Sinar mentari pagi menembus celah jendela, melewati gorden kamar membuat silau mata Haikal yang masih terpejam. Lelaki itu buru-buru bangkit, karena tersadar kalau hari sudah terlanjur siang. "Ah, lewat lagi waktu subuh," gumamnya. Sejak kepergian Zana dua minggu lalu, Haikal merasa hidupnya tak beraturan. Untuk mengurus dirinya sendiri saja rasanya begitu ribet. Untungnya, Haikal sudah mempekerjakan Bik Sum sebagai pengasuh Harry, meski masih dalam waktu penyesuaian. Beberapa hari ini anak itu selalu memanggil-manggil Zana dengan sebutan Bunda. Kedekatannya dengan Zana membuat Harry sering menangis dan tidak mau makan, hingga semenjak ditinggal Zana, Harry tidak bersemangat dan terlihat lebih kurus. Sama halnya pagi ini. Harry masih meringkuk di samping Haikal, setelah tadi minta susu. Rasa tak tega selalu menyesakkan hati Haikal, tak jarang air matanya sampai menetes, saat melihat Harry yang menangis pilu karena menahan rindu pada Sang Bunda. Semua usaha yang dilakukan Haikal
Jarak rumah Ibu dan rumah Bang Hamka tak terlalu jauh, tak sampai setengah jam perjalanan saja. Aku berpikir sejenak. Melihat Farah seakan hatiku terketuk untuk menjadi wanita berpendidikan sekaligus mandiri. Dulu memang aku tak berniat ingin kuliah. Menurutku setinggi apa pun pendidikan seorang perempuan, pada akhirnya akan tetap kembali pada fitrahnya, menjadi ibu rumah tangga. Tapi kini seakan pemikiran salahku beberapa tahun lalu telah berubah. "Ada sih, Bu.""Terus?" tanya Ibu dengan bernada heran. "Zana belum kerja, Bu." "Kok kerja? Kan Ibu nanyanya kuliah?“ Dahi Ibu berkerut. "Kuliahkan perlu biaya, Bu. Zana belum bisa sekarang. Rencananya juga Zana mau kuliah nyambi kerja, Bu." Ayah dan Ibu saling berpandangan, kemudian beralih melirikku dari kaca spion yang menggantung di atas bagian depan mobil. "Kuliah aja dulu, Na. Kalo soal biaya, Ayah masih sanggup, kok." Kali ini Ayah buka suara. "Iya, Na. Lagian gak ada lagi yang butuh dibiayai selain kamu. Fikri semenjak buka
Berkali-kali aku menghirup napas panjang menghembusnya perlahan. Berusaha menata hati agar tak ada rasa sakit melihat apa yang tengah terjadi di depan mataku. Lelaki yang beberapa hari ini sering muncul di benakku, kini tengah bersama sahabat terbaikku. "Kok malah ngelamun, yuk turun!" ajak Ibu saat melihatku tak kunjung turun dari mobil. Aku tersentak, kemudian tersenyum memamerkan gigi-gigi tersusun rapi ke arah Ibu untuk menutupi canggungku. Aku turun perlahan dan berjalan mengekor di belakang Ibu dan Ayah. Farah dan Bang Amar mendekat ke arah kami dengan senyum sumringah di wajah Farah, kemudian bersalaman dengan Ibu dan Ayah. Aku berusaha tersenyum meski hati terasa nyeri. Farah terlihat begitu anggun dengan gamis warna salem dengan jilbab senada. Di sampingnya Bang Amar dengan kemeja biru muda berpadu celana jeans hitam lengkap dengan sepatu flat berwarna perpaduan hitam dan abu tua membuat tampilan lelaki tampan itu telihat semakin sempurna.Bang Amar mencuri pandang dengan
