Share

Bab 4

“Aargh!” 

Aku tak sempat meraih dahan lain dan jatuh begitu saja tanpa bisa melakukan apapun. Pasrah! 

Tapi … kenapa tanah yang seharusnya keras itu tidak menghantamku. Justru badanku seperti … melayang di udara. Sungguh nggak masuk di akal. Aku nggak bisa terbang. Dan nggak mungkin bumi tiba-tiba saja kehilangan gaya gravitasinya. 

Kubuka mataku perlahan dan sungguh terkejutnya aku, saat melihat wajah Pak Jonathan yang begitu dekat denganku. 

Iya! Itu benar-benar dia! Bahkan dia sudah menyelamatkan aku dengan menangkap tubuhku tadi. 

Baru kali ini aku melihat wajahnya dengan begitu dekat. Kulitnya yang bersih terawat, hidungnya yang runcing dan jakunnya.

Aku segera melompat turun dari gendongannya. Ini sama sekali nggak lucu. Apa yang ada di dalam pikiranku?

Sebentar lagi, pasti aku bakalan dengar ceramah panjang dari papa dan si simba. Dan itu berarti aku nggak akan sempat kabur sebelum calon suami yang ditunggu papa datang.

“Alea! Kamu ngapain di kebon?” tanya papa yang baru sekarang muncul. 

“Nemenin nyamuk, Pa. Kasihan nggak ada yang ngajak berantem,” sahutku cepat saking inginnya segera berlalu dari hadapan mereka.

Aku bisa melihat Pak Jonathan menahan tawanya. Ah … emang gue pikirin. Dia mau ketawain kekonyolan tadi juga, aku nggak peduli. 

Baru saja ku ayunkan kakiku tiga langkah menjauh dari mereka, suara papa kembali terdengar. “Alea.” 

Terpaksa aku menghentikan langkahku. 

“Kamu bawa ransel, mau kemana?” 

Pertanyaan itu langsung membuat jantungku berdebar lebih kencang. Bagaimana jika papa tahu kalau aku berniat untuk minggat malam ini. Dia pasti akan marah, dan yang lebih parah lagi Pak Jonathan pasti semakin membuat kemarahan papa bertambah seribu kali lipat dengan ceritanya tentang kenakalanku di sekolah. 

“Belajar bersama,” sahutku setelah jeda berpikir cukup lama untuk mencari alasan yang paling tidak mencurigakan. 

“Tapi kenapa ranselnya sebesar itu?” serang papa lagi.

“Alea takut kemalaman pulangnya, jadi sekalian bawa peralatan mandi dan seragam buat sekolah besok,” kali ini aku mengatakan hal yang sejujurnya. Sudah kepalang basah, 

Aku nggak bisa menghindar lagi.

“Kenapa nggak lewat pintu?” Pak Jonathan tiba-tiba saja ikut bersuara. “Kamu tahu gunanya pintu kan? Kenapa harus panjat pohon?”

Aku membalikkan badanku, memberanikan diri menatap guru pengampu matematikaku itu. Dia terlihat berbeda. Penampilannya sama sekali berbeda saat ini. Dia tidak memakai seragamnya yang membosankan, tapi memakai kaos ketat berlapis kemeja santai dengan celana soft jeans yang membuatnya terlihat jauh lebih muda. 

“A–aku ….” Tentu saja aku nggak mungkin bilang kalau aku mau minggat. “... cuma mau … bawa beberapa mangga buat oleh-oleh.” 

Aku menarik sudut bibirku, memberinya seulas senyum kemenangan karena berhasil menemukan sebuah jawaban lainnya. 

“Sudahlah, Alea. Hari ini belajar di rumah saja. Lagipula kamu nggak mungkin ninggalin calon suami kamu,” ucap papaku, “kalian harus saling kenal dan mendekatkan diri sebelum pernikahan kalian.” 

Aku segera mengedarkan pandanganku. Tapi seluas apapun kutebarkan pandanganku, tak ada orang lain selain kami bertiga. “Papa ngeledek, ya? Calon suami Alea invisible gitu, macem X-Man? Alea nggak liat siapa-siapa selain kita bertiga.”

“Iya. Dia Jonathan, calon suami kamu.”

“Hah!” teriakku saking terkejutnya. 

“Udah, nggak usah melototin papa gitu,” tegur papa.

“Kok Papa nggak bilang kalo calon suami Alea itu  si sim … euh, Pak Jonathan,” protesku. 

“Kamu kan sejak kemarin nggak mau dengerin papa,” sahut papaku. 

