Dear readers tersayang,
Mohon izin, lagi-lagi ... besok Sabtu dan Minggu author akan ada kegiatan yang tidak memungkinkan untuk mengakses ponsel dan laptop.Beberapa weekend ini kebetulan author ada jadwal yang padat merayap.Author upayakan jika sempat mengakses laptop, author akan up date lanjutan babnya sewaktu-waktu. Karena author juga sebenarnya gatal tangannya ingin lekas menamatkan novel ini hehehe. Sudah ada plotnya kok :)Mudah-mudahan November ini sudah tuntas ya.Sambil menunggu novel ini up date, reader bisa baca novel author yang satunya loh, judulnya Pasutri Jadi-jadian. Biar kenalan sama Opa Daniel, Nuning, dan Vincent.Terima kasih banyak ya atas seluruh supportnya untuk novel ini.Sehat-sehat semuanya ....Warm Regards,Author Novel 'Menikahi Mantan Pacar Teman'Juna tidak bisa menikmati makan siangnya dengan nikmat. Sejak tadi matanya mencuri-curi tatap ke sebuah meja yang terletak di sudut sana, di mana Mei sedang asyik mengobrol dan tertawa bersama Vincent. Lelaki itu bahkan tak lagi ikut tertawa saat Anna tertawa. Lagipula nggak lucu juga, garing. Capek juga ternyata Juna harus pura-pura menyimak dan menikmati cerita Anna terus sejak tadi, padahal Juna sedang menahan tekanan batin! “Sayang, something wrong?” tegur Anna menyadari perubahan sikap Juna yan tak lagi menaruh perhatian kepadanya. Juna menghela napas panjang. Kemudian meletakkan garpunya. “Aku ke restroom dulu.” Sesampainya di dalam restroom, Juna mengeluarkan ponselnya dan menelepon Mei. “Halo?” Juna mengulum senyum karena ternyata Mei mau mengangkat teleponnya. “Lagi ngapain, Maemunah?” goda Juna iseng banget. Dia memang sengaja ingin mengganggu obrolan Mei dengan Vincent. “Mau ngapain?” desak Mei terdengar tak sabar. “Ngobrol.” Juna santai saja menjawab. “Gue lagi sib
“Sayang! Kamu tuh kenapa sih? Kok diam aja gitu? Aku ada salah omong ya? Bilang dong?” rengek Anna yang memprotes kediaman Juna saat mereka sudah berada di dalam mobil dan kembali menuju kantor Juna. “Lagi kepikiran kerjaan yang masih belum beres.” “Oh ...,” Anna tersenyum, “aku yakin kamu pasti bisa beresin, Yang. Apa sih kerjaan yang nggak bisa kamu beresin? Juna gitu loh,” ujar wanita itu menyemangati kekasihnya. Anna memercayai Juna yang memang kompeten di bidangnya. Kalau Juna tidak sekompeten itu, mana mungkin dia menduduki jabatan yang strategis di perusahaan sebesar Utomo Group? Meski perusahaan itu milik kakeknya sendiri, tapi kalau Juna tak memiliki kemampuan mana mungkin para petinggi Utomo Group mempercayakan posisi setinggi itu keapda Juna? Hal itulah yang membuat Anna sangat bangga kepada Juna, banga menjadi kekasihnya. Bangga karena sebentar lagi akan menjadi istri Juna. Tetapi kemudian kecemasan mulai menyergap Anna. “Sayang, kita harus segera menetapkan tanggal pe
'Anjrit ...! Ngapain ini laki ada di sini sih?! Sok akrab lagi sama Vi!’ gerutu Juna dalam hatinya. Juna menghela napas dalam-dalam sambil melangkah mendekat dan berjabatan tangan dengan Vincent. Mereka berbasa-basi sejenak karena sudah pernah berkenalan di sebuah acara gala dinner sebagai sesama eksekutif. “Makan yuk, sekalian?” ‘Etdahh, malah nawarin gue makan, emangnya situ tuan rumah di sini?’ Juna dongkol dalam hati. “Saya memang mau makan, makanya ke sini.” Juna menyahut santai sambil melangkah menuju wastafel untuk mencuci tangan. Ingin menunjukkan kalau dia juga sudah terbiasa dengan ruangan ini. Juna menarik kursi dan duduk di depan Vincent. Lalu bersiul melihat sajian lauk-pauk di meja makan Mei. ‘Anjriit, ini dia yang gue cari-cari!’ “Makan, Mas Vin?” Juna menyendok nasi dan mengambil lauk pauk yang dia suka dan menyantapnya penuh selera. Meilani memandangi Juna sambil geleng-geleng kepala. “Dasar kelakuan ...,” gumamnya. “Mei, yuk sekalian makan?” panggil Juna sambi