"Gak—gak kok, Bang. Gak papa." Aku menjawab cepat. Beberapa kali Bang Amar mencuri pandang ke arahku, membuat degub jantung di dada ini terasa tak beraturan. Sekuat apa aku berusaha menghindar, nyatanya rasa itu terlalu kuat untuk ku sembunyikan. "Sekarang apa kegiatan kamu, Na?""Kembali seperti dulu, Bang. Makan, tidur, sama nonton," jawabku asal. Bang Amar kembali tersenyum. "Masih suka kartun, 'kah? Bang Amar menoleh ke arahku dengan alis terangkat. Aku menjawab dengan cengiran. Semula aku berpikir perubahan sikap Bang Amar menunjukkan bahwa dia menyukaiku. Namun segera kutepis. Aku tak ingin persahabatan bertahun-tahun antara aku dan Farah harus ternodai hanya karena urusan perasaan pada lawan jenis. "Maaf ganggu." Farah nongol dari balik pintu sambil tersenyum dan berdiri di belakang kursi yang kududuki. Tangannya diletakkannya di bahuku. "Gak kok, Fa." Aku berusaha sesantai mungkin. "Besok kalo sempet ke rumahku yuk, Na. Kangen tau lama gak ketemu," ucap Farah. "Lama ap
Rasa lelah membujuk Zana yang tak kunjung merubah pendiriannya, membuat Haikal mulai dirayapi rasa lelah. Percuma saja rasanya dirinya berkali-kali memohon, kalau istrinya itu tak juga berubah pikiran. Rasa rindu ingin menuntaskan hasrat sebagai seorang suami membuat Haikal akhirnya menemui Rania. Sepanjang jalan Haikal memikirkan bagaimana cara membujuk Rania, agar bersedia merawat Harry. Sejak lama dirinya ingin memiliki keluarga utuh. Memiliki Harry dan Zana yang terlihat begitu dekat membuat Haikal merasakan kebahagiaan sempurna yang sejak lama ia dambakan. Namun semua tak bertahan lama, kebahagiaan irtu harus berakhir saat semua berhasil terbongkar. Kini hanya Rania yang mau menerima dirinya. Pikirnya. Rasa ingin memperbaiki semuanya membuat Haikal bertekad akan membina keluarga utuh bersama istri mudanya itu. Membuka lembaran baru tanpa mempedulikan penilaian buruk tentang Rania. Toh dirinya juga pernah khilaf ketika menduakan Zana dulu. Tepat pukul sepuluh pagi, mobil yang i
Lelaki itu menoleh, menatap Haikal dengan wajah heran. Rania menatap Haikal yang tiba-tiba datang dengan wajah pias. Tawa yang tadi terdengar renyah kini berganti membatu. "Anda siapa?" tanya lelaki itu tak paham. Buk! Tinju yang sedari tadi terkepal kini sukses menghantam perut gendut milik lelaki itu. Amarah di kepalanya memuncak, membuat Haikal melayangkan pukulan bertubi-tubi pada lelaki itu. Rania berusaha melerai, dengan memeluk kuat tubuh Haikal dari belakang, membuat Haikal kesulitan bergerak. "Cukup, Bang! Cukup!" Rania berkata setengah berteriak. Lelaki itu mengambil kesempatan untuk pergi saat Haikal berusaha melepas pelukan Rania. Lelaki itu berjalan menuju mobilnya dengan terhuyung. "Jangan menyentuhku!" Bentak Haikal seraya melepas kasar pelukan Rania. Rania menarik kasar tangan Haikal agar masuk rumah. Dirinya tak ingin masalah akan tambah runyam jika para tetangga mengetahui ulah gilanya selama ini. "Siapa laki-laki itu?" tanya Haikal dengan tatapan menghunus k
Dengan tangan bergetar Rania memutar gagang pintu, debar jantung dan dada sesak membuat dada perempuan itu kembang kempis, amarah yang sejak tadi terperangkap seakan menemukan tempat pelampiasan. Seorang perempuan paruh baya masuk dengan wajah getir setelah pintu terbuka, di tangannya menenteng sebuah tas berukuran sedang berwarna hitam mengkilat. "Ada yang membuat Mama lagi ke sini?" tanya Rania dengan tangan bersedekap di dada, matanya menelisik perempuan di hadapannya dengan raut wajah tak bersahabat. Haikal menatap lekat wajah wanita itu, hidung dan matanya begitu mirip dengan Rania. Bergantian di tatapnya dua perempuan yang tengah berdiri tak jauh dari darinya, ada sebongkah tanya yang menggumpal di hatinya yang belum bisa terucap. "Tolong Mama, Ran. Papamu nabrak orang, hingga korbannya meninggal di tempat," jelas wanita itu dengan memohon dengan wajah penuh kekhawatiran. Haikal menatap tak mengerti maksud perempuan itu. Bukankah orang tua Rania sudah lama meninggal, tapi k
