Malam itu, Ernita duduk di tepi ranjangnya, ia masih memikirkan perhatian Taufik yang semakin hari semakin terasa tulus. Ia tahu bahwa pria itu hanya ingin memastikan dirinya baik-baik saja, tapi perasaan di hatinya mulai sulit dikendalikan."Aku tidak boleh terbawa suasana," batinnya mencoba menepis perasaan aneh yang mulai tumbuh.Namun pikirannya segera teralihkan ketika ia teringat sesuatu. Tatapan pria yang sempat ia lihat sekilas di mall tadi siang. Ia merasa seperti diawasi, tapi saat itu ia tidak terlalu memikirkannya."Apa mungkin hanya perasaanku saja?" gumamnya.Tanpa ia sadari, seseorang memang benar-benar telah mengawasinya dari jauh.Dan keesokan harinya, Ernita bangun lebih pagi dari biasanya. Setelah menyelesaikan tugasnya, ia keluar sebentar ke minimarket dekat rumah untuk membeli beberapa keperluan.Namun saat sedang berjalan kembali ke rumah Taufik, tiba-tiba langkahnya terhenti."Nita?"Suara berat yang sangat familiar itu membuat tubuhnya menegang. Perlahan, ia me
Sementara dari kejauhan, tanpa disadari, dua pasang mata mengintai perdebatan mereka. Ya, mereka adalah Loren dan Helen, ibunda dan adik perempuan Taufik. Mereka berniat mengunjungi Taufik. Namun sebelum sampai di depan rumah Taufik, mereka tanpa sengaja menyaksikan perdebatan Taufik dengan pria yang Loren sama sekali tidak mengenalnya.Loren pun menghentikan mobilnya, "siapa laki-laki yang bersama Taufik?" tanyanya kepada Helen."Mana aku tahu, Bu, aku pun baru melihatnya," jawab Helen acuh tak acuh."Coba kamu selidiki mereka dari dekat, tapi hati-hati jangan sampai ketahuan," titah Loren.Dengan malas, Helen turun dan berjalan mengendap endap kemudian bersembunyi di salah satu pohon yang dekat dengan keberadaan ketiga insan yang dimaksud.Tak lama kemudian, Helen kembali masuk ke mobil. Dia melaporkan semua yang didengarnya.Loren yang duduk di dalam mobilnya, tangannya mengetuk-ngetuk setir dengan gelisah. Helen, yang duduk di sampingnya, tampak berpikir keras setelah melaporkan a
Loren duduk di ruang tamu rumahnya yang megah, jari-jarinya mengetuk meja dengan ritme teratur. Wajahnya menunjukkan ekspresi penuh perhitungan, sementara Helen duduk di seberangnya dengan wajah yang lebih gelisah."Kita tidak bisa langsung bertindak gegabah." Loren memulai pembicaraan. "Kalau kita menyerang Ernita secara langsung, Taufik bisa saja semakin melindunginya."Helen mengangguk pelan, tetapi dalam hatinya ia mulai meragukan niat ibunya. "Lalu, apa yang akan Ibu lakukan?"Loren tersenyum licik. "Kita akan buat Nita terlihat buruk di mata Taufik. Bukan hanya melalui gosip, tapi dengan bukti yang bisa menjatuhkannya."Helen mengernyit. "Apa Ibu berencana menjebaknya?"Loren mengangkat bahu dengan santai. "Sebut saja begitu. Tapi kita harus melakukannya dengan cermat. Aku akan menghubungi seseorang untuk mencari tahu lebih banyak tentang kehidupan pribadinya sebelum bekerja untuk Taufik. Kita perlu menemukan celah yang bisa kita manfaatkan."Helen menghela napas berat. "Ibu yak
