Share

Bab 6

Penulis: Chocoberry pie
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-19 17:27:23

“Iya, iya. Aku lepasin.” 

Audrico melepaskan cekalan tangannya setelah kuhentakkan tanganku dengan kuat.

“Apaan sih,” omelku saking kesalnya, kuraba pergelangan tanganku yang terasa nyeri karena kekuatan tangan lelaki muda itu, “nggak usah tarik-tarik kenapa. Emangnya kamu kira aku kambing korban, apa.” 

“Enggak. Mana berani aku,” sahut Audrico dengan acuh, “ aku cuman dapat perintah buat bawa kamu ke belakang sekolah.”

“Ogah! Buat apa?” 

“Udahlah, ikut aja. Atau … mau aku tarik lagi ke sana.” 

“Kamu … udah gila ya?” 

“Nggak, bukan aku yang gila. Tapi teman aku, kalo kamu nggak ikut sama aku.” 

Ish! Kenapa juga aku harus nuruti perkataannya. Tapi … temannya, maksudnya Doni, bukan sih?

Karena rasa penasaran, dengan perasaan kesal, aku pun melangkahkan kakiku menyusuri koridor menuju ke taman belakang sekolah. Taman yang hampir tak terurus karena jarang dikunjungi oleh siapapun. 

Namun aku benar-benar terkejut ketika melihat apa yang menantiku di sana. 

Senyum Doni Aryanata, teman laki-laki tertampan di sekolahku, mengembang di sudut bibirnya. Senyuman yang menambah semarak ketampanannya semakin meningkat. 

Di belakangnya tampak sebuah banner berukuran cukup besar bertuliskan “Alea, be my girlfriend”. 

“Al, aku tahu. Ini bukan pertama kali aku nembak kamu. Tapi ini udah ketiga kalinya,” ucap Doni dengan suara datar, “tapi aku nggak bisa move on sama kamu. Aku nggak bisa lupain kamu.” 

“Jadi … aku mau, kali ini kamu nerima aku jadi pacar kamu. Dan kali ini aku juga berharap kamu nggak bakal nolak aku lagi,” sambungnya. 

Lelaki muda itu mengulurkan sekuntum mawar merah padaku. Entah bunga siapa yang sudah menjadi korban keusilannya kali ini. 

Aku menatapnya dengan perasaan tak karuan. Tentu saja karena aku ingin sekali menerima permintaan itu, tapi bagaimana jika dia tahu kalau sore nanti aku akan menikah?

Rasanya sangat tidak adil. Aku harus memendam perasaanku hanya karena ingin menuruti ambisi kakekku yang notabene sudah tenang di akhirat. 

Lelaki muda itu melangkah mendekat. Sepertinya dia tahu kegundahan dalam hatiku dan ingin meyakinkan perasaan kami.

“Alea, aku suka kamu sejak awal kita masuk sekolah ini. Aku udah coba jalan sama banyak teman cewek lain, tapi aku nggak pernah ngerasa nyaman dan berdebar seperti saat aku dekat kamu,” bujuknya, “jadi … kenapa kamu nggak mau coba.” 

Sepasang mata itu terlihat begitu tulus, seakan memaksaku untuk mengiyakan semua permintaannya. Tapi … bagaimana jika karena kedekatan kami, dia tahu hubunganku dengan Pak Jonathan? 

Ah …. Tidak! Aku tidak bisa menolaknya. Siapa tahu dia adalah jodohku. Bukankah Pak Jonathan juga tidak akan menjadi suamiku selamanya? Ini semua hanya untuk menyenangkan orang tua kami. 

Bukankah Pak Jonathan juga sudah janji bakal biarin aku ngelakuin apapun yang mau aku lakukan. Aku bebas mau ngapain bahkan mau pacaran sama Doni sekalipun. 

Aku menghela napas panjang, mencoba memantapkan hati untuk menerima posisiku di hati lelaki itu. “Baiklah, kita coba. Tapi … aku nggak mau hubungan ini berubah menjadi tali kekang buat aku,” sahutku pada akhirnya. 