Aku merengut kesal. Seandainya papa tahu kalau hubunganku dengan Pak Jonathan bahkan sangat buruk. Tapi … ah, pasti papa tetep belain simba. 

“Apa Papa nggak tahu kalo Pak Jonathan itu guru Alea di sekolah?” tanyaku. Sepertinya aku bisa memanfaatkan hal ini untuk membatalkan perjodohanku. 

“Tahu. Jonathan sudah memberitahu papa semuanya.” 

Aku benar-benar terperangah. Apa ini yang dinamakan solidaritas sesama lelaki? Bagaimana bisa mereka begitu kompak hingga membuatku terpojok seperti ini. 

“Alea nggak mau, Pa,” sahutku cepat, “Alea nggak bisa. Gimana kalau semua teman-teman Alea tahu? Gimana kalau mereka jadiin hal itu sebagai bahan candaan mereka? Gimana kalau ….” 

“Gimana kalau kamu dan Jonathan sama sama diam. Mana mungkin semua yang kamu cemaskan itu terjadi jika tak satupun dari kalian menceritakan hal yang sebenarnya,” putus Papa. 

“Hah!” 

Tiba-tiba kulihat Pak Jonathan menggelengkan kepalanya. Sepertinya ia juga tidak menyukai ide ini. Perjodohan di jaman semodern ini, tentu saja lelaki seperti Pak Jonathan akan menolaknya.

“Sebenarnya aku juga tidak ingin menikahi putri Bapak.” 

Ucapan itu sontak membuat papa terkejut. “Bukannya kemarin kita sudah membicarakan semuanya?”

“Aku rasa Alea itu tidak akan bisa menikahi siapapun. Dia itu manja, pemalas, pemarah dan …” 

“Nah, kan. Apa Alea bilang. Kita berdua sama sekali nggak cocok, Pa. Pak Simba tiap hari kerjaannya cari gara-gara sama Alea. Dia hobi banget emang, kasih hukuman buat Alea,” potongku sebelum lelaki itu menceritakan semuanya. 

“Simba?” Ulang papaku seolah mendengar sebuah kata yang aneh.

“Euh … dia kan emang galak macem singa itu. Simba,” sahutku dengan memasang mimik muka polosku, “hobinya loh, marah-marah nggak jelas.” 

Sumpah! Itu nggak sengaja. Aku keceplosan saking emosinya menceritakan sifat laki-laki di depanku yang tampak seperti bunglon di hadapan papa. 

Rasanya ingin aku menghilang atau bersembunyi di balik pohon tomat. Tapi percuma, mereka sudah terlanjur menatapku seakan ingin menelanku hidup-hidup. 

“Jadi kamu rupanya yang kasih julukan itu di sekolah.” Dari suaranya, Pak Jonathan terdengar gusar. 

“Seperti janji yang kakek kalian berdua ikrarkan. Papa harap kalian berdua bisa saling mengisi, menjaga dan mencintai,” tutur papaku seolah ucapanku tak berarti apapun baginya. 

“Nggak mau, Pa. Alea masih mau sekolah, ngerasain namanya pacaran dan senang-senang. Ini hidup Alea, Papa nggak bisa acak-acak hidup Alea seenak Papa. Alea bukan kucing peliharaan Papa. Alea ini manusia, Pa.” 

“Justru karena kamu itu anak Papa, maka Papa mau kamu nikah sama Jonathan. Kamu bisa pacaran, senang-senang atau apapun juga dengan suamimu walaupun sudah menikah,” jawab papa, “dan papa nggak perlu cemas kalau kamu bakal dirusak oleh pergaulan nakal anak jaman now, karena ada Jonathan di sisimu.” 

“Pa!” teriakku kesal, “tapi Alea nggak mau. Alea cuma mau nikah sama laki-laki pilihan Alea. Titik!”

Aku segera berlari masuk kembali ke dalam kamarku. Lelah rasanya berdebat dengan papa yang sikapnya otoriter. Dia hanya mau didengar, dipatuhi, tanpa mau mendengar pendapatku. 

“Alea!” 

Kuabaikan teriakan itu dan masuk ke dalam kamarku.

Beberapa saat kemudian, terdengar ketukan di pintu kamarku. Aku yakin papa pasti masih ingin membahas hal yang sama. 

“Alea, ada yang mau aku bicarakan.”

Mendengar suara Pak Jonathan, jantungku tiba-tiba berdebar. Aku tahu dia tidak bisa menghukumku karena posisinya tidak sedang di sekolah saat ini. Tapi aku tidak bisa mengendalikan jantungku yang entah kenapa justru berdegup kencang. 

“Alea, berikan aku kesempatan bicara denganmu

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status