Terima kasih atas support pembaca semuanya. Semakin sering up date biar makin cepat menuju tamatnya, hehe. Klik VOTE ya. Happy reading :)
“Mei, please__” Juna terdiam dan menelan ludah menerima tatapan tajam Mei yang terasa menyilet-nyilet perasaannya dengan keputusasaan. Tapi ada juga luka yang Juna lihat di dalam sorot itu. Mei seperti ingin mengatakan banyak hal, tapi kediaman wanita itu sepertinya menjadi puncak dari segala kemarahan yang selama ini tersimpan rapi dalam sudut-sudut emosinya yang terpendam dalam. “Maafin gue, Mei. Maafin atas segala hal yang pernah gue lakukan ke elu, yang pernah nyakitin elu.” Hanya itu yang dapat Juna ucapkan. Dia tak sanggup lagi bersuara lebih. Tenggorokannya mendadak kering, sekering harapannya kepada Mei saat ini. Bahu pria itu melunglai. Juna memutar langkah. “Elu nggak perlu minta maaf, Jun. Gue yang salah. Gue sudah berzina saat masih menjadi istri elu. Elu berhak menceraikan gue. Elu layak mendapatkan wanita yang jauh lebih baik daripada gue.” “Mei, no ..., jangan ngomong kayak gitu, please.” Juna menggeleng dengan hati yang remuk mendengarnya. Dulu ..., kata-kata Mei it
Juna menunduk, mendekatkan bibirnya ke telinga Mei dan berbisik, “Gue nggak bohong kan, Mei? Body gue masih bagus, iya kan?” Hampir saja Juna mengecupnya, tetapi Juna menahan diri mati-matian agar tidak melakukannya, takut Mei bisa mengamuk nanti. Tapi Juna senang bisa menggodanya seperti ini. Ya. Menggoda Mei adalah hal paling menyenangkan bagi Juna, sejak dulu. Tidak ada wanita lain lagi selain Mei yang terasa menyenangkan bagi Juna untuk digoda seperti ini. Dan pria itu tersenyum jahil saat mendengar deru napas Mei yang tak beraturan. Nah, betul kan! Juna ternyata masih sanggup memengaruhi kewarasan pikiran wanita yang sudah jadi mantan istrinya ini. Atau malah jangan-jangan sekarang Mei sedang diguyuri memori percintaan mereka yang panas dan memabukkan di masa lalu? Juna terkekeh dalam hati. Bukan salah Mei kalau jadi berpikir mesum tentang tubuhnya ini. Juna memang tampan dan menarik. Banyak wanita yang melirik. Meski semua tahu Juna sudah menjadi kekasih Anna, tetapi di belakan
“Eh. Beneran elu mau pulang, Jun? Itu gue telanjur masak banyak loh buat kita dinner bareng.” Mei ingin menahan Juna yang tiba-tiba saja pamit pulang setelah selesai memandikan Vi dan membacakan buku cerita untuknya.“Sorry, Mei, bukannya nolak rezeki. Tapi gue mau ketemu sama Anna.”Mei pun terdiam. Wanita itu tersenyum tipis dan mengangguk. “Oke, hati-hati di jalan.”Juna balas mengangguk, sejenak Juna tertegun melihat sorot kesedihan dalam tatapan Mei. Apakah sebenarnya Mei sama seperti dirinya yang sebenarnya belum ingin berpisah sampai di sini? Tetapi ..., ah sudahlah! Pria itupun bergegas pergi menuju taksi biru yang sudah dia pesan dan kini menunggunya.Sepeninggalan Juna, Mei melanjutkan makan malamnya dengan Vincent dan juga Vi. Vincent bilang makanannya enak sampai-sampai dia tambah lagi nasi. Mei tersenyum, benarkah seenak itu? Tapi kenapa di lidahnya terasa biasa saja? Bahkan Mei kesulitan menelan makanan yang katanya enak ini. Lidahnya seperti mati rasa. Kerongkongannya t
Meilani membeku menerima lamaran Vincent di tengah kondisi gawat daruratnya ini. Tetapi Vincent malah tertawa lirih dan menepuk-nepuk sayang pipi wanita itu. “Tak perlu kau jawab sekarang, Mei. Aku juga tak memintamu menikahiku besok.” Mei menunduk, tak sanggup menerima tatapan Vincent yang mengguyurinya dengan perhatian dan rasa sayang. “Tidur dan istirahatlah, Mei. Kamu nggak lupa kan, besok siang kita ada janji makan siang di rumah Opa Daniel?” “Iya, aku ingat kok. Aku sudah menyiapkan buah tangan buat beliau. Aku membuat makanan-makanan kesukaan Opa Daniel.” “Terima kasih, Mei.” “Sama-sama, Mas.” Vincent mengantar Mei ke kamar dan menyelimutinya. Vincent tersenyum dan mengecup Vi yang tertidur pulas di sebelah Mei. “Tidurlah yang nyenyak, Sayang. Pikirkan saja hal-hal baik yang bisa kamu dapati dalam sehari ini. Syukuri sebagai kasih sayang dan berkat Tuhan buatmu dan juga Vi. Abaikan kejadian tadi. Percayalah, Mei, barang siapa yang menanam sebab, dia sendiri yang akan mema