Doni melebarkan kedua tangannya seakan memintaku untuk masuk ke dalam pelukannya. Tapi justru aku berbalik dan melenggang pergi dari tempat itu. 

“Al … Alea! Pacarku, kamu mau kemana?” 

Aku masih mendengar teriakannya di belakangku. Dan tak lama kemudian pundakku terasa berat karena lengannya telah bertengger di sana. 

Kuhentikan langkahku dan berbalik menatapnya. “Lepasin tangan kamu dari pundakku.”

“Nggak mau. Kenapa harus aku lepas?” tanyanya dengan gaya playboynya yang khas.

“Aku nggak mau deretan para mantanmu musuhin aku. Bisa jadi geprekan aku ntar,” sahutku.

“Kalo aku nggak mau?”

“Ya udah, nggak jadi. Aku nggak jadi nerima perasaan kamu,” sahutku cepat. 

“Leh,” balasnya, “kok gitu?”

“Aku pikir-pikir dulu, takut jadi geprekan,” jawabku lagi sambil berlalu meninggalkannya. 

Ada perasaan bahagia terselip di hatiku. Bagaimana tidak, lelaki yang menjadi rebutan kaum hawa di sekolahku, bahkan menyatakan perasaannya untuk ketiga kalinya! 

Dunia ini terasa begitu indah, seakan semua mimpi berhasil kugenggam dengan mudahnya. 

Namun begitu aku berpapasan lagi dengan Pak Jonathan, mood ku kembali hancur sampai ke dasar. Astaga, bahkan hari ini adalah hari terakhir aku berstatus lajang. 

Biarpun itu hanya status di atas kertas, tapi pikiranku tak dapat membodohi perasaanku.

Matahari semakin tinggi saat aku menatap sekelompok siswa berseragam almamater sekolahku bergerombol di halte. Tentu saja akan sangat menarik perhatian jika Pak Jonathan menjemputku di sini. 

Kutundukkan kepalaku melihat layar ponsel yang memperlihatkan berbagai konten menarik dalam aplikasi toktok. Mulai dari lawakan – yang entah kenapa hari ini sama sekali tak terlihat lucu, sampai berita tentang para selebriti hollywood yang begitu mengerikan. Aku bahkan benar-benar merinding mendengar kasus viral yang berkali-kali diposting dengan berita yang nyaris sama itu. 

Tin! Tin!

Suara klakson itu menyadarkan aku bahwa tak ada lagi siapapun di tempat itu. Dan dari jendela mobil city car yang berhenti tepat di depanku, terlihatlah wajah yang sangat kukenal. 

“Ayo cepat!” teriaknya dari dalam mobil. 

Tanpa jawaban, aku segera memasukkan ponselku ke dalam tasku dan dengan enggan, masuk ke dalam mobilnya. 

“Pake sabuk keselamatanmu. Kita akan langsung ke rumah sakit sekarang,” perintahnya. 

“Langsung? Nggak pulang dulu?” 

“Tidak. Semua sudah menunggu kita di sana,” sahutnya seakan tidak ingin aku melarikan diri. 

“Heran deh. Kenapa perjanjian masa lalu bisa segitu pentingnya, sih?” gumamku dengan kesal. 

Tapi sepertinya Pak Jonathan tidak mendengarnya. Untung saja, bisa kubayangkan omelannya jika mendengar ucapanku tadi. Apalagi perjodohan ini menyangkut hidup kakeknya. 

Pak Jonathan mengecilkan volume audio mobilnya. Aku meliriknya dengan gelisah. Sungguh, suasana ini terasa begitu canggung. Bagaimanapun dia adalah guru yang selalu membuatku stress karena tugas dan hukuman yang seakan sengaja diberikannya secara khusus padaku. 

