Tubuhku bergetar dengan tatapan mata mengabur, dengan lemas aku terduduk. Tak kupedulikan Harry yang terus merengek karena lapar. Sesuatu yang kutakutkan akhirnya benar-benar terjadi. Aku terduduk lemas, dengan air mata berurai tanpa suara. Harry terdiam menatapku bersikap tak seperti biasa. Tak dapat kubayangkan akan sehancur apa hidupku setelah Ibu pergi. Kembali berdengung di telingaku, perkataan Kak Farida beberapa hari lalu, jika alasan Zana bertahan karena Ibu. Akankah Zana akan benar-benar meninggalkanku setelah Ibu pergi. Air mata semakin berebut keluar. Wajah sembabku menyambut kedatangan mobil jenazah yang mengantar jasad Ibu, jasad wanita yang telah melahirkanku, tepat pukul sembilan pagi. Wajah berurai air mata Kak Naima keluar dari mobil yang turut serta mambawa jasad Ibu. Kakak perempuanku itu masuk rumah setelah menghujamku dengan tatapan menghunus. Tak kulihat Zana datang.Dua orang petugas mengeluarkan jasad Ibu dari dalam mobil jenazah, dibantu beberapa orang pela
Seminggu sudah Ibu pergi untuk selamanya. Semenjak itu pula, keluargaku memintaku untuk kembali ke rumah orang tuaku, mereka tak ingin hatiku lebih sakit lagi. Kenangan saat-saat bersama Ibu masih sangat sering melintas di pikiranku, membuat rinduku padanya yang tak dapat kupeluk menciptakan sesak di dada. Namun setidaknya, aku tak menyesal dengan kepergiaan Ibu, karena selama ini aku telah berusaha melakukan yang terbaik untuk Ibu. Semoga Ibu damai bersama-Nya. Doaku. Tok! Tok! Tok! "Na!" Suara ketukan disusul panggilan dari arah pintu kamar, membuatku bangkit dari tempat tidur. Waktu memang masih jam delapan malam, tapi rasa ingin sendiri membuatku memilih masuk kamar lebih cepat. "Iya, Bu. Ada apa?" tanyaku pada Ibu, setelah pintu terbuka. Ibu terlihat menarik napas dalam sambil mengendikkan bahu. Sesaat Ibu menatapku dengan wajah sendu, "Tuh, Haikal udah ada di depan, pengen ketemu kamu!" Aku menarik napas dalam, menghembuskannya dengan kasar. Malas sekali rasanya jika haru
Aku menggeleng pelan, tak habis pikir. Setelah kesempatan itu dicampakkannya, dengan santainya ia menanyakan hal yang sama. "Jika bukan karena almarhum Ibu, aku bahkan sudah meninggalkanmu sejak pertama terluka."Tak ada lagi kata sapaan untuk menghormati lelaki di sampingku ini. Aku cukup sadar, jika status di antara kami masih sama. Namun, luka hati ini seakan membuatku enggan memperlakukannya dengan perlakuan yang sama seperti dulu. "Maafkan Abang, Na. Abang benar-benar menyesal. Semua Abang lakukan hanya karena ingin memiliki keturunan."Hatiku kembali sakit. Apa dirinya pikir, alasannya menyakitiku bisa dibenarkan? "Aku sungguh iri pada para istri yang meski seumur hidupnya tak mampu memberikan keturunan, namun sang suami tetap setia di sampingnya. Tapi sudahlah, semua sudah berlalu. Aku hanya ingin berdamai dengan caraku sendiri."Bang Haikal bangkit dan mendekat ke arahku. Kemudian berlutut di kakiku, kedua tangannya menyentuh jemariku. Aku pun berusaha melepaskan tangannya
Sinar mentari pagi menembus celah jendela, melewati gorden kamar membuat silau mata Haikal yang masih terpejam. Lelaki itu buru-buru bangkit, karena tersadar kalau hari sudah terlanjur siang. "Ah, lewat lagi waktu subuh," gumamnya. Sejak kepergian Zana dua minggu lalu, Haikal merasa hidupnya tak beraturan. Untuk mengurus dirinya sendiri saja rasanya begitu ribet. Untungnya, Haikal sudah mempekerjakan Bik Sum sebagai pengasuh Harry, meski masih dalam waktu penyesuaian. Beberapa hari ini anak itu selalu memanggil-manggil Zana dengan sebutan Bunda. Kedekatannya dengan Zana membuat Harry sering menangis dan tidak mau makan, hingga semenjak ditinggal Zana, Harry tidak bersemangat dan terlihat lebih kurus. Sama halnya pagi ini. Harry masih meringkuk di samping Haikal, setelah tadi minta susu. Rasa tak tega selalu menyesakkan hati Haikal, tak jarang air matanya sampai menetes, saat melihat Harry yang menangis pilu karena menahan rindu pada Sang Bunda. Semua usaha yang dilakukan Haikal
