Dibawah guyuran hujan, Thena terduduk lemas di paving blok area halaman rumah Briant. Ya, Thena sudah dijual pada seorang pria cacat bernama Briant.
Bimo benar-benar ingin menyaingi Tuhan. Berani-beraninya dia membuat alur kehidupan yang menyengsarakan bagi Thena. Dengan hebatnya, pria bajingan itu menjual Thena pada seorang pria cacat yang bahkan tidak sudi membiarkan Thena menginjakkan kaki ke dalam rumahnya.
"Tuan, apa tidak sebaiknya dia dibawa masuk? di luar hujan deras, dia bisa sakit," ucap Ismail yang berbicara pada Briant menggunakan suara dan juga gerakan tangannya sebagai bahasa isyarat.
(Tidak boleh. Biarkan dia di luar dulu. Dia bekas pria bejat itu, biarkan air hujan membersihkan kotoran di seluruh tubuhnya) , kata Briant menggunakan bahasa isyarat.
Gerakan tangannya begitu penuh penekanan, tanda bahwa pria itu sedang dipenuhi oleh amarah.
"Tapi, tuan. Dia bisa sakit. Lagipula si Bimo itu sudah berkata bahwa dia tidak menyentuh istrinya sama sekali," ungkap Ismail.
Ismail mungkin memang seorang pria berusia 40 tahun yang punya sifat dingin, tapi tetap saja dia masihlah seorang Ayah.
Ia punya anak perempuan yang seusia Thena, membuat sisi nuraninya sedikit terusik saat melihat Thena terduduk gemetar di luar dengan kondisi tubuhnya yang basah kuyup karena kehujanan.
Mendengar ucapan Ismail, Briant pun langsung menatapnya tajam.
(Kamu percaya padanya, Ismail? Dia pria yang sehat. Dia gak bisa menahan birahinya, sekalipun dia benci pada istrinya)
Ismail diam.
Sekalipun usia Briant jauh lebih muda 10 tahun dibawahnya, tapi tetap saja Briant adalah majikannya. Ia tidak bisa membantah perintah pria cacat itu.
"Baik tuan, maaf kalo saya sudah lancang. Apa tuan pengen ke kamar sekarang?"
(Iya)
Tanpa menunggu lama, Ismail pun segera meraih pegangan kursi roda Briant, dan langsung mendorongku pergi.
Hening.
Padahal ada lebih dari 15 orang pekerja di rumah itu, tapi suasana tetap hening karena mereka terbiasa berbicara menggunakan bahasa isyarat.
Rumah Briant jauh lebih terang karena lampu-lampu dihidupkan. Hujan membuat langit gelap, jadi Briant tidak mempermasalahkan ketika lampu dirumahnya harus menyala terang.
***
(Jam berapa sekarang?) tanya Briant saat ia baru saja terbangun dari tidurnya, sementara Ismail duduk di samping tempat tidur untuk mengawasi keadaannya.
"Jam 3 sore."
(Bawa dia masuk, lalu panggil Bi Surti buat memandikannya. Beri wanita itu baju baru)
"Baik tuan."
Ismail bergegas keluar dari kamar Briant untuk sekadar mendapati beberapa pelayan sedang berkerumun di depan jendela di lantai dua.
"Ngapain kalian berkumpul kayak gitu?" tanya Ismail dengan suara baritonnya yang terdengar tegas.
Seketika, para pelayan itu berjengit kaget dan bergegas memisahkan diri.
"A-Anu, pak Mandor. I-Itu, si Neng Cantik yang pak Mandor bawa pingsan di luar," kata salah seorang pelayan berusia 30 tahunan.
Mendengar itu, mata Ismail langsung terbelalak dan ia pun bergegas berlari menuruni tangga dan terburu-buru pergi ke luar rumah.
Menerobos derasnya hujan tanpa menggunakan payung, Ismail langsung meraih tubuh lunglai Thena, dan membawanya masuk ke dalam rumah Briant.
"Surti! Buka kamar tamu!" teriak Ismail.
Seorang pelayan bernama Surti itu langsung berlari terburu-buru menuju kamar tamu yang tak jauh dari ruang tengah, dan langsung membukakan pintunya.
Dengan cepat, Ismail langsung membawa Thena masuk ke dalam kamar itu dan membaringkannya di atas tempat tidur.
"Lap tubuhnya pake handuk dan air hangat, lalu ganti bajunya. Di lemari ada baju baru untuk perempuan. Nanti beri dia makanan," perintah Ismail dengan napas terengah-engah.
"Baik, pak... tapi perempuan ini teh siapa?"
Ismail mengusap kasar wajahnya yang basah kuyup, lalu menatap wanita berusia 30 tahun itu dengan tatapan datar.