Loren duduk di ruang tamunya dengan ekspresi puas. Ia sudah menghubungi beberapa kenalannya untuk menggali lebih dalam tentang masa lalu Ernita. Tak butuh waktu lama baginya untuk mendapatkan informasi yang bisa digunakannya sebagai senjata."Ibu yakin ini akan berhasil?" tanya Helen dengan ragu.Loren meneguk kopinya dengan tenang. "Tentu saja. Aku tidak akan membiarkan perempuan itu terus berada di sisi Taufik."Helen menghela napas. Meskipun ia tidak terlalu menyukai Ernita, ia juga merasa ibunya mungkin sungguh keterlaluan dalam masalah ini.Sementara di Rumah Taufik, Ernita Mulai Merasa Gelisah. Hari itu, ia tengah menyuapi si kembar ketika Tia, asisten rumah tangga Taufik, datang menghampirinya."Mbak Nita, barusan ada yang mencari Mbak di luar," ujar Tia dengan suara pelan.Ernita menoleh dengan bingung. "Siapa?"Tia menggeleng. "Saya tidak tahu, tapi dia laki-laki yang terlihat mencurigakan. Begitu saya bilang Mbak tidak bisa menemui siapa pun sekarang, dia langsung pergi tanp
Loren semakin gencar menyebarkan gosip tentang Ernita, seolah tidak mengenal batas. Baginya, ini bukan sekadar menyingkirkan seorang perempuan yang mengganggu, tetapi juga pembuktian bahwa ia masih memiliki kendali atas kehidupan Taufik.Setiap kesempatan yang ada, Loren menyisipkan cerita miring tentang Ernita kepada kenalan-kenalannya. Dengan statusnya sebagai wanita terpandang, tidak sulit baginya untuk membuat orang-orang percaya bahwa Ernita hanyalah seorang perempuan tak tahu diri yang menempel pada putranya demi kehidupan yang nyaman.Bahkan, ia mulai menyebarkan cerita bahwa Ernita memiliki masa lalu kelam yang membuatnya ditinggalkan oleh mantan suaminya. Tak peduli apakah itu benar atau tidak, Loren tidak memikirkan akibat dari perbuatannya. Yang terpenting baginya adalah Ernita segera keluar dari rumah Taufik.****Suatu hari, Taufik, Loren, dan Helen menghadiri undangan pernikahan seorang klien besar. Acara ini sangat penting bagi Taufik karena bisa memperluas jaringan bis
Loren duduk dengan anggun di ruang kerjanya, jemarinya mengetuk-ngetuk meja dengan ritme pelan. Senyumnya mengembang saat membaca balasan pesan yang baru saja diterimanya."Semuanya berjalan sesuai rencana," gumamnya.Helen yang duduk di seberang meja menatap ibunya dengan tatapan ragu. "Bu, kau benar-benar akan melakukan ini?"Loren menoleh dengan ekspresi tajam. "Tentu saja. Aku tidak akan membiarkan perempuan rendahan itu terus berada di sisi Taufik. Dia harus pergi sebelum keadaan semakin buruk."Helen menggigit bibirnya. Meskipun ia tidak menyukai keberadaan Ernita, ia merasa ibunya mulai kelewatan."Tapi, Bu, kalau Taufik sampai tahu ....""Dia tidak akan tahu," potong Loren cepat. "Semuanya sudah kuatur dengan rapi. Aku tidak akan bertindak gegabah." Helen pun terdiam sementara Loren kemudian menghubungi seseorang, berbicara dengan suara rendah dan penuh perintah."Besok pagi, sebarkan lebih banyak gosip di kalangan sosialita. Pastikan orang-orang mulai mempertanyakan reputasi
Taufik duduk di ruang kerjanya dengan ekspresi dingin. Tangannya menggenggam ponsel, memikirkan langkah selanjutnya. Gosip yang beredar semakin liar, dan ia tahu ini bukan sekadar rumor biasa. Seseorang pasti menyebarkannya dengan sengaja.Sang Presdir pun memutuskan untuk menghubungi beberapa orang kepercayaannya di dunia bisnis dan media. Setelah beberapa panggilan, ia mulai mendapatkan gambaran bahwa gosip itu dimulai dari lingkaran sosial ibunya, Loren. Namun, Taufik belum bisa memastikan apakah ibunya benar-benar dalangnya.Di sisi lain, Ernita pulang ke rumah dengan perasaan kacau. Sejak di pasar tadi, ia merasa seolah semua mata memandangnya dengan tatapan penuh hinaan. Begitu sampai di rumah, ia langsung menuju kamarnya dan duduk di tepi tempat tidur."Siapa yang menyebarkan semua ini?" gumamnya merasa putus asa.Tia yang baru selesai bekerja, melihat Ernita tampak murung. Dengan ragu, ia mendekat."Mbak Nita, ada yang bisa saya bantu?"Ernita tersenyum tipis, berusaha menyemb
