Keep enjoy :) and VOTE.
Juna mulai blingsatan karena Mei sekarang semakin jarang mau mengangkat teleponnya. Video callnya juga sering ditolak. Padahal Juna kangen sama Vi, bukan hanya Mei. Astaga, ... padahal Vi bukanlah anak kandungnya, tetapi kenapa Juna merasa seperti itu? Juna sering kepikiran Vi. Juna bahkan pernah bela-belain menyusul Vi yang sedang liburan sama Mei ke Bandung pakai helikopter. Setelah ketemu Vi dan main sebentar dengannya, juga puas menciumi pipinya, Juna langsung balik lagi ke Jakarta. Edan kan? Aah! Juna sekarang kangen mengajak Vi main basket di timezone. “Itu tandanya Bos kudu lekas kawin dan punya anak. Jiwa bapak-able Bos sudah meronta-ronta itu, Bos.” Jonathan menyahut saat Juna curhat kepadanya. “Lu kata gampang main kawin-kawin aja?” “Gampanglah, apalagi bos udah pengalaman, jam terbang kawinnya Bos kan udah tinggi dulu sama Mbak Mei. Tinggal digas aja ntar sama Mbak Anna, sampai lahir bayi oek-oek.” “Ebuset lu, Jon, enak banget kalau ngomong.” “Lah kan emang enak, Bos?
Setelah selesai mengobrol dengan Vi, Juna melihat lagi wajah Mei. Wanita itu tersenyum kepadanya, “Sudah puas ngobrol sama Vi? Jangan ntar bentar-bentar telepon dan video call lagi, gue lagi ribet ini, tahu ...?” omelnya sambil terkekeh. Tapi kemudian senyum yang mengembang di bibir Mei menyurut secara perlahan ketika menyadari tatapan Juna yang teramat dalam kepadanya, Juna seperti ingin mengatakan banyak hal, tetapi pria itu tetap mengatupkan bibirnya. Terdiam lama mengamati Mei dengan sorot mata yang sulit ditebak. “Wanna say something, Jun?” Mei jadi penasaran. Pria itu tersenyum kecut. “Mei, do you love him?” “Him?” “Vincent. Do you love him?” Mei melirik Vincent yang kini sedang memangku Vi sambil menemani bocah itu main kereta api Thomas. Mei kemudian melangkah ke dapur, menjauh dari Vincent sambil berharap semoga Vincent tak mendengar ucapan Juna tadi. “Lu kepo amat sih, Jun? Bukan urusan lu, bawel ...,” oceh Mei sambil menjaga volume suaranya. Juna terkekeh pelan, tatap
Juna sedang rebahan di ranjang apartemennya. Dia belum bisa tidur padahal dia sangat ingin tidur. Juna melirik jam digital di atas nakas, jam 1 pagi. Juna pun memejamkan mata, berusaha tidur. Tapi kaget saat terdengar suara bel pintu berbunyi. Juna bangkit dengan malas-malasan dan mengecek layar monitor pintu. Juna terkejut melihat seraut wajah di sana. Dia pun buru-buru membukanya. “Anna? Ngapain kamu ke sini malam-malam begini?” Anna menangis dan memeluk Juna. “Ssh... tenanglah, ayo masuk dulu.” Juna menutup dan mengunci pintu. Kemudian menggandeng Anna yang masih menangis. Juna membimbing Anna duduk di sofa. “Mau kubuatin teh?” tanyanya sambil merangkul Anna dan mengecup puncak kepalanya yang wangi untuk menenangkan tangis wanita itu. Anna menggeleng, lalu mengetatkan pelukannya kepada Juna. “What happened, An?” “Aku bertengkar sama Mama.” Lalu Anna bilang kalau Nyonya Surati marah karena Juna tak lekas memberi jawaban kapan mereka akan menikah. Lalu mamanya itu mengatakan
“Mbak Mei, saya kangen banget sama Vi. Saya ajak jalan-jalan ya?” kata Maryam yang baru pulang dari Surabaya. Maryam sekarang menjadi Direktur Support yang berfungsi mendirect tugas-tugas divisi SDM, produksi, logistik, dan pengendalian kualitas produk. Maryam jadi sering bertugas keluar kota untuk mengecek cabang-cabang restoran ViP Kitchen yang tersebar di pulau Jawa dan Bali. Mei mengizinkan Maryam mengajak Vi, sehingga dia jadi punya waktu luang bertemu dengan Vincent dan menemani kekasihnya itu makan siang di sebuah restoran berdua saja. “Mei, aku ingin ngenalin kamu dan Vi ke Opa Daniel. Kamu siap?” tanya Vincent di sela-sela aktivitas makan siang mereka. “Aku jadi deg-degan, Mas.” Vincent tertawa. “Tenang, Sayang ..., Opa Daniel itu baik banget dan rendah hati. Dia welcome pada siapa saja. Apalagi kamu kekasihku, beliau pasti senang kenalan denganmu,” katanya sambil dengan sorot meyakinkan. Mei sering membaca tentang Daniel Sutomo di majalah-majalah bisnis. Namanya kerap ma
