"Belle." Zane lekas memotong pertanyaan istrinya yang tak sopan dan terkesan menuduh. Wajah Rio yang sejak tadi ceria, mendadak tegang dan pias. "S-saya--""Rio, maafkan istri saya. Kamu bisa keluar sekarang dan siapkan mobil saya di lobi," tukas Zane tak enak hati. Sebelum Rio melaksanakan perintah bosnya dan berbalik badan, ia sempat melirik Belle yang tengah duduk di kursi roda. Selama ini Rio sangat menjaga image-nya di depan Zane karena ia tak ingin terlihat buruk. Namun, Belle dengan lancarnya malah menyebar aib Rio begitu saja. "Saya permisi, Miss Belle. Sampai bertemu lagi," pamit Rio dengan sopan sebelum kemudian ia berlalu pergi. Setelah cukup lama sekretaris tampan itu menghilang di balik pintu, Zane lantas menghampiri Belle dan berdiri lama di hadapannya. Ekspresi Belle tak banyak berubah, ia tetap memasang wajah dingin tak tersentuh dengan tatapan mata kosong. "Apa sudah lega sekarang?" tanya Zane setelah dirinya cukup tenang. "Lega untuk apa?" "Lega karena kamu
Sejak sekamar lagi, Zane merasa semangatnya setiap pagi selalu penuh terisi. Ia berangkat ke kantor dengan mood yang bagus, pun pekerjaan bisa selesai tepat pada waktunya. Setelah hampir sebulan berjibaku di Perusahaan Janata Group, Zane mulai menguasai job desk-nya. Tak dipungkiri, keharmonisan rumah tangganya berpengaruh banyak pada kinerja Zane yang memuaskan. Sebisa mungkin, Zane meniadakan kesalahan di hadapan istrinya agar hidupnya damai dan tentram. Dan bisa jadi, tidurnya yang berkualitas juga turut andil dalam meningkatkan semua itu. Belle tak lagi mengonsumsi pil pereda nyeri setiap malam, pelukan dan ciuman yang Zane berikan diam-diam sudah cukup membuatnya tenang dan bisa melewati rasa sakit itu tanpa mengonsumsi obat-obatan. Sebenarnya, Zane mulai curiga pada sikap Belle yang selalu tidur lebih awal dan bangun paling akhir. Selama beberapa pekan ini, rutinitas itu terus berlangsung seakan Belle membiarkan Zane melakukan love bombing sebelum ia terlelap. Dan malam ini,
Ciuman pada malam itu seakan mengembalikan sedikit demi sedikit memori yang sempat terhapus diingatan Belle. Sayangnya, ia tak berani menanyakan pada Zane terkait suara-suara ataupun kejadian yang perlahan datang dan pergi. Sudah beberapa bulan ini, sejak keduanya melakukan ciuman itu, Zane mulai semakin berani berbuat nakal. Terkadang, Belle terbangun dengan tangan Zane yang sudah menyelinap di balik bra-nya. Beruntungnya, Zane tak pernah melakukan lebih dari itu. "Bik," panggil Belle ketika ia sedang duduk di ruang tengah usai sarapan. Penyangga di kakinya sudah dilepas, sudah dua bulan berlalu dan Belle kini bisa berpindah dari ranjang ke kursi rodanya tanpa bantuan. Zane membelikan kursi roda canggih dengan navigasi pintar dan sensor hambatan yang akan secara otomatis berhenti jika ada benda atau jalanan yang tidak rata. Belle juga bisa memerintahkan kursi rodanya dengan bantuan suara tanpa harus repot-repot menggerakkan roda dengan tangan. "Ya, Non!" sahut Bik Asih sambil be
"Non! Non Belle!" Suara teriakan Bik Asih yang membahana, membuat Belle sontak menoleh ke arah pintu di mana ia baru saja masuk. Dengan tatapannya yang kosong karena tak bisa melihat apapun, Belle menunggu Bik Asih menyusul masuk ke dalam kamarnya."Non ..." Bik Asih mengatur napasnya yang kembang kempis karena berlari, ia lantas menunjukkan ponsel nona mudanya, seakan lupa jika Belle buta. "Tuan Bryan sudah balas pesannya Non Belle!" "Benarkah!?" Belle membeliakkan mata tak percaya. "Dia bilang apa, Bik?" Spontan Bik Asih membaca kembali pesan balasan itu dengan lantang."Kabarku baik, Belle. Aku juga merindukan kamu." Belle menunggu Bik Asih melanjutkan penjelasannya, tetapi hingga beberapa detik berlalu Bik Asih tak lagi bersuara. "Itu doang?" sungut Belle kecewa. "Iya, itu doang, Non." Bik Asih menurunkan ponsel milik majikannya dengan ragu. "Memangnya Non Belle maunya tuan Bryan membalas apa?" "Bilang sama dia, saya mau ketemu besok siang. Terserah di mana, yang penting ki
