harus berjuang untuk bertahan. Menjadi ibu susu bagi bayi kembar yang begitu berarti bagi Taufik bukanlah hal yang bisa diabaikan begitu saja. Ernita merasa terbeban dengan tanggung jawab yang baru ini, tapi juga tidak bisa menghindar. Ia tahu bahwa ini adalah kesempatan langka baginya untuk bertahan hidup, meskipun di sisi lain, ia juga harus menghadapi kenyataan pahit bahwa ia terjebak dalam dunia yang jauh lebih besar dari yang pernah ia bayangkan.Malam hari, suasana rumah Taufik begitu hening, hanya terdengar suara langkah kaki di lantai marmer rumah mewah Taufik. Saat itu, Ernita sedang membersihkan ruang tamu karena Tia sudah pulang. Ia hanya bekerja pagi sampai sore saja lantaran memiliki anak dan suami di rumahnya.Ernya tak menyangka bahwa malam itu Loren, ibu Taufik, datang lagi. Taufik sudah tiba di rumah setelah hari yang panjang, dan Loren segera mendekatinya."Taufik, ayo kita makan malam bersama di restoran. Aku ingin kamu beristirahat setelah seharian bekerja," ajak Loren dengan suara lembut, namun nada perintahnya tak bisa disembunyikan.Taufik terlihat lelah namun tetap mengangguk. "Baik, Bu. Tapi, aku ingin berbicara sebentar denganmu tentang Ernita."Loren memutar bola matanya. "Apa lagi yang perlu dibicarakan tentang perempuan itu? Bukankah kamu sudah memutuskan segala sesuatunya?" tanyanya, masih dengan nada yang penuh kecurigaan.Malam itu, Ernita yang sedang merapikan beberapa barang di ruang tamu mendengar
Pagi itu, Taufik berangkat lebih awal ke kantor karena ada rapat penting dengan klien dari luar negeri. Seperti biasa, sebelum pergi, ia sempat menengok kedua putranya yang sedang tertidur lelap di dalam boks bayi mereka. Ernita pun sudah bersiap dengan pekerjaannya. Hari ini tugasnya tetap sama, merawat dan menyusui bayi kembar Taufik, Asrul dan Arkaf.Namun berbeda dari hari-hari sebelumnya, kali ini ibu Taufik, Loren, memutuskan untuk tinggal di rumah putranya sepanjang hari karena dia mendengar bahwa Tia meminta ijin libur lantaran anaknya sakit.Hal itu dijadikan kesempatan oleh Loren. Tidak sendirian, ia mengajak serta putrinya, Helen, yang merupakan adik perempuan Taufik. Keduanya sudah berencana untuk mengamati dan mencari kesalahan Ernita agar bisa mengusirnya dari rumah itu."Ibu, kenapa kita tidak menyuruh saja Taufik mengganti wanita itu dengan perawat bayi profesional?" bisik Helen saat mereka duduk di ruang tamu sambil memperhatikan gerak-gerik Ernita dari kejauhan.Lore
Sejak Loren dan Helen berpamitan pulang, Ernita kembali menjalani rutinitasnya seperti biasa, mengurus bayi kembar dan memenuhi tugasnya sebagai ibu susu mereka. Namun dalam beberapa minggu terakhir, ia merasakan ada perubahan di lingkungan sekitar. Tatapan para tetangga terhadapnya mulai berbeda, dan ada bisikan-bisikan yang terdengar setiap kali ia melewati mereka.Awalnya, Ernita mencoba mengabaikan hal itu. Namun suatu sore, Tia, salah satu asisten rumah tangga senior, menghampirinya dengan ekspresi cemas."Mbak Nita, saya enggak tahu gimana ngomongnya, tapi … ada gosip yang beredar di luar sana. Katanya, Mbak punya hubungan khusus sama Tuan Taufik."Ernita terdiam, matanya melebar. "Apa? Dari mana datangnya gosip seperti itu?"Tia menggeleng dengan raut gusar. "Saya juga enggak tahu pasti, Mbak. Tapi katanya, ada yang melihat Tuan Taufik sering memperhatikan dan melindungi Mbak lebih dari seharusnya. Apalagi sejak kabar perjodohan Pak Taufik sama anak dari keluarga terpandang itu
