Terima kasih atas segala bentuk dukungan dan VOTE untuk novel ini. Happy reading :)
Jonathan sudah pasrah jika hari ini Juna harus kembali mual dan muntah-muntah, sebab restoran Mei sedang tutup. Jonathan menyajikan menu makan siang yang mirip-mirip dengan salah satu menu katering Meilani yang mudah dicarinya saja, yaitu paket nasi ayam bakar, tahu-tempe, sambal terasi, lalapan, sayur asem, dan kerupuk udang. Juna mulai menyantap makan siangnya. Untuk sejenak pria itu terdiam dan mengernyitkan kening, tetapi tak berkomentar apa-apa dan tetap melanjutkan makan siangnya meski tak selahap biasanya. Juna berhenti makan saat makanannya tinggal separuh, dia tampaknya enggan menghabiskan sisanya. Tapi Jonathan lega, setidaknya Juna tak lagi mual dan muntah seperti biasanya, dan ada asupan energi untuk melakukan aktivitasnya hari ini. “Jon, ada makanan yang lain nggak sih? Laper gue gila ...,” keluh Juna saat hari menjelang sore. Jontahan menyajikan beebrapa menu tetapi Juna cuma menghabiskannya sesendok. “Tumben sih, Jon? Pilihan makanan elu nggak ada yang beres hari ini
Anna memasuki ruangan Juna dan melihat pria itu sedang asyik menyantap makan siangnya. “Jun, lunch sendirian?” sapa Anna. Wanita itu memasuki ruangan Juna dengan bebas, seperti ruangannya sendiri, tanpa merasa perlu izin lagi dengan sekretaris Juna, padahal Maya sering menegur Anna tetapi Anna mengabaikan sebab dia merasa hubungannya dengan Juna sudah sangat dekat. ‘Dulu Bu Mei aja selalu minta izin gue tiap mau masuk ruangan Pak Juna, padahal waktu itu Pak Juna suaminya sendiri. Lah ini, belum apa-apa udah sok banget ngerasa menguasai Pak Juna,’ gerutu Maya dalam hati, kesal fungsinya sebagai sekretaris Juna dipandang sebelah mata oleh Anna. “Sudah makan, An?” sapa Juna sambil tersenyum ramah. “Sebenarnya sih belum, tadinya aku mau ngajakin kamu lunch di luar, tapi kamunya malah makan duluan.” Anna cemberut sambil duduk di sebelah Juna. Juna tersenyum tipis, bahkan dia dan Mei saja sampai menikah hingga bercerai tak pernah mengubah sebutan ‘elu-gue’, tapi Anna sekarang sudah mengu
Juna melongo. Ada ya ternyata, wanita yang udah jelek, tua, arogan, rese, udah gitu kepedean melamar dirinya macam Anjani ini? OMG. Juna rasanya ingin ngumpet ke kolong bumi! Untungnya makhluk macam Anjani yang dia temui cuma ada 1 ini saja. “Joke elu sama sekali nggak lucu, sorry .. gue nggak bisa ketawa, yang ada malah eneg ini gue!” Juna bergidik geli. Anjani terkekeh pelan dan bersedekap seraya menandangi Juna dengan tatapan memindai pria itu. “Jun, nggak akan ada wanita yang sanggup mendampingi hidup you selain I. Bahkan seorang Meilani yang katanya you cintai itu, mana? Cerai juga kan elu dari dia?” cibir Anjani dengan begitu meledek. “Cuma I yang sanggup jadi samsak hidupnya you. I yakin seyakin-yakinnya, wanita seperti Anna bakal terkencing-kencing kalau ngeliat IED you kambuh sewaktu-waktu, dan dia bakalan kabur sejauh-jauhnya dari you! Nah ..., cuma I yang bisa terima dan memahami IED yang you derita. Selain I, nggak akan ada wanita yang sanggup, Jun. Kalaupun you bermasal
“Eh, nggak usah Mas.” “Lu nggak berhak nolak, Yem. Ini kan rezeki buat keponakan elu, dosa lu menghalangi rezeki orang.” Juna mengabaikan penolakan Maryam dan memencet passwordnya pada mesin EDC yang diulurkan kasir kepadanya. Maryam pun terdiam dan berterima kasih. “Siapa namanya, Yem?” “Baby.” “Baby? Namanya Baby?” Maryam mengangguk dan menyembunyikan kegugupannya karena berbohong. Juna melambaikan tangannya kepada baby Vi, “Nice to meet you. See you, Baby?” katanya sambil melangkah pergi dan Maryam bisa menangkap sorot enggan dalam sepasang mata Juna saat harus meninggalkan toko ini dan kembali dalam dekapan Anna yang menunggunya di sana. “Nggak nyangka ternyata kamu suka bayi,” kata Anna sambil mengalungkan lengannya ke lengan Juna. Lalu Anna tersenyum cantik kepada Juna. “Kamu sudah pantas jadi ayah, Jun,” bisiknya. Juna terdiam. Kata-kata Anna tadi bagai silet jarum yang menusuk hatinya. Ingatannya mendarat pada sebuah momen saat dia selesai bercinta dengan Mei dahulu se
