Terima kasih atas segala bentuk dukungan dan VOTE untuk novel ini. Happy reading :)
Juna melongo. Ada ya ternyata, wanita yang udah jelek, tua, arogan, rese, udah gitu kepedean melamar dirinya macam Anjani ini? OMG. Juna rasanya ingin ngumpet ke kolong bumi! Untungnya makhluk macam Anjani yang dia temui cuma ada 1 ini saja. “Joke elu sama sekali nggak lucu, sorry .. gue nggak bisa ketawa, yang ada malah eneg ini gue!” Juna bergidik geli. Anjani terkekeh pelan dan bersedekap seraya menandangi Juna dengan tatapan memindai pria itu. “Jun, nggak akan ada wanita yang sanggup mendampingi hidup you selain I. Bahkan seorang Meilani yang katanya you cintai itu, mana? Cerai juga kan elu dari dia?” cibir Anjani dengan begitu meledek. “Cuma I yang sanggup jadi samsak hidupnya you. I yakin seyakin-yakinnya, wanita seperti Anna bakal terkencing-kencing kalau ngeliat IED you kambuh sewaktu-waktu, dan dia bakalan kabur sejauh-jauhnya dari you! Nah ..., cuma I yang bisa terima dan memahami IED yang you derita. Selain I, nggak akan ada wanita yang sanggup, Jun. Kalaupun you bermasal
“Eh, nggak usah Mas.” “Lu nggak berhak nolak, Yem. Ini kan rezeki buat keponakan elu, dosa lu menghalangi rezeki orang.” Juna mengabaikan penolakan Maryam dan memencet passwordnya pada mesin EDC yang diulurkan kasir kepadanya. Maryam pun terdiam dan berterima kasih. “Siapa namanya, Yem?” “Baby.” “Baby? Namanya Baby?” Maryam mengangguk dan menyembunyikan kegugupannya karena berbohong. Juna melambaikan tangannya kepada baby Vi, “Nice to meet you. See you, Baby?” katanya sambil melangkah pergi dan Maryam bisa menangkap sorot enggan dalam sepasang mata Juna saat harus meninggalkan toko ini dan kembali dalam dekapan Anna yang menunggunya di sana. “Nggak nyangka ternyata kamu suka bayi,” kata Anna sambil mengalungkan lengannya ke lengan Juna. Lalu Anna tersenyum cantik kepada Juna. “Kamu sudah pantas jadi ayah, Jun,” bisiknya. Juna terdiam. Kata-kata Anna tadi bagai silet jarum yang menusuk hatinya. Ingatannya mendarat pada sebuah momen saat dia selesai bercinta dengan Mei dahulu se
“Astaga, arogan sekali pasangan itu,” gumam seorang pramusaji yang tak tega melihat bos mereka harus membereskan kekacauan di sana, diperlakukan semena-mena oleh tamu restoran yang mungkin punya banyak uang tapi miskin akhlak. “Padahal Bu Bos sudah minta maaf dan memperlakukan mereka dengan baik dan ramah, tapi masih aja dikasarin,” gumam pramusaji yang lain. Supervisor mereka berdeham. “Bu Bos lagi ngajarin kalian cara memperlakukan pelanggan. Kadang salah bukan di kita, tapi begitulah ... ada saja tipe pelanggan yang semena-mena, tapi jangan dibalas kasar, karena mereka akan bertambah kasar kalau dilawan. Sabar. Itu pelajaran yang harus kalian petik dari Bu Bos,” oceh supervisor yang bernama Mahmud itu. “Eh, i-iya ..., Mas Mahmud.” “Balik kerja sana, malah ngerumpi.” Kedua pramusaji itupun kembali melanjutkan pekerjaan mereka. Mahmud menghela napas, tega tak tega melihat pemandangan di sana, melihat bosnya melayani pelanggan reseh. Mahmud pun menghampiri meja nomr 15 itu. “Moh
“Hai, Jun? Apa kabar?” sapa Raya tak kalah ramah, lalu tatapannya beralih kepada Anna yang menggandeng mesra lengan Juna. Seketika senyum Raya menyurut. Hatinya jadi kesal untuk Mei. “Pacar elu, Jun?” tanyanya penasaran. Juna cuma tersenyum. “Baik, Ray. Eh, itu anak kalian? Siapa namanya?” Pria itu malah balik menanyainya. Raya mengulum senyum, Juna seperti enggan memperkenalkan wanita itu kepadanya dan juga Kevin, juga tak menjawab pertanyaan Raya apakah wanita itu pacarnya atau bukan, artinya Juna belum yakin terhadap hubungan mereka. “Iya, namanya Keyra,” Kevin mencolek pipi Keyra, “Sayang, kenalan yuk sama Om Juna, temannya Papa dan Mama,” katanya kepada Keyra. Balita belum genap 3 tahun itu langsung nyengir dengan cantik sambil mengulurkan tangannya pada Juna. “Keyya!” katanya memperkenalkan diri. Juna terdiam dan sedikit ragu saat menyambut uluran tangan balita lucu itu. Begitu tangannya menyentuh Keyra, sekujur tubuhnya tiba-tiba saja menegang dan gemetar. Lalu Juna menghel
