“Aargh!”
Aku tak sempat meraih dahan lain dan jatuh begitu saja tanpa bisa melakukan apapun. Pasrah! Tapi … kenapa tanah yang seharusnya keras itu tidak menghantamku. Justru badanku seperti … melayang di udara. Sungguh nggak masuk di akal. Aku nggak bisa terbang. Dan nggak mungkin bumi tiba-tiba saja kehilangan gaya gravitasinya. Kubuka mataku perlahan dan sungguh terkejutnya aku, saat melihat wajah Pak Jonathan yang begitu dekat denganku. Iya! Itu benar-benar dia! Bahkan dia sudah menyelamatkan aku dengan menangkap tubuhku tadi. Baru kali ini aku melihat wajahnya dengan begitu dekat. Kulitnya yang bersih terawat, hidungnya yang runcing dan jakunnya. Aku segera melompat turun dari gendongannya. Ini sama sekali nggak lucu. Apa yang ada di dalam pikiranku? Sebentar lagi, pasti aku bakalan dengar ceramah panjang dari papa dan si simba. Dan itu berarti aku nggak akan sempat kabur sebelum calon suami yang ditunggu papa datang. “Alea! Kamu ngapain di kebon?” tanya papa yang baru sekarang muncul. “Nemenin nyamuk, Pa. Kasihan nggak ada yang ngajak berantem,” sahutku cepat saking inginnya segera berlalu dari hadapan mereka. Aku bisa melihat Pak Jonathan menahan tawanya. Ah … emang gue pikirin. Dia mau ketawain kekonyolan tadi juga, aku nggak peduli. Baru saja ku ayunkan kakiku tiga langkah menjauh dari mereka, suara papa kembali terdengar. “Alea.” Terpaksa aku menghentikan langkahku. “Kamu bawa ransel, mau kemana?” Pertanyaan itu langsung membuat jantungku berdebar lebih kencang. Bagaimana jika papa tahu kalau aku berniat untuk minggat malam ini. Dia pasti akan marah, dan yang lebih parah lagi Pak Jonathan pasti semakin membuat kemarahan papa bertambah seribu kali lipat dengan ceritanya tentang kenakalanku di sekolah. “Belajar bersama,” sahutku setelah jeda berpikir cukup lama untuk mencari alasan yang paling tidak mencurigakan. “Tapi kenapa ranselnya sebesar itu?” serang papa lagi. “Alea takut kemalaman pulangnya, jadi sekalian bawa peralatan mandi dan seragam buat sekolah besok,” kali ini aku mengatakan hal yang sejujurnya. Sudah kepalang basah, Aku nggak bisa menghindar lagi. “Kenapa nggak lewat pintu?” Pak Jonathan tiba-tiba saja ikut bersuara. “Kamu tahu gunanya pintu kan? Kenapa harus panjat pohon?” Aku membalikkan badanku, memberanikan diri menatap guru pengampu matematikaku itu. Dia terlihat berbeda. Penampilannya sama sekali berbeda saat ini. Dia tidak memakai seragamnya yang membosankan, tapi memakai kaos ketat berlapis kemeja santai dengan celana soft jeans yang membuatnya terlihat jauh lebih muda. “A–aku ….” Tentu saja aku nggak mungkin bilang kalau aku mau minggat. “... cuma mau … bawa beberapa mangga buat oleh-oleh.” Aku menarik sudut bibirku, memberinya seulas senyum kemenangan karena berhasil menemukan sebuah jawaban lainnya. “Sudahlah, Alea. Hari ini belajar di rumah saja. Lagipula kamu nggak mungkin ninggalin calon suami kamu,” ucap papaku, “kalian harus saling kenal dan mendekatkan diri sebelum pernikahan kalian.” Aku segera mengedarkan pandanganku. Tapi seluas apapun kutebarkan pandanganku, tak ada orang lain selain kami bertiga. “Papa ngeledek, ya? Calon suami Alea invisible gitu, macem X-Man? Alea nggak liat siapa-siapa selain kita bertiga.” “Iya. Dia Jonathan, calon suami kamu.” “Hah!” teriakku saking terkejutnya. “Udah, nggak usah melototin papa gitu,” tegur papa. “Kok Papa nggak bilang kalo calon suami Alea itu si sim … euh, Pak Jonathan,” protesku. “Kamu kan sejak kemarin nggak mau dengerin papa,” sahut papaku. Aku merengut kesal. Seandainya papa tahu kalau hubunganku dengan Pak Jonathan bahkan sangat buruk. Tapi … ah, pasti papa tetep belain simba. “Apa Papa nggak tahu kalo Pak Jonathan itu guru Alea di sekolah?” tanyaku. Sepertinya aku bisa memanfaatkan hal