Haikal bangkit dari atas kasur, perlahan menuruni ranjang dengan mata menatap lekat pada sesuatu yang tergantung di belakang pintu kamar Rania. Tangannya meraih benda tersebut. Sebuah jas warna hitam dan kemeja putih. Lelaki itu berbalik menghadap Rania dengan tatapan menguliti wanita di hadapannya. Wajah perempuan itu memucat. Ia merutuki kebodohannya dalam hati. Kenapa meletakkan benda itu di belakang pintu. "Milik siapa?" tanya Haikal. Mata lelaki itu menatap tajam ke arah Rania. Perempuan itu bangkit pada posisi duduk. "Itu—itu punya temen kantor," jawab Rania tergagap. "Temen kantor yang mana?" Haikal merasa tak puas dengan jawaban Rania. Rania memutar otak mencari alasan agar semuanya tak terbongkar secepat ini. Seketika wajah gugupnya berubah menjadi sinis. "Abang tak mempercayai Rania?" tanya perempuan itu dengan tatapan marah, seolah merasa tertuduh. "Itu milik Rifal, suami Tiara. Dua hari yang lalu mereka mampir ke sini saat pulang kantor." Rania berusaha meyakinkan k
Waktu masih menunjukkan jam sembilan pagi, saat aku sibuk menyuapi sarapan ke mulut Harry. Bocah laki-laki itu asik menonton beberapa anak laki-laki dan perempuan berusia SD yang tengah bermain kelereng di depan rumah, sambil mengunyah nasi goreng di mulutnya. Harry terlihat kegirangan saat Lila dan Rani anak tetangga yang berumur sekitar delapan tahun menggodanya. Harry memang mudah akrab dengan siapa saja yang menampakkan wajah bersahabat padanya. Dering ponsel tanda panggilan masuk terdengar dari arah kamar, di mana ponselku berada. Aku beranjak masuk setelah menitipkan Harry pada Lila dan Rani. "Assalamu'alaikum," sapaku pada si penelpon setelah panggilan tersambung. "Wa'alaikumsalaam, Na," "Ada apa, Fa?""Kamu bilang semalem Haikal di rumah, kok aku malah liat Haikal di sini!" "Iya, Fa, semalem Bang Haikal memang pulang, terus pagi tadi buru-buru pergi lagi. Emang ketemu Bang Haikal di mana?""Di apotik, sebelah masjid waktu kita berhenti sholat tempo hari. Apa mungkin Haik
Matahari sudah mulai tergelincir ke ufuk barat. Aku baru saja usai melaksanakan shalat dzuhur di mushola rumah sakit. Kak Naima setengah jam yang lalu menyusulku ke rumah sakit, bersama putri bungsunya—Rara, gadis kecil yang masih berumur empat tahun. Sedangkan Kak Farida katanya akan datang setelah shalat dzuhur. Selain Ibu, Kak Farida dan Kak Naima juga sangat baik padaku. Selama ini mereka berdua tak pernah memperlakukanku tak baik, apalagi kami memang tak terlalu sering bertemu. Aku cukup dekat dengan Kak Naima, karena memang perempuan berusia lima tahun lebih tua dariku itu sangat mudah bergaul dengan siapa saja. Berbanding terbalik dengan Kak Farida. Anak tertua Ibu itu sangat menurun pada karakter sang Ayah. Terkesan pendiam cenderung tomboy. Itu kuketahui dari cerita Ibu saat beliau masih sehat, karena ayah mertuaku meninggal, jauh sebelum aku menikah dengan Bang Haikal. Ah, tiba-tiba aku begitu rindu masa-masa itu, masa-masa dimana aku dan Ibu sering menghabiskan waktu untuk