Melihat Vi, Utomo seperti menemukan kembali putera tunggalnya yang telah lama terenggut hilang dari hidupnya. Di usia senjanya ini, akhirnya Tuhan memberinya kesempatan lagi untuk menjumpai sosok Wira dalam diri Vi. Utomo menangis berselimut haru, Vi bagaikan penebus segala rasa rindunya kepada sang putera tercinta. Wira bagaikan hidup kembali lewat sosok Vi. Utomo tak perlu bertanya, tak perlu mengecek, tak perlu meragukan lagi jika Vi adalah putera kandung Juna. Vi memang cucu buyutnya. Utomo yakin seyakin-yakinnya. “Mei ..., jadi, ... kau dalam kondisi mengandung Vi saat diceraikan Juna?” Dan Utomo kembali terisak prihatin kala Mei mengangguk. Ya, Tuhan ..., dadanya digempur ribuan rasa bersalah. Seharusnya dia bisa berupaya lebih keras lagi membujuk Juna untuk tak melanjutkan gugatan cerainya. Namun yang dia lakukan saat itu justru berserah saja pada keputusan sang cucu. “Maafkan aku, Mei. Ampuni cucuku Juna ....” Utomo tiba-tiba saja berlutut di depan Mei. “Opa ...! Tolong jan
Juna merengkuh kedua tangan Mei. Tangan Mei terasa hangat dalam genggaman Juna yang dingin. “Mei ...,” panggil Juna seraya mengecup lembut punggung tangan wanita itu, “gue udah tahu semuanya, ... siapa sebenarnya Vi,” ucapnya begitu lirih. “Sorry ..., I’m too late.” Juna mendesahkan sejuta penyesalan. Juna berlutut di depan Mei seraya mendongak, mempertemukan tatapan mereka. “Mei ...,” panggilnya lagi, karena wanita itu tak jua bersuara sejak tadi. Mei membeku dalam kediaman panjangnya. “Gue sungguh-sungguh minta maaf. Mungkin permintaan maaf gue ini nggak sepadan dengan penderitaan yang sudah elu lewati seorang diri selama ini.” Juna mengetatkan genggamannya seiring pecutan sesal yang kian melecut-lecut dalam hatinya. Juna baru tahu dari Anjani ..., jika ternyata Mei dalam kondisi mengandung darah dagingnya saat Juna menceraikannya dulu. Saat Juna mengusirnya siang itu, meninggalkan rumahnya di bawah terik cahaya mentari yang membakar kulit, dengan berjalan kaki. Ya ..., berjalan ka
“Gue kangen banget sama Vi, Mei. Please? Gue sekarang tahu kenapa gue langsung jatuh cinta sama Vi sejak awal ketemu dulu. Dan semakin ke sini gue semakin sering kangen sama dia. Ternyata itu yang namanya ikatan batin. Iya ‘kan? Elu sendiri tadi bilang, bakal beri gue ruang buat mencurahkan kasih sayang gue ke Vi?” Mei memutar bola mata. “Iya, tapi nggak gini juga keleus ..., lu lihat ini jam berapa sekarang? Jam 12 malam. Gila lu mau masuk-masuk kamar janda tengah malam gini.” Juna tertegun. Setelah pembicaraan seriusnya tadi, sekarang Mei dengan cepat kembali ke mode cablak. Juna garuk-garuk kepala. “Dih, cepat juga waktu berlalu ya, Mei?” “Ya iyalah, dodol. Situ aja nangisnya berapa jam sendiri?” “Njirr ..., jangan cerita ke siapa-siapa ya, Mei. Tengsin gue.” “Wani piro?” Lalu Mei terkekeh jahat. “Cih. Lu kayak John Wick aja, Mei!” seloroh Juna. Karena John Wick suka menantang imbalan Juna dengan dua kata yang sama itu, ‘wani piro’. “John Wick? Keanu Reeves?” Mei kebingunga
Mei buru-buru ke dapur, meneguk segelas air untuk membasahi kerongkongannya yang kering karena menahan gondok kepada Juna yang malah mengusilinya soal penggrebegan tadi. Wajah Mei jadi merah padam, bukan hanya karena marah pada keadaan. Tapi dia juga bingung bagaimana caranya menjelaskan ke Vincent? Tadi dia mengecek i*******m dan benar saja, kejadian tadi sudah tayang di I* TV milik Anna dan meraih banyak penonton. “Tuh, kan. Netizen malah belain kita dan kasih selamat sekalian. Orang-orang sekarang sudah tahu soal anak kita, Mei. Juga tentang kita yang sudah rujuk. Dahlah ... yuk, jadiin real aja?” Juna meletakkan ponsel setelah ikut mengecek dan membaca komentar yang berseliweran di I* itu. Juna kemudian merangkul Mei yang duduk menunduk di sofa sambil memegangi kepalanya yang pening. Juna memijiti pundak Mei hingga wanita itu terlihat sedikit nyaman. Mei menangis sambil mengatakan kalau dia takut Vincent marah, takut Vincent kecewa kepadanya. Mei juga meminta saran dan pendapat