Terima kasih atas semua supportnya. VOTE terus novel ini ya. Keep enjoy :)
Juna banyak tersenyum hari ini, sejak pagi hari meninggalkan rumah. Sejak selesai melakukan video call dengan Meilani dan Vi tadi pagi. Ah. Ada yang terasa mekar di dalam dadanya, perasaan gembira yang meluap-luap. Mungkin inilah yang disebut-sebut orang sebagai hati yang berbunga-bunga, membuat senyum yang merekah di bibir Juna tampak indah karena senyum itu keluar dari dorongan hatinya yang murni. “Selamat pagi ...?” Juna menyapa semua pegawainya lebih dulu, mulai dari sopir, satpam, cleaning service, resepsionis, OB, sekretaris, staf, superisor, manager, sampai sesama direktur, vice president, presiden direktur, Pokoknya semua orang yang ditemuinya. Membuat semua orang terkesan padanya. Tampan, tajir, cerdas, berprestasi, rendah hati pula. “Ssttt ... arah jam 8, duren siap-siap lewat,” bisik para pegawai wanita yang semakin banyak mengagumi Juna. Mereka kemudian mengangguk, tersenyum, dan histeris dalam hati karena Juna membalas senyum sambil menatap mata mereka secara langsung,
Dear readers tersayang,Mohon izin, lagi-lagi ... besok Sabtu dan Minggu author akan ada kegiatan yang tidak memungkinkan untuk mengakses ponsel dan laptop.Beberapa weekend ini kebetulan author ada jadwal yang padat merayap. Author upayakan jika sempat mengakses laptop, author akan up date lanjutan babnya sewaktu-waktu. Karena author juga sebenarnya gatal tangannya ingin lekas menamatkan novel ini hehehe. Sudah ada plotnya kok :)Mudah-mudahan November ini sudah tuntas ya. Sambil menunggu novel ini up date, reader bisa baca novel author yang satunya loh, judulnya Pasutri Jadi-jadian. Biar kenalan sama Opa Daniel, Nuning, dan Vincent.Terima kasih banyak ya atas seluruh supportnya untuk novel ini. Sehat-sehat semuanya ....Warm Regards,Author Novel 'Menikahi Mantan Pacar Teman'
Juna tidak bisa menikmati makan siangnya dengan nikmat. Sejak tadi matanya mencuri-curi tatap ke sebuah meja yang terletak di sudut sana, di mana Mei sedang asyik mengobrol dan tertawa bersama Vincent. Lelaki itu bahkan tak lagi ikut tertawa saat Anna tertawa. Lagipula nggak lucu juga, garing. Capek juga ternyata Juna harus pura-pura menyimak dan menikmati cerita Anna terus sejak tadi, padahal Juna sedang menahan tekanan batin! “Sayang, something wrong?” tegur Anna menyadari perubahan sikap Juna yan tak lagi menaruh perhatian kepadanya. Juna menghela napas panjang. Kemudian meletakkan garpunya. “Aku ke restroom dulu.” Sesampainya di dalam restroom, Juna mengeluarkan ponselnya dan menelepon Mei. “Halo?” Juna mengulum senyum karena ternyata Mei mau mengangkat teleponnya. “Lagi ngapain, Maemunah?” goda Juna iseng banget. Dia memang sengaja ingin mengganggu obrolan Mei dengan Vincent. “Mau ngapain?” desak Mei terdengar tak sabar. “Ngobrol.” Juna santai saja menjawab. “Gue lagi sib
“Sayang! Kamu tuh kenapa sih? Kok diam aja gitu? Aku ada salah omong ya? Bilang dong?” rengek Anna yang memprotes kediaman Juna saat mereka sudah berada di dalam mobil dan kembali menuju kantor Juna. “Lagi kepikiran kerjaan yang masih belum beres.” “Oh ...,” Anna tersenyum, “aku yakin kamu pasti bisa beresin, Yang. Apa sih kerjaan yang nggak bisa kamu beresin? Juna gitu loh,” ujar wanita itu menyemangati kekasihnya. Anna memercayai Juna yang memang kompeten di bidangnya. Kalau Juna tidak sekompeten itu, mana mungkin dia menduduki jabatan yang strategis di perusahaan sebesar Utomo Group? Meski perusahaan itu milik kakeknya sendiri, tapi kalau Juna tak memiliki kemampuan mana mungkin para petinggi Utomo Group mempercayakan posisi setinggi itu keapda Juna? Hal itulah yang membuat Anna sangat bangga kepada Juna, banga menjadi kekasihnya. Bangga karena sebentar lagi akan menjadi istri Juna. Tetapi kemudian kecemasan mulai menyergap Anna. “Sayang, kita harus segera menetapkan tanggal pe
