Taufik duduk di ruang kerjanya dengan ekspresi dingin. Tangannya menggenggam ponsel, memikirkan langkah selanjutnya. Gosip yang beredar semakin liar, dan ia tahu ini bukan sekadar rumor biasa. Seseorang pasti menyebarkannya dengan sengaja.Sang Presdir pun memutuskan untuk menghubungi beberapa orang kepercayaannya di dunia bisnis dan media. Setelah beberapa panggilan, ia mulai mendapatkan gambaran bahwa gosip itu dimulai dari lingkaran sosial ibunya, Loren. Namun, Taufik belum bisa memastikan apakah ibunya benar-benar dalangnya.Di sisi lain, Ernita pulang ke rumah dengan perasaan kacau. Sejak di pasar tadi, ia merasa seolah semua mata memandangnya dengan tatapan penuh hinaan. Begitu sampai di rumah, ia langsung menuju kamarnya dan duduk di tepi tempat tidur."Siapa yang menyebarkan semua ini?" gumamnya merasa putus asa.Tia yang baru selesai bekerja, melihat Ernita tampak murung. Dengan ragu, ia mendekat."Mbak Nita, ada yang bisa saya bantu?"Ernita tersenyum tipis, berusaha menyemb
Pagi itu, suasana di rumah Taufik terasa lebih sunyi dari biasanya. Ernita sudah bangun lebih awal dan memilih untuk tidak banyak berbicara. Semakin hari, tekanan dari gosip yang beredar semakin menghimpitnya.Di dapur, Tia memperhatikan Ernita dengan tatapan khawatir. "Mbak Nita, tadi saya ke pasar dan ... orang-orang masih membicarakan gosip itu."Ernita menarik napas panjang. "Aku juga sudah menduganya, Mbak. Sepertinya mereka tidak akan berhenti dalam waktu dekat."Tia menggigit bibir. "Saya tidak suka melihat Mbak diperlakukan seperti ini. Saya ingin membantu, tapi saya tidak tahu harus bagaimana."Ernita tersenyum tipis. "Mbak sudah cukup membantu dengan selalu baik padaku. Aku hanya berharap masalah ini bisa segera selesai."Tia pun mengangguk ....Sementara di kantor, Taufik sibuk memeriksa laporan keuangan perusahaannya, tetapi pikirannya terus terganggu oleh gosip yang beredar. Semakin ia menyelidiki, semakin jelas bahwa seseorang sengaja menyebarkan kabar buruk tentang Erni
Beberapa hari setelah pertemuan rahasia antara Loren dan Gudel, gosip tentang Ernita semakin menyebar luas. Kini bukan hanya lingkungan elite yang membicarakannya, tetapi juga beberapa rekan bisnis Taufik.Dan di kantor, Taufik pun mulai merasakan dampak buruknya. Beberapa klien mempertanyakan integritasnya, bahkan ada juga yang mulai menarik diri dari kerja sama."Taufik, apa benar gosip yang beredar tentang wanita itu?" salah satu kolega bisnisnya bertanya saat mereka bertemu dalam sebuah acara.Taufik menghela napas panjang, menahan amarahnya. "Jangan gampang percaya gosip murahan. Aku tahu siapa Ernita."Namun dalam hati, ia mulai bertanya-tanya, siapa sebenarnya dalang di balik semua ini?Sementara di Rumah Taufik, Ernita masih berusaha menjalani hari-harinya seperti biasa. Namun ia tidak bisa menutupi kegelisahannya. Setiap kali keluar rumah, ia merasakan tatapan aneh dari orang-orang sekitar termasuk semua tetangganya.Tia yang memperhatikan perubahan sikap Ernita, akhirnya ang
