Terima kasih atas semua support dan VOTE untuk novel ini. Selamat membaca :) Keep sabar ya, sabar aja pokoknya. Hiks.
Setelah kembali ke Jakarta, Juna langsung aktif bekerja kembali sebagai wakil direktur pengembangan bisnis Utomo Group, di bawah Anjani. Dia tak masalah memulai kariernya dari bawah lagi. Juna tetap bersemangat bekerja dan fokus meraih prestasi dan menjaga kinerja terbaiknya. Dalam beberapa bulan saja, Juna sudah sanggup menunjukkan kembali taringnya. Utomo bangga melihat perkembangan cucunya. Benar kata Daniel Sutomo, Juna menjadi jauh lebih baik setelah masalah kesehatan mentalnya tertangani. Attitude Juna dalam bekerja juga semakin baik, tak lagi suka menyumpah serapah seenaknya. Juna sekarang lebih memanusiakan manusia, lebih tenang dan sabar. Juna terlalu asyik bekerja sampai-sampai Anna kerap cemburu kepadanya. Juna bahkan sering melupakan jadwal kencan mereka. Tetapi Anna selalu memaafkan dan tak bosan-bosannya pro aktif memulai lebih dulu komunikasi mereka. “Sayang, kamu sudah makan belum?” tanya Anna menjelang siang. “Kalau soal makan jangan tanya deh, An. Apa gunanya Jojon
“Maaf, Vi lagi senang-senangnya main bola nggak kenal tempat, eh ..., makanan kalian ada yang kena bolanya Vi ya?” Mei merasa tak enak hati karena teledor mengawasi puteranya yangs edang aktif-aktifnya ini. Harusnya dia menyimpan bolanya Vi agar dia tak memainkannya sembarangan di tempat umum seperti ini. Juna berkedip-kedip menatap Mei dan Vi secara bergantian. Pria itu belum sepenuhnya menguasai diri dari keterkejutan atas pertemuan tak terduganya dengan Meilani. Anjani bersedekap dan tersenyum sinis kepada Mei. “Your kid tadi mainan bola terus kena bakul nasi punya kita, terus lihat tuh ... ada beberapa makanan yang tumpah, you kudu gantiin semua ini dengan yang baru,” cecarnya. Juna yang mendengarnya memutar bola mata, “Oh. Come on, Jan ...?” desisnya pelan sambil mendelik kepada Anjani, tak mengira sifat julidnya Mak Lampir ini keluar lagi di saat-saat seperti ini. “Oh-ooh, oke.” Mei mengangguk dan memanggil pramusaji dan meminta mereka untuk menghidangkan menu yang sama seper
Vi bersemangat sekali bermain malam itu di timezone dengan Juna, padahal biasanya kalau sudah jam 8 malam anak itu rewel mengantuk ingin tidur. Tetapi kali ini baterainya Vi seperti tak ada lowbat-lowbatnya. Anak itu masih saja aktif ingin mencoba semua mainan yang ada, dan Juna begitu telaten menemaninya. Bahkan pria itu tampak menikmati kebersamaannya dengan Vi. Hingga jam 9 malam lebih, Mei terpaksa menegur dan mengajak Vi pulang. “No ..., please ... Mami ... again!” Vi jadi menangis karena Mei menghentikan kesenangannya. Anak itupun tantrum, berguling di lantai. “Ih, lantainya kotor loh,” kata Mei dengan membuat-buat ekspresi jijik di wajahnya yang cantik, “mendingan guling-gulingan di kasurnya Vi sendiri, kan bersih nggak ada kuman. Kalau lantai ini kan sudah diinjak-injak orang banyak. Lihat tuh, semua yang datang di sini pakai sandal dan sepatu. Nah, bangun yuk, ... sini gendong Mami aja?” bujuk Mei dengan nada sabar. Juna tertegun mengamati Mei, dia suka sekali mendengar sua
Mereka sampai di rumah Mei sekitar jam 11 malam. Setelah memarkir mobil di carport, Juna menggendong Vi yang tertidur pulas. Sedangkan Mei cepat-cepat membuka kunci rumahnya. “Di mana kamar Vi?” Mei buru-buru melangkah menuju kamarnya, dia dan Vi memang tidur bersama, Mei enggan berpisah kamar dengan anaknya karena dia tinggal sendirian di rumah 2 lantai yang terletak di hook ini. Juna meletakkan Vi di sebuah kasur king size. “Vi tidur sama elu, Mei?” tanyanya sambil mengedarkan pandang ke ruang kamar yang jauh lebih sempit dibanding kamar mereka dulu. Bahkan kamar mandi mereka dulu saja masih lebih luas dari ukuran kamar ini. Kamar Mei bersih dan didominasi warna putih. Meski punya balita tetapi kamar ini tetap tertata rapi. Terdapat beberapa box container besar di sudut kamar, sepertinya tempat mainan-mainan Vi. Juna menghirup udara sebanyk-banyaknya, dia suka sekali wangi ini. Perpaduan wangi bayi dengan parfum Mei. Aroma Mei, ah ... Juna masih mengenalinya dengan sangat baik.