Hujan turun dengan derasnya, membasahi bumi yang gelap. Petir menyambar-nyambar menerangi langit sesaat sebelum kegelapan kembali menguasai malam. Suara guntur bergemuruh, mengiringi tangisan seorang wanita yang baru saja mengalami kehilangan paling menyakitkan dalam hidupnya."Anakku! Anakku!" Ernita menjerit, suaranya bercampur dengan suara hujan yang mengguyur atap rumah sakit.Tubuhnya masih lemah, keringat dingin mengalir di pelipisnya. Rasa sakit akibat melahirkan secara sungsang masih terasa di setiap jengkal tubuhnya. Namun semua itu tidak ada artinya dibandingkan dengan rasa hancur yang kini merobek hatinya.Di depannya, bayi mungil yang baru saja ia lahirkan terbujur kaku. Bibirnya membiru, matanya tertutup rapat. Tak ada tangisan, tak ada gerakan. Hanya keheningan yang menyesakkan."Bu, tenang dulu. Kami sudah berusaha sebisa mungkin," ucap dokter dengan suara penuh simpati."Tidak! Tidak mungkin! Anakku tidak mungkin meninggal!" Ernita mengguncang tubuh kecil itu, berharap
Hujan semalam masih menyisakan jejak di dedaunan yang basah. Angin pagi berembus perlahan, membawa hawa dingin yang menusuk kulit. Ernita berdiri di depan rumah kos sederhana yang kini menjadi tempat tinggalnya. Mata sembabnya menatap kosong ke jalanan sepi.Hari ini genap seminggu sejak Gudel menceraikannya.Pernikahan yang ia jalani dengan penuh harapan kini hanya tinggal kenangan pahit. Ia tak hanya kehilangan bayinya, tetapi juga kehilangan tempat tinggal, keluarga, dan segala yang pernah ia anggap rumah. Gudel mengusirnya tanpa belas kasihan. Tak ada harta yang bisa ia bawa selain beberapa potong pakaian dan sedikit uang di dalam dompetnya.Ernita menarik napas panjang, mencoba mengusir perasaan sakit yang terus menggerogoti hatinya."Sampai kapan aku akan begini?" gumamnya.Ia sadar, larut dalam kesedihan tak akan membuat hidupnya lebih baik. Ia harus bangkit, harus mencari cara untuk bertahan hidup. Uang yang tersisa semakin menipis, dan ia tidak punya siapa-siapa yang bisa ia
Sejak Loren dan Helen berpamitan pulang, Ernita kembali menjalani rutinitasnya seperti biasa, mengurus bayi kembar dan memenuhi tugasnya sebagai ibu susu mereka. Namun dalam beberapa minggu terakhir, ia merasakan ada perubahan di lingkungan sekitar. Tatapan para tetangga terhadapnya mulai berbeda, dan ada bisikan-bisikan yang terdengar setiap kali ia melewati mereka.Awalnya, Ernita mencoba mengabaikan hal itu. Namun suatu sore, Tia, salah satu asisten rumah tangga senior, menghampirinya dengan ekspresi cemas."Mbak Nita, saya enggak tahu gimana ngomongnya, tapi … ada gosip yang beredar di luar sana. Katanya, Mbak punya hubungan khusus sama Tuan Taufik."Ernita terdiam, matanya melebar. "Apa? Dari mana datangnya gosip seperti itu?"Tia menggeleng dengan raut gusar. "Saya juga enggak tahu pasti, Mbak. Tapi katanya, ada yang melihat Tuan Taufik sering memperhatikan dan melindungi Mbak lebih dari seharusnya. Apalagi sejak kabar perjodohan Pak Taufik sama anak dari keluarga terpandang itu
Pagi itu, Taufik berangkat lebih awal ke kantor karena ada rapat penting dengan klien dari luar negeri. Seperti biasa, sebelum pergi, ia sempat menengok kedua putranya yang sedang tertidur lelap di dalam boks bayi mereka. Ernita pun sudah bersiap dengan pekerjaannya. Hari ini tugasnya tetap sama, merawat dan menyusui bayi kembar Taufik, Asrul dan Arkaf.Namun berbeda dari hari-hari sebelumnya, kali ini ibu Taufik, Loren, memutuskan untuk tinggal di rumah putranya sepanjang hari karena dia mendengar bahwa Tia meminta ijin libur lantaran anaknya sakit.Hal itu dijadikan kesempatan oleh Loren. Tidak sendirian, ia mengajak serta putrinya, Helen, yang merupakan adik perempuan Taufik. Keduanya sudah berencana untuk mengamati dan mencari kesalahan Ernita agar bisa mengusirnya dari rumah itu."Ibu, kenapa kita tidak menyuruh saja Taufik mengganti wanita itu dengan perawat bayi profesional?" bisik Helen saat mereka duduk di ruang tamu sambil memperhatikan gerak-gerik Ernita dari kejauhan.Lore