Juna mulai blingsatan karena Mei sekarang semakin jarang mau mengangkat teleponnya. Video callnya juga sering ditolak. Padahal Juna kangen sama Vi, bukan hanya Mei. Astaga, ... padahal Vi bukanlah anak kandungnya, tetapi kenapa Juna merasa seperti itu? Juna sering kepikiran Vi. Juna bahkan pernah bela-belain menyusul Vi yang sedang liburan sama Mei ke Bandung pakai helikopter. Setelah ketemu Vi dan main sebentar dengannya, juga puas menciumi pipinya, Juna langsung balik lagi ke Jakarta. Edan kan? Aah! Juna sekarang kangen mengajak Vi main basket di timezone. “Itu tandanya Bos kudu lekas kawin dan punya anak. Jiwa bapak-able Bos sudah meronta-ronta itu, Bos.” Jonathan menyahut saat Juna curhat kepadanya. “Lu kata gampang main kawin-kawin aja?” “Gampanglah, apalagi bos udah pengalaman, jam terbang kawinnya Bos kan udah tinggi dulu sama Mbak Mei. Tinggal digas aja ntar sama Mbak Anna, sampai lahir bayi oek-oek.” “Ebuset lu, Jon, enak banget kalau ngomong.” “Lah kan emang enak, Bos?
Setelah selesai mengobrol dengan Vi, Juna melihat lagi wajah Mei. Wanita itu tersenyum kepadanya, “Sudah puas ngobrol sama Vi? Jangan ntar bentar-bentar telepon dan video call lagi, gue lagi ribet ini, tahu ...?” omelnya sambil terkekeh. Tapi kemudian senyum yang mengembang di bibir Mei menyurut secara perlahan ketika menyadari tatapan Juna yang teramat dalam kepadanya, Juna seperti ingin mengatakan banyak hal, tetapi pria itu tetap mengatupkan bibirnya. Terdiam lama mengamati Mei dengan sorot mata yang sulit ditebak. “Wanna say something, Jun?” Mei jadi penasaran. Pria itu tersenyum kecut. “Mei, do you love him?” “Him?” “Vincent. Do you love him?” Mei melirik Vincent yang kini sedang memangku Vi sambil menemani bocah itu main kereta api Thomas. Mei kemudian melangkah ke dapur, menjauh dari Vincent sambil berharap semoga Vincent tak mendengar ucapan Juna tadi. “Lu kepo amat sih, Jun? Bukan urusan lu, bawel ...,” oceh Mei sambil menjaga volume suaranya. Juna terkekeh pelan, tatap
Juna sedang rebahan di ranjang apartemennya. Dia belum bisa tidur padahal dia sangat ingin tidur. Juna melirik jam digital di atas nakas, jam 1 pagi. Juna pun memejamkan mata, berusaha tidur. Tapi kaget saat terdengar suara bel pintu berbunyi. Juna bangkit dengan malas-malasan dan mengecek layar monitor pintu. Juna terkejut melihat seraut wajah di sana. Dia pun buru-buru membukanya. “Anna? Ngapain kamu ke sini malam-malam begini?” Anna menangis dan memeluk Juna. “Ssh... tenanglah, ayo masuk dulu.” Juna menutup dan mengunci pintu. Kemudian menggandeng Anna yang masih menangis. Juna membimbing Anna duduk di sofa. “Mau kubuatin teh?” tanyanya sambil merangkul Anna dan mengecup puncak kepalanya yang wangi untuk menenangkan tangis wanita itu. Anna menggeleng, lalu mengetatkan pelukannya kepada Juna. “What happened, An?” “Aku bertengkar sama Mama.” Lalu Anna bilang kalau Nyonya Surati marah karena Juna tak lekas memberi jawaban kapan mereka akan menikah. Lalu mamanya itu mengatakan
