Uang itu memang bukan segalanya, tapi segalanya butuh uang.
Kebahagiaan memang tidak bisa dibeli oleh uang, tapi jika tidak punya uang, maka kamu tidak bisa apa-apa.Itulah mengapa aku benci dengan fakta bahwa hidup jangan bergantung pada uang.-Gea Athena***"Gimana cara mandinya?" tanya Thena polos
Untuk sejenak, Surti mengerjapkan matanya beberapa kali, merasa sedikit terpana dengan pertanyaan Thena.
"O-Oh... mandinya? I-Ini pake ini," ucap Surti seraya menunjuk ke arah shower. "Puter kerannya yang ini, nanti airnya bakalan keluar." lanjutnya.
"Terus, itu yang kayak bak mandi itu buat apa? apa gak bisa diisi terus mandinya pake gayung?"
"Aduh gusti," seru Surti menepuk keningnya tak habis pikir. "Padahal penampilan Nona teh udah kayak Walanda, tapi kenapa harus hidup susah. Bener kata pak Mandor, selama ini Nona teh hidupnya salah tempat."
Thena tidak menjawab. Ia memilih beranjak masuk ke dalam Shower Enclosure, lalu melirik ke arah Surti, seolah-olah mengatakan 'Aku ingin mandi, tidak bisakah kamu keluar dulu.'
Ditatap seperti itu membuat Surti jadi gugup, ia tidak bodoh untuk sekadar menyadari arti tatapan dari Thena.
"Sepertinya Nona udah mau mandi. Kalo gitu saya permisi dulu, nanti saya siapkan bajunya di atas kasur. Kalo ada perlu apa-apa, Nona tinggal panggil saya– saya nunggu di luar kamar 24 jam nonstop," ujarnya lalu bergegas melenggang pergi keluar dari kamar mandi, dan menutup pintunya rapat-rapat.
Sementara itu, di dalam kamar mandi, Thena tidak benar-benar membersihkan dirinya. Tubuhnya luruh ke lantai, terduduk lemas, sementara air shower itu terus mengguyurnya sampai basah kuyup.
"Emak... Abah... Thena harus gimana? Thena harus lari ke mana lagi?" lirihnya dengan terisak pedih.
Tangisnya pecah. Terdengar begitu pilu.
Thena memeluk erat kedua lututnya dan menenggelamkan wajahnya di sana. Dengan punggung yang gemetar, Thena terus menangis dan terus menyebut nama kedua orangtuanya, juga Tuhan.
Ia berharap kalau dirinya bisa diselamatkan dari nasib buruk ini.
"Nona... kenapa lama sekali mandinya? Nona harus ketemu tuan Briant beberapa menit lagi. Tuan Briant bisa marah besar kalo Nona datang terlambat," kata Surti seraya mengetuk pintu kamar mandi.
Seketika, Thena buru-buru menghentikan tangisnya. Ia menyeka air matanya, dan berdeham sejenak untuk menetralkan suaranya.
"Iya, bi... tunggu sebentar," sahutnya dengan berteriak.
Secepat kilat, ia langsung melepaskan semua pakaiannya dan bergegas membersihkan dirinya.
***
Thena benar-benar seperti seorang dewi. Dia begitu cantik luar biasa dalam balutan gaun panjang sederhana yang berbahan sifon.
Rambut panjangnya yang berwarna kecoklatan itu sengaja digerai oleh Surti, ditambah dengan polesan makeup tipis, membuat kecantikan Thena semakin terpancar hebat.
"Tangan Nona kenapa kasar?" tanya Surti saat memberikan hand cream di tangan Thena.
"Aku jadi buruh cuci, bi."
"Sayang banget. Padahal kulit Nona teh putih pisan, kayak susu. Kenapa mau-mau aja kerja kasar kayak gitu?"
"Karena kalo aku gak kerja nyuci, aku gak bisa makan, bi."
Seketika, suasana pun menjadi canggung. Surti berdeham beberapa kali, lalu mengerling melirik ke arah jam dinding yang hampir menunjukkan pukul 7 malam.
"Ih! Kita bisa terlambat, ayo Nona, bergegas pergi ke lantai dua, biar saya antar."
Dengan terburu-buru, Surti meraih tangan Thena, dan bergegas mengajaknya pergi ke luar kamar dengan sedikit berlari.
Di railing lantai dua, Ismail sudah beberapa kali mengintip, lalu menggerakkan tangannya meminta agar Surti dan Thena untuk bergerak cepat.
"Tuan sudah menunggu dari tadi, kenapa lama sekali?" desis Ismail marah.
"I-Itu, maaf pak-"
"Sudahlah Surti. Aku gak punya banyak waktu," tukas Ismail menyela ucapan Surti, lalu kemudian ia melirik ke arah Thena. "Ayo, ikut saya, Nona Thena." Lanjutnya.