Kak Farida mengusap lembut kepala gadis kecil itu dengan tangan kirinya, sedangkan telunjuk tangan kanannya diletakkannya di bibir mungil milik Rara, sebagai isyarat untuk diam.Kak Naima merenggangkan pelukannya, menatapku dalam dengan raut wajah penuh tanya. "Ceritakan, Na! Jangan memendamnya sendiri!"Aku berjalan melewati Kak Naima, mendudukkan tubuhku pada kursi di samping Rara. Isak yang masih tersisa membuatku sulit untuk berbicara. Kuraih ponsel di dalam tas yang sejak tadi selalu kujinjing. Naik turun kuscroll layar ponsel dengan air mata yang sulit untuk berhenti keluar, mencari beberapa bukti yang beberapa waktu lalu sempat kukirim dari ponsel Bang Haikal. Ini bukan waktu yang tepat untuk menceritakan semuanya pada mereka, tapi sikap Bang Haikal yang menurutku sudah melewati batas, membuat sisa sabar di hatiku terkikis habis. Kusodorkan ponselku pada Kak Naima yang kini ikut duduk di sampingku. Wajah perempuan itu berubah memerah, dengan geraham mengeras, membuat Kak Fa
Tatapan mata dari perempuan di hadapannya seakan menghujam jantung, menciptakan sesak di dada Haikal. Lelaki itu beringsut mundur. "Kak Farida!" ucap Haikal dengan bibir bergetar. Sang kakak tak menjawab sama sekali. Perempuan itu masuk tanpa mempedulikan Haikal yang menatapnya dengan nyali menciut. Lelaki itu cukup paham bagaimana karakter sang kakak ketika sedang marah. Masih jelas diingatannya bagaimana kakak tertuanya itu menghantamkan tinju pada wajahnya, saat dirinya ketahuan bolos waktu SMA dulu. "Siapa yang datang, Bang?" tanya Rania dengan setengah berteriak dari arah dapur, membuat wajah Haikal semakin memucat. Farida tersenyum sinis. Haikal mengekor langkah Farida yang berjalan menuju dapur, dengan tubuh gemetar."Sejak kapan kalian bersama?" tanya Farida dengan tatapan lurus tanpa ekspresi. Rania yang tengah duduk di kursi makan, tengah membuka bungkusan makanan di atas meja seketika mendongak, wajahnya seketika memucat. Tak heran jika nyali perempuan itu menciut, kar
"Tiga tahun kau menghianati Zana, istri yang selalu tulus mencintaimu, merawat Ibu yang sudah bertahun-tahun stroke, hingga bayi hasil perbuatan bejat kalian." Farida berkata dengan emosi yang meluap, "Apa kau masih punya ot@k, Haikal?!" Kali ini teriakanlah yang keluar. "Kami sudah menikah, Kak!" jawab Haikal. "Menikah diam-diam tanpa sepengetahuan istri sah? Itu yang kau sebut menikah?! Pengecut!" ucap Farida dengan telunjuk menjejal kening Haikal. "Kenapa kalian tak ada yang mengerti, Kak? Aku hanya ingin memiliki keturunan!" Haikal berkata dengan wajah sendu, berharap emosi Farida menurun. Bukk! Tinju yang sedari tadi mengepal kuat, kini melayang tepat mengenai pipi kiri Haikal. Lelaki itu sempoyongan, setelah menerima pukulan dari sang kakak yang tak disangka-sangka. Rania semakin mengkerut, tak ingin wajah cantiknya lebih hancur lagi, membuatnya lebih memilih diam. "Coba kau pikir bagaimana kau akan mengambil sikap, jika kau pada posisi Zana sekarang?" tanya Farida. Matany
Wajah Rania memerah, marah dan takut seakan bercampur jadi satu. Ingin rasanya ia meneriakkan betapa hidup ini tak adil padanya. Namun semua hanya menggumpal di dada, seakan semua kata enggan untuk kelur dari bibirnya. Haikal mengejar langkah Farida yang berjalan keluar, mencekal tangan sang kakak agar menghentikan langkahnya. Rania hanya mampu terpaku di tempat. "Maksud Kakak?" Haikal bertanya dengan tatapan tak mengerti. Farida menoleh, menatap tajam Haikal yang berdiri di sampingnya. Bibirnya kini menyunggingkan senyum sinis. "Tanyakan saja pada gundikmu! Supaya semuanya lebih jelas!" ujar Farida yang lebih mirip bentakan. Kalimat yang baru saja ia dengar, mampu membuat kepercayaan Haikal pada istri mudanya itu goyah, meski belum tahu persis apa maksud dari semua perkataan sang kakak. Farida berlalu, tanpa mempedulikan Haikal yang berusaha memintanya berhenti. Haikal terduduk di kursi tamu, setelah Faridah benar-benar menghilang dari pandangannya. Tangannya mengusap kasar waj