“Astaga, arogan sekali pasangan itu,” gumam seorang pramusaji yang tak tega melihat bos mereka harus membereskan kekacauan di sana, diperlakukan semena-mena oleh tamu restoran yang mungkin punya banyak uang tapi miskin akhlak. “Padahal Bu Bos sudah minta maaf dan memperlakukan mereka dengan baik dan ramah, tapi masih aja dikasarin,” gumam pramusaji yang lain. Supervisor mereka berdeham. “Bu Bos lagi ngajarin kalian cara memperlakukan pelanggan. Kadang salah bukan di kita, tapi begitulah ... ada saja tipe pelanggan yang semena-mena, tapi jangan dibalas kasar, karena mereka akan bertambah kasar kalau dilawan. Sabar. Itu pelajaran yang harus kalian petik dari Bu Bos,” oceh supervisor yang bernama Mahmud itu. “Eh, i-iya ..., Mas Mahmud.” “Balik kerja sana, malah ngerumpi.” Kedua pramusaji itupun kembali melanjutkan pekerjaan mereka. Mahmud menghela napas, tega tak tega melihat pemandangan di sana, melihat bosnya melayani pelanggan reseh. Mahmud pun menghampiri meja nomr 15 itu. “Moh
“Hai, Jun? Apa kabar?” sapa Raya tak kalah ramah, lalu tatapannya beralih kepada Anna yang menggandeng mesra lengan Juna. Seketika senyum Raya menyurut. Hatinya jadi kesal untuk Mei. “Pacar elu, Jun?” tanyanya penasaran. Juna cuma tersenyum. “Baik, Ray. Eh, itu anak kalian? Siapa namanya?” Pria itu malah balik menanyainya. Raya mengulum senyum, Juna seperti enggan memperkenalkan wanita itu kepadanya dan juga Kevin, juga tak menjawab pertanyaan Raya apakah wanita itu pacarnya atau bukan, artinya Juna belum yakin terhadap hubungan mereka. “Iya, namanya Keyra,” Kevin mencolek pipi Keyra, “Sayang, kenalan yuk sama Om Juna, temannya Papa dan Mama,” katanya kepada Keyra. Balita belum genap 3 tahun itu langsung nyengir dengan cantik sambil mengulurkan tangannya pada Juna. “Keyya!” katanya memperkenalkan diri. Juna terdiam dan sedikit ragu saat menyambut uluran tangan balita lucu itu. Begitu tangannya menyentuh Keyra, sekujur tubuhnya tiba-tiba saja menegang dan gemetar. Lalu Juna menghel
Utomo bergegas menyusul Juna ke rumah sakit begitu Ramon memberitahu kabar gawat darurat yang menimpa cucunya. “Bagaimana kondisinya sekarang, dia sudah siuman?” cecarnya kepada Ramon yang sigap menyejajari langkah Utomo yang masih lincah di usianya senjanya. “Sudah, Tuan. Tetapi dokter melarang siapapun menemuinya lebih dulu.” “Apa yang sebenarnya terjadi dengannya, Ramon?! Cari tahu sejelas-jelasnya!” bentak Utomo yang sebenarnya trauma dengan yang namanya rumah sakit. Dia tak siap jika Tuhan merenggut cucu satu-satunya yang dia miliki ini. “Sebaiknya Tuan bicara langsung dengan dokter yang menangani Mas Juna.” “Oke, pertemukan kami sekarang.” Ramon pun membawa Utomo menuju ruangan seorang dokter yang ternyata telah menunggu Utomo. Setelah berkenalan dan berbasa-basi sejenak, dokter pun mengatakan jika Juna mengalami gangguan kecemasan yang sudah parah. “Depresi? Cucuku depresi? Bagaimana mungkin, Dok?” Dokter menatap Utomo dengan sorot teduhnya yang menenangkan. “Kami sudah
Utomo terlihat lesu belakangan ini. Biasanya pria sepuh yang seluruh rambutnya sudah memutih itu aktif melakukan aktivitas fisik rutinnya bersama teman-teman lansia elitnya di padang golf. Namun sejak cucunya mengalami depresi dan harus dirawat di rumah sakit untuk sementara waktu, Utomo jadi kehilangan gairahnya. Dia lebih banyak di rumah, merenung dan merenung. Hal itu rupanya tak luput dari perhatian Daniel Sutomo, teman sesama konglomerat yang tergabung dalam sebuah club golf bersamanya. Utomo terkejut melihat kedatangan Daniel Sutomo ke rumahnya. Daniel memeluk Utomo seraya menepuk-nepuk pundaknya, seakan sedang berbagi energi positif untuk temannya yang sedang dirundung duka. Daniel sudah mendengar desas-desus tentang masalah kesehatan mental yang bertiup kencang di luar sana mengenai kondisi cucu temannya ini. Dan dia turut prihatin dan berempati kepada Utomo. “Cucuku, Vincent Alessio, kau tahu dia kan?” ujar Daniel setelah mereka berbasa-basi panjang. Utomo mengangguk, siapa