“Aku harap kerjasamamu kali ini. Aku harap sementara ini kamu lupakan semua yang pernah terjadi di sekolah,” ucapnya, “jangan sampai karena semua itu, rencana hari ini berantakan dan penyakit kakekku jadi semakin berat.” 

Aku menghela napas dengan berat. “Aku nggak bisa lupain semuanya. Tapi … jangan khawatir. Aku juga nggak mau mencelakai orang lain, kok.” 

“Terima kasih,” ucapnya dengan tulus. 

“Jadi … Bapak nggak bakalan marah dan kasih aku hukuman lagi kan setelah ini? Ehm …. Lalu nilai-nilai ulanganku juga nggak bakal dikasih jeblok lagi kan? Hmm … atau Bapak bisa kasih aku bocoran soal eh … jawaban untuk ulangan besok? Bisa kan? Bisa …. Bisa ya,” cicitku sebagai usaha merayunya.

Tentu saja aku harus bisa memanfaatkan kesempatan emas seperti ini. Apalagi peluang seperti ini sangat jarang terjadi. Bukankah ini yang disebut dengan hubungan mutualisme. 

Bab terkait

  • Menikahi Guru Killer   Bab 7

    Pak Jonathan tersenyum. Sementara tangannya sibuk memarkirkan mobilnya dalam sederetan mobil lainnya di basement rumah sakit. Aku bisa membayangkan jawaban yang pasti keluar dari mulutnya. Tentu saja dia tidak akan menolaknya. Tentu saja dia tidak ingin mengecewakan aku dengan menolak permintaan semudah ini. “Tidak.” Lelaki itu menatapku dengan matanya yang tajam. “Aku nggak bisa mentolerir siapapun yang mencontek apalagi yang berusaha membeli soal.” Aku mencebikkan bibirku dengan kesal. “Bapak suka ya, kalo aku nggak lulus? Gimana pikiran Om Darius sama papa kalo liat nilaiku ntar. Suaminya guru matematika, tapi kok istrinya nilai matematikanya jeblok?” Pak Jonathan mengangkat telunjuknya dan menekan keningku. “Makanya belajar!” Ish! Nyebelin banget nih orang. Seandainya saja dia nggak punya pengaruh buat nilai rapotku, pasti aku nggak akan segan buat balas perlakuannya. Lelaki itu turun dari mobilnya. Tentu saja aku cepat-cepat turun mengikuti langkahnya. Kaki-kaki panjangnya me

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-19
  • Menikahi Guru Killer   Bab 8

    Hari sudah gelap saat aku sampai di rumah Pak Jonathan. Rumah yang tidak bisa dibilang besar itu hanya mempunyai satu kamar tidur dan sebuah kamar yang lebih terlihat mirip gudang. Namun perabot di dalam tiap ruangnya yang terkesan minimalis, membuat kesan rumah itu terlihat lebih luas dari yang seharusnya. Aku merebahkan tubuhku ke atas kasur empuk. Rasa capek karena padatnya aktivitas hari ini, membuatku ingin segera memejamkan mata. Tentu saja setelah aku membasuh tubuhku terlebih dahulu. Seharusnya Pak Jonathan sudah selesai membersihkan diri. Aku bisa menebaknya karena tak terdengar lagi suara gemericik air dari dalam sana. Tapi kenapa dia tak juga keluar dari kamar mandi. Dia terlalu lama, sampai kandung kemihku rasanya tak sanggup lagi menahan cairan yang sejak tadi kutahan. “Pak! Pak Jonathan,” panggilku di depan pintu kamar mandi.Baru saja kuayunkan tanganku untuk mengetuk, daun pintu itu terbuka lebar. Aku dapat melihat tubuh lelaki yang kini telah jadi suamiku itu. T

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-21
  • Menikahi Guru Killer   Bab 9