Jarak rumah Ibu dan rumah Bang Hamka tak terlalu jauh, tak sampai setengah jam perjalanan saja. Aku berpikir sejenak. Melihat Farah seakan hatiku terketuk untuk menjadi wanita berpendidikan sekaligus mandiri. Dulu memang aku tak berniat ingin kuliah. Menurutku setinggi apa pun pendidikan seorang perempuan, pada akhirnya akan tetap kembali pada fitrahnya, menjadi ibu rumah tangga. Tapi kini seakan pemikiran salahku beberapa tahun lalu telah berubah. "Ada sih, Bu.""Terus?" tanya Ibu dengan bernada heran. "Zana belum kerja, Bu." "Kok kerja? Kan Ibu nanyanya kuliah?“ Dahi Ibu berkerut. "Kuliahkan perlu biaya, Bu. Zana belum bisa sekarang. Rencananya juga Zana mau kuliah nyambi kerja, Bu." Ayah dan Ibu saling berpandangan, kemudian beralih melirikku dari kaca spion yang menggantung di atas bagian depan mobil. "Kuliah aja dulu, Na. Kalo soal biaya, Ayah masih sanggup, kok." Kali ini Ayah buka suara. "Iya, Na. Lagian gak ada lagi yang butuh dibiayai selain kamu. Fikri semenjak buka
Berkali-kali aku menghirup napas panjang menghembusnya perlahan. Berusaha menata hati agar tak ada rasa sakit melihat apa yang tengah terjadi di depan mataku. Lelaki yang beberapa hari ini sering muncul di benakku, kini tengah bersama sahabat terbaikku. "Kok malah ngelamun, yuk turun!" ajak Ibu saat melihatku tak kunjung turun dari mobil. Aku tersentak, kemudian tersenyum memamerkan gigi-gigi tersusun rapi ke arah Ibu untuk menutupi canggungku. Aku turun perlahan dan berjalan mengekor di belakang Ibu dan Ayah. Farah dan Bang Amar mendekat ke arah kami dengan senyum sumringah di wajah Farah, kemudian bersalaman dengan Ibu dan Ayah. Aku berusaha tersenyum meski hati terasa nyeri. Farah terlihat begitu anggun dengan gamis warna salem dengan jilbab senada. Di sampingnya Bang Amar dengan kemeja biru muda berpadu celana jeans hitam lengkap dengan sepatu flat berwarna perpaduan hitam dan abu tua membuat tampilan lelaki tampan itu telihat semakin sempurna.Bang Amar mencuri pandang dengan
"Gak—gak kok, Bang. Gak papa." Aku menjawab cepat. Beberapa kali Bang Amar mencuri pandang ke arahku, membuat degub jantung di dada ini terasa tak beraturan. Sekuat apa aku berusaha menghindar, nyatanya rasa itu terlalu kuat untuk ku sembunyikan. "Sekarang apa kegiatan kamu, Na?""Kembali seperti dulu, Bang. Makan, tidur, sama nonton," jawabku asal. Bang Amar kembali tersenyum. "Masih suka kartun, 'kah? Bang Amar menoleh ke arahku dengan alis terangkat. Aku menjawab dengan cengiran. Semula aku berpikir perubahan sikap Bang Amar menunjukkan bahwa dia menyukaiku. Namun segera kutepis. Aku tak ingin persahabatan bertahun-tahun antara aku dan Farah harus ternodai hanya karena urusan perasaan pada lawan jenis. "Maaf ganggu." Farah nongol dari balik pintu sambil tersenyum dan berdiri di belakang kursi yang kududuki. Tangannya diletakkannya di bahuku. "Gak kok, Fa." Aku berusaha sesantai mungkin. "Besok kalo sempet ke rumahku yuk, Na. Kangen tau lama gak ketemu," ucap Farah. "Lama ap
Rasa lelah membujuk Zana yang tak kunjung merubah pendiriannya, membuat Haikal mulai dirayapi rasa lelah. Percuma saja rasanya dirinya berkali-kali memohon, kalau istrinya itu tak juga berubah pikiran. Rasa rindu ingin menuntaskan hasrat sebagai seorang suami membuat Haikal akhirnya menemui Rania. Sepanjang jalan Haikal memikirkan bagaimana cara membujuk Rania, agar bersedia merawat Harry. Sejak lama dirinya ingin memiliki keluarga utuh. Memiliki Harry dan Zana yang terlihat begitu dekat membuat Haikal merasakan kebahagiaan sempurna yang sejak lama ia dambakan. Namun semua tak bertahan lama, kebahagiaan irtu harus berakhir saat semua berhasil terbongkar. Kini hanya Rania yang mau menerima dirinya. Pikirnya. Rasa ingin memperbaiki semuanya membuat Haikal bertekad akan membina keluarga utuh bersama istri mudanya itu. Membuka lembaran baru tanpa mempedulikan penilaian buruk tentang Rania. Toh dirinya juga pernah khilaf ketika menduakan Zana dulu. Tepat pukul sepuluh pagi, mobil yang i