Bergegas, Thena mengikuti Ismail dari belakang untuk masuk ke dalam kamar Briant, sementara Surti menunggu di luar.
"Tuan... Nona Thena sudah ada di sini," ucap Ismail mengabarkan kedatangan Thena pada Briant dengan bahasa isyarat.
Thena hanya diam lalu mengusap dadanya tidak nyaman karena irama jantungnya yang berdentum-dentum.
Di Sana, Ismail terlihat berbicara dengan pria lumpuh yang Thena yakini adalah Briant.
(Bawa dia ke hadapanku, Ismail), perintahnya.
Ismail mengangguk kecil lalu melirik ke arah Thena, dan melambaikan tangannya meminta Thena untuk mendekat.
Sesaat, Thena hampir mengeluarkan suara terkejutnya. Thena pikir, kecacatan yang dialami oleh Briant tidak separah ini, tapi-
"Aku pernah bilang pada Nona tentang kondisi tuan Briant, kan? Jadi tolong, bicaralah dengan tuanku menggunakan bahasa isyarat supaya tuanku mengerti," papar Ismail yang justru terdengar seperti sebuah perintah dari pada sebuah permintaan.
"Tapi, Pak Mandor... saya gak bisa bahasa isyarat," kata Thena penuh rasa penyesalan.
"Pelajari, secepatnya."
"Kalo saya tidak bisa belajar, gimana pak?" tanya Thena lagi.
"Ada buku panduan di ruang perpustakaan. Nanti baca itu semua sampai hafal," perintah Ismail dengan nada suara tajam dan dingin.
Thena menundukkan kepalanya, merasa malu sekaligus takut dengan reaksi Ismail yang semarah itu padanya.
"Tapi, pak mandor... kemampuan membaca saya itu banyak keterbatasan. Gimana kalo saya minta kertas dan pena saja?"
Mendengar itu, membuat Ismail berdecak sebal lalu dengan berat hati ia pun mengambil sebuah note dan pena dari dalam nakas milik Briant.
"Ini, tulis segera. Perkenalkan diri kamu ke tuan Briant," perintahnya.
Tanpa menunggu lama, Thena pun menulis beberapa kalimat di dalam kertas note itu, lalu kemudian ia pun menunjukannya pada Briant.
Melihat itu, Briant hanya memejamkan matanya beberapa kali dalam waktu singkat, sebagai tanda bahwa ia mengiyakan tulisan Thena yang isinya benar-benar hanya perkenalan diri.
Setelahnya, Briant terlihat melirik ke arah Ismail dan kembali menggerakkan tangannya, untuk berbicara dengan Ismail menggunakan bahasa isyarat.
(Sudah cukup perkenalan dirinya. Katakan padanya Ismail bahwa siap tidak siap dia harus menjadi Istriku, dan tolong buat dia menandatangani kontrak)
"Baik, tuan," sahut Ismail dengan sopan.Kemudian, Ismail pun melirik ke Arah Thena. "Cukup perkenalan dirinya, Nona Thena. Sekarang tolong berpamitan dan ikut saya sebentar. Adav beberapa hal yang perlu Nona tanda tangani." Lanjutnya.
Dengan pasrah, Thena langsung mengekor dari belakang, ke mana saja pun Ismail pergi, termasuk untuk pergi ke sebuah ruangan luas yang masih menyatu dengan kamar Briant.
"Ini sebuah kontrak pernikahan, silakan dibaca sedikit lalu tandatangani."
"Apa boleh tuan sebutkan intinya saja? kemampuan membaca saya benar-benar sangat terbatas," ungkap Thena untuk yang kedua kalinya.
Sedangkan – Ismail– sang mandor itu hanya bisa menghembuskan napas kasar lalu bergegas mengeluarkan selembar kertas itu ke hadapan Thena, lalu melirik perempuan itu dengan sorot mata kosong.
"Intinya, pernikahannya hanya berlangsung selama tuan Briant masih menginginkan status pernikahan. Artinya cuma tuan Briant yag berhak memutuskan kontraknya, sementara Nona Thena hanya perlu menuruti saja. Dituliskan bahwa pernikahan ini walaupun didasari kontrak, tapi pernikahannya tetap pernikahan asli yang legal dimata hukum dan agama. Jadi,Nona Thena boleh meminta apapun untuk mahar Nona, akan tuan Briant wujudkan. Selanjutnya, walaupun ini pernikahan asli, tapi tuan Briant tidak ingin tidur satu ranjang yang sama. Diharapkan Nona tidur di sofa dan tuan Briant tetap di ranjang," papar Ismail panjang lebar.
Thena bahkan ragu otaknya mampu menampung itu semua.