Rania melempar tatapan ke arah Yuni dengan mata bak belati terhunus, membuat jantung wanita paruh baya itu berdegub kencang, menanti saat-saat kalimat selanjutnya yang akan keluar dari bibir putrinya. "Sejak dulu kukatakan, aku tak ingin memiliki ayah sambung seperti bajing*n Alex, tapi kenapa Mama tak pernah mendengarkanku? Kenapa? Apakah setelah melihat hidupku sehancur sekarang, baru Mama akan mendengarkanku? Di saat teman sebayaku menikmati masa remajanya dengan suka cita, aku harus hidup dalam tekanan dan ancaman dari lelaki binat*ng yang Mama sebut sebagai suami. Bahkan belum genap seminggu Mama menikah dengannya, lelaki binatang itu telah merenggut paksa mahkota kesucian yang sebelumnya berusaha kujaga. Apakah terlalu jahat jika aku mengatakan Alex bajing*n? Ataukah salah jika aku menganggap kalian sudah mati?" Rania berkata dengan membentak, matanya tak henti mengurai air mata karena luka dan dendam yang melebur dalam dada. Yuni tersentak mendengar penjelasan panjang dari pu
Aku tersenyum lalu mengangguk pelan. Ya, Rania akan menikah dengan Hendri. Lelaki itu telah jatuh cinta pada pandangan pertama. Atas permintaan Rania, aku dan Bang Amar bercerita banyak tentang masa lalu beserta perubahan Rania pada Hendri, berharap Hendri bisa menerima apa adanya dan lebih mampu memahami Rania saat Hendri mengutarakan niatnya untuk serius pada Rania. Bahkan aku dan Bang Amar lah yang menjadi penyatu keduanya. Tentang Bang Haikal, kabar terakhir yang kudengar dari Kak Naima, mantan suamiku itu masih sendiri setelah Rania menolak untuk kembali. "Semoga sakinah hingga maut memisahkan." Do'a Farah. "Jujur, Na. Aku pun merasa iba pada Rania. Tapi saat mengingat wajah angkuhnya dulu, rasa itu memudar." "Semua pernah melakukan kesalahan, Fa, pun dengan Rania. Aku merasa aku masih di bawahnya. Aku tak tahu harus bagaimana jika aku yang berada di posisi Rania. Ia sangat butuh dukungan. Luka yang kurasakan karena sebuah penghianatan kurasa tak sebanding dengan luka yang ia
"Tak apa, aku hanya heran melihatmu yang tak seperti biasa." Amar berusaha mengalih perhatian Hendri. "Apa kau sudah jatuh cinta pada pandangan pertama?" Amar menggoda anak buahnya itu. Di luar keduanya memang terlihat tak ubah seperti teman. Amar sangat pintar menempatkan posisi. Ia tak begitu suka jika di luar kantor, Hendri atau anak buah yang lain menganggapnya seformal di kantor. Meski untuk panggilan, Hendri memanggilnya dengan embel-embel yang sama. Pak. Hendri menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Ia terlihat salah tingkah. Malu jika dirinya harus mengakui rasa yang tiba-tiba datang tanpa permisi. "Sudah sewajarnya kamu cari pengganti almarhumah istrimu, Hen. Kamu masih sangat muda dan memiliki seorang putri yang sangat butuh sosok ibu."Hendri begeming, hatinya membenarkan perkataan Amar barusan. Namun rasanya terlalu cepat untuk mengatakan jika dirinya menaruh hati pada perempuan bergamis hitam yang baru saja ia lihat. Ia bahkan belum tahu nama perempuan itu. "Kau menar