"Na, kau sepertinya terlalu lelah. Beristirahatlah! Jika kau tak bisa beristirahat dengan tenang di sini, tak apa kau istirahat di rumah Kakak, atau di mana pun kau suka. Kakak akan minta Bang Ardi mengantarmu, biar Kakak yang akan menemani Ibu malam ini. Jaga kesehatanmu dan jangan buat Ibu sedih," ucap Kak Naima lembut. Bang Ardi adalah suami Kak Naima. Aku mengangkat wajah, berbalik menatap Kak Naima. Perempuan itu menatapku dengan sendu. Aku menimbang usul Kak Naima barusan, sepertinya memang lebih baik begitu. "Zana ingin istirahat di rumah Farah saja, ya, Kak, biar dekat dari sini."Rumah Farah memang tak terlalu jauh dari rumah sakit tempat Ibu dirawat. Hanya butuh waktu sepuluh menit saja untuk ke sana. Aku memang butuh istirahat. Sejak Ibu masuk rumah sakit, waktu istirahatku kurang. Bukan karena Ibu merepotkanku, tapi karena aku yang tak bisa tidur karena selalu mengkhawatirkan Ibu, hingga wajahku terlihat pucat dan menampakkan lingkaran hitam di sekeliling mata. "Ya sud
Aku tersenyum lalu mengangguk pelan. Ya, Rania akan menikah dengan Hendri. Lelaki itu telah jatuh cinta pada pandangan pertama. Atas permintaan Rania, aku dan Bang Amar bercerita banyak tentang masa lalu beserta perubahan Rania pada Hendri, berharap Hendri bisa menerima apa adanya dan lebih mampu memahami Rania saat Hendri mengutarakan niatnya untuk serius pada Rania. Bahkan aku dan Bang Amar lah yang menjadi penyatu keduanya. Tentang Bang Haikal, kabar terakhir yang kudengar dari Kak Naima, mantan suamiku itu masih sendiri setelah Rania menolak untuk kembali. "Semoga sakinah hingga maut memisahkan." Do'a Farah. "Jujur, Na. Aku pun merasa iba pada Rania. Tapi saat mengingat wajah angkuhnya dulu, rasa itu memudar." "Semua pernah melakukan kesalahan, Fa, pun dengan Rania. Aku merasa aku masih di bawahnya. Aku tak tahu harus bagaimana jika aku yang berada di posisi Rania. Ia sangat butuh dukungan. Luka yang kurasakan karena sebuah penghianatan kurasa tak sebanding dengan luka yang ia
"Tak apa, aku hanya heran melihatmu yang tak seperti biasa." Amar berusaha mengalih perhatian Hendri. "Apa kau sudah jatuh cinta pada pandangan pertama?" Amar menggoda anak buahnya itu. Di luar keduanya memang terlihat tak ubah seperti teman. Amar sangat pintar menempatkan posisi. Ia tak begitu suka jika di luar kantor, Hendri atau anak buah yang lain menganggapnya seformal di kantor. Meski untuk panggilan, Hendri memanggilnya dengan embel-embel yang sama. Pak. Hendri menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Ia terlihat salah tingkah. Malu jika dirinya harus mengakui rasa yang tiba-tiba datang tanpa permisi. "Sudah sewajarnya kamu cari pengganti almarhumah istrimu, Hen. Kamu masih sangat muda dan memiliki seorang putri yang sangat butuh sosok ibu."Hendri begeming, hatinya membenarkan perkataan Amar barusan. Namun rasanya terlalu cepat untuk mengatakan jika dirinya menaruh hati pada perempuan bergamis hitam yang baru saja ia lihat. Ia bahkan belum tahu nama perempuan itu. "Kau menar
