Wajah Rania memerah, marah dan takut seakan bercampur jadi satu. Ingin rasanya ia meneriakkan betapa hidup ini tak adil padanya. Namun semua hanya menggumpal di dada, seakan semua kata enggan untuk kelur dari bibirnya. Haikal mengejar langkah Farida yang berjalan keluar, mencekal tangan sang kakak agar menghentikan langkahnya. Rania hanya mampu terpaku di tempat. "Maksud Kakak?" Haikal bertanya dengan tatapan tak mengerti. Farida menoleh, menatap tajam Haikal yang berdiri di sampingnya. Bibirnya kini menyunggingkan senyum sinis. "Tanyakan saja pada gundikmu! Supaya semuanya lebih jelas!" ujar Farida yang lebih mirip bentakan. Kalimat yang baru saja ia dengar, mampu membuat kepercayaan Haikal pada istri mudanya itu goyah, meski belum tahu persis apa maksud dari semua perkataan sang kakak. Farida berlalu, tanpa mempedulikan Haikal yang berusaha memintanya berhenti. Haikal terduduk di kursi tamu, setelah Faridah benar-benar menghilang dari pandangannya. Tangannya mengusap kasar waj
"Na, kau sepertinya terlalu lelah. Beristirahatlah! Jika kau tak bisa beristirahat dengan tenang di sini, tak apa kau istirahat di rumah Kakak, atau di mana pun kau suka. Kakak akan minta Bang Ardi mengantarmu, biar Kakak yang akan menemani Ibu malam ini. Jaga kesehatanmu dan jangan buat Ibu sedih," ucap Kak Naima lembut. Bang Ardi adalah suami Kak Naima. Aku mengangkat wajah, berbalik menatap Kak Naima. Perempuan itu menatapku dengan sendu. Aku menimbang usul Kak Naima barusan, sepertinya memang lebih baik begitu. "Zana ingin istirahat di rumah Farah saja, ya, Kak, biar dekat dari sini."Rumah Farah memang tak terlalu jauh dari rumah sakit tempat Ibu dirawat. Hanya butuh waktu sepuluh menit saja untuk ke sana. Aku memang butuh istirahat. Sejak Ibu masuk rumah sakit, waktu istirahatku kurang. Bukan karena Ibu merepotkanku, tapi karena aku yang tak bisa tidur karena selalu mengkhawatirkan Ibu, hingga wajahku terlihat pucat dan menampakkan lingkaran hitam di sekeliling mata. "Ya sud
Kumandang adzan subuh menyadarkanku dari tidur lelap semalam. Cukup lama rasanya aku tidak menikmati tidur nyaman seperti malam tadi. Farah masih meringkuk dalam balutan selimutnya. Sejak semalam Farah sudah berpesan untuk tak membangunkannya, karena tengah berhalangan untuk shalat. Perlahan bangkit, berjalan menuju kamar mandi yang ada di kamar Farah untuk berwudhu, melaksanakan kewajiban dua rakaat subuh. Perasaan damai menjalar di hatiku, tatkala air wudhu menyentuh setiap anggota tubuh yang kubasuh. Sangat menenangkan. Setelah shalat, aku kembali duduk di atas ranjang di dekat Farah. Membuka ponsel milikku, untuk memastikan siapa tahu Kak Naima menghubungiku. 24 panggilan tak terjawab. Setelah kuklik ternyata 22 di antaranya berasal dari nomor Bang Haikal, selebihnya dari nomor Kak Lila. Aku memutuskan nanti siang baru menelpon Kak Lila, siapa tahu ada yang perlu ia sampaikan padaku. Entah bagaimana kabar Harry, aku bahkan tak sempat lagi memikirkan anak malang itu, setelah me
Farah meraih ponsel di sampingnya, menekan tombol dial. Kemudian mata itu kembali tertutup. "Assalamu'alaikum, Bang.""Minggu depan?"Gadis itu terlonjak dengan mata terbuka lebar hingga pada posisi terduduk. Aku tak mengerti apa yang membuatnya sedemikian kagetnya. Suara yang tadinya sendu kini terdengar bersemangat. "Kenapa buru-buru?""Pinter gombal juga ternyata, ya!""Ya sudah, kalau sudah pasti kabarin Farah, biar segera ngasih tau keluarga Farah."Aku seperti mengerti kemana alur pembicaraan Farah di telpon. Ada rasa tak rela, ketika membayangkan Farah akan mengakhiri masa sendirinya. Mungkinkah nanti Farah akan tetap seperti ini terhadapku, ataukah akan berubah. Cepat aku menepisnya. Tak seharusnya aku bersedih atas kebahagiaan sahabat sebaik Farah. "Ngelamunin apa sih, Na?" Pertanyaan Farah mengagetkanku. "Gak ada kok." Aku kembali terdiam. "Kalau gak ada, kenapa muka sedih gitu?" Farah memutar-mutar wajahku, persis saat aku tengah memilah ikan di lapak Bik Marni di kamp