"Dan juga, ini bukan termasuk yang tertulis di dalam kontrak, tapi ini cuma tambahan dariku– tolong rawat tuan Briant dengan baik."
"Sudah, sudah. Tolong hentikan tangisanmu itu Nona Thena. Hidup dengan tuanku gak seburuk itu," desis Ismail jengkel. "Nona nangis karena fisik tuan Briant yang cacat, iya? Itu gak usah dipikirin. Nona cuma jadi istri tuan Briant sampe tuan Briant selesai sama tujuannya, toh selama pernikahan juga tuan Briant gak akan nyentuh Nona." Thena tak menjawab. Ia tetap terisak-isak pedih di atas tempat tidurnya. "Buat apa menangis seperti itu? Seharusnya malah Nona bahagia karena dengan menikahi tuanku, Nona bakal hidup bagaikan ratu selagi Nona jadi seorang penurut. Nona mau apa? uang banyak? Mobil? baju bagus? Atau sebidang tanah? tuan Briant bisa ngasih itu semua buat Nona kalo Nona mau." Namun, Thena masih saja diam, membuat Ismail jadi gemas sendiri. "Seharusnya Nona tahu betul, kalo gak menjawab ucapan orang yang usianya lebih tua itu sama dengan gak sopan," sarkasmenya. Seketika, Thena pun menghentikan isak tangisnya. "Maaf, pak mandor," sesalnya. Beberapa kali, ia menyeka air mat
Dengan hati-hati, Ismail mendorong kursi roda Brian untuk masuk ke dalan kamar mandi lalu kemudian ia pun membiarkan Brian di dalam kubikel shower.(Keluarlah. Aku bisa sendiri,) ucap Brian dengan bahasa isyarat."Baik tuan," sahut Ismail dengan ucapan verbal, lalu kemudian mengangguk untuk memberikan tanda pada Brian bahwa dia mengiyakan perintah majikannya itu.Tanpa menunggu lama, Ismail pun melenggang pergi keluar dari kamar mandi dan menutup kembali pintunya dengan rapat-rapat.Tak ada yang perlu Ismail khawatirkan karena kamar mandi itu sudah dirancang khusus untuk menyesuaikan dengan kondisi fisik Brian yang tak sempurna.Sementara itu, sepeninggalnya Ismail, Brian perlahan menggerakan dagunya dan membuatnya kembali ke posisi normalnya.Perlahan, Brian memijat rahangnya yang terasa pegal karena harus mempertahankan posisi bengkoknya untuk waktu yang lama."Aku harap semua sandiwara melelahkan ini bisa segera berak
Sudah hampir sepekan Athena terkurung di dalam kamar ini, kamar mewah bernuansa putih di karpet lembutnya, di ranjang, juga di semua furniture-nya.Kamar ini dibuat dengan ukuran yang sangat luas dan bahkan melebihi ukuran rumah bedeng yang ditinggali oleh Athena dengan Bima. Namun, sekaligus kemewahan yang ia dapatkan di rumah mewah milik Brian ini, tetap saja Athena tak merasa bahagia.Surti setengah jam yang lalu masuk, membawa nampan makanan, meletak- kannya di meja. Lalu tanpa berkata apa-apa pergi dan mengunci kembali pintu itu dari luar.Dan selama setengah jam yang panjang itu pula, Athena mencoba setengah mati untuk tidak melirik pada nampan yang sangat meng- goda itu. Perutnya keroncongan, dan dia merasa haus. Dia belum makan dari siang karena berpikir untuk membuat dirinya kelaparan. Setidaknya, ia lebih memilih mati karena kelaparan daripada harus dijadian pelacur atau dijual ke pria hidung belang.Aroma makanan itu terasa begitu menggoda,
Athena dikurung di kamarnya dengan pintu yang sengaja dikunci dari luar oleh Surti. Dua orang pengawal bahkan berjaga di sana, tak membiarkan satu celah pun bisa membuat Athena kembali kabur."Di mana dia? Terus dokternya bagaimana?" tanya Ismail pada Surti dengan wajah dinginnya."Di dalam kamar, sudah di amankan. Bu dokter udah aku bayar. Udah aku bebaskan dan dibiarkan pulang," jawab Surti memaparkan.Ismail meremas kantong obat yang dibawanya itu, lalu dengan emosi dia masuk dengan kasar ke kamar Athena untuk sekadar melayangkan tatapan tajamnya pada Athena yang terduduk menangis di tepi tempat tidurnya."Kenapa kamu berbuat begitu, Nona? Padahal hanya tinggal duduk manis dan diam merasakan semua kemewahan ini saja, tapi tetap membantah? Ckckck... apa kemewahan ini masih kurang?" cibir Ismail.Athena diam.Ia tak berani menjawab, sehingga yang dilakukannya saat ini hanya menangis terisak-isak, tak mampu mengeluarkan barang sa