ini untuk membatalkan perjodohanku. “Tahu. Jonathan sudah memberitahu papa semuanya.” Aku benar-benar terperangah. Apa ini yang dinamakan solidaritas sesama lelaki? Bagaimana bisa mereka begitu kompak hingga membuatku terpojok seperti ini. “Alea nggak mau, Pa,” sahutku cepat, “Alea nggak bisa. Gimana kalau semua teman-teman Alea tahu? Gimana kalau mereka jadiin hal itu sebagai bahan candaan mereka? Gimana kalau ….” “Gimana kalau kamu dan Jonathan sama sama diam. Mana mungkin semua yang kamu cemaskan itu terjadi jika tak satupun dari kalian menceritakan hal yang sebenarnya,” putus Papa. “Hah!” Tiba-tiba kulihat Pak Jonathan menggelengkan kepalanya. Sepertinya ia juga tidak menyukai ide ini. Perjodohan di jaman semodern ini, tentu saja lelaki seperti Pak Jonathan akan menolaknya. “Sebenarnya aku juga tidak ingin menikahi putri Bapak.” Ucapan itu sontak membuat papa terkejut. “Bukannya kemarin kita sudah membicarakan semuanya?” “Aku rasa Alea itu tidak akan bisa menikahi siapapun. Dia itu manja, pemalas, pemarah dan …” “Nah, kan. Apa Alea bilang. Kita berdua sama sekali nggak cocok, Pa. Pak Simba tiap hari kerjaannya cari gara-gara sama Alea. Dia hobi banget emang, kasih hukuman buat Alea,” potongku sebelum lelaki itu menceritakan semuanya. “Simba?” Ulang papaku seolah mendengar sebuah kata yang aneh. “Euh … dia kan emang galak macem singa itu. Simba,” sahutku dengan memasang mimik muka polosku, “hobinya loh, marah-marah nggak jelas.” Sumpah! Itu nggak sengaja. Aku keceplosan saking emosinya menceritakan sifat laki-laki di depanku yang tampak seperti bunglon di hadapan papa. Rasanya ingin aku menghilang atau bersembunyi di balik pohon tomat. Tapi percuma, mereka sudah terlanjur menatapku seakan ingin menelanku hidup-hidup. “Jadi kamu rupanya yang kasih julukan itu di sekolah.” Dari suaranya, Pak Jonathan terdengar gusar. “Seperti janji yang kakek kalian berdua ikrarkan. Papa harap kalian berdua bisa saling mengisi, menjaga dan mencintai,” tutur papaku seolah ucapanku tak berarti apapun baginya. “Nggak mau, Pa. Alea masih mau sekolah, ngerasain namanya pacaran dan senang-senang. Ini hidup Alea, Papa nggak bisa acak-acak hidup Alea seenak Papa. Alea bukan kucing peliharaan Papa. Alea ini manusia, Pa.” “Justru karena kamu itu anak Papa, maka Papa mau kamu nikah sama Jonathan. Kamu bisa pacaran, senang-senang atau apapun juga dengan suamimu walaupun sudah menikah,” jawab papa, “dan papa nggak perlu cemas kalau kamu bakal dirusak oleh pergaulan nakal anak jaman now, karena ada Jonathan di sisimu.” “Pa!” teriakku kesal, “tapi Alea nggak mau. Alea cuma mau nikah sama laki-laki pilihan Alea. Titik!” Aku segera berlari masuk kembali ke dalam kamarku. Lelah rasanya berdebat dengan papa yang sikapnya otoriter. Dia hanya mau didengar, dipatuhi, tanpa mau mendengar pendapatku. “Alea!” Kuabaikan teriakan itu dan masuk ke dalam kamarku. Beberapa saat kemudian, terdengar ketukan di pintu kamarku. Aku yakin papa pasti masih ingin membahas hal yang sama. “Alea, ada yang mau aku bicarakan.” Mendengar suara Pak Jonathan, jantungku tiba-tiba berdebar. Aku tahu dia tidak bisa menghukumku karena posisinya tidak sedang di sekolah saat ini. Tapi aku tidak bisa mengendalikan jantungku yang entah kenapa justru berdegup kencang. “Alea, berikan aku kesempatan bicara denganmuMau tak mau, aku membuka pintu kamarku. Kuberanikan diri menatap wajah guru yang hampir tiga tahun ini mengajar kelas matematikaku. “Pak Jonathan nggak mau nikah sama aku, kan? Aku juga nggak mau,” cicitku langsung setelah membuka pintu, "jadi ... nggak usah perpanjang masalah ini. Bapak pulang dan kita lanjutkan hidup kita masing-masing."“Boleh aku masuk?”Aku terkejut ketika lelaki itu menyeruak masuk ke dalam kamarku. Baru kali ini ada lelaki selain papa yang dengan beraninya masuk ke kamarku. Lelaki itu bahkan memperhatikan setiap sudut kamarku sebelum duduk di atas kursi meja belajarku. “Benar, pada awalnya aku juga sepertimu. Aku menolak perjodohan ini. Persis sama sepertimu. Tapi ….” Lelaki itu menundukkan kepalanya seperti ada sesuatu beban dalam pikirannya yang ingin disampaikannya padaku.“Tapi apa? Bapak nggak bisa nolak?” tanyaku sebelum berdecih. Bagaimana mungkin guru segalak dia ternyata bisa selemah ini. Tiba-tiba lelaki itu menggenggam tanganku. “Kakekku sedang sa