"Dia, Nona Thena– calon istrinya tuan Briant." Suara Ismail menyahut dengan napas yang masih memburu karena kelelahan.
***
"Emak... Abah...," lirih Thena memanggil orang tuanya.
Perlahan, Thena pun pulang mengerjapkan matanya beberapa kali, sampai akhirnya ia bisa menatap sekitarnya dengan jelas.
Ruangan besar dengan cat dinominasi warna cokelat dan krem.
"Aku di mana?" tanya Thena lirih, tapi tak ada seorangpun yang menjawabnya.
Thena mengedarkan pandangannya ke sekeliling, lalu menggenggam sprei dan juga tekstur tempat tidurnya, sampai akhirnya ia pun sadar bahwa ini bukanlah rumahnya.
Derai air mata itu pun mengucur deras dari pelupuk mata Thena, tat kala ingat kalau-
"Aku dijual suamiku sendiri...."
Ia terisak-isak pedih. Beberapa kali ia menyeka air matanya, tapi air mata itu tidak sekalipun berhenti mengucur.
Dada Thena naik turun dalam isak tangisnya, tanda bahwa saat ini perasaannya begitu hancur.
"Oh... anda sudah sadar?" suara seseorang yang tiba-tiba masuk itu membuat Thena tersentak kaget.
Buru-buru, Thena menghapus air matanya.
"Anda siapa, bu?" tanya Thena serak.
Ia berusaha bangun dari pembaringannya, tapi seketika kepalanya berdenyut nyeri.
"Oh, saya? Saya Bi Surti, salah satu pelayan di sini– Non kenapa? Sakit kepala?" ujar Surti lalu menatap khawatir ke arah Thena yang meringis sambil memegangi kepalanya.
Surti pun bergegas menaruh nampan yang dibawanya itu ke atas nakas, lalu duduk di tepi tempat tidur Thena.
"Kalo sakit, lebih baik tidur aja, Non."
Dengan perlahan, Surti menumpuk bantal di belakang Thena, lalu kemudian ia membantu Thena untuk bersandar.
"Terima kasih, bu," ucap Thena.
"Panggil Bi Surti aja, Non. Sekarang Nona makan dulu, ya? Bibi udah buatin sup ayam. Nanti beres makan langsung minum obat," kata Surti.
"Ayam?"
"Iya, Non. Ayam. Kenapa? Nona gak suka makan ayam atau alergi?" tanya Surti tak bisa menyembunyikan perasaan risaunya.
Thena menggeleng lemah. "Bukan. Aku gak tau rasanya daging ayam itu gimana, aku gak pernah makan daging ayam. Apa rasanya enak?" ungkapnya.
Untuk sejenak, Surti merasa terpana. Ia tidak habis pikir, memangnya manusia seperti apa yang seumur hidupnya tidak pernah makan daging ayam.
"Berapa usia Nona memangnya?" tanya Surti takut-takut.
Thena tersenyum kecut. "Mungkin 21 tahun, aku lupa."
"Lupa? Nona ini bercanda, ya? Nona kok kayak orang yang gak pernah ngerayain ulang tahun aja," canda Bi Surti yang berusaha tertawa.
"Aku emang gak pernah ngerayain ulang tahun, bu. Aku hanya orang miskin, makan sehari sekali saja rasanya udah hebat."
Surti tertegun.
Dengan susah payah ia menelan ludahnya, lalu memaksakan senyumnya.
"K-Kalau gitu dimakan ya sup ayamnya. Bisa kan makan sendiri?"
"Iya, bu."
"Kalo gitu bibi permisi," pamit Surti lalu terburu-buru keluar dari kamar Thena dan menutup pintu itu rapat-rapat.
Surti tidak benar-benar pergi. Dia berdiam diri di depan kamar itu, lalu menangis tanpa suara dengan membekap mulutnya.
"Kenapa?" tanya Ismail. Ia baru saja hendak membuka pintu kamar Thena dan masuk ke dalam, ketika Surti menghalaunya sambil menggeleng pelan.
Surti menarik tangan Ismail dan mengajaknya pergi ke sisi dinding yang agak sepi
"Dia perempuan yang pak Mandor ambil di mana?" tanya Surti dengan berbisik.
Ismail mengeryit.
"Kenapa memangnya? Itu privasi tuan Briant."
"Se-miskin apa dia, pak Mandor? Dia gak pernah makan ayam dan bahkan lupa umurnya," isak Surti.
Mendengar itu, Ismail hanya menghela napas berat lalu menepuk pelan pundak Surti.
"Sudahlah, jangan nangis. Nona Thena memang berasal dari keluarga susah. Dia datang ke sini karena dijual suaminya, jadi Surti... tolong bantu Nona Thena."
