Sesuai dengan apa yang sudah Zane janjikan, ia menemani Belle kontrol ke rumah sakit. Sejak pagi usai sarapan, keduanya telah berangkat menuju rumah sakit ditemani oleh Josh. Tak banyak interaksi di antara sepasang suami istri itu, malah Zane lebih banyak mengobrol dengan Josh terkait urusan pekerjaan. Sedikit banyak, Zane mulai paham pada job desk-nya. Dibantu oleh Rio dan juga Josh, Zane cepat beradaptasi dengan lingkungan barunya di perusahaan Janata. Sampai di rumah sakit, mereka masih harus mengantri dengan beberapa pasien lain yang sudah lebih dulu datang. Sekilas kenangan di masa lalunya, membuat Zane tersenyum getir. Dulu sekali, ia cukup sering duduk dan mengantri seperti ini ketika mengantar nenek Lila kontrol. Dan berada di antara pasien-pasien ini juga mengingatkan Zane pada rutinitasnya beberapa bulan yang lalu ketika kontrol patah tulang di bahunya. "Kurang berapa pasien lagi?" tanya Belle membuyarkan lamunan Zane. "Prakteknya saja belum buka, Belle. Kita mendapat n
"Tapi kamu harus banyak istirahat. Kamu dengar sendiri tadi dokter Fani bilang kalo kamu belum boleh banyak bergerak." Zane mendelik kaget mendengar keinginan istrinya yang tiba-tiba. "Aku bosan di rumah! Lagian aku masih bisa tiduran di ruanganmu. Jangan berlebihan, please.""Aku tidak berlebihan. Mana mungkin aku melarangmu kalo bukan untuk kebaikanmu sendiri!" "Memangnya kenapa kalo aku ikut? Ada sesuatu yang kamu sembunyikan dariku?" Zane melirik Josh yang sejak tadi menyimak perdebatan majikannya. Dengan keki, Josh lantas berpaling dan bergegas pergi. Setelah tangan kanan mertuanya itu naik ke mobil, Zane lantas memijat pelipisnya yang mulai berdenyut pening. "Ya sudah. Kamu boleh ikut asalkan mulai nanti malam aku akan tidur sekamar denganmu!" putus Zane memberi pilihan. Bola mata Belle membeliak, bibirnya menganga dengan terkejut."Kesepakatan macam apa itu!" protesnya tak terima. "Terserah kamu mau menerimanya atau tidak. Tadi kamu dengar sendiri, kan, dokter Fani bilang
"Belle." Zane lekas memotong pertanyaan istrinya yang tak sopan dan terkesan menuduh. Wajah Rio yang sejak tadi ceria, mendadak tegang dan pias. "S-saya--""Rio, maafkan istri saya. Kamu bisa keluar sekarang dan siapkan mobil saya di lobi," tukas Zane tak enak hati. Sebelum Rio melaksanakan perintah bosnya dan berbalik badan, ia sempat melirik Belle yang tengah duduk di kursi roda. Selama ini Rio sangat menjaga image-nya di depan Zane karena ia tak ingin terlihat buruk. Namun, Belle dengan lancarnya malah menyebar aib Rio begitu saja. "Saya permisi, Miss Belle. Sampai bertemu lagi," pamit Rio dengan sopan sebelum kemudian ia berlalu pergi. Setelah cukup lama sekretaris tampan itu menghilang di balik pintu, Zane lantas menghampiri Belle dan berdiri lama di hadapannya. Ekspresi Belle tak banyak berubah, ia tetap memasang wajah dingin tak tersentuh dengan tatapan mata kosong. "Apa sudah lega sekarang?" tanya Zane setelah dirinya cukup tenang. "Lega untuk apa?" "Lega karena kamu
Sejak sekamar lagi, Zane merasa semangatnya setiap pagi selalu penuh terisi. Ia berangkat ke kantor dengan mood yang bagus, pun pekerjaan bisa selesai tepat pada waktunya. Setelah hampir sebulan berjibaku di Perusahaan Janata Group, Zane mulai menguasai job desk-nya. Tak dipungkiri, keharmonisan rumah tangganya berpengaruh banyak pada kinerja Zane yang memuaskan. Sebisa mungkin, Zane meniadakan kesalahan di hadapan istrinya agar hidupnya damai dan tentram. Dan bisa jadi, tidurnya yang berkualitas juga turut andil dalam meningkatkan semua itu. Belle tak lagi mengonsumsi pil pereda nyeri setiap malam, pelukan dan ciuman yang Zane berikan diam-diam sudah cukup membuatnya tenang dan bisa melewati rasa sakit itu tanpa mengonsumsi obat-obatan. Sebenarnya, Zane mulai curiga pada sikap Belle yang selalu tidur lebih awal dan bangun paling akhir. Selama beberapa pekan ini, rutinitas itu terus berlangsung seakan Belle membiarkan Zane melakukan love bombing sebelum ia terlelap. Dan malam ini,
