Terima kasih atas segala bentuk dukungan dan VOTE untuk novel ini. Enjoy reading :)
John Wick geleng-geleng kepala sambil menyeret tubuh seorang pembunuh bayaran yang baru saja disetrumnya, sehingga tembakan pertamanya tadi meleset jauh, tapi si pembunuh bayaran ini tadi masih sempat-sempatnya menyasar tembakannya yang kedua kepada Kevin yang kaget dan tengkurap di rerumputan sana, John Wick pun menambah daya setrumnya hingga pembunuh bayaran yang merupakan juniornya ini mati kejang-kejang. “Pangapuro, Bro. Saya ndak niat bunuh sampeyan, loh. Tapi sampeyan sih jadi pembunuh bayaran kok ndak ada akhlak. Kalau terima bayaran tuh mbok ya lihat-lihat kasusnya gitu loh, Bro. Mereka itu sahabatan, cuma salah satunya lagi marah aja. Sebagai pembunuh bayaran, bijak dikitlah ..., jangan semua orderan sampeyan embat, dong! Maruk amat sampeyan? Pasti suka ambil bayaran murah ya? Makanya ndak bijak pilih-pilih kasus.” John Wick menggerutu sambil memasukkan mayat itu ke dalam mobil, lalu membawanya masuk ke dalam hutan dan membakarnya. Begitulah, John Wick memang menolak orderan
Jonathan sudah pasrah jika hari ini Juna harus kembali mual dan muntah-muntah, sebab restoran Mei sedang tutup. Jonathan menyajikan menu makan siang yang mirip-mirip dengan salah satu menu katering Meilani yang mudah dicarinya saja, yaitu paket nasi ayam bakar, tahu-tempe, sambal terasi, lalapan, sayur asem, dan kerupuk udang. Juna mulai menyantap makan siangnya. Untuk sejenak pria itu terdiam dan mengernyitkan kening, tetapi tak berkomentar apa-apa dan tetap melanjutkan makan siangnya meski tak selahap biasanya. Juna berhenti makan saat makanannya tinggal separuh, dia tampaknya enggan menghabiskan sisanya. Tapi Jonathan lega, setidaknya Juna tak lagi mual dan muntah seperti biasanya, dan ada asupan energi untuk melakukan aktivitasnya hari ini. “Jon, ada makanan yang lain nggak sih? Laper gue gila ...,” keluh Juna saat hari menjelang sore. Jontahan menyajikan beebrapa menu tetapi Juna cuma menghabiskannya sesendok. “Tumben sih, Jon? Pilihan makanan elu nggak ada yang beres hari ini
Anna memasuki ruangan Juna dan melihat pria itu sedang asyik menyantap makan siangnya. “Jun, lunch sendirian?” sapa Anna. Wanita itu memasuki ruangan Juna dengan bebas, seperti ruangannya sendiri, tanpa merasa perlu izin lagi dengan sekretaris Juna, padahal Maya sering menegur Anna tetapi Anna mengabaikan sebab dia merasa hubungannya dengan Juna sudah sangat dekat. ‘Dulu Bu Mei aja selalu minta izin gue tiap mau masuk ruangan Pak Juna, padahal waktu itu Pak Juna suaminya sendiri. Lah ini, belum apa-apa udah sok banget ngerasa menguasai Pak Juna,’ gerutu Maya dalam hati, kesal fungsinya sebagai sekretaris Juna dipandang sebelah mata oleh Anna. “Sudah makan, An?” sapa Juna sambil tersenyum ramah. “Sebenarnya sih belum, tadinya aku mau ngajakin kamu lunch di luar, tapi kamunya malah makan duluan.” Anna cemberut sambil duduk di sebelah Juna. Juna tersenyum tipis, bahkan dia dan Mei saja sampai menikah hingga bercerai tak pernah mengubah sebutan ‘elu-gue’, tapi Anna sekarang sudah mengu
