Terima kasih atas segala support dari pembaca sekalian. VOTE terus novel ini, ya. Mohon maaf atas ketidaknyamanannya terhadap konten cerita yang mungkin membuat pembaca emosi jiwa dalam beberapa part. And whatever, ini hanyalah sebuah cerita, so ... keep enjoy. Selamat membaca :)
Utomo terlihat lesu belakangan ini. Biasanya pria sepuh yang seluruh rambutnya sudah memutih itu aktif melakukan aktivitas fisik rutinnya bersama teman-teman lansia elitnya di padang golf. Namun sejak cucunya mengalami depresi dan harus dirawat di rumah sakit untuk sementara waktu, Utomo jadi kehilangan gairahnya. Dia lebih banyak di rumah, merenung dan merenung. Hal itu rupanya tak luput dari perhatian Daniel Sutomo, teman sesama konglomerat yang tergabung dalam sebuah club golf bersamanya. Utomo terkejut melihat kedatangan Daniel Sutomo ke rumahnya. Daniel memeluk Utomo seraya menepuk-nepuk pundaknya, seakan sedang berbagi energi positif untuk temannya yang sedang dirundung duka. Daniel sudah mendengar desas-desus tentang masalah kesehatan mental yang bertiup kencang di luar sana mengenai kondisi cucu temannya ini. Dan dia turut prihatin dan berempati kepada Utomo. “Cucuku, Vincent Alessio, kau tahu dia kan?” ujar Daniel setelah mereka berbasa-basi panjang. Utomo mengangguk, siapa
Semua orang-orang Sekar sudah dibersihkan dari dalam tubuh Utomo Group dan juga dari dalam organisasi perusahaan Juna, yang tersisa kini tinggallah Anjani. Tetapi Anjani sudah terkurung dalam pengawasan Utomo, setiap gerik-geriknya sudah terbaca jelas oleh tim mata elang keamanan Utomo Group. Utomo pun mencabut perintah pembunuhannya terhadap Anjani. Kini dia mulai mendekati Anjani, memberi perhatian wanita itu layaknya cucu, seperti dulu, seperti saat Anjani pertama kali dibawa oleh Bik Minah ke rumahnya. Utomo berbesar hati memberi ruang bagi Anjani untuk memasuki kehidupannya kembali. Kali ini dengan niat untuk memperbaiki hubungan antar kemanusiaan mereka, dengan hati ikhlas yang lebih tulus, bukan lagi sekadar kasihan dan merasa dirinya lebih superior karena dulu Anjani hanyalah gadis miskin sementara dirinya konglomerat. Bukankah di mata Tuhan semua manusia itu sama? Anjani bukannya tak menyadari perubahan sikap Utomo kepadanya yang kembali hangat dan bersahabat. Anjani memang w
Sudah setahun lebih Kevin mencari tahu keberadaan Juna, keberadaannya sangat sulit dilacak. Konon katanya Utomo membawa Juna ke luar negeri untuk menjalani perawatan. Sampai akhirnya Kevin nekat menemui Utomo yang sulit dijangkaunya itu. Bukan hal mudah baginya untuk bisa menemui seorang konglomerat seperti Utomo. Namun Kevin tak pantang menyerah, dan terus mencari celah dan kesempatan agar dapat bertemu dengannya. Hingga sampai jua kesempatannya itu. Kevin pun memohon-mohon kepadanya agar dapat dipertemukan dengan Juna. “Tolonglah, Tuan. Saya harus bertemu dengan Juna. Ada hal yang sangat penting yang ingin saya sampikan kepadanya.” “Katakan saja padaku, nanti kusampaikan padanya.” Kevin menggeleng dan berlutut. “Saya ingin minta maaf kepadanya secara langsung, Tuan. Saya mohon, ... izinkan saya menemuiya,” pinta Kevin penuh harap. Kevin tahu risiko seperti apa jika dirinya sampai membuat pria itu murka. Kevin sadar telah ikut andil dalam kekacauan hidup Juna. Namun dia siap denga
“Jun!” Anna berlari dan memeluk Juna begitu Juna sampai di bandara Soekarno Hatta. “I miss you, Jun. I miss you so much!” bisik Anna yang semakin mengetatkan pelukannya. Juna tersenyum dan menepuk-nepuk pundak Anna yang masih saja memeluknya. Anna memang sangat merindukan Juna yang sudah dua tahun lebih tak bisa ditemuinya secara langsung. Selama ini mereka rutin berkomunikasi lewat telepon dan video call saja. Anna rajin menghubunginya, menanyakan kondisinya, dan memberi dukungan penuh untuk kesembuhan Juna. Lama-lama Juna tersentuh oleh setiap perhatian yang dicurahkan Anna kepadanya. Pelan-pelan pria itupun mulai membuka hatinya untuk Anna dan mulai move on dari Meilani. Utomo dan orangtua Raya yang turut menyambut kedatangan Juna di bandara hari itu saling melempar senyum. Kedua belah pihak keluarga telah merestui hubungan antara Juna dan Anna ke jenjang yang lebih pribadi dan serius. “Sepertinya mereka sudah siap bertunangan,” kata Nyonya Surati, ibunya Anna. “Betul. Usia mere
