Pagi itu, Taufik berangkat lebih awal ke kantor karena ada rapat penting dengan klien dari luar negeri. Seperti biasa, sebelum pergi, ia sempat menengok kedua putranya yang sedang tertidur lelap di dalam boks bayi mereka. Ernita pun sudah bersiap dengan pekerjaannya. Hari ini tugasnya tetap sama, merawat dan menyusui bayi kembar Taufik, Asrul dan Arkaf.
Namun berbeda dari hari-hari sebelumnya, kali ini ibu Taufik, Loren, memutuskan untuk tinggal di rumah putranya sepanjang hari karena dia mendengar bahwa Tia meminta ijin libur lantaran anaknya sakit. Hal itu dijadikan kesempatan oleh Loren. Tidak sendirian, ia mengajak serta putrinya, Helen, yang merupakan adik perempuan Taufik. Keduanya sudah berencana untuk mengamati dan mencari kesalahan Ernita agar bisa mengusirnya dari rumah itu. "Ibu, kenapa kita tidak menyuruh saja Taufik mengganti wanita itu dengan perawat bayi profesional?" bisik Helen saat mereka duduk di ruang tamu sambil memperhatikan gerak-gerik Ernita dari kejauhan. Loren menyesap tehnya perlahan, lalu menatap putrinya dengan tajam. "Tidak bisa langsung seperti itu. Taufik terlalu percaya diri dengan keputusan yang dia buat. Kita harus punya alasan yang kuat agar dia sendiri yang menyingkirkan perempuan itu." Sementara itu di dalam kamar bayi, Ernita tengah menyusui Asrul. Bayi itu tampak nyaman dalam dekapannya, matanya setengah terpejam karena kenyang. Arkaf yang berada di boks sebelahnya mulai menggeliat, pertanda ia juga ingin menyusu. Ernita hendak menggeser posisi agar bisa menyusui Arkaf, tetapi sebelum sempat melakukannya, pintu kamar terbuka lebar. Loren dan Helen melangkah masuk tanpa izin, menatapnya dengan sorot mata tajam. "Astaga, jadi benar! Kau masih menyusui mereka langsung dengan ASI-mu?" seru Helen dengan nada mencemooh. "Kenapa tidak memakai botol saja? Itu lebih higienis!" Ernita mengangkat wajahnya, mencoba tetap tenang meskipun dadanya berdebar karena dipojokkan. "Tuan Taufik sendiri yang meminta saya untuk menyusui mereka secara langsung. Bayi-bayi ini menolak susu formula, dan mereka lebih nyaman dengan ASI." Loren melipat tangan di dadanya, berjalan mendekat dengan langkah anggun namun penuh tekanan. "Kau ini siapa sebenarnya? Aku masih belum percaya dengan cerita yang kau buat. Suamimu meninggal, bayimu meninggal, dan tiba-tiba kau ada di sini, menyusui cucu-cucuku? Itu terdengar terlalu dramatis untuk menjadi kenyataan." Ernita menggigit bibirnya, menahan air mata yang hampir tumpah. "Saya tidak punya alasan untuk berbohong, Nyonya. Saya hanya seorang wanita yang butuh pekerjaan untuk bertahan hidup." Helen mendengus sinis. "Bertahan hidup dengan cara menempel pada kakakku? Jangan-jangan kau berharap bisa menggantikan almarhumah Fatma dan menjadi istri kakakku?" Ernita terkesiap mendengar tuduhan itu. Wajahnya langsung memerah karena merasa sangat direndahkan. "Saya tidak pernah berpikir seperti itu! Saya di sini hanya untuk bekerja dan merawat bayi-bayi ini." Loren menyeringai, merasa puas melihat Ernita dalam posisi terpojok. "Aku tidak percaya dengan wanita seperti kamu. Kau mungkin bisa memperdaya Taufik, tapi tidak denganku. Awas saja, aku akan menemukan kesalahanmu dan memastikan kau tidak bertahan lama di rumah ini." Ernita hanya bisa diam, menundukkan kepala sambil berusaha menenangkan detak jantungnya yang berdegup kencang. Ia tahu, mulai hari ini hidupnya di rumah ini akan semakin sulit. **** Seharian Loren di rumah Taufik bersama Helen. Mereka berusaha mencari-cari kesalahan Ernita untuk bahan