Hari-hari berlalu dengan semakin banyaknya rumor yang beredar. Gosip mengenai Ernita dan hubungannya dengan Taufik kini semakin liar. Para karyawan di perusahaan Taufik mulai berbisik-bisik di belakangnya, beberapa rekan bisnisnya pun mulai mempertanyakan integritasnya.Sementara itu di rumah, Ernita semakin merasa tertekan. Pesan ancaman yang ia terima semakin menjadi-jadi. Bahkan, kini ada beberapa panggilan telepon tak dikenal yang mengganggunya. Setiap kali ia mengangkatnya, hanya ada suara napas berat di ujung sana sebelum panggilan diputus.Tia, satu-satunya asisten rumah tangga di rumah Taufik, mulai merasa kasihan melihat kondisi Ernita yang tampak semakin gelisah setiap harinya. Namun, ia juga tak berani ikut campur terlalu dalam.Suatu sore, ketika Ernita baru saja selesai menyusui bayi kembar Taufik, ia mendengar ketukan di pintu utama. Dengan sedikit ragu, ia berjalan ke arah pintu dan mengintip melalui lubang intip. Matanya membelalak saat melihat sosok yang berdiri di lu
Taufik duduk di ruang kerjanya, matanya menatap layar laptop yang menyala, tapi pikirannya melayang ke tempat lain. Sudah berhari-hari ia mencoba mencari tahu siapa dalang di balik semua masalah yang menimpanya belakangan ini, gosip miring, klien yang menarik diri, dan rumor buruk tentang Ernita yang terus menyebar. Ia tahu seseorang bermain di belakang layar, tapi siapa?Taufik mengingat kejadian di acara pernikahan klien besarnya beberapa waktu lalu. Bagaimana orang-orang berbisik saat melihatnya, bagaimana mereka memandangnya dengan tatapan mencemooh, bahkan ada yang terang-terangan mengatakan, "Tidak kusangka, seorang Taufik bisa jatuh sejauh ini hanya karena wanita rendahan."Itu membuatnya semakin curiga. Siapa yang menyebarkan cerita itu? Apa tujuan mereka?Taufik memejamkan mata sejenak, mencoba menyusun kepingan-kepingan informasi yang ia miliki. Sampai akhirnya, sebuah nama mulai mencuat dalam pikirannya. Loren.Awalnya, ia menepis kemungkinan itu. Loren memang keras dan teg
Taufik melangkahkan kakinya ke rumah ibunya dengan ekspresi santai, seolah-olah tak ada yang terjadi. Ia sudah memutuskan untuk bermain strategi, berpura-pura tidak tahu bahwa Loren adalah dalang dari semua gosip yang beredar.Saat tiba, Loren menyambutnya dengan senyuman hangat, seakan tak ada hal buruk yang ia lakukan di belakang putranya. "Tumben pulang, Nak. Ada yang mau dibicarakan?" tanyanya, duduk di sofa dengan anggun.Taufik mengangguk, lalu duduk di hadapan ibunya. "Aku cuma ingin menenangkan pikiran. Belakangan ini banyak omongan tidak enak tentang aku dan Ernita. Ibu pasti sudah dengar, kan?"Loren menyesap tehnya perlahan, menyembunyikan ekspresi wajahnya. "Ya, sedikit. Aku juga prihatin, Taufik. Makanya, aku selalu bilang, pilihlah lingkungan dan orang-orang yang pantas berada di sekitarmu."Taufik tersenyum kecil, memperhatikan setiap gerak-gerik ibunya. "Benar juga, Bu. Makanya, aku sedang mencari tahu siapa yang menyebarkan gosip ini. Aku ingin menyelesaikan masalah i
Taufik mulai merasa bahwa satu-satunya cara untuk menghindari konflik berkepanjangan dengan ibunya, Loren, adalah dengan menghilang dari kehidupannya untuk sementara waktu. Dia telah mengetahui sejauh mana Loren berusaha mengendalikan hidupnya, menyebarkan gosip dan bahkan mengancam Ernita. Baginya, ini sudah terlalu jauh. Oleh karena itu, dia mengambil keputusan drastis, menutup perusahaannya, menjual rumahnya, dan meninggalkan kota ini.Namun sebelum melangkah lebih jauh, Taufik memastikan segala urusan administrasi dan keuangan terselesaikan. Dia tidak ingin meninggalkan masalah atau utang yang bisa membawanya kembali ke kota ini. Dengan bantuan pengacara kepercayaannya, ia mulai mencari pembeli untuk perusahaan dan rumahnya. Beberapa minggu kemudian, seorang investor asing tertarik membeli perusahaannya dengan harga yang cukup tinggi. Tanpa banyak pikir, Taufik menyetujui penawaran tersebut.Setelah penjualan selesai, ia mendiskusikan keputusannya dengan Tia dan Ernita. Tia, yang