Setelah kembali ke Jakarta, Juna langsung aktif bekerja kembali sebagai wakil direktur pengembangan bisnis Utomo Group, di bawah Anjani. Dia tak masalah memulai kariernya dari bawah lagi. Juna tetap bersemangat bekerja dan fokus meraih prestasi dan menjaga kinerja terbaiknya. Dalam beberapa bulan saja, Juna sudah sanggup menunjukkan kembali taringnya. Utomo bangga melihat perkembangan cucunya. Benar kata Daniel Sutomo, Juna menjadi jauh lebih baik setelah masalah kesehatan mentalnya tertangani. Attitude Juna dalam bekerja juga semakin baik, tak lagi suka menyumpah serapah seenaknya. Juna sekarang lebih memanusiakan manusia, lebih tenang dan sabar. Juna terlalu asyik bekerja sampai-sampai Anna kerap cemburu kepadanya. Juna bahkan sering melupakan jadwal kencan mereka. Tetapi Anna selalu memaafkan dan tak bosan-bosannya pro aktif memulai lebih dulu komunikasi mereka. “Sayang, kamu sudah makan belum?” tanya Anna menjelang siang. “Kalau soal makan jangan tanya deh, An. Apa gunanya Jojon
“Maaf, Vi lagi senang-senangnya main bola nggak kenal tempat, eh ..., makanan kalian ada yang kena bolanya Vi ya?” Mei merasa tak enak hati karena teledor mengawasi puteranya yangs edang aktif-aktifnya ini. Harusnya dia menyimpan bolanya Vi agar dia tak memainkannya sembarangan di tempat umum seperti ini. Juna berkedip-kedip menatap Mei dan Vi secara bergantian. Pria itu belum sepenuhnya menguasai diri dari keterkejutan atas pertemuan tak terduganya dengan Meilani. Anjani bersedekap dan tersenyum sinis kepada Mei. “Your kid tadi mainan bola terus kena bakul nasi punya kita, terus lihat tuh ... ada beberapa makanan yang tumpah, you kudu gantiin semua ini dengan yang baru,” cecarnya. Juna yang mendengarnya memutar bola mata, “Oh. Come on, Jan ...?” desisnya pelan sambil mendelik kepada Anjani, tak mengira sifat julidnya Mak Lampir ini keluar lagi di saat-saat seperti ini. “Oh-ooh, oke.” Mei mengangguk dan memanggil pramusaji dan meminta mereka untuk menghidangkan menu yang sama seper
Vi bersemangat sekali bermain malam itu di timezone dengan Juna, padahal biasanya kalau sudah jam 8 malam anak itu rewel mengantuk ingin tidur. Tetapi kali ini baterainya Vi seperti tak ada lowbat-lowbatnya. Anak itu masih saja aktif ingin mencoba semua mainan yang ada, dan Juna begitu telaten menemaninya. Bahkan pria itu tampak menikmati kebersamaannya dengan Vi. Hingga jam 9 malam lebih, Mei terpaksa menegur dan mengajak Vi pulang. “No ..., please ... Mami ... again!” Vi jadi menangis karena Mei menghentikan kesenangannya. Anak itupun tantrum, berguling di lantai. “Ih, lantainya kotor loh,” kata Mei dengan membuat-buat ekspresi jijik di wajahnya yang cantik, “mendingan guling-gulingan di kasurnya Vi sendiri, kan bersih nggak ada kuman. Kalau lantai ini kan sudah diinjak-injak orang banyak. Lihat tuh, semua yang datang di sini pakai sandal dan sepatu. Nah, bangun yuk, ... sini gendong Mami aja?” bujuk Mei dengan nada sabar. Juna tertegun mengamati Mei, dia suka sekali mendengar sua
Mereka sampai di rumah Mei sekitar jam 11 malam. Setelah memarkir mobil di carport, Juna menggendong Vi yang tertidur pulas. Sedangkan Mei cepat-cepat membuka kunci rumahnya. “Di mana kamar Vi?” Mei buru-buru melangkah menuju kamarnya, dia dan Vi memang tidur bersama, Mei enggan berpisah kamar dengan anaknya karena dia tinggal sendirian di rumah 2 lantai yang terletak di hook ini. Juna meletakkan Vi di sebuah kasur king size. “Vi tidur sama elu, Mei?” tanyanya sambil mengedarkan pandang ke ruang kamar yang jauh lebih sempit dibanding kamar mereka dulu. Bahkan kamar mandi mereka dulu saja masih lebih luas dari ukuran kamar ini. Kamar Mei bersih dan didominasi warna putih. Meski punya balita tetapi kamar ini tetap tertata rapi. Terdapat beberapa box container besar di sudut kamar, sepertinya tempat mainan-mainan Vi. Juna menghirup udara sebanyk-banyaknya, dia suka sekali wangi ini. Perpaduan wangi bayi dengan parfum Mei. Aroma Mei, ah ... Juna masih mengenalinya dengan sangat baik.