"Semakin ke sini aku semakin merasa bersalah pada Zana. Aku tak ingin terus-terusan dihantui perasaan yang sama, atau bahkan lebih. Aku yakin, hanya dengan melihatku saja, Zana masih merasakan luka yang dulu kuciptakan, jadi kumohon, jangan membuatku merasa lebih tak nyaman karena aku sangat menikmati kehidupanku sekarang. Kehidupan yang tak lepas dari peran Zana di dalamnya."Apa yang dikatakan Rania benar adanya. Ia sangat menikmati saat sekarang, saat Harry mulai bisa menerimanya, membuat hatinya dipenuhi haru. "Jika Abang sayang aku dan Harry, maka akhirilah hubungan yang menyakiti banyak pihak ini. Mari kita mulai semuanya dari awal. Aku tak ingin tersiksa saat mengingat kembali caraku menghancurkan perasaan Zana dulu."Haikal membatu. Ia tak menyangka jika Rania akan mengatakan hal yang tidak pernah ia sangka seperti saat ini. "Kau tak perlu memikirkan orang lain, pikirkan saja perasaan kita berdua. Aku tau kau masih sangat mencintaiku." Haikal berusaha membujuk, berharap Rani
Aku menatap Bang Amar yang terhalang sandaran kursi menatapnya dengan tetapan heran. "Bukankah jika Rania yang datang, Harry tak perlu merasa khawatir kalau kita akan meninggalkannya di panti?""Kita bisa mengantar Harry ke panti, Sayang. Atau bisa juga denga mempertemukan mereka berdua di mana saja. Aku hanya ingin menghargaimu, dengan tidak adanya tamu asing lawan jenis yang datang ke rumah. Abang tak ingin istri Abang merasa tak nyaman." Senyum mengembang di wajahnya. Alasan Bang Amar ada benarnya juga. Mengapa aku tak memperhatikan hal sepenting itu? "Sayang, bagaimana pun dekatnya kau dengan Harry, mereka tetaplah orang asing bagi kita dan Harry bukanlah mahrammu."Aku pun paham kemana arah pembicaraan Bang Amar. Ini hanyalah langkahku untuk menyelamatkan tumbuh kembang Harry. Memberikan hak-haknya setelah terlahir menjadi seorang anak."Abang berharap, kelak Harry akan tinggal bersama Rania secara utuh. Tak apa kau menginginkan dia seperti anak sendiri seperti sekarang, yang
Kalimat Harry barusan menegaskan jika aku tak akan bisa pergi tanpa membawanya. "Masih betah?" bisik Bang Amar di telingaku saat aku tengah asik bercengkrama dengan Harry. Aku kembali melirik jam tangan. Pukul 05.25, kemudian beralih menatap sendu bocah tiga setengah tahun yang tengah bergelayut manja di pangkuanku. "Sayang, kita ke depan, yuk," ajakku pada Harry yang ia sambut dengan anggukan. Kaki kecil itu melangkah riang, menapaki langkah demi langkah melewati satu persatu keramik lantai menuju teras depan, di mana Rania dan Puji duduk bersama beberapa anak panti. Harry menggenggam erat telunjukku saat kami berjalan bersisian, seolah tak memberiku kesempatan untuk jauh darinya. Pertanyaan demi pertanyaan sesuatu yang baru ia lihat tak henti keluar dari bibirnya. "Ran, kami pamit dulu, ya, titip Harry, Ran," ucapku dengan berat hati. Tak rela rasanya meninggalkan Harry di sini. Namun harus bagaimana lagi, meski sedari kecil aku lah yang telah merawat Harry, hati kecilku meng
Beberapa menit aku bahkan tak mampu melepaskan pelukan pada Harry. Aku tergugu di tubuh mungil itu hingga Bang Amar masuk setelah Rania ke luar. Kurenggangkan pelukan di tubuh Harry, membingkai wajahnya, memindai setiap lekuk wajahnya dengan mata yang masih mengabur. Bang Amar mengusap lembut kepala hingga punggung Harry, wajahnya terlihat sendu. "Sayang, udah, ya, nangisnya. Bunda lagi sakit, lho, kasian kalau Bunda nangis terus, nanti tambah sakit," bujuk Bang Amar dengan mengusap lembut kepala Harry yang tengan membelai wajahku. Anak kecil itu mengangguk cepat."Kita ke doktel, ya, Bunda." Harry mencium kedua pipiku kemudian kedua mataku. Benar-benar tak ada yang berubah. Perlakuan Harry masih seperti dulu. Ia adalah anak pintar yang memperlakukanku dengan lembut dan penuh kasih. "Iya, sayang. Maafin Bunda, ya, kemarin nggak bisa jemput Harry. Yang penting sekarang, Harry sudah dekat Bunda," ucapku dengan senyum bercampur air mata. Air mata haru. "Sayang, jangan banyak nangis