Hari-hari di kota baru itu terasa berbeda bagi Ernita. Udara lebih segar, suasana lebih tenang, dan yang paling penting, tidak ada gosip yang menyudutkannya seperti di tempat lama. Rumah yang kini mereka tinggali memiliki pekarangan kecil yang dipenuhi bunga-bunga warna-warni. Ernita setiap pagi menyiram bunga sambil menggendong salah satu bayi kembar, sementara yang satunya masih tertidur pulas di dalam rumah. Senyum di wajahnya kembali tumbuh. Untuk pertama kalinya sejak lama, ia merasa damai.Dan di sisi lain, Taufik mulai menjalani peran barunya sebagai pebisnis yang membangun segalanya dari nol. Dia telah menjual perusahaannya yang lama ke tangan orang asing, juga rumah mewah yang dulu menjadi tempat tinggalnya. Sekarang di kota baru ini, ia membeli sebuah bangunan kecil yang kemudian direnovasi menjadi kantor baru. Dengan modal pengalaman dan reputasi yang sudah menempel kuat pada dirinya, Taufik tidak membutuhkan waktu lama untuk menarik perhatian pebisnis lokal.Dia mulai meng
Sudah beberapa hari sejak Ernita dan Taufik kembali dari bulan madu mereka di Puncak. Hari-hari Ernita terasa cukup tenang, namun juga sedikit membosankan. Aktivitas di rumah mulai terasa monoton, terlebih setelah si kembar lebih sering tidur dan Tia sudah begitu sigap membantu segala keperluan rumah tangga.Pagi itu, Ernita duduk di ruang tengah, memandangi jendela yang menampakkan langit cerah. Taufik sedang bersiap berangkat ke kantor. Melihat wajah istrinya yang tampak murung, Taufik menghampirinya sambil membawa secangkir teh hangat."Kamu kenapa, Nita? Kelihatan lemas gitu wajahnya. Kurang tidur?"Ernita menggeleng pelan. "Enggak sih, cuma aku agak suntuk aja di rumah terus. Nggak ada temen ngobrol selain Mbak Tia dan si kembar."Taufik tersenyum memahami. Ia duduk di samping Ernita dan meraih tangan istrinya. "Kalau gitu, gimana kalau kamu jalan-jalan sebentar? Keluar cari udara segar, makan enak, atau sekadar cuci mata di pusat perbelanjaan.""Emangnya, boleh ya?""Boleh dong.
Udara pagi terasa hangat dan menyegarkan saat mobil hitam milik Taufik berhenti perlahan di depan rumah barunya. Setelah menghabiskan hari-hari penuh kebahagiaan dan ketenangan di Puncak, kini mereka kembali ke rumah dengan hati yang penuh suka cita. Ernita yang duduk di samping Taufik tampak bahagia. Senyum di wajahnya tak kunjung pudar sejak mereka turun dari puncak.Taufik segera turun dari mobil dan membuka pintu untuk Ernita. Ia menggandeng tangan istrinya dengan lembut, dan bersama-sama mereka melangkah menuju pintu rumah. Begitu pintu terbuka, aroma khas rumah mereka langsung menyambut. Di ruang tamu, Tia yang tengah menggendong Arkaf, dan di dekatnya dua box bayi dengan Asrul yang mulai merengek karena ingin digendong juga."Wah, kalian sudah pulang. Gimana liburannya, Mbak Nita?" tanya Tia sambil tersenyum, tangannya sibuk menenangkan Arkaf yang mulai menggeliat dalam pelukannya.Ernita tertawa kecil, senang disambut dengan wajah bersahabat Tia. "Ya, menyenangkan. Udara di Pu