bulian. Loren sudah mengawasi setiap gerak-gerik Ernita dengan tatapan penuh curiga. "Kau benar-benar bekerja di sini atau hanya berpura-pura?" tanyanya dengan nada tajam saat Ernita sedang mencuci botol susu bayi kembar. Ernita berusaha tetap tenang. "Saya hanya ingin melakukan tugas saya dengan baik, Bu," jawabnya lembut. Helen yang sejak tadi memperhatikan langsung menimpali, "Ibu, lihat itu! Dia bahkan tidak memakai celemek saat mencuci botol. Bagaimana kalau botolnya tidak steril?" Loren mengangguk setuju. "Kamu ini ceroboh. Jangan sampai cucu-cucuku sakit gara-gara ketidakbecusanmu!" Ernita menggigit bibirnya, menahan gejolak di hatinya. Namun ia tetap fokus pada pekerjaannya. Beberapa saat kemudian, bayi kembar mulai menangis. Ernita dengan sigap menggendong salah satu bayi dan mulai menyusui. Loren langsung mendekat dan mengawasi dengan wajah sinis. "Kenapa kamu tampak begitu nyaman menyusui cucuku? Jangan berpikir kamu bisa mengambil tempat Fatma di sini!" Ernita tersentak, tetapi ia tidak membalas. Helen tertawa kecil, menikmati situasi itu. "Mungkin dia sengaja, Bu. Mana tahu dia ingin jadi bagian dari keluarga ini." "Tidak akan pernah!" Loren menegaskan. "Kau hanya pekerja di sini. Jangan pernah bermimpi lebih!" Hari itu berlalu dengan tekanan dan ejekan dari Loren dan Helen. Namun Ernita tetap bertahan. Ia tahu dirinya ada di sini untuk Asrul dan Arkaf, bukan untuk membalas kebencian mereka. "Lihat saja caranya menyusui, seperti perempuan murahan saja," bisik Helen pada Loren. "Aku masih tidak mengerti kenapa Taufik memilih wanita seperti dia untuk merawat cucuku," timpal Loren dengan nada ketus. Saat Ernita hendak membawa bayi ke kamar, Helen sengaja menabraknya hingga Ernita hampir terjatuh. "Astaga! Apa kau buta? Hati-hati dong!" bentak Helen. Ernita hanya menunduk menahan perasaan. Dia tidak ingin memperkeruh suasana. Namun Loren malah menambahkan. "Kalau kau tidak bisa menjaga keseimbangan, lebih baik pergi dari rumah ini. Aku tidak mau cucuku terluka gara-gara kamu." Siang harinya, Ernita mencoba mengabaikan sikap keduanya dan tetap bekerja seperti biasa. Namun Loren dan Helen tidak berhenti mencari masalah. Mereka sengaja meninggalkan tumpukan cucian piring kotor di dapur lalu memanggil Ernita dengan suara keras. "Hei, kau! Kenapa piringnya belum dicuci? Apa kau pikir hanya tugasmu menyusui saja di sini?" Ernita terkejut dan melihat tumpukan piring yang tidak ada sebelumnya. Meski hatinya terluka, dia tetap melangkah ke arah wastafel dan mulai mencuci tanpa berkata apa-apa. Namun saat itu, Loren menyenggol gelas hingga jatuh dan pecah. "Astaga, kau ceroboh sekali! Aku sudah tahu kau ini pembawa sial," sindir Loren dengan nada puas. Ernita menghela napas dalam-dalam, menahan air matanya. Dia sadar, apapun yang dia lakukan tidak akan pernah benar di mata mereka. Tetapi demi Asrul dan Arkaf, dia harus bertahan. Saat sore menjelang, Helen kembali mencari kesalahan Ernita. Kali ini dia menumpahkan segelas jus di lantai ruang tamu, lalu berteriak memanggil Ernita. "Lihat! Lantai ini kotor! Bersihkan sekarang juga!" Ernita datang dengan kain pel dan mulai membersihkan lantai. Namun, saat dia membungkuk, Helen sengaja menjatuhkan tisu ke lantai dan menginjak tangan Ernita tanpa sengaja. "Ups, maaf! Kakiku terpeleset," katanya dengan nada mengejek. Ernita menggigit bibirnya, menahan sakit. Dia tidak ingin membalas, karena tahu itu hanya akan memperburuk keadaan. Saat malam tiba, Taufik pulang dari kantor dan melihat Ernita terlihat lelah. Dia juga