Malam hari, suasana rumah Taufik begitu hening, hanya terdengar suara langkah kaki di lantai marmer rumah mewah Taufik. Saat itu, Ernita sedang membersihkan ruang tamu karena Tia sudah pulang. Ia hanya bekerja pagi sampai sore saja lantaran memiliki anak dan suami di rumahnya.Ernya tak menyangka bahwa malam itu Loren, ibu Taufik, datang lagi. Taufik sudah tiba di rumah setelah hari yang panjang, dan Loren segera mendekatinya."Taufik, ayo kita makan malam bersama di restoran. Aku ingin kamu beristirahat setelah seharian bekerja," ajak Loren dengan suara lembut, namun nada perintahnya tak bisa disembunyikan.Taufik terlihat lelah namun tetap mengangguk. "Baik, Bu. Tapi, aku ingin berbicara sebentar denganmu tentang Ernita."Loren memutar bola matanya. "Apa lagi yang perlu dibicarakan tentang perempuan itu? Bukankah kamu sudah memutuskan segala sesuatunya?" tanyanya, masih dengan nada yang penuh kecurigaan.Malam itu, Ernita yang sedang merapikan beberapa barang di ruang tamu mendengar
Ernita terbangun pagi itu dengan perasaan campur aduk. Malam sebelumnya, setelah menyusui bayi kembar Taufik, ia tidur lelap tanpa terganggu, tetapi kini dengan pagi yang cerah, beban baru terasa semakin berat. Ernita tahu, pekerjaannya sebagai ibu susu bukanlah hal yang mudah. Namun pagi ini ia tidak bisa membiarkan dirinya ragu, apalagi setelah ia melihat betapa pentingnya peranannya bagi bayi-bayi tersebut.Setelah mandi dan mengenakan pakaian kerja yang diberikan oleh Taufik, Ernita menyiapkan sarapan sederhana di dapur. Setelah itu, ia langsung menuju ruang keluarga untuk merawat bayi-bayi kembar yang sedang tidur nyenyak di buaian. Ernita menatap kedua wajah kecil itu, hatinya tergerak oleh kasih sayang yang mendalam, meskipun mereka bukan darah dagingnya.Dia menggendong salah satu bayi dan duduk dengan hati-hati di kursi yang sudah disiapkan. Bayi itu mulai mengisap dengan tenang, sementara Ernita menatap keluar jendela, membiarkan pikirannya melayang. Tentu saja, ia tidak bis
Hujan semalam masih menyisakan jejak di dedaunan yang basah. Angin pagi berembus perlahan, membawa hawa dingin yang menusuk kulit. Ernita berdiri di depan rumah kos sederhana yang kini menjadi tempat tinggalnya. Mata sembabnya menatap kosong ke jalanan sepi.Hari ini genap seminggu sejak Gudel menceraikannya.Pernikahan yang ia jalani dengan penuh harapan kini hanya tinggal kenangan pahit. Ia tak hanya kehilangan bayinya, tetapi juga kehilangan tempat tinggal, keluarga, dan segala yang pernah ia anggap rumah. Gudel mengusirnya tanpa belas kasihan. Tak ada harta yang bisa ia bawa selain beberapa potong pakaian dan sedikit uang di dalam dompetnya.Ernita menarik napas panjang, mencoba mengusir perasaan sakit yang terus menggerogoti hatinya."Sampai kapan aku akan begini?" gumamnya.Ia sadar, larut dalam kesedihan tak akan membuat hidupnya lebih baik. Ia harus bangkit, harus mencari cara untuk bertahan hidup. Uang yang tersisa semakin menipis, dan ia tidak punya siapa-siapa yang bisa ia
Hujan turun dengan derasnya, membasahi bumi yang gelap. Petir menyambar-nyambar menerangi langit sesaat sebelum kegelapan kembali menguasai malam. Suara guntur bergemuruh, mengiringi tangisan seorang wanita yang baru saja mengalami kehilangan paling menyakitkan dalam hidupnya."Anakku! Anakku!" Ernita menjerit, suaranya bercampur dengan suara hujan yang mengguyur atap rumah sakit.Tubuhnya masih lemah, keringat dingin mengalir di pelipisnya. Rasa sakit akibat melahirkan secara sungsang masih terasa di setiap jengkal tubuhnya. Namun semua itu tidak ada artinya dibandingkan dengan rasa hancur yang kini merobek hatinya.Di depannya, bayi mungil yang baru saja ia lahirkan terbujur kaku. Bibirnya membiru, matanya tertutup rapat. Tak ada tangisan, tak ada gerakan. Hanya keheningan yang menyesakkan."Bu, tenang dulu. Kami sudah berusaha sebisa mungkin," ucap dokter dengan suara penuh simpati."Tidak! Tidak mungkin! Anakku tidak mungkin meninggal!" Ernita mengguncang tubuh kecil itu, berharap