Mengendarai mobil dengan kalap adalah satu-satunya cara agar Zane bisa secepatnya sampai di cafe terkutuk itu. Rio duduk di sebelahnya dengan wajah pias karena Zane menyetir dengan sangat ngawur. Mereka baru bisa berangkat setengah jam kemudian setelah membereskan prosedur pembatalan meeting yang cukup berbelit-belit. Itulah mengapa pada akhirnya Zane semakin senewen dan gelap mata. "Pak, biar saya yang menyetir.""Diamlah. Kamu hanya perlu duduk menemaniku dan jangan katakan apapun!""T-tapi saya masih ingin hidup, Pak. Saya masih belum bertobat dan masih banyak dosa yang belum saya--""Diam, Rio. Aku juga belum ingin mati sebelum membunuh pria itu!" Bola mata Rio membeliak semakin lebar. Bosnya yang terkenal sabar, elegan dan irit bicara, rupanya memiliki sisi lain yang mengejutkan. Jangan-jangan, selama ini ia tertipu oleh sikap kalem bosnya yang ternyata adalah seorang psikopat?? Setelah hampir setengah jam terombang-ambing diantara dua dunia, akhirnya Zane memarkir mobilnya d
Karena situasi semakin tak terkontrol dan kondusif, pada akhirnya suara tembakan pun menggema. Zane menahan pukulan yang hampir ia layangkan di pelipis Bryan ketika suara letusan itu membahana. Dengan posisi tubuh berada di atas artis kenamaan itu, tangan Zane menggantung di udara. "Pak, cukup! Hentikan!" Rio menurunkan pistol di tangannya dan meletakkan kembali benda itu di holster miliknya. Dengan dibantu dua orang pengunjung cafe, Zane ditarik mundur. Sementara beberapa orang lain membantu Bryan untuk bangkit. Darah yang mengalir dari pelipis dan hidung Zane, sama sekali tak membuatnya sakit. Justru ia lebih sakit melihat Belle menangis di sudut ruangan lain sambil menyebut nama Bryan. Karena telah membuat kegaduhan di tempat umum, menimbulkan kerusakan dan melakukan tindakan kekerasan, Zane harus mempertanggungjawabkan perbuatannya di kantor polisi. Di sana, ia bertemu Jeremi yang ternyata adalah pemilik cafe dan juga sahabat Bryan. Sekali lagi, Zane merasa ditipu oleh fakta
Seandainya bisa memutar kembali waktu, mungkin Belle akan mengurungkan niatnya untuk bertemu Bryan jika akhirnya akan jadi serunyam ini. Sungguh, kedatangan Zane benar-benar diluar dugaan dan mengacaukan segalanya. Terlebih setelah suaminya itu memukul Bryan, Belle menjadi tak lagi simpatik padanya. Bik Asih bilang, perkelahian mereka membuat cafe rusak parah. Pun demikian, Bryan jadi babak belur karena ulah Zane yang menghajarnya habis-habisan. Karena harus bertanggungjawab atas permasalahan yang ia ciptakan, Zane akhirnya dibawa ke kantor polisi sore itu juga. Sementara Belle dan Bik Asih, memutuskan pulang setelah polisi meminta keterangan pada keduanya sebagai saksi. "Zane belum pulang, Bik?" tanya Belle ketika ia tengah menyantap makan malamnya sendirian di meja makan. "Belum, Non. Sepertinya juga nggak akan pulang." Kening Belle berkerut bingung. "Maksudnya? Dia ditahan?" "Sepertinya begitu. Apalagi melihat Tuan Bryan babak belur, kayanya Tuan Zane akan mendapat hukuman be
Selama beberapa menit, Zane hanya memandangi raga yang tak berdaya itu dengan tatapan bengis. Terbayang olehnya momen kemarin sore ketika Belle menangis dan menyebut nama kekasih terkutuknya itu. "Apa yang sebenarnya kamu inginkan, Belle!? Katakan!" desak Zane dengan suara berat dan dalam. Jangankan Belle, bahkan semut pun akan takut jika mendengar suara Zane yang semacam itu. Belle sudah mempermainkan dan mengusik kesabaran pria yang selalu mengalah dan rela melakukan apapun untuknya. "A-aku hanya ingin tahu cerita yang sebenarnya, Zane. Aku--""Bukankah aku sudah menceritakan semuanya padamu? Bagian mana lagi yang belum jelas, huh!?" potong Zane tak sabar. "Kamu selalu menolak menceritakan Bryan padaku. Padahal ingatan terakhirku berhenti di dia. Aku nggak tahu harus bertanya sama siapa karena--""Bryan mencampakkanmu, Belle! Laki-laki yang pernah kamu bela mati-matian itu, lebih memilih serumah dengan Zara dibanding mempertahankan cinta kalian! Itukah yang mau kamu dengar? Atau