Juna melongo. Ada ya ternyata, wanita yang udah jelek, tua, arogan, rese, udah gitu kepedean melamar dirinya macam Anjani ini? OMG. Juna rasanya ingin ngumpet ke kolong bumi! Untungnya makhluk macam Anjani yang dia temui cuma ada 1 ini saja. “Joke elu sama sekali nggak lucu, sorry .. gue nggak bisa ketawa, yang ada malah eneg ini gue!” Juna bergidik geli. Anjani terkekeh pelan dan bersedekap seraya menandangi Juna dengan tatapan memindai pria itu. “Jun, nggak akan ada wanita yang sanggup mendampingi hidup you selain I. Bahkan seorang Meilani yang katanya you cintai itu, mana? Cerai juga kan elu dari dia?” cibir Anjani dengan begitu meledek. “Cuma I yang sanggup jadi samsak hidupnya you. I yakin seyakin-yakinnya, wanita seperti Anna bakal terkencing-kencing kalau ngeliat IED you kambuh sewaktu-waktu, dan dia bakalan kabur sejauh-jauhnya dari you! Nah ..., cuma I yang bisa terima dan memahami IED yang you derita. Selain I, nggak akan ada wanita yang sanggup, Jun. Kalaupun you bermasal
“Eh, nggak usah Mas.” “Lu nggak berhak nolak, Yem. Ini kan rezeki buat keponakan elu, dosa lu menghalangi rezeki orang.” Juna mengabaikan penolakan Maryam dan memencet passwordnya pada mesin EDC yang diulurkan kasir kepadanya. Maryam pun terdiam dan berterima kasih. “Siapa namanya, Yem?” “Baby.” “Baby? Namanya Baby?” Maryam mengangguk dan menyembunyikan kegugupannya karena berbohong. Juna melambaikan tangannya kepada baby Vi, “Nice to meet you. See you, Baby?” katanya sambil melangkah pergi dan Maryam bisa menangkap sorot enggan dalam sepasang mata Juna saat harus meninggalkan toko ini dan kembali dalam dekapan Anna yang menunggunya di sana. “Nggak nyangka ternyata kamu suka bayi,” kata Anna sambil mengalungkan lengannya ke lengan Juna. Lalu Anna tersenyum cantik kepada Juna. “Kamu sudah pantas jadi ayah, Jun,” bisiknya. Juna terdiam. Kata-kata Anna tadi bagai silet jarum yang menusuk hatinya. Ingatannya mendarat pada sebuah momen saat dia selesai bercinta dengan Mei dahulu se
“Astaga, arogan sekali pasangan itu,” gumam seorang pramusaji yang tak tega melihat bos mereka harus membereskan kekacauan di sana, diperlakukan semena-mena oleh tamu restoran yang mungkin punya banyak uang tapi miskin akhlak. “Padahal Bu Bos sudah minta maaf dan memperlakukan mereka dengan baik dan ramah, tapi masih aja dikasarin,” gumam pramusaji yang lain. Supervisor mereka berdeham. “Bu Bos lagi ngajarin kalian cara memperlakukan pelanggan. Kadang salah bukan di kita, tapi begitulah ... ada saja tipe pelanggan yang semena-mena, tapi jangan dibalas kasar, karena mereka akan bertambah kasar kalau dilawan. Sabar. Itu pelajaran yang harus kalian petik dari Bu Bos,” oceh supervisor yang bernama Mahmud itu. “Eh, i-iya ..., Mas Mahmud.” “Balik kerja sana, malah ngerumpi.” Kedua pramusaji itupun kembali melanjutkan pekerjaan mereka. Mahmud menghela napas, tega tak tega melihat pemandangan di sana, melihat bosnya melayani pelanggan reseh. Mahmud pun menghampiri meja nomr 15 itu. “Moh
“Hai, Jun? Apa kabar?” sapa Raya tak kalah ramah, lalu tatapannya beralih kepada Anna yang menggandeng mesra lengan Juna. Seketika senyum Raya menyurut. Hatinya jadi kesal untuk Mei. “Pacar elu, Jun?” tanyanya penasaran. Juna cuma tersenyum. “Baik, Ray. Eh, itu anak kalian? Siapa namanya?” Pria itu malah balik menanyainya. Raya mengulum senyum, Juna seperti enggan memperkenalkan wanita itu kepadanya dan juga Kevin, juga tak menjawab pertanyaan Raya apakah wanita itu pacarnya atau bukan, artinya Juna belum yakin terhadap hubungan mereka. “Iya, namanya Keyra,” Kevin mencolek pipi Keyra, “Sayang, kenalan yuk sama Om Juna, temannya Papa dan Mama,” katanya kepada Keyra. Balita belum genap 3 tahun itu langsung nyengir dengan cantik sambil mengulurkan tangannya pada Juna. “Keyya!” katanya memperkenalkan diri. Juna terdiam dan sedikit ragu saat menyambut uluran tangan balita lucu itu. Begitu tangannya menyentuh Keyra, sekujur tubuhnya tiba-tiba saja menegang dan gemetar. Lalu Juna menghel