Pov. HaikalAku tak pernah menyangka, jika pernikahanku dengan Rania akan mengundang kemarahan besar bagi Kak Farida. Nyaliku menciut saat tanpa kuduga, Kak Farida datang ke rumah Rania saat aku tengah di sana, menemani Rania yang tengah kurang enak badan. Kemarahan dan kata-kata menusuk hati tak dapat terelakkan. Jika bisa memilih, aku lebih memilih Kak Farida menghajarku dengan tangan kosong hingga babak belur, dibandingkan menghujamkan kata-kata menyakitkan ke ulu hatiku. Kedua kakakku memang sangat menyayangi Zana. Itu semua terlihat dari sikap mereka saat bertemu. Kak Naima bahkan sangat dekat dengan Zana, persis seorang teman. Tak heran jika mereka sangat membenci ulahku yang telah menduakan Zana. Tapi tunggu … bagaimana Kak Farida bisa tau jika aku menduakan Zana demi Rania? Apa mungkin Zana sudah mengetahui semuanya? Kepalaku benar-benar ingin pecah. Alasanku untuk memiliki keturunan seakan tak sedikit pun membantu meluluhkan hati kakak tertuaku itu, yang ada bahkan dirinya
Tubuhku bergetar dengan tatapan mata mengabur, dengan lemas aku terduduk. Tak kupedulikan Harry yang terus merengek karena lapar. Sesuatu yang kutakutkan akhirnya benar-benar terjadi. Aku terduduk lemas, dengan air mata berurai tanpa suara. Harry terdiam menatapku bersikap tak seperti biasa. Tak dapat kubayangkan akan sehancur apa hidupku setelah Ibu pergi. Kembali berdengung di telingaku, perkataan Kak Farida beberapa hari lalu, jika alasan Zana bertahan karena Ibu. Akankah Zana akan benar-benar meninggalkanku setelah Ibu pergi. Air mata semakin berebut keluar. Wajah sembabku menyambut kedatangan mobil jenazah yang mengantar jasad Ibu, jasad wanita yang telah melahirkanku, tepat pukul sembilan pagi. Wajah berurai air mata Kak Naima keluar dari mobil yang turut serta mambawa jasad Ibu. Kakak perempuanku itu masuk rumah setelah menghujamku dengan tatapan menghunus. Tak kulihat Zana datang.Dua orang petugas mengeluarkan jasad Ibu dari dalam mobil jenazah, dibantu beberapa orang pela
Seminggu sudah Ibu pergi untuk selamanya. Semenjak itu pula, keluargaku memintaku untuk kembali ke rumah orang tuaku, mereka tak ingin hatiku lebih sakit lagi. Kenangan saat-saat bersama Ibu masih sangat sering melintas di pikiranku, membuat rinduku padanya yang tak dapat kupeluk menciptakan sesak di dada. Namun setidaknya, aku tak menyesal dengan kepergiaan Ibu, karena selama ini aku telah berusaha melakukan yang terbaik untuk Ibu. Semoga Ibu damai bersama-Nya. Doaku. Tok! Tok! Tok! "Na!" Suara ketukan disusul panggilan dari arah pintu kamar, membuatku bangkit dari tempat tidur. Waktu memang masih jam delapan malam, tapi rasa ingin sendiri membuatku memilih masuk kamar lebih cepat. "Iya, Bu. Ada apa?" tanyaku pada Ibu, setelah pintu terbuka. Ibu terlihat menarik napas dalam sambil mengendikkan bahu. Sesaat Ibu menatapku dengan wajah sendu, "Tuh, Haikal udah ada di depan, pengen ketemu kamu!" Aku menarik napas dalam, menghembuskannya dengan kasar. Malas sekali rasanya jika haru
Aku menggeleng pelan, tak habis pikir. Setelah kesempatan itu dicampakkannya, dengan santainya ia menanyakan hal yang sama. "Jika bukan karena almarhum Ibu, aku bahkan sudah meninggalkanmu sejak pertama terluka."Tak ada lagi kata sapaan untuk menghormati lelaki di sampingku ini. Aku cukup sadar, jika status di antara kami masih sama. Namun, luka hati ini seakan membuatku enggan memperlakukannya dengan perlakuan yang sama seperti dulu. "Maafkan Abang, Na. Abang benar-benar menyesal. Semua Abang lakukan hanya karena ingin memiliki keturunan."Hatiku kembali sakit. Apa dirinya pikir, alasannya menyakitiku bisa dibenarkan? "Aku sungguh iri pada para istri yang meski seumur hidupnya tak mampu memberikan keturunan, namun sang suami tetap setia di sampingnya. Tapi sudahlah, semua sudah berlalu. Aku hanya ingin berdamai dengan caraku sendiri."Bang Haikal bangkit dan mendekat ke arahku. Kemudian berlutut di kakiku, kedua tangannya menyentuh jemariku. Aku pun berusaha melepaskan tangannya