Menyempatkan upload 1 bab ini dulu sebelum berangkat. Keep enjoy ya, readers tersayang.
“Sayang! Kamu tuh kenapa sih? Kok diam aja gitu? Aku ada salah omong ya? Bilang dong?” rengek Anna yang memprotes kediaman Juna saat mereka sudah berada di dalam mobil dan kembali menuju kantor Juna. “Lagi kepikiran kerjaan yang masih belum beres.” “Oh ...,” Anna tersenyum, “aku yakin kamu pasti bisa beresin, Yang. Apa sih kerjaan yang nggak bisa kamu beresin? Juna gitu loh,” ujar wanita itu menyemangati kekasihnya. Anna memercayai Juna yang memang kompeten di bidangnya. Kalau Juna tidak sekompeten itu, mana mungkin dia menduduki jabatan yang strategis di perusahaan sebesar Utomo Group? Meski perusahaan itu milik kakeknya sendiri, tapi kalau Juna tak memiliki kemampuan mana mungkin para petinggi Utomo Group mempercayakan posisi setinggi itu keapda Juna? Hal itulah yang membuat Anna sangat bangga kepada Juna, banga menjadi kekasihnya. Bangga karena sebentar lagi akan menjadi istri Juna. Tetapi kemudian kecemasan mulai menyergap Anna. “Sayang, kita harus segera menetapkan tanggal pe
'Anjrit ...! Ngapain ini laki ada di sini sih?! Sok akrab lagi sama Vi!’ gerutu Juna dalam hatinya. Juna menghela napas dalam-dalam sambil melangkah mendekat dan berjabatan tangan dengan Vincent. Mereka berbasa-basi sejenak karena sudah pernah berkenalan di sebuah acara gala dinner sebagai sesama eksekutif. “Makan yuk, sekalian?” ‘Etdahh, malah nawarin gue makan, emangnya situ tuan rumah di sini?’ Juna dongkol dalam hati. “Saya memang mau makan, makanya ke sini.” Juna menyahut santai sambil melangkah menuju wastafel untuk mencuci tangan. Ingin menunjukkan kalau dia juga sudah terbiasa dengan ruangan ini. Juna menarik kursi dan duduk di depan Vincent. Lalu bersiul melihat sajian lauk-pauk di meja makan Mei. ‘Anjriit, ini dia yang gue cari-cari!’ “Makan, Mas Vin?” Juna menyendok nasi dan mengambil lauk pauk yang dia suka dan menyantapnya penuh selera. Meilani memandangi Juna sambil geleng-geleng kepala. “Dasar kelakuan ...,” gumamnya. “Mei, yuk sekalian makan?” panggil Juna sambi
Juna mulai blingsatan karena Mei sekarang semakin jarang mau mengangkat teleponnya. Video callnya juga sering ditolak. Padahal Juna kangen sama Vi, bukan hanya Mei. Astaga, ... padahal Vi bukanlah anak kandungnya, tetapi kenapa Juna merasa seperti itu? Juna sering kepikiran Vi. Juna bahkan pernah bela-belain menyusul Vi yang sedang liburan sama Mei ke Bandung pakai helikopter. Setelah ketemu Vi dan main sebentar dengannya, juga puas menciumi pipinya, Juna langsung balik lagi ke Jakarta. Edan kan? Aah! Juna sekarang kangen mengajak Vi main basket di timezone. “Itu tandanya Bos kudu lekas kawin dan punya anak. Jiwa bapak-able Bos sudah meronta-ronta itu, Bos.” Jonathan menyahut saat Juna curhat kepadanya. “Lu kata gampang main kawin-kawin aja?” “Gampanglah, apalagi bos udah pengalaman, jam terbang kawinnya Bos kan udah tinggi dulu sama Mbak Mei. Tinggal digas aja ntar sama Mbak Anna, sampai lahir bayi oek-oek.” “Ebuset lu, Jon, enak banget kalau ngomong.” “Lah kan emang enak, Bos?