melihat ibunya dan Helen yang tampak puas setelah seharian mengganggu Ernita. "Ada apa ini?" tanya Taufik, melihat wajah Ernita yang pucat. "Tidak ada, aku hanya sedikit lelah," jawab Ernita pelan. Taufik menatap tajam ke arah Loren dan Helen, seolah mencurigai sesuatu. Namun sebelum dia sempat bertanya lebih lanjut, Loren tersenyum dan berkata .... "Kami hanya memastikan bahwa wanita ini benar-benar bekerja dengan baik, Taufik. Kau tahu, aku hanya ingin yang terbaik untuk cucu-cucuku." Taufik tidak menjawab, tetapi dalam hatinya, dia merasa ada sesuatu yang tidak beres. Malam itu dia memutuskan untuk mengawasi apa yang sebenarnya terjadi di rumahnya.Sejak Loren dan Helen berpamitan pulang, Ernita kembali menjalani rutinitasnya seperti biasa, mengurus bayi kembar dan memenuhi tugasnya sebagai ibu susu mereka. Namun dalam beberapa minggu terakhir, ia merasakan ada perubahan di lingkungan sekitar. Tatapan para tetangga terhadapnya mulai berbeda, dan ada bisikan-bisikan yang terdengar setiap kali ia melewati mereka.Awalnya, Ernita mencoba mengabaikan hal itu. Namun suatu sore, Tia, salah satu asisten rumah tangga senior, menghampirinya dengan ekspresi cemas."Mbak Nita, saya enggak tahu gimana ngomongnya, tapi … ada gosip yang beredar di luar sana. Katanya, Mbak punya hubungan khusus sama Tuan Taufik."Ernita terdiam, matanya melebar. "Apa? Dari mana datangnya gosip seperti itu?"Tia menggeleng dengan raut gusar. "Saya juga enggak tahu pasti, Mbak. Tapi katanya, ada yang melihat Tuan Taufik sering memperhatikan dan melindungi Mbak lebih dari seharusnya. Apalagi sejak kabar perjodohan Pak Taufik sama anak dari keluarga terpandang itu
Ernita baru saja selesai menyusui bayi kembar ketika Nadya kembali muncul di hadapannya, kali ini dengan ekspresi yang lebih tajam dan penuh amarah."Kamu masih di sini juga? Kenapa belum enyah dari sini?" Suara Nadya terdengar sinis.Ernita menghela napas dalam. "Mbak, saya bekerja di sini, jadi tentu saja saya masih di sini."Nadya mendengus. "Bekerja? Paling kamu cuma mencari cara agar Taufik jatuh hati padamu, ya kan?"Ernita menatapnya tajam. "Mbak, saya tidak punya niat seperti itu. Tuan Taufik adalah majikan saya, dan saya hanya menjadi seorang ibu susu untuk anak-anaknya, tidak lebih."Namun Nadya tidak puas dengan jawaban itu. "Kamu pikir aku bodoh? Semua orang di rumah ini bisa melihat bagaimana Taufik lebih peduli padamu dibanding orang lain. Dia bahkan menolak perjodohan kami, dan aku yakin itu semua karena kamu, kamu sudah menghasutnya!"Ernita terkejut mendengar hal itu. "Menolak perjodohan? Maaf, saya tidak mengerti apa-apa.""Jangan berpura-pura tidak tahu!" Nadya mend
Setelah bekerja tanpa henti selama sebulan penuh, akhirnya hari ini Ernita mendapatkan gaji pertamanya. Ia merasa sangat bersyukur karena bisa memenuhi kebutuhannya sendiri tanpa harus bergantung pada orang lain.Pagi itu setelah menyelesaikan tugasnya, ia memberanikan diri untuk berpamitan kepada Taufik, setelah sebelumnya menitipkan bayi kembarnya kepada Tia."Permisi, Tuan, hari ini saya ingin keluar sebentar untuk berjalan-jalan. Hanya sebentar saja," kata Ernita dengan sopan.Taufik yang saat itu sedang menyesap kopi di ruang makan, menatapnya dengan dahi berkerut. "Keluar? Kamu mau ke mana?"Ernita tersenyum. "Saya ingin membeli beberapa keperluan. Lagipula, ini hari gajian pertama saya. Saya ingin sedikit menikmati waktu untuk diri sendiri."Taufik meletakkan cangkir kopinya dan menatapnya dalam. "Kamu yakin tidak ingin aku menyuruh sopir untuk mengantarmu?"Ernita menggeleng. "Tidak perlu, Tuan. Saya ingin berjalan-jalan sendiri, sekalian healing. Lagipula saya tidak akan lama