“Mbak Mei, saya kangen banget sama Vi. Saya ajak jalan-jalan ya?” kata Maryam yang baru pulang dari Surabaya. Maryam sekarang menjadi Direktur Support yang berfungsi mendirect tugas-tugas divisi SDM, produksi, logistik, dan pengendalian kualitas produk. Maryam jadi sering bertugas keluar kota untuk mengecek cabang-cabang restoran ViP Kitchen yang tersebar di pulau Jawa dan Bali. Mei mengizinkan Maryam mengajak Vi, sehingga dia jadi punya waktu luang bertemu dengan Vincent dan menemani kekasihnya itu makan siang di sebuah restoran berdua saja. “Mei, aku ingin ngenalin kamu dan Vi ke Opa Daniel. Kamu siap?” tanya Vincent di sela-sela aktivitas makan siang mereka. “Aku jadi deg-degan, Mas.” Vincent tertawa. “Tenang, Sayang ..., Opa Daniel itu baik banget dan rendah hati. Dia welcome pada siapa saja. Apalagi kamu kekasihku, beliau pasti senang kenalan denganmu,” katanya sambil dengan sorot meyakinkan. Mei sering membaca tentang Daniel Sutomo di majalah-majalah bisnis. Namanya kerap ma
Maryam membawa Vi bersamanya hari ini karena Maryam sangat kangen ingin bermain dengan bocah menggemaskan itu. Maryam mengajak ke mall karena dia sudah membuat rencana ingin bermain-main dengan Vi sepuasnya hari ini. Tapi insiden es krim tadi membuat rencana Maryam gagal total. Siapa sangka dia bakal bertemu Juna dengan kondisi Vi sedang menangis seperti tadi? Membuat Juna menyabotase dan menguasai Vi. Pria itu mengambil alih Vi dari tangan Maryam. Dan Maryam tidak bisa berbuat apa-apa karena Mei pernah berpesan, “Kalau Juna ingin mengajak Vi bermain biarkan saja, Mar. Bagaimanapun Juna itu ayah kandung Vi. Dia berhak dekat dengan Vi. Dan hak Vi menerima perhatian dan kasih sayang dari ayah kandungnya sendiri.” Maryam bersedekap memandangi ayah dan anak itu asyik bermain di timezone. Tawa Juna dan Vi saling bersahutan. Vi bertepuk tangan seraya memekik heboh melihat Juna terus-terusan berhasil memasukkan bola basket ke dalam keranjang. Bocah itu terbelalak bangga kepada Juna, mengangg
Mei meletakkan Cinta di box tidurnya secara perlahan setelah selesai mengganti diapers untuk bayi cantiknya yang menggemaskan itu, kini anak keduanya itu sudah berusia 3 bulan. Juna menepuk-nepuk lembut pipi puterinya. “Selamat bobok, cintanya mami dan papi,” bisiknya dengan hati berbunga-bunga. Setelah memastikan Cinta tidur nyaman, Juna menoleh kepada Mei yang sedang memerah ASI. Air susu Mei melimpah ruah, sampai-sampai Mei membeli kulkas baru khusus untuk menyimpan stok ASI bagi sang buah hati. Mei bertekad akan memberi Cinta ASI eksklusif selama 6 bulan, sama seperti Vi dulu. “Masih lama, Mi?” Juna manyun memerhatikan Mei sibuk dengan alat perahnya. “Bantuin sini, malah bengong! Biar cepat beres ini,” omel Mei. Juna pun nyengir dan membantu Mei menuliskan tanggal hari ini di setiap label botol ASI itu, kemudian memasukkannya ke dalam kulkas yang ada di dalam kamar mereka. Sementara Mei membereskan alat-alat pemerah ASI, mencuci, mengelap, dan menyimpan kembali dengan rapi. “S
“Mami, bangun! Ini sudah jam berapa?” Juna menarik selimut Mei, menepuk-nepuk istrinya yang malah lebih erat lagi memeluk guling. Juna geleng-geleng kepala. Sepertinya Mei bangun kesiangan lagi, padahal biasanya Mei itu morning person. Istrinya itu sigap melayani apa saja kebutuhannya dan juga Vi. Rajin mempersiapkan keberangkatan Juna ke kantor, dan juga mempersiapkan sendiri box makanan untuk Vi. Tapi sudah seminggu ini, makanan untuk Vi diurus pegawainya. Demikian pula persiapan sarapan untuk mereka. Juna rindu sarapannya dipersiapkan sendiri oleh sang istri tercinta. “Banguun, ... Maemunah.” Juna menarik guling Mei, tapi kemudian Mei mengalungkan lengannya di leher Juna. Membuat Juna terkekeh dan menciumi wajah istrinya. “Jun, ngantuk banget gue loh. Masih kepingin bobok.” Juna pun mengecupi pipi istrinya yang masih memejamkan mata. Mei kelihatan sangat mengantuk memang. Juna jadi tak tega menyuruhnya bangun dan menyelimutinya lagi. Juna mandi pagi dan berganti pakaian, memasa
