Terima kasih atas semua supportnya. Tetap VOTE novel ini ya .... Selamat membaca :)
“Mbak Mei, saya kangen banget sama Vi. Saya ajak jalan-jalan ya?” kata Maryam yang baru pulang dari Surabaya. Maryam sekarang menjadi Direktur Support yang berfungsi mendirect tugas-tugas divisi SDM, produksi, logistik, dan pengendalian kualitas produk. Maryam jadi sering bertugas keluar kota untuk mengecek cabang-cabang restoran ViP Kitchen yang tersebar di pulau Jawa dan Bali. Mei mengizinkan Maryam mengajak Vi, sehingga dia jadi punya waktu luang bertemu dengan Vincent dan menemani kekasihnya itu makan siang di sebuah restoran berdua saja. “Mei, aku ingin ngenalin kamu dan Vi ke Opa Daniel. Kamu siap?” tanya Vincent di sela-sela aktivitas makan siang mereka. “Aku jadi deg-degan, Mas.” Vincent tertawa. “Tenang, Sayang ..., Opa Daniel itu baik banget dan rendah hati. Dia welcome pada siapa saja. Apalagi kamu kekasihku, beliau pasti senang kenalan denganmu,” katanya sambil dengan sorot meyakinkan. Mei sering membaca tentang Daniel Sutomo di majalah-majalah bisnis. Namanya kerap ma
Maryam membawa Vi bersamanya hari ini karena Maryam sangat kangen ingin bermain dengan bocah menggemaskan itu. Maryam mengajak ke mall karena dia sudah membuat rencana ingin bermain-main dengan Vi sepuasnya hari ini. Tapi insiden es krim tadi membuat rencana Maryam gagal total. Siapa sangka dia bakal bertemu Juna dengan kondisi Vi sedang menangis seperti tadi? Membuat Juna menyabotase dan menguasai Vi. Pria itu mengambil alih Vi dari tangan Maryam. Dan Maryam tidak bisa berbuat apa-apa karena Mei pernah berpesan, “Kalau Juna ingin mengajak Vi bermain biarkan saja, Mar. Bagaimanapun Juna itu ayah kandung Vi. Dia berhak dekat dengan Vi. Dan hak Vi menerima perhatian dan kasih sayang dari ayah kandungnya sendiri.” Maryam bersedekap memandangi ayah dan anak itu asyik bermain di timezone. Tawa Juna dan Vi saling bersahutan. Vi bertepuk tangan seraya memekik heboh melihat Juna terus-terusan berhasil memasukkan bola basket ke dalam keranjang. Bocah itu terbelalak bangga kepada Juna, mengangg
“Sudahlah Jun, biarkan saja dia pulang!” omel Anna yang terganggu oleh teriakan bocah nakal itu. Anna menoleh ke sekitar mereka. Lihat, bukan hanya dirinya saja ... tapi seluruh pengunjung restoran burger ini sampai menoleh kaget kepada bocah berisik itu. “Yang ..., kalau dia berisik gitu, jadi mengganggu kenyamanan orang lain di seluruh ruang ini,” kata Anna kemudian wanita itu menatap tajam kepada Maryam agar lekas mengambil tindakan, yaitu membawa anak pulang saja. “Kami pulang saja, Mas Juna. Kalau Vi sudah kadung marah begini bisa-bisa dia bakal lama betenya. Permisi, Mas Juna.” Lalu Maryam menggendong Vi dan meninggalkan restoran burger itu tanpa sudi menoleh sedikitpun kepada Anna dan tak pamit juga pada wanita itu. Maryam sengaja ingin menunjukkan terang-terangan ketidaksukaannya pada wanita menyebalkan itu. ‘Heran. Bisa-bisanya Mas Juna memacari wanita ular itu? Dulu dia baiknya kayak apa sama Mbak Mei, tapi begitu Mbak Mei cerai ... eh, mantan suaminya Mbak Mei langsung di
Juna membuka mata, tertegun sesaat, tapi kemudian tersenyum saat melihat wajah damai Vi yang masih nyenyak tidur di depannya. Dia baru sadar kalau ikut tertidur sebentar di bersama Vi. Juna mengecek arloji di pergelangan tangannya. Hmm dia tertidur setengah jam, sebentar tapi berkualitas. Cukup memulihkan staminanya. Juna meringis saat perutnya keroncongan. Dia baru ingat kalau belum sempat makan siang tadi karena asyik bermain bersama Vi di timezone. Dia sudah pesan burger tapi belum sempat dimakan, karena Anna keburu datang mengacaukan rencana makan burgernya bersama Vi tadi. Juna menepuk-nepuk sayang pipi Vi dan mengecupnya dengan pelan dan hati-hati agar jangan membangunkan bocah itu. Kemudian Juna mengendap-endap bangun dan keluar kamar. Lagi-lagi Juna dibuat terkejut saat dilihatnya Mei tertidur di sofa ruang keluarga. Juna bersedekap dan menatapnya. Cantik sekali. Ya. Mei selalu cantik di matanya, dalam pose apapun. Juna mendekati Mei dan berjongkok di dekatnya, menatap Mei y