Maryam membawa Vi bersamanya hari ini karena Maryam sangat kangen ingin bermain dengan bocah menggemaskan itu. Maryam mengajak ke mall karena dia sudah membuat rencana ingin bermain-main dengan Vi sepuasnya hari ini. Tapi insiden es krim tadi membuat rencana Maryam gagal total. Siapa sangka dia bakal bertemu Juna dengan kondisi Vi sedang menangis seperti tadi? Membuat Juna menyabotase dan menguasai Vi. Pria itu mengambil alih Vi dari tangan Maryam. Dan Maryam tidak bisa berbuat apa-apa karena Mei pernah berpesan, “Kalau Juna ingin mengajak Vi bermain biarkan saja, Mar. Bagaimanapun Juna itu ayah kandung Vi. Dia berhak dekat dengan Vi. Dan hak Vi menerima perhatian dan kasih sayang dari ayah kandungnya sendiri.” Maryam bersedekap memandangi ayah dan anak itu asyik bermain di timezone. Tawa Juna dan Vi saling bersahutan. Vi bertepuk tangan seraya memekik heboh melihat Juna terus-terusan berhasil memasukkan bola basket ke dalam keranjang. Bocah itu terbelalak bangga kepada Juna, mengangg
“Sudahlah Jun, biarkan saja dia pulang!” omel Anna yang terganggu oleh teriakan bocah nakal itu. Anna menoleh ke sekitar mereka. Lihat, bukan hanya dirinya saja ... tapi seluruh pengunjung restoran burger ini sampai menoleh kaget kepada bocah berisik itu. “Yang ..., kalau dia berisik gitu, jadi mengganggu kenyamanan orang lain di seluruh ruang ini,” kata Anna kemudian wanita itu menatap tajam kepada Maryam agar lekas mengambil tindakan, yaitu membawa anak pulang saja. “Kami pulang saja, Mas Juna. Kalau Vi sudah kadung marah begini bisa-bisa dia bakal lama betenya. Permisi, Mas Juna.” Lalu Maryam menggendong Vi dan meninggalkan restoran burger itu tanpa sudi menoleh sedikitpun kepada Anna dan tak pamit juga pada wanita itu. Maryam sengaja ingin menunjukkan terang-terangan ketidaksukaannya pada wanita menyebalkan itu. ‘Heran. Bisa-bisanya Mas Juna memacari wanita ular itu? Dulu dia baiknya kayak apa sama Mbak Mei, tapi begitu Mbak Mei cerai ... eh, mantan suaminya Mbak Mei langsung di
Juna membuka mata, tertegun sesaat, tapi kemudian tersenyum saat melihat wajah damai Vi yang masih nyenyak tidur di depannya. Dia baru sadar kalau ikut tertidur sebentar di bersama Vi. Juna mengecek arloji di pergelangan tangannya. Hmm dia tertidur setengah jam, sebentar tapi berkualitas. Cukup memulihkan staminanya. Juna meringis saat perutnya keroncongan. Dia baru ingat kalau belum sempat makan siang tadi karena asyik bermain bersama Vi di timezone. Dia sudah pesan burger tapi belum sempat dimakan, karena Anna keburu datang mengacaukan rencana makan burgernya bersama Vi tadi. Juna menepuk-nepuk sayang pipi Vi dan mengecupnya dengan pelan dan hati-hati agar jangan membangunkan bocah itu. Kemudian Juna mengendap-endap bangun dan keluar kamar. Lagi-lagi Juna dibuat terkejut saat dilihatnya Mei tertidur di sofa ruang keluarga. Juna bersedekap dan menatapnya. Cantik sekali. Ya. Mei selalu cantik di matanya, dalam pose apapun. Juna mendekati Mei dan berjongkok di dekatnya, menatap Mei y
“Mei, please__” Juna terdiam dan menelan ludah menerima tatapan tajam Mei yang terasa menyilet-nyilet perasaannya dengan keputusasaan. Tapi ada juga luka yang Juna lihat di dalam sorot itu. Mei seperti ingin mengatakan banyak hal, tapi kediaman wanita itu sepertinya menjadi puncak dari segala kemarahan yang selama ini tersimpan rapi dalam sudut-sudut emosinya yang terpendam dalam. “Maafin gue, Mei. Maafin atas segala hal yang pernah gue lakukan ke elu, yang pernah nyakitin elu.” Hanya itu yang dapat Juna ucapkan. Dia tak sanggup lagi bersuara lebih. Tenggorokannya mendadak kering, sekering harapannya kepada Mei saat ini. Bahu pria itu melunglai. Juna memutar langkah. “Elu nggak perlu minta maaf, Jun. Gue yang salah. Gue sudah berzina saat masih menjadi istri elu. Elu berhak menceraikan gue. Elu layak mendapatkan wanita yang jauh lebih baik daripada gue.” “Mei, no ..., jangan ngomong kayak gitu, please.” Juna menggeleng dengan hati yang remuk mendengarnya. Dulu ..., kata-kata Mei it