Uang itu memang bukan segalanya, tapi segalanya butuh uang.Kebahagiaan memang tidak bisa dibeli oleh uang, tapi jika tidak punya uang, maka kamu tidak bisa apa-apa.Itulah mengapa aku benci dengan fakta bahwa hidup jangan bergantung pada uang.-Gea Athena***"Gimana cara mandinya?" tanya Thena polos Untuk sejenak, Surti mengerjapkan matanya beberapa kali, merasa sedikit terpana dengan pertanyaan Thena. "O-Oh... mandinya? I-Ini pake ini," ucap Surti seraya menunjuk ke arah shower. "Puter kerannya yang ini, nanti airnya bakalan keluar." lanjutnya. "Terus, itu yang kayak bak mandi itu buat apa? apa gak bisa diisi terus mandinya pake gayung?" "Aduh gusti," seru Surti menepuk keningnya tak habis pikir. "Padahal penampilan Nona teh udah kayak Walanda, tapi kenapa harus hidup susah. Bener kata pak Mandor, selama ini Nona teh hidupnya salah tempat." Thena tidak menjawab. Ia memilih beranjak masuk ke dalam Shower Enclosure, lalu melirik ke arah Surti, seolah-olah mengatakan 'Aku ingin ma
"Sudah, sudah. Tolong hentikan tangisanmu itu Nona Thena. Hidup dengan tuanku gak seburuk itu," desis Ismail jengkel. "Nona nangis karena fisik tuan Briant yang cacat, iya? Itu gak usah dipikirin. Nona cuma jadi istri tuan Briant sampe tuan Briant selesai sama tujuannya, toh selama pernikahan juga tuan Briant gak akan nyentuh Nona." Thena tak menjawab. Ia tetap terisak-isak pedih di atas tempat tidurnya. "Buat apa menangis seperti itu? Seharusnya malah Nona bahagia karena dengan menikahi tuanku, Nona bakal hidup bagaikan ratu selagi Nona jadi seorang penurut. Nona mau apa? uang banyak? Mobil? baju bagus? Atau sebidang tanah? tuan Briant bisa ngasih itu semua buat Nona kalo Nona mau." Namun, Thena masih saja diam, membuat Ismail jadi gemas sendiri. "Seharusnya Nona tahu betul, kalo gak menjawab ucapan orang yang usianya lebih tua itu sama dengan gak sopan," sarkasmenya. Seketika, Thena pun menghentikan isak tangisnya. "Maaf, pak mandor," sesalnya. Beberapa kali, ia menyeka air mat
Dengan hati-hati, Ismail mendorong kursi roda Brian untuk masuk ke dalan kamar mandi lalu kemudian ia pun membiarkan Brian di dalam kubikel shower.(Keluarlah. Aku bisa sendiri,) ucap Brian dengan bahasa isyarat."Baik tuan," sahut Ismail dengan ucapan verbal, lalu kemudian mengangguk untuk memberikan tanda pada Brian bahwa dia mengiyakan perintah majikannya itu.Tanpa menunggu lama, Ismail pun melenggang pergi keluar dari kamar mandi dan menutup kembali pintunya dengan rapat-rapat.Tak ada yang perlu Ismail khawatirkan karena kamar mandi itu sudah dirancang khusus untuk menyesuaikan dengan kondisi fisik Brian yang tak sempurna.Sementara itu, sepeninggalnya Ismail, Brian perlahan menggerakan dagunya dan membuatnya kembali ke posisi normalnya.Perlahan, Brian memijat rahangnya yang terasa pegal karena harus mempertahankan posisi bengkoknya untuk waktu yang lama."Aku harap semua sandiwara melelahkan ini bisa segera berak
Sudah hampir sepekan Athena terkurung di dalam kamar ini, kamar mewah bernuansa putih di karpet lembutnya, di ranjang, juga di semua furniture-nya.Kamar ini dibuat dengan ukuran yang sangat luas dan bahkan melebihi ukuran rumah bedeng yang ditinggali oleh Athena dengan Bima. Namun, sekaligus kemewahan yang ia dapatkan di rumah mewah milik Brian ini, tetap saja Athena tak merasa bahagia.Surti setengah jam yang lalu masuk, membawa nampan makanan, meletak- kannya di meja. Lalu tanpa berkata apa-apa pergi dan mengunci kembali pintu itu dari luar.Dan selama setengah jam yang panjang itu pula, Athena mencoba setengah mati untuk tidak melirik pada nampan yang sangat meng- goda itu. Perutnya keroncongan, dan dia merasa haus. Dia belum makan dari siang karena berpikir untuk membuat dirinya kelaparan. Setidaknya, ia lebih memilih mati karena kelaparan daripada harus dijadian pelacur atau dijual ke pria hidung belang.Aroma makanan itu terasa begitu menggoda,