Malam itu, Ernita duduk di tepi ranjangnya, ia masih memikirkan perhatian Taufik yang semakin hari semakin terasa tulus. Ia tahu bahwa pria itu hanya ingin memastikan dirinya baik-baik saja, tapi perasaan di hatinya mulai sulit dikendalikan."Aku tidak boleh terbawa suasana," batinnya mencoba menepis perasaan aneh yang mulai tumbuh.Namun pikirannya segera teralihkan ketika ia teringat sesuatu. Tatapan pria yang sempat ia lihat sekilas di mall tadi siang. Ia merasa seperti diawasi, tapi saat itu ia tidak terlalu memikirkannya."Apa mungkin hanya perasaanku saja?" gumamnya.Tanpa ia sadari, seseorang memang benar-benar telah mengawasinya dari jauh.Dan keesokan harinya, Ernita bangun lebih pagi dari biasanya. Setelah menyelesaikan tugasnya, ia keluar sebentar ke minimarket dekat rumah untuk membeli beberapa keperluan.Namun saat sedang berjalan kembali ke rumah Taufik, tiba-tiba langkahnya terhenti."Nita?"Suara berat yang sangat familiar itu membuat tubuhnya menegang. Perlahan, ia me
Sementara dari kejauhan, tanpa disadari, dua pasang mata mengintai perdebatan mereka. Ya, mereka adalah Loren dan Helen, ibunda dan adik perempuan Taufik. Mereka berniat mengunjungi Taufik. Namun sebelum sampai di depan rumah Taufik, mereka tanpa sengaja menyaksikan perdebatan Taufik dengan pria yang Loren sama sekali tidak mengenalnya.Loren pun menghentikan mobilnya, "siapa laki-laki yang bersama Taufik?" tanyanya kepada Helen."Mana aku tahu, Bu, aku pun baru melihatnya," jawab Helen acuh tak acuh."Coba kamu selidiki mereka dari dekat, tapi hati-hati jangan sampai ketahuan," titah Loren.Dengan malas, Helen turun dan berjalan mengendap endap kemudian bersembunyi di salah satu pohon yang dekat dengan keberadaan ketiga insan yang dimaksud.Tak lama kemudian, Helen kembali masuk ke mobil. Dia melaporkan semua yang didengarnya.Loren yang duduk di dalam mobilnya, tangannya mengetuk-ngetuk setir dengan gelisah. Helen, yang duduk di sampingnya, tampak berpikir keras setelah melaporkan a
Loren duduk di ruang tamu rumahnya yang megah, jari-jarinya mengetuk meja dengan ritme teratur. Wajahnya menunjukkan ekspresi penuh perhitungan, sementara Helen duduk di seberangnya dengan wajah yang lebih gelisah."Kita tidak bisa langsung bertindak gegabah." Loren memulai pembicaraan. "Kalau kita menyerang Ernita secara langsung, Taufik bisa saja semakin melindunginya."Helen mengangguk pelan, tetapi dalam hatinya ia mulai meragukan niat ibunya. "Lalu, apa yang akan Ibu lakukan?"Loren tersenyum licik. "Kita akan buat Nita terlihat buruk di mata Taufik. Bukan hanya melalui gosip, tapi dengan bukti yang bisa menjatuhkannya."Helen mengernyit. "Apa Ibu berencana menjebaknya?"Loren mengangkat bahu dengan santai. "Sebut saja begitu. Tapi kita harus melakukannya dengan cermat. Aku akan menghubungi seseorang untuk mencari tahu lebih banyak tentang kehidupan pribadinya sebelum bekerja untuk Taufik. Kita perlu menemukan celah yang bisa kita manfaatkan."Helen menghela napas berat. "Ibu yak