Pagi itu, suasana di rumah Taufik terasa lebih sunyi dari biasanya. Ernita sudah bangun lebih awal dan memilih untuk tidak banyak berbicara. Semakin hari, tekanan dari gosip yang beredar semakin menghimpitnya.Di dapur, Tia memperhatikan Ernita dengan tatapan khawatir. "Mbak Nita, tadi saya ke pasar dan ... orang-orang masih membicarakan gosip itu."Ernita menarik napas panjang. "Aku juga sudah menduganya, Mbak. Sepertinya mereka tidak akan berhenti dalam waktu dekat."Tia menggigit bibir. "Saya tidak suka melihat Mbak diperlakukan seperti ini. Saya ingin membantu, tapi saya tidak tahu harus bagaimana."Ernita tersenyum tipis. "Mbak sudah cukup membantu dengan selalu baik padaku. Aku hanya berharap masalah ini bisa segera selesai."Tia pun mengangguk ....Sementara di kantor, Taufik sibuk memeriksa laporan keuangan perusahaannya, tetapi pikirannya terus terganggu oleh gosip yang beredar. Semakin ia menyelidiki, semakin jelas bahwa seseorang sengaja menyebarkan kabar buruk tentang Erni
Sudah beberapa hari sejak Ernita dan Taufik kembali dari bulan madu mereka di Puncak. Hari-hari Ernita terasa cukup tenang, namun juga sedikit membosankan. Aktivitas di rumah mulai terasa monoton, terlebih setelah si kembar lebih sering tidur dan Tia sudah begitu sigap membantu segala keperluan rumah tangga.Pagi itu, Ernita duduk di ruang tengah, memandangi jendela yang menampakkan langit cerah. Taufik sedang bersiap berangkat ke kantor. Melihat wajah istrinya yang tampak murung, Taufik menghampirinya sambil membawa secangkir teh hangat."Kamu kenapa, Nita? Kelihatan lemas gitu wajahnya. Kurang tidur?"Ernita menggeleng pelan. "Enggak sih, cuma aku agak suntuk aja di rumah terus. Nggak ada temen ngobrol selain Mbak Tia dan si kembar."Taufik tersenyum memahami. Ia duduk di samping Ernita dan meraih tangan istrinya. "Kalau gitu, gimana kalau kamu jalan-jalan sebentar? Keluar cari udara segar, makan enak, atau sekadar cuci mata di pusat perbelanjaan.""Emangnya, boleh ya?""Boleh dong.
Udara pagi terasa hangat dan menyegarkan saat mobil hitam milik Taufik berhenti perlahan di depan rumah barunya. Setelah menghabiskan hari-hari penuh kebahagiaan dan ketenangan di Puncak, kini mereka kembali ke rumah dengan hati yang penuh suka cita. Ernita yang duduk di samping Taufik tampak bahagia. Senyum di wajahnya tak kunjung pudar sejak mereka turun dari puncak.Taufik segera turun dari mobil dan membuka pintu untuk Ernita. Ia menggandeng tangan istrinya dengan lembut, dan bersama-sama mereka melangkah menuju pintu rumah. Begitu pintu terbuka, aroma khas rumah mereka langsung menyambut. Di ruang tamu, Tia yang tengah menggendong Arkaf, dan di dekatnya dua box bayi dengan Asrul yang mulai merengek karena ingin digendong juga."Wah, kalian sudah pulang. Gimana liburannya, Mbak Nita?" tanya Tia sambil tersenyum, tangannya sibuk menenangkan Arkaf yang mulai menggeliat dalam pelukannya.Ernita tertawa kecil, senang disambut dengan wajah bersahabat Tia. "Ya, menyenangkan. Udara di Pu