Athena dikurung di kamarnya dengan pintu yang sengaja dikunci dari luar oleh Surti. Dua orang pengawal bahkan berjaga di sana, tak membiarkan satu celah pun bisa membuat Athena kembali kabur."Di mana dia? Terus dokternya bagaimana?" tanya Ismail pada Surti dengan wajah dinginnya."Di dalam kamar, sudah di amankan. Bu dokter udah aku bayar. Udah aku bebaskan dan dibiarkan pulang," jawab Surti memaparkan.Ismail meremas kantong obat yang dibawanya itu, lalu dengan emosi dia masuk dengan kasar ke kamar Athena untuk sekadar melayangkan tatapan tajamnya pada Athena yang terduduk menangis di tepi tempat tidurnya."Kenapa kamu berbuat begitu, Nona? Padahal hanya tinggal duduk manis dan diam merasakan semua kemewahan ini saja, tapi tetap membantah? Ckckck... apa kemewahan ini masih kurang?" cibir Ismail.Athena diam.Ia tak berani menjawab, sehingga yang dilakukannya saat ini hanya menangis terisak-isak, tak mampu mengeluarkan barang sa
Jelas satu kampung gempar. Mereka membicarakan Bima yang tiba-tiba bisa beli rumah di kota, dan bisa beli berbagai macam barang elektronik yang bahkan sebelumnya sangat mustahil bisa dibeli oleh Bima. Naasnya, kabar ini juga sampai ke telinga Athena dengan Ismail yang lebih dulu memulai pembicaraan. "Bima menikah bulan depan dengan calonnya yang bernama Ayu, Nona Athena pun harus segera mempersiapkan diri. Nona akan segera menikah dengan tuan Brian," kata Ismail tanpa tedeng aling-aling. Tidakkah Ismail tahu bahwa saat ini hati Athena sedang berdarah-darah? Suaminya akan menikah lagi dengan perempuan lain setelah dia menjualnya! Mata Athena sudah berlinangan air mata. Ia ingin sekali menyalahkan takdir hidupnya. Kenapa? Kenapa Athena harus hidup semenyengsarakan ini?! "Jangan bersedih lagi hanya untuk mantan suamimu, Nona Athena. Dia sudah tidak berhak mengusik ketenangan hidup Nona, walau sekedar dalam pikiran." Suara Ismail kembali
"Kamu mau apa? Emas atau baju baru? Biar aku belikan," tawar Bima pada Ayu– si kembang Desa yang pernah jadi mantan kekasihnya. Kembang desa yang sejatinya tetap Athena, dan itu tidak bisa ditampik lagi. Hanya karena Athena sudah menikah dan Ayu masihlah seorang gadis, posisinya jadi tergeser. "Emang kalo aku mau emas, mas Bima mau beliin?" tanya Ayu dengan suara manja yang dibuat-buat. "Tentu. Kamu mau apapun pasti aku beliin, karena aku sekarang punya banyak uang. Kamu mau kan nikah sama aku?" tanya Bima seraya menjawil dagu Ayu. Ayu tersenyum senang, terlihat menunduk malu-malu dengan kedua pipinya yang tiba-tiba bersemu merah. "Iya, aku mau." Ayu menjawab tenang. "Tapi, mas... Athena gimana? Athena masih istri kamu, kan? Aku gak mau kalo dijadiin istri ke dua." Bima terkekeh geli. "Tenang, sayang... aku sama Athena udah bercerai secara agama, jadi kita bisa menikah bulan depan dengan lancar." Pernyataan Bima m
Brian sudah mengubah posisinya ke posisi awal, ketika akhirnya dia meraih lonceng dan membunyikannya. Ia bahkan berpura-pura membangunkan Athena, untuk mengurangi kecurigaan Ismail ketika melihat Athena yang berbaring di tempat tidurnya. (Coba periksa dia, Ismail. Tiba-tiba saja dia terbaring seperti ini,) kata Brian pada Ismail. Ismail mengernyit bingung dan buru-buru mengarahkan jemarinya untuk memeriksa denyut nadi di leher dan pergelangan tangan Athena. "Nona Athena hanya tidur, tuan," ujar Ismail seraya mengabarkan hal itu menggunakan bahasa isyaratnya. (Kenapa tiba-tiba?) "Karena tadi saya minta resep obat tidur demi kesehatan Nona Athena dan mungkin sekarang obatnya mulai bekerja, apa sekarang saja saya pindahkan Nona Athena ke kamarnya?" tanya Ismail, masih dengan ucapan yang diiringi dengan gerakan bahasa isyaratnya. Brian menggeleng pelan. (Gak perlu. Biarkan dia di sini saja dulu,) sahut Brian datar.