Utomo bergegas menyusul Juna ke rumah sakit begitu Ramon memberitahu kabar gawat darurat yang menimpa cucunya. “Bagaimana kondisinya sekarang, dia sudah siuman?” cecarnya kepada Ramon yang sigap menyejajari langkah Utomo yang masih lincah di usianya senjanya. “Sudah, Tuan. Tetapi dokter melarang siapapun menemuinya lebih dulu.” “Apa yang sebenarnya terjadi dengannya, Ramon?! Cari tahu sejelas-jelasnya!” bentak Utomo yang sebenarnya trauma dengan yang namanya rumah sakit. Dia tak siap jika Tuhan merenggut cucu satu-satunya yang dia miliki ini. “Sebaiknya Tuan bicara langsung dengan dokter yang menangani Mas Juna.” “Oke, pertemukan kami sekarang.” Ramon pun membawa Utomo menuju ruangan seorang dokter yang ternyata telah menunggu Utomo. Setelah berkenalan dan berbasa-basi sejenak, dokter pun mengatakan jika Juna mengalami gangguan kecemasan yang sudah parah. “Depresi? Cucuku depresi? Bagaimana mungkin, Dok?” Dokter menatap Utomo dengan sorot teduhnya yang menenangkan. “Kami sudah
Mei meletakkan Cinta di box tidurnya secara perlahan setelah selesai mengganti diapers untuk bayi cantiknya yang menggemaskan itu, kini anak keduanya itu sudah berusia 3 bulan. Juna menepuk-nepuk lembut pipi puterinya. “Selamat bobok, cintanya mami dan papi,” bisiknya dengan hati berbunga-bunga. Setelah memastikan Cinta tidur nyaman, Juna menoleh kepada Mei yang sedang memerah ASI. Air susu Mei melimpah ruah, sampai-sampai Mei membeli kulkas baru khusus untuk menyimpan stok ASI bagi sang buah hati. Mei bertekad akan memberi Cinta ASI eksklusif selama 6 bulan, sama seperti Vi dulu. “Masih lama, Mi?” Juna manyun memerhatikan Mei sibuk dengan alat perahnya. “Bantuin sini, malah bengong! Biar cepat beres ini,” omel Mei. Juna pun nyengir dan membantu Mei menuliskan tanggal hari ini di setiap label botol ASI itu, kemudian memasukkannya ke dalam kulkas yang ada di dalam kamar mereka. Sementara Mei membereskan alat-alat pemerah ASI, mencuci, mengelap, dan menyimpan kembali dengan rapi. “S
“Mami, bangun! Ini sudah jam berapa?” Juna menarik selimut Mei, menepuk-nepuk istrinya yang malah lebih erat lagi memeluk guling. Juna geleng-geleng kepala. Sepertinya Mei bangun kesiangan lagi, padahal biasanya Mei itu morning person. Istrinya itu sigap melayani apa saja kebutuhannya dan juga Vi. Rajin mempersiapkan keberangkatan Juna ke kantor, dan juga mempersiapkan sendiri box makanan untuk Vi. Tapi sudah seminggu ini, makanan untuk Vi diurus pegawainya. Demikian pula persiapan sarapan untuk mereka. Juna rindu sarapannya dipersiapkan sendiri oleh sang istri tercinta. “Banguun, ... Maemunah.” Juna menarik guling Mei, tapi kemudian Mei mengalungkan lengannya di leher Juna. Membuat Juna terkekeh dan menciumi wajah istrinya. “Jun, ngantuk banget gue loh. Masih kepingin bobok.” Juna pun mengecupi pipi istrinya yang masih memejamkan mata. Mei kelihatan sangat mengantuk memang. Juna jadi tak tega menyuruhnya bangun dan menyelimutinya lagi. Juna mandi pagi dan berganti pakaian, memasa