    Sesuatu yang bergerak di bawah panci berbahan alumunium itu, membuatku perasaan gelisahku semakin kuat. Panci yang dalam posisi tertelungkup itu bergerak tak beraturan, memperlihatkan kehadiran sebuah nyawa di dalamnya. “Ti–tikus?” Pikiranku langsung tertuju pada sosok makhluk berwarna hitam yang paling kutakuti. Sosok hitam yang dalam pikiranku adalah makhluk terjorok penghuni selokan itu selalu sukses membuatku merinding jejingkrakan. Aku segera mencari perlindungan. Dan perlindungan terdekat adalah dia! Lelaki yang ada di dekatku. “Ti–tikus!” teriakku. Kutarik dia dan kujadikan sebagai tameng dari makhluk kecil di bawah sana. “Heh! Mesum!” Suara laki-laki itu terdengar beberapa saat kemudian.Saat itulah aku menyadari sesuatu yang tidak seharusnya. Sepasang tanganku merasakan padat dan kerasnya dada Pak Jonathan yang kupeluk dari belakang. Kulitnya yang masih lembab dan terbuka itu terasa begitu segar, sesegar aroma segarnya sabun yang masih melekat di kulitnya. “Heh! Mesum,

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-23
  • Menikahi Guru Killer   Bab 10

    “Aku bakal … bikin semua orang di sekolah kita tahu, kalau Bapak itu nggak pantes buat jadi guru kesiswaan. Bapak cuma … cuma predator siswi di bawah umur,” cicitku kesal, “Bapak bahkan menikahi siswinya yang belum genap sembilan belas tahun.” “Silahkan saja,” sahutnya dengan angkuh, “paling juga … kita berdua dikeluarkan dari sekolah. Dan … bukan aku yang rugi, tapi kamu yang seharusnya tinggal menyelesaikan ujian akhir saja.” Aku mencebik kesal. Mau tak mau kurebahkan tubuhku dengan posisi membelakanginya. Bisa kubayangkan, setiap malam aku harus mengalami hal menyebalkan seperti ini. Seperti kebahagiaan yang biasanya ada, tiba-tiba saja lenyap tak berbekas. Malam semakin larut dan aku sama sekali tidak bisa memejamkan mata. Tidur di tempat yang sama sekali asing, bahkan bersama lelaki yang sebelum ini kukenali sebagai guru matematika di sekolahku. Guru temperamental yang seolah berambisi untuk menjatuhkan mentalku hanya karena tak sanggup menolak sebuah perjodohan. Tiba-tiba

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-25
  • Menikahi Guru Killer   Bab 11

    Rasanya ingin sekali aku berteriak meluapkan semua kekesalanku. Tidak ada sarapan, tidak ada pula ijin untuk cuti hari ini. Tidak ada kata selain si menyebalkan yang lebih pantas baginya. “Kok manyun gitu sih?” tanya Vena setengah berbisik di sela pelajaran bahasa Inggris yang sedang berlangsung, “ada masalah?” “Nggak, aku cuma sedikit lelah dan ngantuk,” balasku berbisik.“Ijin ke UKS?” sahutnya, “kamu mau tiduran sebentar, kan?” “Aku defisit lima jam istirahatku,” sahutku lagi, “bayangin … dari delapan jam, aku cuman tidur tiga jam.” “Emang ngapain aja kamu kok bisa tidur cuman tiga jam?” tanya Vena yang seperti mencurigaiku.“Aku —”“Alea! Vena! Pack your books and stationery, go to the student section and ask for punishment for your noisy chatter on my class,” perintahnya perempuan setengah baya bertubuh tambun itu. “Huu!” Suara itu berkumandang seolah paduan suara yang mengiringi gerakan kami mengemas semua harta benda kami yang terserak di atas meja.“Habislah kita!” Gumamk

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-27
  • Menikahi Guru Killer   Bab 12