Dua hari telah berlalu sejak kedatangan Ernita dan Taufik di puncak bukit hijau. Mereka masih berada di vila sederhana yang menghadap langsung ke lembah luas berisi kebun teh dan barisan pepohonan pinus. Meski jauh dari hiruk-pikuk kota, tempat itu justru menjadi surga kecil bagi keduanya. Ketenangan, udara sejuk, dan kebersamaan yang intim membuat waktu seolah berjalan lambat namun penuh makna.Pagi itu, matahari belum sepenuhnya muncul dari balik perbukitan. Kabut tipis menyelimuti halaman vila. Ernita keluar dari kamar dengan mengenakan sweater abu-abu yang menggantung longgar di tubuhnya. Di tangannya, dua cangkir kopi hangat. Taufik sudah lebih dulu duduk di teras, membungkus tubuhnya dengan jaket tebal dan sarung tangan rajut. Senyum merekah di wajahnya begitu melihat Ernita."Pagi, Nit," sapa Taufik sembari menerima cangkir dari tangan istrinya."Pagi juga, Mas. Tidurmu nyenyak semalam?" tanya Ernita sambil duduk di sebelahnya."Nyenyak banget. Mungkin karena pelukanku nggak di
Setibanya di rumah dengan wajah kusut dan penuh amarah, Loren langsung melempar tas tangannya ke sofa ruang tamu. Hatinya masih terbakar sejak mendapati kenyataan bahwa Taufik, putra sulung yang begitu ia banggakan, telah menikahi Ernita secara diam-diam. Tak ada pemberitahuan, tak ada restu. Semua terjadi tanpa sepengetahuannya.Helen yang sedang duduk di ruang keluarga, sibuk dengan laptop di pangkuannya, menoleh kaget melihat tingkah sang ibu."Ibu kenapa? Kayak habis dikejar anjing aja kok sangar gitu," goda Helen ringan, mencoba mencairkan suasana.Namun, Loren tak tertawa. Wanita berusia empat puluh lima tahun itu justru melangkah cepat dan duduk di samping Helen."Helen, kamu tahu apa yang terjadi di Bali?" Loren bertanya dengan suara gemetar menahan emosi.Helen mengernyit. "Emangnya ada apa di Bali, Bu? Ibu nggak cerita sebelumnya. Lagian, emangnya Ibu dari Bali? Kok nggak bilang sama aku?"Loren menghela napas panjang. "Taufik kakakmu. Dia ternyata sudah menikah sama Ernita.
Satu Minggu kemudian, Taufik mengajak Ernita berbulan madu. Tempat tujuan mereka adalah Bali.Pagi itu, sinar matahari menyelinap ke jendela kamar hotel tempat Taufik dan Ernita menginap di Bali. Semilir angin laut membawa aroma asin yang khas, menyatu dengan udara segar pegunungan di kejauhan. Suara deburan ombak terdengar sayup-sayup, membangunkan mereka dari tidur lelap setelah perjalanan panjang kemarin.Taufik membuka mata lebih dulu. Ia tersenyum melihat Ernita yang masih tertidur dengan tenang di sampingnya. Wajah istrinya tampak damai. Ia membelai rambut Ernita pelan, lalu mengecup keningnya. "Bangun, sayang. Hari ini kita jelajah Bali."Ernita menggeliat pelan lalu membuka matanya. Senyumnya merekah saat melihat Taufik. "Masih seperti mimpi rasanya, Mas.""Kalau mimpi, aku tak mau bangun," ujar Taufik sambil menggenggam tangan Ernita.Setelah bersiap-siap, mereka menikmati sarapan di restoran hotel. Taufik sudah menyusun agenda untuk mereka berdua. jalan-jalan ke Ubud, makan
Pagi itu, mentari bersinar hangat di langit kota yang baru saja mulai bergeliat. Rumah Taufik tampak lebih ramai dari biasanya. Tenda kecil telah terpasang rapi di halaman depan, dihiasi dengan bunga-bunga segar dan kain putih yang melambai tertiup angin. Suasana penuh haru dan kehangatan mulai menyelimuti tempat itu. Hari ini adalah hari yang telah dinanti-nanti oleh Taufik dan Ernita. Hari di mana keduanya akan mengikat janji suci sebagai sepasang suami istri.Taufik mengenakan beskap berwarna krem dengan sentuhan batik yang elegan. Senyumnya tak henti menghiasi wajahnya, meski sesekali tampak gugup. Di sisi lain, Ernita atau yang kini akrab dipanggil Nita oleh Taufik, tampil anggun dalam balutan kebaya sederhana berwarna lembut. Riasannya tidak berlebihan, namun cukup membuat kecantikannya terpancar lebih dari biasanya. Nita tampak bahagia, meski matanya sesekali berkaca-kaca.Acara dimulai dengan khidmat. Di depan penghulu dan para saksi yang terdiri dari beberapa rekan kerja Tauf
