"Gak—gak kok, Bang. Gak papa." Aku menjawab cepat. Beberapa kali Bang Amar mencuri pandang ke arahku, membuat degub jantung di dada ini terasa tak beraturan. Sekuat apa aku berusaha menghindar, nyatanya rasa itu terlalu kuat untuk ku sembunyikan. "Sekarang apa kegiatan kamu, Na?""Kembali seperti dulu, Bang. Makan, tidur, sama nonton," jawabku asal. Bang Amar kembali tersenyum. "Masih suka kartun, 'kah? Bang Amar menoleh ke arahku dengan alis terangkat. Aku menjawab dengan cengiran. Semula aku berpikir perubahan sikap Bang Amar menunjukkan bahwa dia menyukaiku. Namun segera kutepis. Aku tak ingin persahabatan bertahun-tahun antara aku dan Farah harus ternodai hanya karena urusan perasaan pada lawan jenis. "Maaf ganggu." Farah nongol dari balik pintu sambil tersenyum dan berdiri di belakang kursi yang kududuki. Tangannya diletakkannya di bahuku. "Gak kok, Fa." Aku berusaha sesantai mungkin. "Besok kalo sempet ke rumahku yuk, Na. Kangen tau lama gak ketemu," ucap Farah. "Lama ap
Rasa lelah membujuk Zana yang tak kunjung merubah pendiriannya, membuat Haikal mulai dirayapi rasa lelah. Percuma saja rasanya dirinya berkali-kali memohon, kalau istrinya itu tak juga berubah pikiran. Rasa rindu ingin menuntaskan hasrat sebagai seorang suami membuat Haikal akhirnya menemui Rania. Sepanjang jalan Haikal memikirkan bagaimana cara membujuk Rania, agar bersedia merawat Harry. Sejak lama dirinya ingin memiliki keluarga utuh. Memiliki Harry dan Zana yang terlihat begitu dekat membuat Haikal merasakan kebahagiaan sempurna yang sejak lama ia dambakan. Namun semua tak bertahan lama, kebahagiaan irtu harus berakhir saat semua berhasil terbongkar. Kini hanya Rania yang mau menerima dirinya. Pikirnya. Rasa ingin memperbaiki semuanya membuat Haikal bertekad akan membina keluarga utuh bersama istri mudanya itu. Membuka lembaran baru tanpa mempedulikan penilaian buruk tentang Rania. Toh dirinya juga pernah khilaf ketika menduakan Zana dulu. Tepat pukul sepuluh pagi, mobil yang i
Lelaki itu menoleh, menatap Haikal dengan wajah heran. Rania menatap Haikal yang tiba-tiba datang dengan wajah pias. Tawa yang tadi terdengar renyah kini berganti membatu. "Anda siapa?" tanya lelaki itu tak paham. Buk! Tinju yang sedari tadi terkepal kini sukses menghantam perut gendut milik lelaki itu. Amarah di kepalanya memuncak, membuat Haikal melayangkan pukulan bertubi-tubi pada lelaki itu. Rania berusaha melerai, dengan memeluk kuat tubuh Haikal dari belakang, membuat Haikal kesulitan bergerak. "Cukup, Bang! Cukup!" Rania berkata setengah berteriak. Lelaki itu mengambil kesempatan untuk pergi saat Haikal berusaha melepas pelukan Rania. Lelaki itu berjalan menuju mobilnya dengan terhuyung. "Jangan menyentuhku!" Bentak Haikal seraya melepas kasar pelukan Rania. Rania menarik kasar tangan Haikal agar masuk rumah. Dirinya tak ingin masalah akan tambah runyam jika para tetangga mengetahui ulah gilanya selama ini. "Siapa laki-laki itu?" tanya Haikal dengan tatapan menghunus k
Dengan tangan bergetar Rania memutar gagang pintu, debar jantung dan dada sesak membuat dada perempuan itu kembang kempis, amarah yang sejak tadi terperangkap seakan menemukan tempat pelampiasan. Seorang perempuan paruh baya masuk dengan wajah getir setelah pintu terbuka, di tangannya menenteng sebuah tas berukuran sedang berwarna hitam mengkilat. "Ada yang membuat Mama lagi ke sini?" tanya Rania dengan tangan bersedekap di dada, matanya menelisik perempuan di hadapannya dengan raut wajah tak bersahabat. Haikal menatap lekat wajah wanita itu, hidung dan matanya begitu mirip dengan Rania. Bergantian di tatapnya dua perempuan yang tengah berdiri tak jauh dari darinya, ada sebongkah tanya yang menggumpal di hatinya yang belum bisa terucap. "Tolong Mama, Ran. Papamu nabrak orang, hingga korbannya meninggal di tempat," jelas wanita itu dengan memohon dengan wajah penuh kekhawatiran. Haikal menatap tak mengerti maksud perempuan itu. Bukankah orang tua Rania sudah lama meninggal, tapi k