"Semakin ke sini aku semakin merasa bersalah pada Zana. Aku tak ingin terus-terusan dihantui perasaan yang sama, atau bahkan lebih. Aku yakin, hanya dengan melihatku saja, Zana masih merasakan luka yang dulu kuciptakan, jadi kumohon, jangan membuatku merasa lebih tak nyaman karena aku sangat menikmati kehidupanku sekarang. Kehidupan yang tak lepas dari peran Zana di dalamnya."Apa yang dikatakan Rania benar adanya. Ia sangat menikmati saat sekarang, saat Harry mulai bisa menerimanya, membuat hatinya dipenuhi haru. "Jika Abang sayang aku dan Harry, maka akhirilah hubungan yang menyakiti banyak pihak ini. Mari kita mulai semuanya dari awal. Aku tak ingin tersiksa saat mengingat kembali caraku menghancurkan perasaan Zana dulu."Haikal membatu. Ia tak menyangka jika Rania akan mengatakan hal yang tidak pernah ia sangka seperti saat ini. "Kau tak perlu memikirkan orang lain, pikirkan saja perasaan kita berdua. Aku tau kau masih sangat mencintaiku." Haikal berusaha membujuk, berharap Rani
Aku menatap Bang Amar yang terhalang sandaran kursi menatapnya dengan tetapan heran. "Bukankah jika Rania yang datang, Harry tak perlu merasa khawatir kalau kita akan meninggalkannya di panti?""Kita bisa mengantar Harry ke panti, Sayang. Atau bisa juga denga mempertemukan mereka berdua di mana saja. Aku hanya ingin menghargaimu, dengan tidak adanya tamu asing lawan jenis yang datang ke rumah. Abang tak ingin istri Abang merasa tak nyaman." Senyum mengembang di wajahnya. Alasan Bang Amar ada benarnya juga. Mengapa aku tak memperhatikan hal sepenting itu? "Sayang, bagaimana pun dekatnya kau dengan Harry, mereka tetaplah orang asing bagi kita dan Harry bukanlah mahrammu."Aku pun paham kemana arah pembicaraan Bang Amar. Ini hanyalah langkahku untuk menyelamatkan tumbuh kembang Harry. Memberikan hak-haknya setelah terlahir menjadi seorang anak."Abang berharap, kelak Harry akan tinggal bersama Rania secara utuh. Tak apa kau menginginkan dia seperti anak sendiri seperti sekarang, yang
Kalimat Harry barusan menegaskan jika aku tak akan bisa pergi tanpa membawanya. "Masih betah?" bisik Bang Amar di telingaku saat aku tengah asik bercengkrama dengan Harry. Aku kembali melirik jam tangan. Pukul 05.25, kemudian beralih menatap sendu bocah tiga setengah tahun yang tengah bergelayut manja di pangkuanku. "Sayang, kita ke depan, yuk," ajakku pada Harry yang ia sambut dengan anggukan. Kaki kecil itu melangkah riang, menapaki langkah demi langkah melewati satu persatu keramik lantai menuju teras depan, di mana Rania dan Puji duduk bersama beberapa anak panti. Harry menggenggam erat telunjukku saat kami berjalan bersisian, seolah tak memberiku kesempatan untuk jauh darinya. Pertanyaan demi pertanyaan sesuatu yang baru ia lihat tak henti keluar dari bibirnya. "Ran, kami pamit dulu, ya, titip Harry, Ran," ucapku dengan berat hati. Tak rela rasanya meninggalkan Harry di sini. Namun harus bagaimana lagi, meski sedari kecil aku lah yang telah merawat Harry, hati kecilku meng
Beberapa menit aku bahkan tak mampu melepaskan pelukan pada Harry. Aku tergugu di tubuh mungil itu hingga Bang Amar masuk setelah Rania ke luar. Kurenggangkan pelukan di tubuh Harry, membingkai wajahnya, memindai setiap lekuk wajahnya dengan mata yang masih mengabur. Bang Amar mengusap lembut kepala hingga punggung Harry, wajahnya terlihat sendu. "Sayang, udah, ya, nangisnya. Bunda lagi sakit, lho, kasian kalau Bunda nangis terus, nanti tambah sakit," bujuk Bang Amar dengan mengusap lembut kepala Harry yang tengan membelai wajahku. Anak kecil itu mengangguk cepat."Kita ke doktel, ya, Bunda." Harry mencium kedua pipiku kemudian kedua mataku. Benar-benar tak ada yang berubah. Perlakuan Harry masih seperti dulu. Ia adalah anak pintar yang memperlakukanku dengan lembut dan penuh kasih. "Iya, sayang. Maafin Bunda, ya, kemarin nggak bisa jemput Harry. Yang penting sekarang, Harry sudah dekat Bunda," ucapku dengan senyum bercampur air mata. Air mata haru. "Sayang, jangan banyak nangis