    “Tentu saja. Aku bukan teman yang suka mengobral gosip sahabat aku sendiri. Tenang aja,” sahut Vena dengan cepat. Aku menarik sudut bibirku, memberikannya seulas senyuman. “Doni nembak aku kemaren.” “Hah!” Sepasang mata gadis di hadapanku membulat. “Kamu yakin itu yang bikin kamu gelisah beberapa hari terakhir?” Aku menganggukkan kepalaku. Tentu saja aku tidak mungkin memberitahunya kalau penyebab kegelisahanku adalah Pak Jonathan, karena guru yang paling kuhindari itu ternyata harus menjadi suamiku. “Aku belum memberinya jawaban,” sahutku memberikan alibi tambahan. “Alea … Alea. Aku pikir masalah besar apa, ternyata cuman gara-gara si kapten basket itu lagi,” cetus Vena yang tampaknya agak kecewa mendengar berita itu. “Apa dia segitu penting sampai kamu nggak bisa tidur?” “Sepertinya,” sahutku. “Ya udah, terima aja. Nggak usah dibikin susah. Cuman … kamu mesti siap mental buat dijadiin mantan dalam daftarnya,” tuturnya lagi, “kamu siap?” Aku menganggukkan kepalaku. “S

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-27
  • Menikahi Guru Killer   Bab 13

    “Lea, be my valentine!” Ucap lelaki muda itu sembari memberikan sekotak coklat berpita merah muda. Aku meraih coklat yang bertema brown and white itu. “Wah … kamu sengaja mau bikin aku gendut, ya?” Doni menarik kembali kotak coklat itu. “Enggak … enggak, kok. Nggak papa kalo kamu nggak mau. Aku bisa kasih kamu hadiah valentine lain.” “Leh, kok diambil lagi. Ntar bisulan loh,” sahutku sambil menyambar kembali coklat itu, “cewek mana sih, yang nggak suka coklat.” Aku bisa melihat senyum kelegaan di wajahnya. Tentu saja, dia tidak perlu mencari tahu lebih lagi tentang kesukaanku jika aku menerima coklat pemberiannya. “Nanti sore … kita jalan, yuk.”“Kemana?” “Hmm … kamu mau kemana? Aku antar kamu sampe ke ujung dunia sekalipun,” jawabnya dengan gombalannya yang sangat jelas. “Hmm … tapi besok ada tes kimia. Aku nggak bisa,” sahutku. Raut kecewa terlihat jelas di wajahnya. Rasanya tak tega untuk menolaknya terus, apalagi aku sudah memberikan harapan dengan menerima cintanya, bahka

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-28
  • Menikahi Guru Killer   Bab 14

    “Bantu apa? Panggil ambulans?” tanyanya dengan wajah cemas yang sangat kentara.“Nggak usah lebai, Pak,” sergahku yang semakin kesal dengan kecemasannya yang berlebihan. “Tapi kamu sakit Lea,”“Apa Bapak nggak pernah lihat cewek kalo lagi siklus?”“Maksudmu?” “Iya, siklus sebulanan. Aku butuh kompres hangat, pereda nyeri dan pembalut. Bisa Bapak beliin di toko merah depan komplek?”“Apa saja?” tanyanya lagi.“Pereda nyeri, pembalut dengan sayap.” “A–aku berangkat sekarang,” sahutnya cepat-cepat memakai kembali kaos oblong untuk menutupi kesempurnaan tubuhnya. Aku beranjak dari ranjangku begitu Pak Jonathan keluar dari rumah. Kucari sebuah botol, lalu kuisi dengan air panas. Rasanya begitu nyaman ketika benda hangat itu bersentuhan dengan perutku. Rasa nyeri itu sedikit berkurang karena kehangatan yang kurasakan.“Ini semua yang kamu butuhkan.” Pak Jonathan meletakkan kantong belanjanya. Kantong belanja yang cukup besar itu justru membuatku merasa curiga.Aku segera meraih kantong