“Iya, iya. Aku lepasin.” Audrico melepaskan cekalan tangannya setelah kuhentakkan tanganku dengan kuat.“Apaan sih,” omelku saking kesalnya, kuraba pergelangan tanganku yang terasa nyeri karena kekuatan tangan lelaki muda itu, “nggak usah tarik-tarik kenapa. Emangnya kamu kira aku kambing korban, apa.” “Enggak. Mana berani aku,” sahut Audrico dengan acuh, “ aku cuman dapat perintah buat bawa kamu ke belakang sekolah.”“Ogah! Buat apa?” “Udahlah, ikut aja. Atau … mau aku tarik lagi ke sana.” “Kamu … udah gila ya?” “Nggak, bukan aku yang gila. Tapi teman aku, kalo kamu nggak ikut sama aku.” Ish! Kenapa juga aku harus nuruti perkataannya. Tapi … temannya, maksudnya Doni, bukan sih?Karena rasa penasaran, dengan perasaan kesal, aku pun melangkahkan kakiku menyusuri koridor menuju ke taman belakang sekolah. Taman yang hampir tak terurus karena jarang dikunjungi oleh siapapun. Namun aku benar-benar terkejut ketika melihat apa yang menantiku di sana. Senyum Doni Aryanata, teman laki-
Pak Jonathan tersenyum. Sementara tangannya sibuk memarkirkan mobilnya dalam sederetan mobil lainnya di basement rumah sakit. Aku bisa membayangkan jawaban yang pasti keluar dari mulutnya. Tentu saja dia tidak akan menolaknya. Tentu saja dia tidak ingin mengecewakan aku dengan menolak permintaan semudah ini. “Tidak.” Lelaki itu menatapku dengan matanya yang tajam. “Aku nggak bisa mentolerir siapapun yang mencontek apalagi yang berusaha membeli soal.” Aku mencebikkan bibirku dengan kesal. “Bapak suka ya, kalo aku nggak lulus? Gimana pikiran Om Darius sama papa kalo liat nilaiku ntar. Suaminya guru matematika, tapi kok istrinya nilai matematikanya jeblok?” Pak Jonathan mengangkat telunjuknya dan menekan keningku. “Makanya belajar!” Ish! Nyebelin banget nih orang. Seandainya saja dia nggak punya pengaruh buat nilai rapotku, pasti aku nggak akan segan buat balas perlakuannya. Lelaki itu turun dari mobilnya. Tentu saja aku cepat-cepat turun mengikuti langkahnya. Kaki-kaki panjangnya me
Hari sudah gelap saat aku sampai di rumah Pak Jonathan. Rumah yang tidak bisa dibilang besar itu hanya mempunyai satu kamar tidur dan sebuah kamar yang lebih terlihat mirip gudang. Namun perabot di dalam tiap ruangnya yang terkesan minimalis, membuat kesan rumah itu terlihat lebih luas dari yang seharusnya. Aku merebahkan tubuhku ke atas kasur empuk. Rasa capek karena padatnya aktivitas hari ini, membuatku ingin segera memejamkan mata. Tentu saja setelah aku membasuh tubuhku terlebih dahulu. Seharusnya Pak Jonathan sudah selesai membersihkan diri. Aku bisa menebaknya karena tak terdengar lagi suara gemericik air dari dalam sana. Tapi kenapa dia tak juga keluar dari kamar mandi. Dia terlalu lama, sampai kandung kemihku rasanya tak sanggup lagi menahan cairan yang sejak tadi kutahan. “Pak! Pak Jonathan,” panggilku di depan pintu kamar mandi.Baru saja kuayunkan tanganku untuk mengetuk, daun pintu itu terbuka lebar. Aku dapat melihat tubuh lelaki yang kini telah jadi suamiku itu. T