Mei tersenyum puas usai melakukan rapat final dengan manager pengelola gedung Utomo Group. Mei menyabet tempat di lantai dasar gedung Utomo Group yang sebelumnya disewa oleh sebuah restoran franchise asing. Mei ingin menancapkan taring bisnisnya di gedung utama milik kakek suaminya sendiri.Juna pikir istrinya kian menggilai bisnis dan ingin semakin banyak mereguk laba berlipat-lipat. Namun Juna dibuat terkejut saat Mei memaparkan sesuatu kepadanya, bahwa Mei akan memberikan diskon khusus bagi para pegawai Utomo Group yang makan di restoran itu dalam jangka waktu selama mereka berstatus pegawai Utomo Group, yaitu diskon 90% bagi kalangan pegawai kelas bawah semisal security, OB, cleaning service, dan diskon 60% bagi kalangan staf biasa.“Biar apa gitu, Mei?”“Biar mereka merasa dihargai, dan mereka bisa pakai diskonannya buat kepentingan mereka yang lain, atau buat ditabung. Soalnya, Jun, ... gue pernah jadi pegawai rendahan kayak mereka, budget makan siang itu mehong dan berasa bange
“Mei, serius ... elu nggak kepengen ngadain resepsi buat pernikahan kita ini?” Juna diam-diam ingin mewujudkan pesta pernikahan impian yang ingin digelarnya secara mewah. Sebagai wujud kegembiraannya memenangkan hati Mei kembali.“Ogah. Kan udah gue bilang ogah. Berisik amat sig elu masih nanyain melulu, Jun?”Juna manyun. “Emang kenapa sih, Mei?” rengeknya sambil memeluk Mei dari belakang, sementara Mei sedang sibuk meracik bumbu untuk makan malam mereka nanti.“Buat apa elu buang-buang duit cuma buat menjamu para sosialita yang fake itu, heh? Gue ingat banget ya, pas gue lagi melarat gimana sikap mereka ke gue. Gue tuh kayak sampah tahu nggak di mata mereka. Anna dan teman-temannya itu! Papasan sama gue di mall kagak ada yang mau noleh barang seorang, padahal gue udah sapa duluan baek-baek,” oceh Mei sambil menggeprek lengkuas sekuat-kuatnya sampai penyet, seakan lengkuas itu adalah perwujudan Anna dan teman-temannya.Jantung Juna nyaris mencelat kaget mendengarnya. ‘Dih, serem juga
Mei dan Juna menginap di sebuah presidential suite. Di sinilah mereka pernah melewati malam pertama pada pernikahan mereka yang terdahulu. Pada malam rujuknya mereka kali ini, Mei dan Juna kembali memilih ruangan yang sama, ruangan yang menyimpan sejuta kenangan tentang mereka. Ruangan ini menjadi saksi bisu, bahwa ada rasa membara yang mengikat Mei dan Juna, sejak dulu sampai sekarang, tak pernah padam. Jika keduanya dulu merasa canggung saat memasuki ruangan ini dalam balutan gaun pengantin, sekarang tidak lagi. Begitu Juna menutup pintu hotel, dia langsung mengangkat tubuh istrinya itu ke ranjang, melucuti pakaian Mei dengan tak sabar. Sudah halal, bukan? Tangan Juna bergerak cepat menyingkirkan segala macam penghalang, dan matanya berbinar-binar begitu tubuh polos Meilani kini terpampang nyata. Mei ternyata masih tetap luar biasa dan semengagumkan dulu. “Bisa-bisanya Mei, elu udah jadi emak-emak tapi body masih mulus langsing singset kayak gini?” pujinya sambil membelai perut Mei