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-29

Bab terbaru

  • Menikahi Guru Killer   Bab 114

    Aku menggigit bibirku, berusaha menahan rasa sakit yang masih bisa kurasakan saat benda berukuran besar itu tenggelam di dalamku. Bahkan aku dapat merasakan sensasi yang berbeda dari biasanya. Dalam posisi ini, belalai itu bahkan tenggelam lebih dalam lagi. Lebih dari biasanya.Pak Jonathan memegang pinggangku. Dengan mata terpejam ia berusaha membimbingku agar aku mulai bergerak naik dan turun. “Sayang, bergeraklah,” pintanya, “jangan menjepitku seperti ini.”Kuikuti arahannya dengan hati-hati. Entah apa yang dirasakannya, saat aku mulai bergerak, suara erangan keluar dari bibirnya. Tangannya yang semula berada di pinggangku, kini dengan nakalnya membelai tubuhku, menyentuh sepasang gumpalan padat dan meremasnya kuat. Heh! Kenapa sensasi yang kurasakan saat ini begitu hebat. Apalagi saat aku mempercepat gerakanku. Setiap gesekannya menciptakan gelitik yang membuatku melayang dan menginginkan lebih. Bahkan di dalam sana aku merasa penuh, sesak, membuat kedut-kedut itu semakin mengg

  • Menikahi Guru Killer   Bab 113

    “Tapi kenapa harus mawar? Dan … kenapa di atas ranjang kita?” tanyaku. Pasti ada alasan dia meletakkan kelopak mawar di atas ranjang kami, walau ia tahu akan tak nyaman rasanya untuk tidur diatasnya.Tapi Pak Jonathan justru tersenyum. “Aku hanya ingin melihat mawarku berada di antara bunga mawar lainnya,” tuturnya, “dan … kau tahu, mawarku paling cantik diantara ratusan mawar di kamar ini.” “Hah! Mana ada. Aku manusia, bukan bunga, Pak Buntal,” sahutku sembari mencubit pinggangnya, walau jujur dalam hatiku berbunga-bunga mendengar rayuannya. “Kamu tahu … aku paling suka liat wajah kamu yang memerah seperti sekarang ini,” pujinya lagi, “terlihat begitu ….”Ia mendekatkan bibirnya ke telingaku dan berbisik, “... sexy.” Aku menelan kasar salivaku. Gemuruh di dadaku, terasa begitu hebat. Bahkan membuatku gelisah, seandainya saja Pak Jonathan bisa mendengarkan suaranya. Hanya bayangan diriku yang terlihat dengan jelas dalam sepasang mata jernihnya, seakan menyatakan hanya aku yang ada

  • Menikahi Guru Killer   Bab 112

    “Jadi kamu udah telat dua minggu?” Sepasang mata gadis itu mendelik saat aku mengatakan masalah yang aku alami. Cepat-cepat aku arahkan telapak tanganku menutupi mulutnya.“Jangan keras-keras, Ven!” kesalku tanpa melepaskan tanganku dari mulutnya. Gadis itu langsung menganggukkan kepalanya, sebuah tanda bahwa ia akan mengikuti aturan mainku. “Ini bukan pertama kalinya aku telat. Jadi aku nggak yakin kalo nggak ada sesuatu di dalam sana,” lanjutku.“Iya, aku tahu kamu sering telat datang bulan. Tapi … kamu yakin nggak mau ceritain ini sama suami kamu?” tanya Vena. Kini suaranya terdengar cemas. “Kalau aku cerita, terus dia malah nggak suka sama aku yang penyakitan ini, gimana?” “Kamu nggak boleh punya pikiran negatif dulu sama suami kamu.” Gadis itu menarik sudut bibirnya. “Siapa tahu dia punya solusi buat kamu.” Aku menghela napas panjang. “Benar juga. Tapi … kalau aku menceritakan semuanya sekarang, bisa-bisa rencana bulan madu kami gagal.”“Nggak papa juga, kan. Kamu bisa lakuk