Hari-hari Taufik kini dipenuhi dengan semangat baru. Sejak Ernita menerima lamarannya secara sederhana dan penuh ketulusan, ia merasa seperti menemukan kembali arah hidupnya. Bukan hanya sebagai seorang ayah, tapi juga sebagai seorang pria yang akan kembali memimpin rumah tangga dengan cinta dan kesadaran penuh.Taufik mulai mempersiapkan segala sesuatunya untuk pernikahan mereka. Ia tidak ingin acara besar-besaran. Cukup sebuah acara sakral yang hangat, sederhana, dan penuh makna. Ia tahu benar, yang mereka perlukan bukanlah kemewahan, tapi ketulusan. Cinta tidak perlu diumumkan kepada dunia dengan gebyar, cukup diresapi dan dirayakan bersama orang-orang yang benar-benar mendoakan.Langkah pertama yang ia lakukan adalah mendaftar ke Kantor Urusan Agama. Ia datang pagi-pagi, membawa semua persyaratan yang dibutuhkan. Petugas di KUA menyambutnya dengan ramah, dan membantunya melengkapi data-data yang masih kurang. Taufik memilih tanggal yang menurutnya cukup istimewa, tanggal yang sama
Malam telah larut. Cahaya lampu taman belakang menyapu lembut dedaunan yang bergoyang pelan tertiup angin. Dari balik jendela kamar, Ernita menatap langit malam yang dipenuhi bintang. Suara jangkrik bersahutan dengan tenangnya suasana sekitar, membuatnya hanyut dalam lamunan. Hari itu, anak-anak telah tidur lebih cepat, memberi waktu baginya untuk sekadar duduk dan menikmati kesunyian.Tiba-tiba terdengar ketukan pelan di pintu kamar."Nita?" Suara Taufik terdengar pelan namun tegas dari luar.Ernita terhenyak. Ia bangkit dari tempat duduknya dan membuka pintu perlahan. Taufik berdiri di sana dengan ekspresi wajah yang serius namun hangat. Ernita mengangguk pelan, membiarkan Taufik berdiri di ambang pintu."Ada apa, Tuan?" tanyanya lembut."Ekhem! Tolong mulai sekarang jangan panggil aku dengan sebutan Tuan. Anggil nama saja," ujar Taufik."Ta-tapi, itu tidak sopan kalau aku memanggil anda nama saja," gagap Ernita."Ya sudah, kamu panggil saja, Mas. Gimana? Bukankah lebih enak didenga
Hari itu, setelah menjalani serangkaian pertemuan bisnis yang melelahkan, Taufik pulang lebih awal dari biasanya. Matahari mulai condong ke barat, menyisakan cahaya keemasan yang menari-nari di sela dedaunan. Sesampainya di rumah, langkahnya terhenti di depan pintu belakang yang terbuka. Pandangannya langsung tertuju pada taman kecil di belakang rumah.Di sana, Ernita duduk di bangku kayu panjang, menggendong Arkaf di tangan kanan dan Asrul di pangkuan kiri. Kedua bayi itu tampak nyaman dalam pelukannya, tertawa kecil saat Ernita bernyanyi dengan lembut sambil menggoyang-goyangkan tubuh mereka perlahan. Senyum hangat terpancar dari wajah Ernita, begitu tenang, begitu penuh kasih. Pemandangan itu menusuk hati Taufik dengan perasaan yang tak bisa ia jelaskan.Selama ini, Ernita memang sudah seperti ibu bagi anak-anaknya. Ia merawat dengan sepenuh hati, tanpa pamrih, dan selalu hadir dalam setiap kebutuhannya. Tak sekalipun Ernita mengeluh. Bahkan saat Taufik tengah disibukkan dengan uru