Sesuatu yang bergerak di bawah panci berbahan alumunium itu, membuatku perasaan gelisahku semakin kuat. Panci yang dalam posisi tertelungkup itu bergerak tak beraturan, memperlihatkan kehadiran sebuah nyawa di dalamnya. “Ti–tikus?” Pikiranku langsung tertuju pada sosok makhluk berwarna hitam yang paling kutakuti. Sosok hitam yang dalam pikiranku adalah makhluk terjorok penghuni selokan itu selalu sukses membuatku merinding jejingkrakan. Aku segera mencari perlindungan. Dan perlindungan terdekat adalah dia! Lelaki yang ada di dekatku. “Ti–tikus!” teriakku. Kutarik dia dan kujadikan sebagai tameng dari makhluk kecil di bawah sana. “Heh! Mesum!” Suara laki-laki itu terdengar beberapa saat kemudian.Saat itulah aku menyadari sesuatu yang tidak seharusnya. Sepasang tanganku merasakan padat dan kerasnya dada Pak Jonathan yang kupeluk dari belakang. Kulitnya yang masih lembab dan terbuka itu terasa begitu segar, sesegar aroma segarnya sabun yang masih melekat di kulitnya. “Heh! Mesum,
“Aku bakal … bikin semua orang di sekolah kita tahu, kalau Bapak itu nggak pantes buat jadi guru kesiswaan. Bapak cuma … cuma predator siswi di bawah umur,” cicitku kesal, “Bapak bahkan menikahi siswinya yang belum genap sembilan belas tahun.” “Silahkan saja,” sahutnya dengan angkuh, “paling juga … kita berdua dikeluarkan dari sekolah. Dan … bukan aku yang rugi, tapi kamu yang seharusnya tinggal menyelesaikan ujian akhir saja.” Aku mencebik kesal. Mau tak mau kurebahkan tubuhku dengan posisi membelakanginya. Bisa kubayangkan, setiap malam aku harus mengalami hal menyebalkan seperti ini. Seperti kebahagiaan yang biasanya ada, tiba-tiba saja lenyap tak berbekas. Malam semakin larut dan aku sama sekali tidak bisa memejamkan mata. Tidur di tempat yang sama sekali asing, bahkan bersama lelaki yang sebelum ini kukenali sebagai guru matematika di sekolahku. Guru temperamental yang seolah berambisi untuk menjatuhkan mentalku hanya karena tak sanggup menolak sebuah perjodohan. Tiba-tiba
Rasanya ingin sekali aku berteriak meluapkan semua kekesalanku. Tidak ada sarapan, tidak ada pula ijin untuk cuti hari ini. Tidak ada kata selain si menyebalkan yang lebih pantas baginya. “Kok manyun gitu sih?” tanya Vena setengah berbisik di sela pelajaran bahasa Inggris yang sedang berlangsung, “ada masalah?” “Nggak, aku cuma sedikit lelah dan ngantuk,” balasku berbisik.“Ijin ke UKS?” sahutnya, “kamu mau tiduran sebentar, kan?” “Aku defisit lima jam istirahatku,” sahutku lagi, “bayangin … dari delapan jam, aku cuman tidur tiga jam.” “Emang ngapain aja kamu kok bisa tidur cuman tiga jam?” tanya Vena yang seperti mencurigaiku.“Aku —”“Alea! Vena! Pack your books and stationery, go to the student section and ask for punishment for your noisy chatter on my class,” perintahnya perempuan setengah baya bertubuh tambun itu. “Huu!” Suara itu berkumandang seolah paduan suara yang mengiringi gerakan kami mengemas semua harta benda kami yang terserak di atas meja.“Habislah kita!” Gumamk
“Tentu saja. Aku bukan teman yang suka mengobral gosip sahabat aku sendiri. Tenang aja,” sahut Vena dengan cepat. Aku menarik sudut bibirku, memberikannya seulas senyuman. “Doni nembak aku kemaren.” “Hah!” Sepasang mata gadis di hadapanku membulat. “Kamu yakin itu yang bikin kamu gelisah beberapa hari terakhir?” Aku menganggukkan kepalaku. Tentu saja aku tidak mungkin memberitahunya kalau penyebab kegelisahanku adalah Pak Jonathan, karena guru yang paling kuhindari itu ternyata harus menjadi suamiku. “Aku belum memberinya jawaban,” sahutku memberikan alibi tambahan. “Alea … Alea. Aku pikir masalah besar apa, ternyata cuman gara-gara si kapten basket itu lagi,” cetus Vena yang tampaknya agak kecewa mendengar berita itu. “Apa dia segitu penting sampai kamu nggak bisa tidur?” “Sepertinya,” sahutku. “Ya udah, terima aja. Nggak usah dibikin susah. Cuman … kamu mesti siap mental buat dijadiin mantan dalam daftarnya,” tuturnya lagi, “kamu siap?” Aku menganggukkan kepalaku. “S