  • Menikahi Guru Killer   Bab 111

    “Nikah lagi?” ulang lelaki itu. Tak lama kemudian, ia tertawa. “Kamu ini keterlaluan, ya.” Hah? Kenapa aku yang keterlaluan?“Aku sudah pernah bilang, kan, sama kamu. Hatiku ini cuman satu. Dan itu sudah kamu curi,” jawabnya sembari mencubit pucuk hidungku, “apa mungkin hatiku kamu kembalikan, pencuri?” “Auw! Sakit ih!” teriakku.“Siapa suruh bikin pertanyaan konyol macam itu,” sahutnya.Aku mencebik kesal. “Jawab sih jawab, tapi nggak usah cubit-cubit juga, kan.”“Jadi gimana … kita mesti rajin nih,” godanya.“Hih! Dasar mesum,” ketusku. “Eh … tapi kamu suka, kan?” Godanya.“Pak buntal tukang mesum,” balasku tak mau kalah.“Tapi kamu yang teriak dan mendesah paling keras, kan,” godanya lagi, “Jo nat ahh.”Aku langsung mendelik saat ia menirukan caraku memanggil namanya. Sungguh bikin aku kesal. “Pak buntal! Kamu ini benar-benar keterlaluan!” Tanpa ampun, aku menyerangnya dengan cubitan-cubitan kecil di pinggangnya.Malam itu bahkan aku merasa kesulitan untuk memejamkan mata. Kali

  • Menikahi Guru Killer   Bab 110

    “Dia memang lebih segalanya dari kamu. Tapi aku justru begitu bodohnya menyerahkan segalanya buat kamu. Puas?” ucapku dengan perasaan kesal. Sangat sangat kesal. Bagaimana bisa dia cemburu pada lelaki lain, sedangkan aku sudah memilih dia dan menyerahkan segalanya buat dia.“Jonathan? Ada apa ini? Kalian bertengkar?” Suara perempuan itu membuatku terkejut. Aku langsung menoleh ke arah suara yang tak asing di telingaku itu. “Mama Intan.” Aku mengerutkan keningku dan berlari mendekati mama mertuaku yang paling baik itu. “Pak Jonathan jahat. Masa sih, dia pake acara cemburu-cemburuan sama kakaknya sahabat Al.”“Cemburu cemburuan gimana, sih.” Mama Intan mengerutkan keningnya sepertinya ia kebingungan karena tidak tahu apa yang sedang kami diskusikan. “Coba kamu jelasin dulu sama mama”“Nggak, nggak ada apa-apa, kok ma,” bantah Pak Jonathan.“Masak Alea sudah kasih semuanya sama Pak Jonathan, tapi dia masih saja cemburu sama Kak Bernard,” keluhku, “kalau memang Alea mau sama kak Bernar

  • Menikahi Guru Killer   Bab 109

    Semakin lama kurasakan hentakan yang diberikannya pun semakin intens. Setiap hentakannya seakan menenggelamkanku dalam hasrat yang semakin dalam. Tubuhku terasa begitu ringan, seakan semua beban yang ada, terlepas saat itu pula. Dekapan hangat dan hentakan yang semakin memanas itu semakin membuatku melayang. Tetes keringatnya kurasakan menyentuh kulitku saat ia semakin memacu dan menciptakan gelitik yang semakin menggila di dalam perutku. Kuremas kuat pundaknya, sehingga tanpa sadar kuku-kuku jemari tanganku menancap menembus kulitnya. “Kita selesaikan bersama, Sayang,” ucapnya seperti sebuah tanda bagiku tentang hentakan dahsyat yang akan diberikannya. Semakin cepat, kuat, liar dan dalam. “Jo nath aah–” teriakku terputus saat hentakan itu berakhir dengan begitu dalam. Hentakan yang seperti menghentikan suplai oksigen dalam paru-paruku dalam seketika, sehingga membuat tubuhku lemas larut dalam perasaan yang indah. Apakah ini yang dinamakan surga dunia.Kurasakan kedut-kedut di d