'Anjrit ...! Ngapain ini laki ada di sini sih?! Sok akrab lagi sama Vi!’ gerutu Juna dalam hatinya. Juna menghela napas dalam-dalam sambil melangkah mendekat dan berjabatan tangan dengan Vincent. Mereka berbasa-basi sejenak karena sudah pernah berkenalan di sebuah acara gala dinner sebagai sesama eksekutif. “Makan yuk, sekalian?” ‘Etdahh, malah nawarin gue makan, emangnya situ tuan rumah di sini?’ Juna dongkol dalam hati. “Saya memang mau makan, makanya ke sini.” Juna menyahut santai sambil melangkah menuju wastafel untuk mencuci tangan. Ingin menunjukkan kalau dia juga sudah terbiasa dengan ruangan ini. Juna menarik kursi dan duduk di depan Vincent. Lalu bersiul melihat sajian lauk-pauk di meja makan Mei. ‘Anjriit, ini dia yang gue cari-cari!’ “Makan, Mas Vin?” Juna menyendok nasi dan mengambil lauk pauk yang dia suka dan menyantapnya penuh selera. Meilani memandangi Juna sambil geleng-geleng kepala. “Dasar kelakuan ...,” gumamnya. “Mei, yuk sekalian makan?” panggil Juna sambi
Juna mulai blingsatan karena Mei sekarang semakin jarang mau mengangkat teleponnya. Video callnya juga sering ditolak. Padahal Juna kangen sama Vi, bukan hanya Mei. Astaga, ... padahal Vi bukanlah anak kandungnya, tetapi kenapa Juna merasa seperti itu? Juna sering kepikiran Vi. Juna bahkan pernah bela-belain menyusul Vi yang sedang liburan sama Mei ke Bandung pakai helikopter. Setelah ketemu Vi dan main sebentar dengannya, juga puas menciumi pipinya, Juna langsung balik lagi ke Jakarta. Edan kan? Aah! Juna sekarang kangen mengajak Vi main basket di timezone. “Itu tandanya Bos kudu lekas kawin dan punya anak. Jiwa bapak-able Bos sudah meronta-ronta itu, Bos.” Jonathan menyahut saat Juna curhat kepadanya. “Lu kata gampang main kawin-kawin aja?” “Gampanglah, apalagi bos udah pengalaman, jam terbang kawinnya Bos kan udah tinggi dulu sama Mbak Mei. Tinggal digas aja ntar sama Mbak Anna, sampai lahir bayi oek-oek.” “Ebuset lu, Jon, enak banget kalau ngomong.” “Lah kan emang enak, Bos?
Setelah selesai mengobrol dengan Vi, Juna melihat lagi wajah Mei. Wanita itu tersenyum kepadanya, “Sudah puas ngobrol sama Vi? Jangan ntar bentar-bentar telepon dan video call lagi, gue lagi ribet ini, tahu ...?” omelnya sambil terkekeh. Tapi kemudian senyum yang mengembang di bibir Mei menyurut secara perlahan ketika menyadari tatapan Juna yang teramat dalam kepadanya, Juna seperti ingin mengatakan banyak hal, tetapi pria itu tetap mengatupkan bibirnya. Terdiam lama mengamati Mei dengan sorot mata yang sulit ditebak. “Wanna say something, Jun?” Mei jadi penasaran. Pria itu tersenyum kecut. “Mei, do you love him?” “Him?” “Vincent. Do you love him?” Mei melirik Vincent yang kini sedang memangku Vi sambil menemani bocah itu main kereta api Thomas. Mei kemudian melangkah ke dapur, menjauh dari Vincent sambil berharap semoga Vincent tak mendengar ucapan Juna tadi. “Lu kepo amat sih, Jun? Bukan urusan lu, bawel ...,” oceh Mei sambil menjaga volume suaranya. Juna terkekeh pelan, tatap
Juna sedang rebahan di ranjang apartemennya. Dia belum bisa tidur padahal dia sangat ingin tidur. Juna melirik jam digital di atas nakas, jam 1 pagi. Juna pun memejamkan mata, berusaha tidur. Tapi kaget saat terdengar suara bel pintu berbunyi. Juna bangkit dengan malas-malasan dan mengecek layar monitor pintu. Juna terkejut melihat seraut wajah di sana. Dia pun buru-buru membukanya. “Anna? Ngapain kamu ke sini malam-malam begini?” Anna menangis dan memeluk Juna. “Ssh... tenanglah, ayo masuk dulu.” Juna menutup dan mengunci pintu. Kemudian menggandeng Anna yang masih menangis. Juna membimbing Anna duduk di sofa. “Mau kubuatin teh?” tanyanya sambil merangkul Anna dan mengecup puncak kepalanya yang wangi untuk menenangkan tangis wanita itu. Anna menggeleng, lalu mengetatkan pelukannya kepada Juna. “What happened, An?” “Aku bertengkar sama Mama.” Lalu Anna bilang kalau Nyonya Surati marah karena Juna tak lekas memberi jawaban kapan mereka akan menikah. Lalu mamanya itu mengatakan