Bang Amar tak langsung menjawab, tangannya mengusap lembut perutku. "Bilang sama, Ummi, kita berangkat sekarang, Dek." Aku tertawa geli melihat ulah Bang Amar. Kini, aku seolah kehilangan sosok jual mahalnya yang dulu. "Yakin? Trus kerjaan Abang gimana?" Aku masih tak enak hati. "Tenang, Abang udah suruh Hendri buat handle. Sekarang siap-siap, gih."Hendri adalah asisten Bang Amar di kantor, duda anak satu yang istrinya meninggal saat melahirkan dua tahun lalu. "Oke, Zana siap-siap."Aku tersenyum senang menanggapi ucapan Bang Amar. Mimpi memeluk Harry akan segera menjadi nyata. *****Jantungku berdegub kencang tatkala menatap punggung mungil Harry yang tengah meringkuk di atas ranjang. "Ia tertidur setelah kelelahan menangis, Na," lirih Rania sendu. Aku duduk di sisi ranjang di belakang Harry dengan dada mulai sesak. Beban berat menahan rindu pada bocah mungil itu seakan tak mampu lagi kubendung. Rasa tak puas membuatku berpindah posisi di depan Harry untuk memindai setiap ga
Haikal membuang muka. Pemandangan di hadapannya membuat hatinya meringis. Nek Rahima nyatanya begitu berarti bagi Harry setelah Zana. Harry masih terus menarik tangan Nek Rahima untuk masuk mobil, Nek Rahima mematung. Pelan ia berjongkok, mensejajarkan tubuhnya dengan tubuh mungil Harry. "Sayang, Nenek di sini saja dulu, nanti Nenek bisa jenguk Harry di rumah Bunda atau Harry yang ke sini bersama Bunda.""Nenek ikut, kita jenguk Bunda.""Harry pulangnya sama Ayah dan Mama Rania, ya. Nanti Nenek nyusul."Harry mencebik. Ia ingin segera menjenguk bundanya, tapi ia pun tak ingin meninggalkan Nek Rahima. Dilema, itu lah yang ia rasakan. Haikal segera mendekat, Rania mengikuti dari belakang. Tak banyak yang bisa perempuan itu lakukan sekarang karena Harry masih belum menganggapnya penting. *****"Lagi ngapain?" tanya Bang Amar lewat sambungan telpon. Jam dinding baru saja menunjukkan pukul 10.15. Bang Amar memang selalu menyempatkan menghubungiku ketika dia berada di kantor di saat se
"Boleh Rania tanya sesuatu ke Ibu?" Nek Rahima menoleh pada Rania di sampingnya lalu mengangguk. "Nenek ikhlas melepaskan Harry bersamaku?"Beberapa saat hanya desiran angin malam yang terdengar berembus. Kedua perempuan itu saling terpaku, sibuk dengan hati dan pikiran masing-masing. "Ikhlas ataupun tidak, Harry tetaplah anakmu, Nak, Ibu tidak memiliki alasan untuk menahannya di sini."Nek Rahima sangat sadar, jika dirinya hanyalah orang yang Allah pilihkan untuk menjaga dan merawat Harry sebentar saja. Ia tak memiliki alasan untuk berontak."Ibu cuma sendirian di rumah ini?""Iya. Anak-anak Ibu tinggal di kota dan hanya akan pulang bergiliran menjenguk Ibu." Nek Rahima menerawang, rindunya pada anak-anaknya dan cucu-cucunya terobati setelah Harry hadir menemaninya. "Apa Ibu tak memiliki keinginan untuk tinggal bersama mereka?" Rania berkata dengan hati-hati. Embusan napas panjang keluar dari bibir keriput itu. Setiap berbicara tentang hal yang sama, ia merasakan dilema. Rasa r