“Buset, ribet amat sih mau rujuk kebanyakan syarat administrasi! Nggak bisa nikah di KUA hari ini dong gue? Mau tuntasin ibadah nikah yang mulia kok ada-ada aja ya ujiannya?” oceh Juna saat menelepon Jonathan. “Ya udah, Jon, elu buruan daftarin dan urusin semua persyaratan rujuk buat gue dan Mei di KUA. Gue sama Mei nikah siri aja dulu hari ini! Biar cepat sah dan halal,” pungkasnya. Mei tertawa mendenngar ocehan Juna yang teramat ramai. “Beneran mau nikah hari ini? Ntar ajalah ... tanggung, nikah di KUA yang resmi sekalian, tunggu Jojon kelar beresin syarat administrasinya dulu, Jun.” “Eits, nggak bisa! Ibadah loh ini, Maemunah ...! Ibadah itu jangan ditunda-tunda. Jangan dengerin bujuk rayu setan buat nunda-nunda ibadah kita.” Mei terpingkal-pingkal. “Cih. Bisa aja nih orang modusnya, ... bilang aja udah nggak tahan pengen grepe-grepe gue!” cibirnya. Juna nyengir. “Itu kan ibadah juga, Mami sayang, ... yang membedakan kita sama kucing! Kucing mau kawin tinggal kawin, kalau kita
Mei buru-buru ke dapur, meneguk segelas air untuk membasahi kerongkongannya yang kering karena menahan gondok kepada Juna yang malah mengusilinya soal penggrebegan tadi. Wajah Mei jadi merah padam, bukan hanya karena marah pada keadaan. Tapi dia juga bingung bagaimana caranya menjelaskan ke Vincent? Tadi dia mengecek i*******m dan benar saja, kejadian tadi sudah tayang di I* TV milik Anna dan meraih banyak penonton. “Tuh, kan. Netizen malah belain kita dan kasih selamat sekalian. Orang-orang sekarang sudah tahu soal anak kita, Mei. Juga tentang kita yang sudah rujuk. Dahlah ... yuk, jadiin real aja?” Juna meletakkan ponsel setelah ikut mengecek dan membaca komentar yang berseliweran di I* itu. Juna kemudian merangkul Mei yang duduk menunduk di sofa sambil memegangi kepalanya yang pening. Juna memijiti pundak Mei hingga wanita itu terlihat sedikit nyaman. Mei menangis sambil mengatakan kalau dia takut Vincent marah, takut Vincent kecewa kepadanya. Mei juga meminta saran dan pendapat
“Gue kangen banget sama Vi, Mei. Please? Gue sekarang tahu kenapa gue langsung jatuh cinta sama Vi sejak awal ketemu dulu. Dan semakin ke sini gue semakin sering kangen sama dia. Ternyata itu yang namanya ikatan batin. Iya ‘kan? Elu sendiri tadi bilang, bakal beri gue ruang buat mencurahkan kasih sayang gue ke Vi?” Mei memutar bola mata. “Iya, tapi nggak gini juga keleus ..., lu lihat ini jam berapa sekarang? Jam 12 malam. Gila lu mau masuk-masuk kamar janda tengah malam gini.” Juna tertegun. Setelah pembicaraan seriusnya tadi, sekarang Mei dengan cepat kembali ke mode cablak. Juna garuk-garuk kepala. “Dih, cepat juga waktu berlalu ya, Mei?” “Ya iyalah, dodol. Situ aja nangisnya berapa jam sendiri?” “Njirr ..., jangan cerita ke siapa-siapa ya, Mei. Tengsin gue.” “Wani piro?” Lalu Mei terkekeh jahat. “Cih. Lu kayak John Wick aja, Mei!” seloroh Juna. Karena John Wick suka menantang imbalan Juna dengan dua kata yang sama itu, ‘wani piro’. “John Wick? Keanu Reeves?” Mei kebingunga
Juna merengkuh kedua tangan Mei. Tangan Mei terasa hangat dalam genggaman Juna yang dingin. “Mei ...,” panggil Juna seraya mengecup lembut punggung tangan wanita itu, “gue udah tahu semuanya, ... siapa sebenarnya Vi,” ucapnya begitu lirih. “Sorry ..., I’m too late.” Juna mendesahkan sejuta penyesalan. Juna berlutut di depan Mei seraya mendongak, mempertemukan tatapan mereka. “Mei ...,” panggilnya lagi, karena wanita itu tak jua bersuara sejak tadi. Mei membeku dalam kediaman panjangnya. “Gue sungguh-sungguh minta maaf. Mungkin permintaan maaf gue ini nggak sepadan dengan penderitaan yang sudah elu lewati seorang diri selama ini.” Juna mengetatkan genggamannya seiring pecutan sesal yang kian melecut-lecut dalam hatinya. Juna baru tahu dari Anjani ..., jika ternyata Mei dalam kondisi mengandung darah dagingnya saat Juna menceraikannya dulu. Saat Juna mengusirnya siang itu, meninggalkan rumahnya di bawah terik cahaya mentari yang membakar kulit, dengan berjalan kaki. Ya ..., berjalan ka