Dua hari telah berlalu sejak kedatangan Ernita dan Taufik di puncak bukit hijau. Mereka masih berada di vila sederhana yang menghadap langsung ke lembah luas berisi kebun teh dan barisan pepohonan pinus. Meski jauh dari hiruk-pikuk kota, tempat itu justru menjadi surga kecil bagi keduanya. Ketenangan, udara sejuk, dan kebersamaan yang intim membuat waktu seolah berjalan lambat namun penuh makna.Pagi itu, matahari belum sepenuhnya muncul dari balik perbukitan. Kabut tipis menyelimuti halaman vila. Ernita keluar dari kamar dengan mengenakan sweater abu-abu yang menggantung longgar di tubuhnya. Di tangannya, dua cangkir kopi hangat. Taufik sudah lebih dulu duduk di teras, membungkus tubuhnya dengan jaket tebal dan sarung tangan rajut. Senyum merekah di wajahnya begitu melihat Ernita."Pagi, Nit," sapa Taufik sembari menerima cangkir dari tangan istrinya."Pagi juga, Mas. Tidurmu nyenyak semalam?" tanya Ernita sambil duduk di sebelahnya."Nyenyak banget. Mungkin karena pelukanku nggak di
Setibanya di rumah dengan wajah kusut dan penuh amarah, Loren langsung melempar tas tangannya ke sofa ruang tamu. Hatinya masih terbakar sejak mendapati kenyataan bahwa Taufik, putra sulung yang begitu ia banggakan, telah menikahi Ernita secara diam-diam. Tak ada pemberitahuan, tak ada restu. Semua terjadi tanpa sepengetahuannya.Helen yang sedang duduk di ruang keluarga, sibuk dengan laptop di pangkuannya, menoleh kaget melihat tingkah sang ibu."Ibu kenapa? Kayak habis dikejar anjing aja kok sangar gitu," goda Helen ringan, mencoba mencairkan suasana.Namun, Loren tak tertawa. Wanita berusia empat puluh lima tahun itu justru melangkah cepat dan duduk di samping Helen."Helen, kamu tahu apa yang terjadi di Bali?" Loren bertanya dengan suara gemetar menahan emosi.Helen mengernyit. "Emangnya ada apa di Bali, Bu? Ibu nggak cerita sebelumnya. Lagian, emangnya Ibu dari Bali? Kok nggak bilang sama aku?"Loren menghela napas panjang. "Taufik kakakmu. Dia ternyata sudah menikah sama Ernita.
Satu Minggu kemudian, Taufik mengajak Ernita berbulan madu. Tempat tujuan mereka adalah Bali.Pagi itu, sinar matahari menyelinap ke jendela kamar hotel tempat Taufik dan Ernita menginap di Bali. Semilir angin laut membawa aroma asin yang khas, menyatu dengan udara segar pegunungan di kejauhan. Suara deburan ombak terdengar sayup-sayup, membangunkan mereka dari tidur lelap setelah perjalanan panjang kemarin.Taufik membuka mata lebih dulu. Ia tersenyum melihat Ernita yang masih tertidur dengan tenang di sampingnya. Wajah istrinya tampak damai. Ia membelai rambut Ernita pelan, lalu mengecup keningnya. "Bangun, sayang. Hari ini kita jelajah Bali."Ernita menggeliat pelan lalu membuka matanya. Senyumnya merekah saat melihat Taufik. "Masih seperti mimpi rasanya, Mas.""Kalau mimpi, aku tak mau bangun," ujar Taufik sambil menggenggam tangan Ernita.Setelah bersiap-siap, mereka menikmati sarapan di restoran hotel. Taufik sudah menyusun agenda untuk mereka berdua. jalan-jalan ke Ubud, makan
Pagi itu, mentari bersinar hangat di langit kota yang baru saja mulai bergeliat. Rumah Taufik tampak lebih ramai dari biasanya. Tenda kecil telah terpasang rapi di halaman depan, dihiasi dengan bunga-bunga segar dan kain putih yang melambai tertiup angin. Suasana penuh haru dan kehangatan mulai menyelimuti tempat itu. Hari ini adalah hari yang telah dinanti-nanti oleh Taufik dan Ernita. Hari di mana keduanya akan mengikat janji suci sebagai sepasang suami istri.Taufik mengenakan beskap berwarna krem dengan sentuhan batik yang elegan. Senyumnya tak henti menghiasi wajahnya, meski sesekali tampak gugup. Di sisi lain, Ernita atau yang kini akrab dipanggil Nita oleh Taufik, tampil anggun dalam balutan kebaya sederhana berwarna lembut. Riasannya tidak berlebihan, namun cukup membuat kecantikannya terpancar lebih dari biasanya. Nita tampak bahagia, meski matanya sesekali berkaca-kaca.Acara dimulai dengan khidmat. Di depan penghulu dan para saksi yang terdiri dari beberapa rekan kerja Tauf