Jelas satu kampung gempar. Mereka membicarakan Bima yang tiba-tiba bisa beli rumah di kota, dan bisa beli berbagai macam barang elektronik yang bahkan sebelumnya sangat mustahil bisa dibeli oleh Bima. Naasnya, kabar ini juga sampai ke telinga Athena dengan Ismail yang lebih dulu memulai pembicaraan. "Bima menikah bulan depan dengan calonnya yang bernama Ayu, Nona Athena pun harus segera mempersiapkan diri. Nona akan segera menikah dengan tuan Brian," kata Ismail tanpa tedeng aling-aling. Tidakkah Ismail tahu bahwa saat ini hati Athena sedang berdarah-darah? Suaminya akan menikah lagi dengan perempuan lain setelah dia menjualnya! Mata Athena sudah berlinangan air mata. Ia ingin sekali menyalahkan takdir hidupnya. Kenapa? Kenapa Athena harus hidup semenyengsarakan ini?! "Jangan bersedih lagi hanya untuk mantan suamimu, Nona Athena. Dia sudah tidak berhak mengusik ketenangan hidup Nona, walau sekedar dalam pikiran." Suara Ismail kembali
"Kamu mau apa? Emas atau baju baru? Biar aku belikan," tawar Bima pada Ayu– si kembang Desa yang pernah jadi mantan kekasihnya. Kembang desa yang sejatinya tetap Athena, dan itu tidak bisa ditampik lagi. Hanya karena Athena sudah menikah dan Ayu masihlah seorang gadis, posisinya jadi tergeser. "Emang kalo aku mau emas, mas Bima mau beliin?" tanya Ayu dengan suara manja yang dibuat-buat. "Tentu. Kamu mau apapun pasti aku beliin, karena aku sekarang punya banyak uang. Kamu mau kan nikah sama aku?" tanya Bima seraya menjawil dagu Ayu. Ayu tersenyum senang, terlihat menunduk malu-malu dengan kedua pipinya yang tiba-tiba bersemu merah. "Iya, aku mau." Ayu menjawab tenang. "Tapi, mas... Athena gimana? Athena masih istri kamu, kan? Aku gak mau kalo dijadiin istri ke dua." Bima terkekeh geli. "Tenang, sayang... aku sama Athena udah bercerai secara agama, jadi kita bisa menikah bulan depan dengan lancar." Pernyataan Bima m
Brian sudah mengubah posisinya ke posisi awal, ketika akhirnya dia meraih lonceng dan membunyikannya. Ia bahkan berpura-pura membangunkan Athena, untuk mengurangi kecurigaan Ismail ketika melihat Athena yang berbaring di tempat tidurnya. (Coba periksa dia, Ismail. Tiba-tiba saja dia terbaring seperti ini,) kata Brian pada Ismail. Ismail mengernyit bingung dan buru-buru mengarahkan jemarinya untuk memeriksa denyut nadi di leher dan pergelangan tangan Athena. "Nona Athena hanya tidur, tuan," ujar Ismail seraya mengabarkan hal itu menggunakan bahasa isyaratnya. (Kenapa tiba-tiba?) "Karena tadi saya minta resep obat tidur demi kesehatan Nona Athena dan mungkin sekarang obatnya mulai bekerja, apa sekarang saja saya pindahkan Nona Athena ke kamarnya?" tanya Ismail, masih dengan ucapan yang diiringi dengan gerakan bahasa isyaratnya. Brian menggeleng pelan. (Gak perlu. Biarkan dia di sini saja dulu,) sahut Brian datar.
"Hai Athena!" teriak Ayu dengan sengaja menyapa Athena yang saat itu hendak berbalik pergi dari area pakaian wanita. "Jangan dilihat," kata Ismail mengingatkan. "Aku baik-baik aja, pak." Tanpa mengindahkan perintah Ismail, Athena berbalik dan menatap datar ke arah Bima dan Ayu yang berjalan bergandengan tangan menghampirinya. "Kamu apa kabar? Tapi kayaknya baik-baik aja ya?" tanya Ayu yang bahkan tidak perlu memerlukan jawaban sama sekali. Perempuan itu tersenyum pongah, mencibir keadaan Athena yang dijual bagaikan barang kepada pria cacat. Athena tidak menjawab. Ia memilih bungkam dan menatap tanpa ekspresi ke arah Bima yang terlihat tak merasa berdosa sama sekali saat bertemu dengan Athena. Bahkan, untuk permintaan maaf demi remeh temeh pun, Bima tidak sudi mengucapkannya. "Kenapa Bima? Sepertinya kamu sedang menikmati uangmu," cibir Ismail menyahut tiba-tiba. Ismail tersenyum miring, sementara Bima malah mendengus kasar dan menatap Athena dan Brian secara bergantian. "Tentu