  • Menikahi Guru Killer   Bab 108

    “Aku tidak pernah meninggalkan siapapun, Alea,” sahut Jonathan. Ku oleskan salep pada lebam yang sama sekali tak estetik di wajahnya. Bahkan dengan sengaja aku menyentuhnya dengan sedikit kasar karena masih merasa gemas. Sampai babak belur seperti itu pun ia masih tetap tidak mengaku juga. Lelaki itu meringis tanpa berani mengeluhkan kekasaranku. “Tidurlah, biar demam kamu lekas hilang,” perintahku.“Tapi Al, aku tak akan bisa tenang selama kamu masih salah paham seperti sekarang ini,” keluhnya. “Kenapa? Kamu udah jelasin kalau hubungan kamu sama Marsha bukan pacar. Kamu teman yang sedang terlibat kerjasama urusan bisnis. Gitu kan?” paparku, “aku dah dengar semua. Perkara aku bisa percaya atau tidak, apa pedulimu?”“Alea, jelas aku peduli.” Lelaki itu menegakkan tubuhnya di atas ranjangnya. Sepasang matanya menatapku seakan mencari sesuatu di dalamnya.“Apa yang harus aku lakukan agar kamu kembali seperti Aleaku yang dulu?” lanjutnya dengan suara frustasi. “Dengan semua kejujuranm

  • Menikahi Guru Killer   Bab 107

    “Jangan Kak, jangan pukul dia.” Aku berpaling mengamati luka lebam di wajah suamiku. Entah kenapa hatiku merasa ikut sakit. “Minggir Alea, dia perlu diberi pelajaran. Dia nggak tahu gimana cara memperlakukan istri dengan baik.” Kak Bernard mengepalkan tinjunya, siap memberikan pukulannya sekali lagi.“Cukup Kak. Dia sudah luka seperti ini,” teriakku dalam ledakan emosi, “apa kakak mau membunuhnya sekalian?” Kepalan tangan itu perlahan terurai bersama seraut wajah kecewanya yang sangat kentara. “Pergilah, aku butuh waktu buat sendiri,” perintahku pada lelaki yang berdiri tegak dengan pipi lebamnya di depanku.“Marsha benar-benar bukan mantan kekasihku. Aku ke tempatnya hanya karena urusan bisnis,” terangnya tanpa kuminta.“Pulanglah, aku benar-benar butuh waktu buat berpikir.”“Kamu nggak denger dia bilang apa?” Kak Bernard tiba-tiba berdiri di antara kami. Lelaki itu mendorong Pak Jonathan menjauh dari hadapanku. Aku bahkan bergeming di tempatku, walau perasaanku berontak ingin b

  • Menikahi Guru Killer   Bab 106

    “Pada latihan casting, ya? Aku boleh ikutan?” “Kak Bernard! Minggir sana!” usir Vena sembari mengibaskan kedua tangannya, “ganggu aja.”“Wait … wait. Jangan bilang kalau bidadari cantikku ini nangis beneran,” lanjut Kak Bernard. Aku mengusap kedua mataku karena tak ingin memperlihatkan kelemahanku pada siapapun termasuk kakak sahabatku sendiri. Tapi ternyata hal itu terlalu berat. Dan aku kembali menangis dengan semakin kencang. “Kak Bernard ….” “Iya cantik. Siapa yang nakal?” tanyanya seperti peduli padaku. Ia mendekat dan duduk di antara kami berdua.“Kakak yang nakal,” sahutku sambil menangis semakin keras, “kenapa kamu ganggu aku. Kakak nggak ada bedanya sama dia. Semua laki-laki sama.”Kali ini lelaki itu justru terdiam. Ia menghela napas sebelum mengungkapkan apa yang ada di dalam hatinya. “Semua laki-laki itu sama. Tapi kamu justru lebih memilih dia. Semua perempuan itu sama, tapi aku justru menyukai kamu.” Aku langsung terdiam mendengar kalimat itu. Bukan hanya aku, bahk

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status