“Mei, please__” Juna terdiam dan menelan ludah menerima tatapan tajam Mei yang terasa menyilet-nyilet perasaannya dengan keputusasaan. Tapi ada juga luka yang Juna lihat di dalam sorot itu. Mei seperti ingin mengatakan banyak hal, tapi kediaman wanita itu sepertinya menjadi puncak dari segala kemarahan yang selama ini tersimpan rapi dalam sudut-sudut emosinya yang terpendam dalam. “Maafin gue, Mei. Maafin atas segala hal yang pernah gue lakukan ke elu, yang pernah nyakitin elu.” Hanya itu yang dapat Juna ucapkan. Dia tak sanggup lagi bersuara lebih. Tenggorokannya mendadak kering, sekering harapannya kepada Mei saat ini. Bahu pria itu melunglai. Juna memutar langkah. “Elu nggak perlu minta maaf, Jun. Gue yang salah. Gue sudah berzina saat masih menjadi istri elu. Elu berhak menceraikan gue. Elu layak mendapatkan wanita yang jauh lebih baik daripada gue.” “Mei, no ..., jangan ngomong kayak gitu, please.” Juna menggeleng dengan hati yang remuk mendengarnya. Dulu ..., kata-kata Mei it
Juna menunduk, mendekatkan bibirnya ke telinga Mei dan berbisik, “Gue nggak bohong kan, Mei? Body gue masih bagus, iya kan?” Hampir saja Juna mengecupnya, tetapi Juna menahan diri mati-matian agar tidak melakukannya, takut Mei bisa mengamuk nanti. Tapi Juna senang bisa menggodanya seperti ini. Ya. Menggoda Mei adalah hal paling menyenangkan bagi Juna, sejak dulu. Tidak ada wanita lain lagi selain Mei yang terasa menyenangkan bagi Juna untuk digoda seperti ini. Dan pria itu tersenyum jahil saat mendengar deru napas Mei yang tak beraturan. Nah, betul kan! Juna ternyata masih sanggup memengaruhi kewarasan pikiran wanita yang sudah jadi mantan istrinya ini. Atau malah jangan-jangan sekarang Mei sedang diguyuri memori percintaan mereka yang panas dan memabukkan di masa lalu? Juna terkekeh dalam hati. Bukan salah Mei kalau jadi berpikir mesum tentang tubuhnya ini. Juna memang tampan dan menarik. Banyak wanita yang melirik. Meski semua tahu Juna sudah menjadi kekasih Anna, tetapi di belakan
“Eh. Beneran elu mau pulang, Jun? Itu gue telanjur masak banyak loh buat kita dinner bareng.” Mei ingin menahan Juna yang tiba-tiba saja pamit pulang setelah selesai memandikan Vi dan membacakan buku cerita untuknya.“Sorry, Mei, bukannya nolak rezeki. Tapi gue mau ketemu sama Anna.”Mei pun terdiam. Wanita itu tersenyum tipis dan mengangguk. “Oke, hati-hati di jalan.”Juna balas mengangguk, sejenak Juna tertegun melihat sorot kesedihan dalam tatapan Mei. Apakah sebenarnya Mei sama seperti dirinya yang sebenarnya belum ingin berpisah sampai di sini? Tetapi ..., ah sudahlah! Pria itupun bergegas pergi menuju taksi biru yang sudah dia pesan dan kini menunggunya.Sepeninggalan Juna, Mei melanjutkan makan malamnya dengan Vincent dan juga Vi. Vincent bilang makanannya enak sampai-sampai dia tambah lagi nasi. Mei tersenyum, benarkah seenak itu? Tapi kenapa di lidahnya terasa biasa saja? Bahkan Mei kesulitan menelan makanan yang katanya enak ini. Lidahnya seperti mati rasa. Kerongkongannya t
Meilani membeku menerima lamaran Vincent di tengah kondisi gawat daruratnya ini. Tetapi Vincent malah tertawa lirih dan menepuk-nepuk sayang pipi wanita itu. “Tak perlu kau jawab sekarang, Mei. Aku juga tak memintamu menikahiku besok.” Mei menunduk, tak sanggup menerima tatapan Vincent yang mengguyurinya dengan perhatian dan rasa sayang. “Tidur dan istirahatlah, Mei. Kamu nggak lupa kan, besok siang kita ada janji makan siang di rumah Opa Daniel?” “Iya, aku ingat kok. Aku sudah menyiapkan buah tangan buat beliau. Aku membuat makanan-makanan kesukaan Opa Daniel.” “Terima kasih, Mei.” “Sama-sama, Mas.” Vincent mengantar Mei ke kamar dan menyelimutinya. Vincent tersenyum dan mengecup Vi yang tertidur pulas di sebelah Mei. “Tidurlah yang nyenyak, Sayang. Pikirkan saja hal-hal baik yang bisa kamu dapati dalam sehari ini. Syukuri sebagai kasih sayang dan berkat Tuhan buatmu dan juga Vi. Abaikan kejadian tadi. Percayalah, Mei, barang siapa yang menanam sebab, dia sendiri yang akan mema