Loren duduk di ruang tamunya dengan ekspresi puas. Ia sudah menghubungi beberapa kenalannya untuk menggali lebih dalam tentang masa lalu Ernita. Tak butuh waktu lama baginya untuk mendapatkan informasi yang bisa digunakannya sebagai senjata."Ibu yakin ini akan berhasil?" tanya Helen dengan ragu.Loren meneguk kopinya dengan tenang. "Tentu saja. Aku tidak akan membiarkan perempuan itu terus berada di sisi Taufik."Helen menghela napas. Meskipun ia tidak terlalu menyukai Ernita, ia juga merasa ibunya mungkin sungguh keterlaluan dalam masalah ini.Sementara di Rumah Taufik, Ernita Mulai Merasa Gelisah. Hari itu, ia tengah menyuapi si kembar ketika Tia, asisten rumah tangga Taufik, datang menghampirinya."Mbak Nita, barusan ada yang mencari Mbak di luar," ujar Tia dengan suara pelan.Ernita menoleh dengan bingung. "Siapa?"Tia menggeleng. "Saya tidak tahu, tapi dia laki-laki yang terlihat mencurigakan. Begitu saya bilang Mbak tidak bisa menemui siapa pun sekarang, dia langsung pergi tanp
Loren semakin gencar menyebarkan gosip tentang Ernita, seolah tidak mengenal batas. Baginya, ini bukan sekadar menyingkirkan seorang perempuan yang mengganggu, tetapi juga pembuktian bahwa ia masih memiliki kendali atas kehidupan Taufik.Setiap kesempatan yang ada, Loren menyisipkan cerita miring tentang Ernita kepada kenalan-kenalannya. Dengan statusnya sebagai wanita terpandang, tidak sulit baginya untuk membuat orang-orang percaya bahwa Ernita hanyalah seorang perempuan tak tahu diri yang menempel pada putranya demi kehidupan yang nyaman.Bahkan, ia mulai menyebarkan cerita bahwa Ernita memiliki masa lalu kelam yang membuatnya ditinggalkan oleh mantan suaminya. Tak peduli apakah itu benar atau tidak, Loren tidak memikirkan akibat dari perbuatannya. Yang terpenting baginya adalah Ernita segera keluar dari rumah Taufik.****Suatu hari, Taufik, Loren, dan Helen menghadiri undangan pernikahan seorang klien besar. Acara ini sangat penting bagi Taufik karena bisa memperluas jaringan bis
Hari itu, setelah menjalani serangkaian pertemuan bisnis yang melelahkan, Taufik pulang lebih awal dari biasanya. Matahari mulai condong ke barat, menyisakan cahaya keemasan yang menari-nari di sela dedaunan. Sesampainya di rumah, langkahnya terhenti di depan pintu belakang yang terbuka. Pandangannya langsung tertuju pada taman kecil di belakang rumah.Di sana, Ernita duduk di bangku kayu panjang, menggendong Arkaf di tangan kanan dan Asrul di pangkuan kiri. Kedua bayi itu tampak nyaman dalam pelukannya, tertawa kecil saat Ernita bernyanyi dengan lembut sambil menggoyang-goyangkan tubuh mereka perlahan. Senyum hangat terpancar dari wajah Ernita, begitu tenang, begitu penuh kasih. Pemandangan itu menusuk hati Taufik dengan perasaan yang tak bisa ia jelaskan.Selama ini, Ernita memang sudah seperti ibu bagi anak-anaknya. Ia merawat dengan sepenuh hati, tanpa pamrih, dan selalu hadir dalam setiap kebutuhannya. Tak sekalipun Ernita mengeluh. Bahkan saat Taufik tengah disibukkan dengan uru
Sudah hampir dua bulan Loren kehilangan jejak anak semata wayangnya, Taufik. Selama itu pula ia merasa hidupnya kosong. Rumah besar yang dulu ramai kini terasa hampa, sepi dan membosankan. Sejak kepergian Taufik, tidak ada lagi suara tawa bayi kembar yang sering membuatnya kesal namun diam-diam ia rindukan. Tidak ada pula wajah dingin Taufik yang penuh teka-teki, atau sapaan sopan Ernita yang membuatnya ingin marah tanpa sebab.Loren telah mengerahkan berbagai cara untuk melacak keberadaan anaknya. Ia menyuruh orang suruhan menyelidiki segala kemungkinan: dari alamat rumah kontrakan hingga menelusuri relasi bisnis Taufik yang lama. Namun semua nihil. Rumah telah dijual, perusahaan telah berpindah tangan ke orang asing yang bahkan mengaku tak tahu ke mana pemilik sebelumnya pergi."Gila! Ke mana dia membawa semua orang itu?!" teriak Loren kesal pada suatu sore, membanting ponsel ke sofa empuk di ruang tamu. Helen hanya bisa duduk diam, menatap ibunya dengan sorot khawatir."Mungkin Kak