Setelah makan bersama, Juna membantu Mei mencuci piring, sedangkan Mei membereskan meja dan merapikan kembali perabotan dapur ke tempatnya. Mereka bekerja sama membereskan dapur sampai kembali bersih dan rapi sambil bersenda gurau. Hingga tak terasa jam sudah menunjukkan pukul 3 pagi. Ternyata sudah 4 jam Juna berada di rumah Mei. Keasyikan sampai lupa waktu. “Wah, gue lupa minta jemput sopir.” “Lu bawa aja mobil gue, habis itu suruh sopir elu balikin ke sini,” sahut Mei memberi solusi. Juna nyengir. “Kirain lu bakal nyuruh gue sekalian nginep aja, Mei? Kan tanggung udah jam segini? Eh, nggak boleh gitu ya?” selorohnya sambil ngarep. “Gila lu, ntar dikirain gue ngumpetin laki orang!” “Eh, sembarangan ... laki orang gimana? Gue kan masih single!” “Single tapi udah disegel sama Anna!” cebik Mei. Juna ingin protes, tapi ... protes bagaimana? Kenyataannya kan memang begitu? Status Juna sudah resmi jadi pacar Anna, bahkan rencana pertunangan sudah mulai diatur. Meski Juna belum mela
Juna banyak tersenyum hari ini, sejak pagi hari meninggalkan rumah. Sejak selesai melakukan video call dengan Meilani dan Vi tadi pagi. Ah. Ada yang terasa mekar di dalam dadanya, perasaan gembira yang meluap-luap. Mungkin inilah yang disebut-sebut orang sebagai hati yang berbunga-bunga, membuat senyum yang merekah di bibir Juna tampak indah karena senyum itu keluar dari dorongan hatinya yang murni. “Selamat pagi ...?” Juna menyapa semua pegawainya lebih dulu, mulai dari sopir, satpam, cleaning service, resepsionis, OB, sekretaris, staf, superisor, manager, sampai sesama direktur, vice president, presiden direktur, Pokoknya semua orang yang ditemuinya. Membuat semua orang terkesan padanya. Tampan, tajir, cerdas, berprestasi, rendah hati pula. “Ssttt ... arah jam 8, duren siap-siap lewat,” bisik para pegawai wanita yang semakin banyak mengagumi Juna. Mereka kemudian mengangguk, tersenyum, dan histeris dalam hati karena Juna membalas senyum sambil menatap mata mereka secara langsung,
Dear readers tersayang,Mohon izin, lagi-lagi ... besok Sabtu dan Minggu author akan ada kegiatan yang tidak memungkinkan untuk mengakses ponsel dan laptop.Beberapa weekend ini kebetulan author ada jadwal yang padat merayap. Author upayakan jika sempat mengakses laptop, author akan up date lanjutan babnya sewaktu-waktu. Karena author juga sebenarnya gatal tangannya ingin lekas menamatkan novel ini hehehe. Sudah ada plotnya kok :)Mudah-mudahan November ini sudah tuntas ya. Sambil menunggu novel ini up date, reader bisa baca novel author yang satunya loh, judulnya Pasutri Jadi-jadian. Biar kenalan sama Opa Daniel, Nuning, dan Vincent.Terima kasih banyak ya atas seluruh supportnya untuk novel ini. Sehat-sehat semuanya ....Warm Regards,Author Novel 'Menikahi Mantan Pacar Teman'
Juna tidak bisa menikmati makan siangnya dengan nikmat. Sejak tadi matanya mencuri-curi tatap ke sebuah meja yang terletak di sudut sana, di mana Mei sedang asyik mengobrol dan tertawa bersama Vincent. Lelaki itu bahkan tak lagi ikut tertawa saat Anna tertawa. Lagipula nggak lucu juga, garing. Capek juga ternyata Juna harus pura-pura menyimak dan menikmati cerita Anna terus sejak tadi, padahal Juna sedang menahan tekanan batin! “Sayang, something wrong?” tegur Anna menyadari perubahan sikap Juna yan tak lagi menaruh perhatian kepadanya. Juna menghela napas panjang. Kemudian meletakkan garpunya. “Aku ke restroom dulu.” Sesampainya di dalam restroom, Juna mengeluarkan ponselnya dan menelepon Mei. “Halo?” Juna mengulum senyum karena ternyata Mei mau mengangkat teleponnya. “Lagi ngapain, Maemunah?” goda Juna iseng banget. Dia memang sengaja ingin mengganggu obrolan Mei dengan Vincent. “Mau ngapain?” desak Mei terdengar tak sabar. “Ngobrol.” Juna santai saja menjawab. “Gue lagi sib