Mei tersenyum puas usai melakukan rapat final dengan manager pengelola gedung Utomo Group. Mei menyabet tempat di lantai dasar gedung Utomo Group yang sebelumnya disewa oleh sebuah restoran franchise asing. Mei ingin menancapkan taring bisnisnya di gedung utama milik kakek suaminya sendiri.Juna pikir istrinya kian menggilai bisnis dan ingin semakin banyak mereguk laba berlipat-lipat. Namun Juna dibuat terkejut saat Mei memaparkan sesuatu kepadanya, bahwa Mei akan memberikan diskon khusus bagi para pegawai Utomo Group yang makan di restoran itu dalam jangka waktu selama mereka berstatus pegawai Utomo Group, yaitu diskon 90% bagi kalangan pegawai kelas bawah semisal security, OB, cleaning service, dan diskon 60% bagi kalangan staf biasa.“Biar apa gitu, Mei?”“Biar mereka merasa dihargai, dan mereka bisa pakai diskonannya buat kepentingan mereka yang lain, atau buat ditabung. Soalnya, Jun, ... gue pernah jadi pegawai rendahan kayak mereka, budget makan siang itu mehong dan berasa bange
“Mei, serius ... elu nggak kepengen ngadain resepsi buat pernikahan kita ini?” Juna diam-diam ingin mewujudkan pesta pernikahan impian yang ingin digelarnya secara mewah. Sebagai wujud kegembiraannya memenangkan hati Mei kembali.“Ogah. Kan udah gue bilang ogah. Berisik amat sig elu masih nanyain melulu, Jun?”Juna manyun. “Emang kenapa sih, Mei?” rengeknya sambil memeluk Mei dari belakang, sementara Mei sedang sibuk meracik bumbu untuk makan malam mereka nanti.“Buat apa elu buang-buang duit cuma buat menjamu para sosialita yang fake itu, heh? Gue ingat banget ya, pas gue lagi melarat gimana sikap mereka ke gue. Gue tuh kayak sampah tahu nggak di mata mereka. Anna dan teman-temannya itu! Papasan sama gue di mall kagak ada yang mau noleh barang seorang, padahal gue udah sapa duluan baek-baek,” oceh Mei sambil menggeprek lengkuas sekuat-kuatnya sampai penyet, seakan lengkuas itu adalah perwujudan Anna dan teman-temannya.Jantung Juna nyaris mencelat kaget mendengarnya. ‘Dih, serem juga
Mei dan Juna menginap di sebuah presidential suite. Di sinilah mereka pernah melewati malam pertama pada pernikahan mereka yang terdahulu. Pada malam rujuknya mereka kali ini, Mei dan Juna kembali memilih ruangan yang sama, ruangan yang menyimpan sejuta kenangan tentang mereka. Ruangan ini menjadi saksi bisu, bahwa ada rasa membara yang mengikat Mei dan Juna, sejak dulu sampai sekarang, tak pernah padam. Jika keduanya dulu merasa canggung saat memasuki ruangan ini dalam balutan gaun pengantin, sekarang tidak lagi. Begitu Juna menutup pintu hotel, dia langsung mengangkat tubuh istrinya itu ke ranjang, melucuti pakaian Mei dengan tak sabar. Sudah halal, bukan? Tangan Juna bergerak cepat menyingkirkan segala macam penghalang, dan matanya berbinar-binar begitu tubuh polos Meilani kini terpampang nyata. Mei ternyata masih tetap luar biasa dan semengagumkan dulu. “Bisa-bisanya Mei, elu udah jadi emak-emak tapi body masih mulus langsing singset kayak gini?” pujinya sambil membelai perut Mei
“Buset, ribet amat sih mau rujuk kebanyakan syarat administrasi! Nggak bisa nikah di KUA hari ini dong gue? Mau tuntasin ibadah nikah yang mulia kok ada-ada aja ya ujiannya?” oceh Juna saat menelepon Jonathan. “Ya udah, Jon, elu buruan daftarin dan urusin semua persyaratan rujuk buat gue dan Mei di KUA. Gue sama Mei nikah siri aja dulu hari ini! Biar cepat sah dan halal,” pungkasnya. Mei tertawa mendenngar ocehan Juna yang teramat ramai. “Beneran mau nikah hari ini? Ntar ajalah ... tanggung, nikah di KUA yang resmi sekalian, tunggu Jojon kelar beresin syarat administrasinya dulu, Jun.” “Eits, nggak bisa! Ibadah loh ini, Maemunah ...! Ibadah itu jangan ditunda-tunda. Jangan dengerin bujuk rayu setan buat nunda-nunda ibadah kita.” Mei terpingkal-pingkal. “Cih. Bisa aja nih orang modusnya, ... bilang aja udah nggak tahan pengen grepe-grepe gue!” cibirnya. Juna nyengir. “Itu kan ibadah juga, Mami sayang, ... yang membedakan kita sama kucing! Kucing mau kawin tinggal kawin, kalau kita