Bang Amar tak langsung menjawab, tangannya mengusap lembut perutku. "Bilang sama, Ummi, kita berangkat sekarang, Dek." Aku tertawa geli melihat ulah Bang Amar. Kini, aku seolah kehilangan sosok jual mahalnya yang dulu. "Yakin? Trus kerjaan Abang gimana?" Aku masih tak enak hati. "Tenang, Abang udah suruh Hendri buat handle. Sekarang siap-siap, gih."Hendri adalah asisten Bang Amar di kantor, duda anak satu yang istrinya meninggal saat melahirkan dua tahun lalu. "Oke, Zana siap-siap."Aku tersenyum senang menanggapi ucapan Bang Amar. Mimpi memeluk Harry akan segera menjadi nyata. *****Jantungku berdegub kencang tatkala menatap punggung mungil Harry yang tengah meringkuk di atas ranjang. "Ia tertidur setelah kelelahan menangis, Na," lirih Rania sendu. Aku duduk di sisi ranjang di belakang Harry dengan dada mulai sesak. Beban berat menahan rindu pada bocah mungil itu seakan tak mampu lagi kubendung. Rasa tak puas membuatku berpindah posisi di depan Harry untuk memindai setiap ga
Haikal membuang muka. Pemandangan di hadapannya membuat hatinya meringis. Nek Rahima nyatanya begitu berarti bagi Harry setelah Zana. Harry masih terus menarik tangan Nek Rahima untuk masuk mobil, Nek Rahima mematung. Pelan ia berjongkok, mensejajarkan tubuhnya dengan tubuh mungil Harry. "Sayang, Nenek di sini saja dulu, nanti Nenek bisa jenguk Harry di rumah Bunda atau Harry yang ke sini bersama Bunda.""Nenek ikut, kita jenguk Bunda.""Harry pulangnya sama Ayah dan Mama Rania, ya. Nanti Nenek nyusul."Harry mencebik. Ia ingin segera menjenguk bundanya, tapi ia pun tak ingin meninggalkan Nek Rahima. Dilema, itu lah yang ia rasakan. Haikal segera mendekat, Rania mengikuti dari belakang. Tak banyak yang bisa perempuan itu lakukan sekarang karena Harry masih belum menganggapnya penting. *****"Lagi ngapain?" tanya Bang Amar lewat sambungan telpon. Jam dinding baru saja menunjukkan pukul 10.15. Bang Amar memang selalu menyempatkan menghubungiku ketika dia berada di kantor di saat se
"Boleh Rania tanya sesuatu ke Ibu?" Nek Rahima menoleh pada Rania di sampingnya lalu mengangguk. "Nenek ikhlas melepaskan Harry bersamaku?"Beberapa saat hanya desiran angin malam yang terdengar berembus. Kedua perempuan itu saling terpaku, sibuk dengan hati dan pikiran masing-masing. "Ikhlas ataupun tidak, Harry tetaplah anakmu, Nak, Ibu tidak memiliki alasan untuk menahannya di sini."Nek Rahima sangat sadar, jika dirinya hanyalah orang yang Allah pilihkan untuk menjaga dan merawat Harry sebentar saja. Ia tak memiliki alasan untuk berontak."Ibu cuma sendirian di rumah ini?""Iya. Anak-anak Ibu tinggal di kota dan hanya akan pulang bergiliran menjenguk Ibu." Nek Rahima menerawang, rindunya pada anak-anaknya dan cucu-cucunya terobati setelah Harry hadir menemaninya. "Apa Ibu tak memiliki keinginan untuk tinggal bersama mereka?" Rania berkata dengan hati-hati. Embusan napas panjang keluar dari bibir keriput itu. Setiap berbicara tentang hal yang sama, ia merasakan dilema. Rasa r