Sejak peristiwa keguguran itu, dunia Hesti seperti runtuh. Bukan hanya karena kehilangan calon buah hati, tetapi juga karena kehilangan tempat untuk merasa aman dan dicintai. Ia tidak bisa melupakan perlakuan kasar Gudel, suaminya, yang tanpa empati membandingkannya dengan wanita lain di tengah luka hatinya. Belum lagi sindiran menyakitkan dari mertuanya yang datang seolah hanya untuk menyalahkan, bukan menghibur.Hari-hari berikutnya menjadi penderitaan panjang bagi Hesti. Ia merasa asing di rumah yang seharusnya menjadi tempatnya berlindung. Gudel memang sudah mulai menunjukkan sedikit perhatian setelah dokter menyarankan perawatan, tapi bagi Hesti semua sudah terlambat. Hatinya sudah telanjur retak. Kepercayaan dan cintanya pada Gudel telah tercabik oleh ucapan dan sikap yang sulit dilupakan.Pada suatu pagi yang tenang, saat Gudel pergi bekerja, Hesti mengepak barang-barangnya. Dia tidak membawa banyak. Hanya beberapa baju, dokumen penting, dan secuil harapan untuk bisa sembuh dar
Satu minggu berlalu sejak perdebatan sengit antara Hesti dan Gudel. Ketegangan tak juga mereda, bahkan semakin memburuk. Hesti yang sedang hamil dua bulan tampak semakin murung, sering menangis diam-diam di kamar, dan kehilangan selera makan. Wajahnya yang dulu berseri kini tampak pucat dan lelah.Pagi itu, Hesti terbangun dengan perut yang terasa nyeri. Ia menggigil di ranjang, menahan sakit yang datang tiba-tiba seperti gelombang yang menyerang bertubi-tubi. Gudel masih tertidur di sofa ruang tamu, tak menyadari istrinya yang sedang menahan derita di kamar.Tak kuat menahan rasa sakit, Hesti bangkit perlahan, berjalan tertatih keluar kamar dan memanggil suaminya. "Mas ... Mas Gudel ...." Suaranya lirih nyaris tak terdengar.Gudel membuka matanya malas. "Apa sih, pagi-pagi begini udah berisik aja," gerutunya, lalu bangkit dengan wajah kesal. Saat melihat wajah pucat Hesti yang nyaris roboh di ambang pintu, ia segera sadar ada sesuatu yang tidak beres. "Kamu kenapa?""Perutku sakit, M
Pagi itu udara masih sejuk ketika Hesti membuka jendela kamarnya. Matahari baru saja menyinari atap-atap rumah, sementara embun pagi masih bergelayut di dedaunan. Ia mengusap perutnya yang mulai sedikit membuncit, wanita itu tengah hamil dua bulan, dan ini adalah momen yang ditunggunya sejak lama. Hesti ingin memastikan janin dalam kandungannya tumbuh sehat. Maka pagi itu, dengan wajah penuh semangat, ia menghampiri Gudel yang masih duduk santai di sofa ruang tengah sambil memegang ponsel."Mas," panggil Hesti lembut. "Hari ini kita ke rumah sakit, ya. Aku sudah buat janji sama dokter kandungan jam sepuluh."Gudel mendongak sejenak. Ia mengangguk kecil, namun ekspresi wajahnya berubah ragu. Ia menggaruk kepalanya yang tidak gatal lalu menatap Hesti dengan sedikit gelisah."Sayang, aku kayaknya nggak bisa menemani kamu hari ini," ucap Gudel. "Aku ada urusan penting."Hesti mengerutkan kening. "Urusan penting? Apa nggak bisa ditunda? Ini cek kandungan pertama kita lho, Mas. Kamu kan sud