Utomo bergegas menyusul Juna ke rumah sakit begitu Ramon memberitahu kabar gawat darurat yang menimpa cucunya. “Bagaimana kondisinya sekarang, dia sudah siuman?” cecarnya kepada Ramon yang sigap menyejajari langkah Utomo yang masih lincah di usianya senjanya. “Sudah, Tuan. Tetapi dokter melarang siapapun menemuinya lebih dulu.” “Apa yang sebenarnya terjadi dengannya, Ramon?! Cari tahu sejelas-jelasnya!” bentak Utomo yang sebenarnya trauma dengan yang namanya rumah sakit. Dia tak siap jika Tuhan merenggut cucu satu-satunya yang dia miliki ini. “Sebaiknya Tuan bicara langsung dengan dokter yang menangani Mas Juna.” “Oke, pertemukan kami sekarang.” Ramon pun membawa Utomo menuju ruangan seorang dokter yang ternyata telah menunggu Utomo. Setelah berkenalan dan berbasa-basi sejenak, dokter pun mengatakan jika Juna mengalami gangguan kecemasan yang sudah parah. “Depresi? Cucuku depresi? Bagaimana mungkin, Dok?” Dokter menatap Utomo dengan sorot teduhnya yang menenangkan. “Kami sudah
Utomo terlihat lesu belakangan ini. Biasanya pria sepuh yang seluruh rambutnya sudah memutih itu aktif melakukan aktivitas fisik rutinnya bersama teman-teman lansia elitnya di padang golf. Namun sejak cucunya mengalami depresi dan harus dirawat di rumah sakit untuk sementara waktu, Utomo jadi kehilangan gairahnya. Dia lebih banyak di rumah, merenung dan merenung. Hal itu rupanya tak luput dari perhatian Daniel Sutomo, teman sesama konglomerat yang tergabung dalam sebuah club golf bersamanya. Utomo terkejut melihat kedatangan Daniel Sutomo ke rumahnya. Daniel memeluk Utomo seraya menepuk-nepuk pundaknya, seakan sedang berbagi energi positif untuk temannya yang sedang dirundung duka. Daniel sudah mendengar desas-desus tentang masalah kesehatan mental yang bertiup kencang di luar sana mengenai kondisi cucu temannya ini. Dan dia turut prihatin dan berempati kepada Utomo. “Cucuku, Vincent Alessio, kau tahu dia kan?” ujar Daniel setelah mereka berbasa-basi panjang. Utomo mengangguk, siapa
Semua orang-orang Sekar sudah dibersihkan dari dalam tubuh Utomo Group dan juga dari dalam organisasi perusahaan Juna, yang tersisa kini tinggallah Anjani. Tetapi Anjani sudah terkurung dalam pengawasan Utomo, setiap gerik-geriknya sudah terbaca jelas oleh tim mata elang keamanan Utomo Group. Utomo pun mencabut perintah pembunuhannya terhadap Anjani. Kini dia mulai mendekati Anjani, memberi perhatian wanita itu layaknya cucu, seperti dulu, seperti saat Anjani pertama kali dibawa oleh Bik Minah ke rumahnya. Utomo berbesar hati memberi ruang bagi Anjani untuk memasuki kehidupannya kembali. Kali ini dengan niat untuk memperbaiki hubungan antar kemanusiaan mereka, dengan hati ikhlas yang lebih tulus, bukan lagi sekadar kasihan dan merasa dirinya lebih superior karena dulu Anjani hanyalah gadis miskin sementara dirinya konglomerat. Bukankah di mata Tuhan semua manusia itu sama? Anjani bukannya tak menyadari perubahan sikap Utomo kepadanya yang kembali hangat dan bersahabat. Anjani memang w
Sudah setahun lebih Kevin mencari tahu keberadaan Juna, keberadaannya sangat sulit dilacak. Konon katanya Utomo membawa Juna ke luar negeri untuk menjalani perawatan. Sampai akhirnya Kevin nekat menemui Utomo yang sulit dijangkaunya itu. Bukan hal mudah baginya untuk bisa menemui seorang konglomerat seperti Utomo. Namun Kevin tak pantang menyerah, dan terus mencari celah dan kesempatan agar dapat bertemu dengannya. Hingga sampai jua kesempatannya itu. Kevin pun memohon-mohon kepadanya agar dapat dipertemukan dengan Juna. “Tolonglah, Tuan. Saya harus bertemu dengan Juna. Ada hal yang sangat penting yang ingin saya sampikan kepadanya.” “Katakan saja padaku, nanti kusampaikan padanya.” Kevin menggeleng dan berlutut. “Saya ingin minta maaf kepadanya secara langsung, Tuan. Saya mohon, ... izinkan saya menemuiya,” pinta Kevin penuh harap. Kevin tahu risiko seperti apa jika dirinya sampai membuat pria itu murka. Kevin sadar telah ikut andil dalam kekacauan hidup Juna. Namun dia siap denga