Hari-hari Taufik kini dipenuhi dengan semangat baru. Sejak Ernita menerima lamarannya secara sederhana dan penuh ketulusan, ia merasa seperti menemukan kembali arah hidupnya. Bukan hanya sebagai seorang ayah, tapi juga sebagai seorang pria yang akan kembali memimpin rumah tangga dengan cinta dan kesadaran penuh.Taufik mulai mempersiapkan segala sesuatunya untuk pernikahan mereka. Ia tidak ingin acara besar-besaran. Cukup sebuah acara sakral yang hangat, sederhana, dan penuh makna. Ia tahu benar, yang mereka perlukan bukanlah kemewahan, tapi ketulusan. Cinta tidak perlu diumumkan kepada dunia dengan gebyar, cukup diresapi dan dirayakan bersama orang-orang yang benar-benar mendoakan.Langkah pertama yang ia lakukan adalah mendaftar ke Kantor Urusan Agama. Ia datang pagi-pagi, membawa semua persyaratan yang dibutuhkan. Petugas di KUA menyambutnya dengan ramah, dan membantunya melengkapi data-data yang masih kurang. Taufik memilih tanggal yang menurutnya cukup istimewa, tanggal yang sama
Malam telah larut. Cahaya lampu taman belakang menyapu lembut dedaunan yang bergoyang pelan tertiup angin. Dari balik jendela kamar, Ernita menatap langit malam yang dipenuhi bintang. Suara jangkrik bersahutan dengan tenangnya suasana sekitar, membuatnya hanyut dalam lamunan. Hari itu, anak-anak telah tidur lebih cepat, memberi waktu baginya untuk sekadar duduk dan menikmati kesunyian.Tiba-tiba terdengar ketukan pelan di pintu kamar."Nita?" Suara Taufik terdengar pelan namun tegas dari luar.Ernita terhenyak. Ia bangkit dari tempat duduknya dan membuka pintu perlahan. Taufik berdiri di sana dengan ekspresi wajah yang serius namun hangat. Ernita mengangguk pelan, membiarkan Taufik berdiri di ambang pintu."Ada apa, Tuan?" tanyanya lembut."Ekhem! Tolong mulai sekarang jangan panggil aku dengan sebutan Tuan. Anggil nama saja," ujar Taufik."Ta-tapi, itu tidak sopan kalau aku memanggil anda nama saja," gagap Ernita."Ya sudah, kamu panggil saja, Mas. Gimana? Bukankah lebih enak didenga
Hari itu, setelah menjalani serangkaian pertemuan bisnis yang melelahkan, Taufik pulang lebih awal dari biasanya. Matahari mulai condong ke barat, menyisakan cahaya keemasan yang menari-nari di sela dedaunan. Sesampainya di rumah, langkahnya terhenti di depan pintu belakang yang terbuka. Pandangannya langsung tertuju pada taman kecil di belakang rumah.Di sana, Ernita duduk di bangku kayu panjang, menggendong Arkaf di tangan kanan dan Asrul di pangkuan kiri. Kedua bayi itu tampak nyaman dalam pelukannya, tertawa kecil saat Ernita bernyanyi dengan lembut sambil menggoyang-goyangkan tubuh mereka perlahan. Senyum hangat terpancar dari wajah Ernita, begitu tenang, begitu penuh kasih. Pemandangan itu menusuk hati Taufik dengan perasaan yang tak bisa ia jelaskan.Selama ini, Ernita memang sudah seperti ibu bagi anak-anaknya. Ia merawat dengan sepenuh hati, tanpa pamrih, dan selalu hadir dalam setiap kebutuhannya. Tak sekalipun Ernita mengeluh. Bahkan saat Taufik tengah disibukkan dengan uru