Rania melempar tatapan ke arah Yuni dengan mata bak belati terhunus, membuat jantung wanita paruh baya itu berdegub kencang, menanti saat-saat kalimat selanjutnya yang akan keluar dari bibir putrinya. "Sejak dulu kukatakan, aku tak ingin memiliki ayah sambung seperti bajing*n Alex, tapi kenapa Mama tak pernah mendengarkanku? Kenapa? Apakah setelah melihat hidupku sehancur sekarang, baru Mama akan mendengarkanku? Di saat teman sebayaku menikmati masa remajanya dengan suka cita, aku harus hidup dalam tekanan dan ancaman dari lelaki binat*ng yang Mama sebut sebagai suami. Bahkan belum genap seminggu Mama menikah dengannya, lelaki binatang itu telah merenggut paksa mahkota kesucian yang sebelumnya berusaha kujaga. Apakah terlalu jahat jika aku mengatakan Alex bajing*n? Ataukah salah jika aku menganggap kalian sudah mati?" Rania berkata dengan membentak, matanya tak henti mengurai air mata karena luka dan dendam yang melebur dalam dada. Yuni tersentak mendengar penjelasan panjang dari pu
Aku masih menunggu di depan ruang UGD bersama Aidil, pemuda yang tadi menabrak Sinta. Menurut Aidil, Sinta melintas tanpa menoleh kanan kiri karena sambil menangis, hingga kendaraan roda dua milik Aidil manbrak tubuh perempuan itu hingga terpental. Aidil tengah duduk terpaku tak jauh dariku, wajah lelaki itu terlihat gusar. Jari kaki dan lutut Aidil ikut terluka, setelah motornya terseret di aspal saat berusaha menghindari tubuh Sinta. Ayah dan Ibu sudah pulang, setelah selesai mengantar Sinta ke rumah sakit terdekat. Aku memilih menunggu, karena masih belum ada pihak keluarga yang datang, walau sempat sakit hati pada Sinta, aku tak sampai hati jika meninggalkannya terkapar di jalan dalam keadaan bermandi darah seperti tadi. Sayangnya aku tak memiliki nomor ponsel keluarga Sinta di kampung, berkali-kali menghubungi Kak Lila tak pernah tersambung, untuk menelpon Bang Haikal rasanya begitu malas, tapi akhirnya aku tetap menghubunginya. Aku sangat yakin Bang Haikal memiliki kontak kel
"Silahkan," jawabku tanpa menoleh. Kembali kukirim pesan pada Farah untuk lebih cepat menjemputku, agar memiliki alasan untuk pergi dari hadapan manusia menyebalkan ini. "Lihat Abang sebentar, Na."Aku mengangkat kepala, menatap ke arah lelaki yang masih berstatus suamiku itu dengan malas. "Kalau mau bicara, bicara saja! Tak perlu memintaku untuk menatapmu." Wajah lelaki itu terlihat terkejut mendengar kata-kata pedas dari bibirku barusan. Aku tak peduli, biarkan saja ia menikmati perlakuan tak bersahabat dari orang yang dulu ia kenal lemah lembut, karena semua adalah buah dari perbuatannya sendiri. "Maafkan Abang, Na … Abang hanya ingin mengatakan kalau surat-surat atas kepemilikan harta bersama yang kau minta beberapa minggu lalu sudah selesai dirubah atas namamu.""Hmm." Aku hanya berdehem, berita sebaik apa pun yang disampaikan Bang Haikal seakan tak ada daya tarik bagiku, sama seperti kali ini. "Kapan kau akan mengambilnya, Na?" "Secepatnya," jawabku dengan wajah datar.
Bergegas aku turun dari mobil Bang Amar, mendekat ke arah Bang Haikal yang menatap sinis ke arahku. Plak! Plak! Dua tamparan berhasil mendarat di pipi laki-laki kurang waras yang tengah berdiri di hadapanku, kuabaikan beberapa pasang mata yang tercengang melihat ke arah kami, Bang Amar hanya menjadi penonton. Sepertinya lelaki itu tak ingin terperosok ke dalam masalah keluarga kami. Dadaku kembang kempis menahan emosi yang membuat sesak setelah mendengar kalimat menyakitkan dari bibir Bang Haikal. "Jaga ucapanmu, Haikal! Masih kurangkah waku tiga tahun kau bermain gila dengan gundikmu untuk menyakitiku? Hingga sekarang kau malah menuduhku yang bukan-bukan. Lima tahun menjadi istrimu tak pernah terlintas di kepalaku untuk berpaling, tapi apa balasan darimu? Tiga tahun terakhir kau sudah menduakanku, hingga anak hasil perselingkuhan kalian aku yang kau minta untuk mengurusnya. Apa kau masih punya ot*k? Apakah maaih kurang pantas jika aku mengatakan kau tak punya hati?" Aku berkata