Terima kasih atas segala bentuk dukungannya dan VOTE untuk novel ini. Selamat membaca :)
Dear pembaca yang baik,Mohon izin untuk hari Sabtu dan Minggu ini author belum bisa up date bab lanjutan dikarenakan sedang ikut acara yg tidak memungkinkan untuk mengakses internet, laptop, dan gadget.Bab lanjutan akan segera up date begitu author sudah bisa kembali ke laptop. Mohon maaf sekali atas ketidaknyamanannya menunggu. Dan terima kasih banyak atas segala bentuk dukungannya untuk novel ini. Mohon maaf juga apabila author tidak dapat membalas satu per satu komentar dari pembaca sekalian. Author mengucapkan terima kasih banyak atas segala kritiknya untuk novel ini, author menerimanya dengan senang hati demi peningkatan kualitas kepenulisan selanjutnya.Have a nice weekend :)Warm Regards,Author 'Menikahi Mantan Pacar Teman'
Anjani terbahak-bahak di balik meja kerjanya. Dia sudah mendengar kehebohan yang terjadi kemarin, bahwa IED Juna tiba-tiba saja kambuh di kantor. Tapi yang paling menarik baginya adalah isu perceraian Juna dengan Mei yang kini berembus sekencang badai. “Wah ..., I nggak perlu pusing-pusing mikirin gimana caranya nyingkirin elu dari hidup Juna, Mei! Sekarang justru Juna sendiri yang mendepak dan menceraikan you!” Anjani tertawa puas penuh kemenangan, “Finally, ... you rasakan juga apa yang pernah I rasakan dulu! Emang enak? Selamat jadi samsak hidupnya Juna. Well, begitulah aslinya Juna ..., you pikir dia sebagus tampangnya? On your dream! Wake up and welcome to reality, Mei, ... you married a monster!” ketus Anjani seraya tersenyum sinis. Dia betul-betul puas. Sekarang dia jadi tak perlu repot-repot mengotori tangannya sendiri untuk menyingkirkan wanita yang dibencinya itu dari cyrcle keluarga Utomo. Isu perceraian Juna menjadi perbincangan hangat di dalam gedung perkantoran Utomo Gr
Saat Juna menjatuhkan talak dan mengusirnya, Mei memang hancur sehancur-sehancurnya. Dia meninggalkan rumah itu hanya dengan pakaian yang masih melekat di badan, bahkan dia belum sempat melepas apron yang dipakainya saat memasakkan makanan untuk Juna. Mei bingung, tak tahu harus ke mana. Tetapi dia terus melangkahkan kakinya dengan kepala menunduk di bawah cuaca yang sedang terik-teriknya. Mei memeluk dirinya sendiri, melindungi kulit lengannya yang tersengat cahaya matahari. Hingga pada sore hari, beberapa jam kemudian, tiba-tiba saja langkahnya sudah terhenti di gerbang pemakaman umum, tempat orangtuanya di semayamkan. Mei melangkahkan kaki, menuju dua gundukan pusara mami dan papinya. Lalu mengadukan apa yang baru saja dialaminya kepada mereka sambil menangis, seakan orangtuanya bisa mendengar keluh kesahnya saja. Tetapi itu rupanya sangat membantu Mei untuk melonggarkan dadanya dari himpitan rasa sesak yang membelitnya. Mei menjadi merasa lebih plong. Di depan makam orangtuanya di
Juna memandangi akta cerainya dengan tatapan nanar. Lalu dia menyimpannya di laci. Dia tak sanggup melihatnya lagi. Padahal, bukankah dia yang menginginkan perceraian ini? Tapi kenapa hatinya justru diremas-remas nyeri setelah menerima hal yang sangat dia inginkan ini? “Kev, elu emang brengsek, ... dasar tukang tikung!” Juna menggeram dengan tangan yang gemetar dan terkepal kuat. Juna pun mengeluarkan alat komunikasi khususnya dan menelepon seseorang, “John Wick, gue mau order.” “Monggo, Tuan.” Juna menyebut nama targetnya. “Anda yakin, Tuan? Bukankah dia sahabat Anda?” “Mantan sahabat. Pokoknya elu tembak saja, lalu pertemukan dia dengan kakaknya di pulau itu, biar mereka reunian.” “Tapi, kakaknya kan sudah jadi mayat, Tuan, ya ndak bisa reunian dong? Kecuali kalau dia bisa melihat hantu.” “Bodo’ amat, nggak peduli.” Terdengar desah napas John Wick di seberang sana. “Tuan, bolehkah saya tahu apa masalahnya, sampai Tuan ingin membunuh sahabat sendiri?” selidik si pembunuh elit