Mei buru-buru ke dapur, meneguk segelas air untuk membasahi kerongkongannya yang kering karena menahan gondok kepada Juna yang malah mengusilinya soal penggrebegan tadi. Wajah Mei jadi merah padam, bukan hanya karena marah pada keadaan. Tapi dia juga bingung bagaimana caranya menjelaskan ke Vincent? Tadi dia mengecek i*******m dan benar saja, kejadian tadi sudah tayang di I* TV milik Anna dan meraih banyak penonton. “Tuh, kan. Netizen malah belain kita dan kasih selamat sekalian. Orang-orang sekarang sudah tahu soal anak kita, Mei. Juga tentang kita yang sudah rujuk. Dahlah ... yuk, jadiin real aja?” Juna meletakkan ponsel setelah ikut mengecek dan membaca komentar yang berseliweran di I* itu. Juna kemudian merangkul Mei yang duduk menunduk di sofa sambil memegangi kepalanya yang pening. Juna memijiti pundak Mei hingga wanita itu terlihat sedikit nyaman. Mei menangis sambil mengatakan kalau dia takut Vincent marah, takut Vincent kecewa kepadanya. Mei juga meminta saran dan pendapat
“Gue kangen banget sama Vi, Mei. Please? Gue sekarang tahu kenapa gue langsung jatuh cinta sama Vi sejak awal ketemu dulu. Dan semakin ke sini gue semakin sering kangen sama dia. Ternyata itu yang namanya ikatan batin. Iya ‘kan? Elu sendiri tadi bilang, bakal beri gue ruang buat mencurahkan kasih sayang gue ke Vi?” Mei memutar bola mata. “Iya, tapi nggak gini juga keleus ..., lu lihat ini jam berapa sekarang? Jam 12 malam. Gila lu mau masuk-masuk kamar janda tengah malam gini.” Juna tertegun. Setelah pembicaraan seriusnya tadi, sekarang Mei dengan cepat kembali ke mode cablak. Juna garuk-garuk kepala. “Dih, cepat juga waktu berlalu ya, Mei?” “Ya iyalah, dodol. Situ aja nangisnya berapa jam sendiri?” “Njirr ..., jangan cerita ke siapa-siapa ya, Mei. Tengsin gue.” “Wani piro?” Lalu Mei terkekeh jahat. “Cih. Lu kayak John Wick aja, Mei!” seloroh Juna. Karena John Wick suka menantang imbalan Juna dengan dua kata yang sama itu, ‘wani piro’. “John Wick? Keanu Reeves?” Mei kebingunga
Juna merengkuh kedua tangan Mei. Tangan Mei terasa hangat dalam genggaman Juna yang dingin. “Mei ...,” panggil Juna seraya mengecup lembut punggung tangan wanita itu, “gue udah tahu semuanya, ... siapa sebenarnya Vi,” ucapnya begitu lirih. “Sorry ..., I’m too late.” Juna mendesahkan sejuta penyesalan. Juna berlutut di depan Mei seraya mendongak, mempertemukan tatapan mereka. “Mei ...,” panggilnya lagi, karena wanita itu tak jua bersuara sejak tadi. Mei membeku dalam kediaman panjangnya. “Gue sungguh-sungguh minta maaf. Mungkin permintaan maaf gue ini nggak sepadan dengan penderitaan yang sudah elu lewati seorang diri selama ini.” Juna mengetatkan genggamannya seiring pecutan sesal yang kian melecut-lecut dalam hatinya. Juna baru tahu dari Anjani ..., jika ternyata Mei dalam kondisi mengandung darah dagingnya saat Juna menceraikannya dulu. Saat Juna mengusirnya siang itu, meninggalkan rumahnya di bawah terik cahaya mentari yang membakar kulit, dengan berjalan kaki. Ya ..., berjalan ka