Setelah selesai mengobrol dengan Vi, Juna melihat lagi wajah Mei. Wanita itu tersenyum kepadanya, “Sudah puas ngobrol sama Vi? Jangan ntar bentar-bentar telepon dan video call lagi, gue lagi ribet ini, tahu ...?” omelnya sambil terkekeh. Tapi kemudian senyum yang mengembang di bibir Mei menyurut secara perlahan ketika menyadari tatapan Juna yang teramat dalam kepadanya, Juna seperti ingin mengatakan banyak hal, tetapi pria itu tetap mengatupkan bibirnya. Terdiam lama mengamati Mei dengan sorot mata yang sulit ditebak. “Wanna say something, Jun?” Mei jadi penasaran. Pria itu tersenyum kecut. “Mei, do you love him?” “Him?” “Vincent. Do you love him?” Mei melirik Vincent yang kini sedang memangku Vi sambil menemani bocah itu main kereta api Thomas. Mei kemudian melangkah ke dapur, menjauh dari Vincent sambil berharap semoga Vincent tak mendengar ucapan Juna tadi. “Lu kepo amat sih, Jun? Bukan urusan lu, bawel ...,” oceh Mei sambil menjaga volume suaranya. Juna terkekeh pelan, tatap
Juna sedang rebahan di ranjang apartemennya. Dia belum bisa tidur padahal dia sangat ingin tidur. Juna melirik jam digital di atas nakas, jam 1 pagi. Juna pun memejamkan mata, berusaha tidur. Tapi kaget saat terdengar suara bel pintu berbunyi. Juna bangkit dengan malas-malasan dan mengecek layar monitor pintu. Juna terkejut melihat seraut wajah di sana. Dia pun buru-buru membukanya. “Anna? Ngapain kamu ke sini malam-malam begini?” Anna menangis dan memeluk Juna. “Ssh... tenanglah, ayo masuk dulu.” Juna menutup dan mengunci pintu. Kemudian menggandeng Anna yang masih menangis. Juna membimbing Anna duduk di sofa. “Mau kubuatin teh?” tanyanya sambil merangkul Anna dan mengecup puncak kepalanya yang wangi untuk menenangkan tangis wanita itu. Anna menggeleng, lalu mengetatkan pelukannya kepada Juna. “What happened, An?” “Aku bertengkar sama Mama.” Lalu Anna bilang kalau Nyonya Surati marah karena Juna tak lekas memberi jawaban kapan mereka akan menikah. Lalu mamanya itu mengatakan
“Mbak Mei, saya kangen banget sama Vi. Saya ajak jalan-jalan ya?” kata Maryam yang baru pulang dari Surabaya. Maryam sekarang menjadi Direktur Support yang berfungsi mendirect tugas-tugas divisi SDM, produksi, logistik, dan pengendalian kualitas produk. Maryam jadi sering bertugas keluar kota untuk mengecek cabang-cabang restoran ViP Kitchen yang tersebar di pulau Jawa dan Bali. Mei mengizinkan Maryam mengajak Vi, sehingga dia jadi punya waktu luang bertemu dengan Vincent dan menemani kekasihnya itu makan siang di sebuah restoran berdua saja. “Mei, aku ingin ngenalin kamu dan Vi ke Opa Daniel. Kamu siap?” tanya Vincent di sela-sela aktivitas makan siang mereka. “Aku jadi deg-degan, Mas.” Vincent tertawa. “Tenang, Sayang ..., Opa Daniel itu baik banget dan rendah hati. Dia welcome pada siapa saja. Apalagi kamu kekasihku, beliau pasti senang kenalan denganmu,” katanya sambil dengan sorot meyakinkan. Mei sering membaca tentang Daniel Sutomo di majalah-majalah bisnis. Namanya kerap ma
Maryam membawa Vi bersamanya hari ini karena Maryam sangat kangen ingin bermain dengan bocah menggemaskan itu. Maryam mengajak ke mall karena dia sudah membuat rencana ingin bermain-main dengan Vi sepuasnya hari ini. Tapi insiden es krim tadi membuat rencana Maryam gagal total. Siapa sangka dia bakal bertemu Juna dengan kondisi Vi sedang menangis seperti tadi? Membuat Juna menyabotase dan menguasai Vi. Pria itu mengambil alih Vi dari tangan Maryam. Dan Maryam tidak bisa berbuat apa-apa karena Mei pernah berpesan, “Kalau Juna ingin mengajak Vi bermain biarkan saja, Mar. Bagaimanapun Juna itu ayah kandung Vi. Dia berhak dekat dengan Vi. Dan hak Vi menerima perhatian dan kasih sayang dari ayah kandungnya sendiri.” Maryam bersedekap memandangi ayah dan anak itu asyik bermain di timezone. Tawa Juna dan Vi saling bersahutan. Vi bertepuk tangan seraya memekik heboh melihat Juna terus-terusan berhasil memasukkan bola basket ke dalam keranjang. Bocah itu terbelalak bangga kepada Juna, mengangg
“Sudahlah Jun, biarkan saja dia pulang!” omel Anna yang terganggu oleh teriakan bocah nakal itu. Anna menoleh ke sekitar mereka. Lihat, bukan hanya dirinya saja ... tapi seluruh pengunjung restoran burger ini sampai menoleh kaget kepada bocah berisik itu. “Yang ..., kalau dia berisik gitu, jadi mengganggu kenyamanan orang lain di seluruh ruang ini,” kata Anna kemudian wanita itu menatap tajam kepada Maryam agar lekas mengambil tindakan, yaitu membawa anak pulang saja. “Kami pulang saja, Mas Juna. Kalau Vi sudah kadung marah begini bisa-bisa dia bakal lama betenya. Permisi, Mas Juna.” Lalu Maryam menggendong Vi dan meninggalkan restoran burger itu tanpa sudi menoleh sedikitpun kepada Anna dan tak pamit juga pada wanita itu. Maryam sengaja ingin menunjukkan terang-terangan ketidaksukaannya pada wanita menyebalkan itu. ‘Heran. Bisa-bisanya Mas Juna memacari wanita ular itu? Dulu dia baiknya kayak apa sama Mbak Mei, tapi begitu Mbak Mei cerai ... eh, mantan suaminya Mbak Mei langsung di