Anna mengunjungi kantor Juna bersama Utomo sambil membawa sekotak bekal makan siang. Mau tak mau Juna pun menyambut keduanya dan menemani mereka duduk di sofa tamu. Anna memanggil Maya, sekretaris Juna. “Tolong siapkan ini buat Juna, ya?” katanya. “Sorry, An. Bukannya menolak, tapi gue baru aja makan siang pakai daging bebek, habis dibeliin sama aspri gue. Tapi daripada makanannya mubazir, buat elu aja, May. Belum makan kan elu?” kata Juna sambil menoleh pada Maya dan lekas diangguki sekretarisnya itu. Anna tersenyum dan ikut mengangguk, mempersilakan Maya menikmati makan siang darinya itu, namun terlihat sorot kecewa dalam bola matanya. Sedangkan Utomo terkekeh senang mendengar sang cucu akhirnya sudah bisa makan siang seperti biasanya lagi. “Syukurlah, itu artinya maag yang kamu derita sudah mulai membaik. Baru saja Opa mau menyuruhmu ke rumah sakit buat pemeriksaan lambung lebih lanjut,” ujarnya. “Nggak perlu, Opa. Aku baik-baik saja, kok.” Juna mengangguk dan tersenyum, meyaki
Mei mengecek ponsel, ingin melihat sudah sampai di mana posisi taksi online yang dia pesan tadi. Ternyata masih stuck cukup lama di sebuah titik, mungkin kena macet. Mei pun menghela napas sabar, lalu Mei mengangkat wajahnya ke depan setelah memasukkan ponselnya ke dalam slingbag. Jantungnya pun bagai dipecut kala melihat 2 sosok yang tak asing tengah berjalan berlawanan arah dengannya. Mei menyipitkan mata, berharap dia salah lihat, tetapi itu memang benar Juna ..., meskipun sosok itu terlihat lebih kurus dibandingkan saat terakhir kali Mei melihatnya tetapi Mei hafal betul jika sosok yang tengah menggandeng tangan wanita itu adalah mantan suaminya. Dan Mei lebih terkejut lagi karena wanita itu adalah Anna. Kaki Mei seketika lemas, ternyata benar dugaannya selama ini jika Anna memang ada hati kepada Juna. Dan baru juga Juna bercerai, wanita itu sudah gesit memasuki kehidupan Juna. Namun yang lebih menyakitkan, secepat itu pula Juna menerima wanita lain dalam hidupnya, padahal akta pe
Mei dengan cepat menguasai keadaan. Dia dan Juna sudah menjadi orang lain sekarang, orang asing. Mei pun melangkahkan kakinya dengan lebih relaks, tanpa menoleh sedikit pun ke arah Juna. Bukankah Juna tadi juga bersikap demikian kepadanya? Mei juga kini bersikap sama. Mei melalui Juna begitu saja tanpa menoleh. “Ayo, Jun?” ajak Anna sambil mengguncang lengan Juna yang terpaku di tempatnya. Juna pun mengangguk gugup. Pria itu sempat menoleh sejenak ke belakang sebelum menuju sedan mewah yang sudah menunggunya, tetapi Meilani sudah tak terlihat lagi. Sial, kenapa Juna mengkhawatirkan wanita itu? Di mana rumahnya sekarang? Jam berapa taksi online sialan itu akan datang menjemputnya? Padahal Mei terlihat pucat dan lelah tadi. Apakah Mei sedang sakit? Tetapi lagi-lagi, rasa sakit hati Juna karena pengkhianatan Mei kembali mendominasi. ‘Ah, mikirin amat? Gue sudah nggak ada urusan lagi sama dia,’ batinnya sambil kembali menggandeng Anna. Juna harus segera mengantarkan anak gadis orang ini
John Wick geleng-geleng kepala sambil menyeret tubuh seorang pembunuh bayaran yang baru saja disetrumnya, sehingga tembakan pertamanya tadi meleset jauh, tapi si pembunuh bayaran ini tadi masih sempat-sempatnya menyasar tembakannya yang kedua kepada Kevin yang kaget dan tengkurap di rerumputan sana, John Wick pun menambah daya setrumnya hingga pembunuh bayaran yang merupakan juniornya ini mati kejang-kejang. “Pangapuro, Bro. Saya ndak niat bunuh sampeyan, loh. Tapi sampeyan sih jadi pembunuh bayaran kok ndak ada akhlak. Kalau terima bayaran tuh mbok ya lihat-lihat kasusnya gitu loh, Bro. Mereka itu sahabatan, cuma salah satunya lagi marah aja. Sebagai pembunuh bayaran, bijak dikitlah ..., jangan semua orderan sampeyan embat, dong! Maruk amat sampeyan? Pasti suka ambil bayaran murah ya? Makanya ndak bijak pilih-pilih kasus.” John Wick menggerutu sambil memasukkan mayat itu ke dalam mobil, lalu membawanya masuk ke dalam hutan dan membakarnya. Begitulah, John Wick memang menolak orderan