Pagi itu, sinar matahari menyelinap lembut di balik tirai rumah bernuansa coklat kayu yang kini menjadi tempat tinggal baru bagi Taufik, Ernita, Tia, dan dua bayi kembar. Rumah dua lantai itu dikelilingi taman kecil dan suasana lingkungan yang sepi serta asri. Aroma tanah pagi dan semilir angin yang membawa suara burung-burung menjadikan pagi-pagi mereka terasa begitu damai.Ernita duduk di kursi goyang yang berada di dekat jendela ruang keluarga. Di pangkuannya, salah satu dari si kembar tengah menyusu dengan tenang. Bayi satunya masih tertidur di ranjang kecil yang diletakkan tak jauh darinya. Ernita mengenakan daster sederhana berwarna biru muda, wajahnya bersih tanpa polesan apa pun, namun tetap memancarkan keteduhan.Tak lama kemudian, Tia datang membawa secangkir teh hangat."Mbak, tehnya ya. Saya taruh di sini," ucap Tia sambil tersenyum, meletakkan cangkir di meja kecil di samping kursi Ernita."Terima kasih, Mbak Tia. Kamu sudah masak pagi ini?" tanya Ernita lembut."Sudah, M
Hari-hari di kota baru itu terasa berbeda bagi Ernita. Udara lebih segar, suasana lebih tenang, dan yang paling penting, tidak ada gosip yang menyudutkannya seperti di tempat lama. Rumah yang kini mereka tinggali memiliki pekarangan kecil yang dipenuhi bunga-bunga warna-warni. Ernita setiap pagi menyiram bunga sambil menggendong salah satu bayi kembar, sementara yang satunya masih tertidur pulas di dalam rumah. Senyum di wajahnya kembali tumbuh. Untuk pertama kalinya sejak lama, ia merasa damai.Dan di sisi lain, Taufik mulai menjalani peran barunya sebagai pebisnis yang membangun segalanya dari nol. Dia telah menjual perusahaannya yang lama ke tangan orang asing, juga rumah mewah yang dulu menjadi tempat tinggalnya. Sekarang di kota baru ini, ia membeli sebuah bangunan kecil yang kemudian direnovasi menjadi kantor baru. Dengan modal pengalaman dan reputasi yang sudah menempel kuat pada dirinya, Taufik tidak membutuhkan waktu lama untuk menarik perhatian pebisnis lokal.Dia mulai meng
Taufik mulai merasa bahwa satu-satunya cara untuk menghindari konflik berkepanjangan dengan ibunya, Loren, adalah dengan menghilang dari kehidupannya untuk sementara waktu. Dia telah mengetahui sejauh mana Loren berusaha mengendalikan hidupnya, menyebarkan gosip dan bahkan mengancam Ernita. Baginya, ini sudah terlalu jauh. Oleh karena itu, dia mengambil keputusan drastis, menutup perusahaannya, menjual rumahnya, dan meninggalkan kota ini.Namun sebelum melangkah lebih jauh, Taufik memastikan segala urusan administrasi dan keuangan terselesaikan. Dia tidak ingin meninggalkan masalah atau utang yang bisa membawanya kembali ke kota ini. Dengan bantuan pengacara kepercayaannya, ia mulai mencari pembeli untuk perusahaan dan rumahnya. Beberapa minggu kemudian, seorang investor asing tertarik membeli perusahaannya dengan harga yang cukup tinggi. Tanpa banyak pikir, Taufik menyetujui penawaran tersebut.Setelah penjualan selesai, ia mendiskusikan keputusannya dengan Tia dan Ernita. Tia, yang
Taufik melangkahkan kakinya ke rumah ibunya dengan ekspresi santai, seolah-olah tak ada yang terjadi. Ia sudah memutuskan untuk bermain strategi, berpura-pura tidak tahu bahwa Loren adalah dalang dari semua gosip yang beredar.Saat tiba, Loren menyambutnya dengan senyuman hangat, seakan tak ada hal buruk yang ia lakukan di belakang putranya. "Tumben pulang, Nak. Ada yang mau dibicarakan?" tanyanya, duduk di sofa dengan anggun.Taufik mengangguk, lalu duduk di hadapan ibunya. "Aku cuma ingin menenangkan pikiran. Belakangan ini banyak omongan tidak enak tentang aku dan Ernita. Ibu pasti sudah dengar, kan?"Loren menyesap tehnya perlahan, menyembunyikan ekspresi wajahnya. "Ya, sedikit. Aku juga prihatin, Taufik. Makanya, aku selalu bilang, pilihlah lingkungan dan orang-orang yang pantas berada di sekitarmu."Taufik tersenyum kecil, memperhatikan setiap gerak-gerik ibunya. "Benar juga, Bu. Makanya, aku sedang mencari tahu siapa yang menyebarkan gosip ini. Aku ingin menyelesaikan masalah i