Ciuman pada malam itu seakan mengembalikan sedikit demi sedikit memori yang sempat terhapus diingatan Belle. Sayangnya, ia tak berani menanyakan pada Zane terkait suara-suara ataupun kejadian yang perlahan datang dan pergi. Sudah beberapa bulan ini, sejak keduanya melakukan ciuman itu, Zane mulai semakin berani berbuat nakal. Terkadang, Belle terbangun dengan tangan Zane yang sudah menyelinap di balik bra-nya. Beruntungnya, Zane tak pernah melakukan lebih dari itu. "Bik," panggil Belle ketika ia sedang duduk di ruang tengah usai sarapan. Penyangga di kakinya sudah dilepas, sudah dua bulan berlalu dan Belle kini bisa berpindah dari ranjang ke kursi rodanya tanpa bantuan. Zane membelikan kursi roda canggih dengan navigasi pintar dan sensor hambatan yang akan secara otomatis berhenti jika ada benda atau jalanan yang tidak rata. Belle juga bisa memerintahkan kursi rodanya dengan bantuan suara tanpa harus repot-repot menggerakkan roda dengan tangan. "Ya, Non!" sahut Bik Asih sambil be
"Non! Non Belle!" Suara teriakan Bik Asih yang membahana, membuat Belle sontak menoleh ke arah pintu di mana ia baru saja masuk. Dengan tatapannya yang kosong karena tak bisa melihat apapun, Belle menunggu Bik Asih menyusul masuk ke dalam kamarnya."Non ..." Bik Asih mengatur napasnya yang kembang kempis karena berlari, ia lantas menunjukkan ponsel nona mudanya, seakan lupa jika Belle buta. "Tuan Bryan sudah balas pesannya Non Belle!" "Benarkah!?" Belle membeliakkan mata tak percaya. "Dia bilang apa, Bik?" Spontan Bik Asih membaca kembali pesan balasan itu dengan lantang."Kabarku baik, Belle. Aku juga merindukan kamu." Belle menunggu Bik Asih melanjutkan penjelasannya, tetapi hingga beberapa detik berlalu Bik Asih tak lagi bersuara. "Itu doang?" sungut Belle kecewa. "Iya, itu doang, Non." Bik Asih menurunkan ponsel milik majikannya dengan ragu. "Memangnya Non Belle maunya tuan Bryan membalas apa?" "Bilang sama dia, saya mau ketemu besok siang. Terserah di mana, yang penting ki
Mengendarai mobil dengan kalap adalah satu-satunya cara agar Zane bisa secepatnya sampai di cafe terkutuk itu. Rio duduk di sebelahnya dengan wajah pias karena Zane menyetir dengan sangat ngawur. Mereka baru bisa berangkat setengah jam kemudian setelah membereskan prosedur pembatalan meeting yang cukup berbelit-belit. Itulah mengapa pada akhirnya Zane semakin senewen dan gelap mata. "Pak, biar saya yang menyetir.""Diamlah. Kamu hanya perlu duduk menemaniku dan jangan katakan apapun!""T-tapi saya masih ingin hidup, Pak. Saya masih belum bertobat dan masih banyak dosa yang belum saya--""Diam, Rio. Aku juga belum ingin mati sebelum membunuh pria itu!" Bola mata Rio membeliak semakin lebar. Bosnya yang terkenal sabar, elegan dan irit bicara, rupanya memiliki sisi lain yang mengejutkan. Jangan-jangan, selama ini ia tertipu oleh sikap kalem bosnya yang ternyata adalah seorang psikopat?? Setelah hampir setengah jam terombang-ambing diantara dua dunia, akhirnya Zane memarkir mobilnya d
Karena situasi semakin tak terkontrol dan kondusif, pada akhirnya suara tembakan pun menggema. Zane menahan pukulan yang hampir ia layangkan di pelipis Bryan ketika suara letusan itu membahana. Dengan posisi tubuh berada di atas artis kenamaan itu, tangan Zane menggantung di udara. "Pak, cukup! Hentikan!" Rio menurunkan pistol di tangannya dan meletakkan kembali benda itu di holster miliknya. Dengan dibantu dua orang pengunjung cafe, Zane ditarik mundur. Sementara beberapa orang lain membantu Bryan untuk bangkit. Darah yang mengalir dari pelipis dan hidung Zane, sama sekali tak membuatnya sakit. Justru ia lebih sakit melihat Belle menangis di sudut ruangan lain sambil menyebut nama Bryan. Karena telah membuat kegaduhan di tempat umum, menimbulkan kerusakan dan melakukan tindakan kekerasan, Zane harus mempertanggungjawabkan perbuatannya di kantor polisi. Di sana, ia bertemu Jeremi yang ternyata adalah pemilik cafe dan juga sahabat Bryan. Sekali lagi, Zane merasa ditipu oleh fakta