“Iya, iya. Aku lepasin.”
Audrico melepaskan cekalan tangannya setelah kuhentakkan tanganku dengan kuat. “Apaan sih,” omelku saking kesalnya, kuraba pergelangan tanganku yang terasa nyeri karena kekuatan tangan lelaki muda itu, “nggak usah tarik-tarik kenapa. Emangnya kamu kira aku kambing korban, apa.” “Enggak. Mana berani aku,” sahut Audrico dengan acuh, “ aku cuman dapat perintah buat bawa kamu ke belakang sekolah.” “Ogah! Buat apa?” “Udahlah, ikut aja. Atau … mau aku tarik lagi ke sana.” “Kamu … udah gila ya?” “Nggak, bukan aku yang gila. Tapi teman aku, kalo kamu nggak ikut sama aku.” Ish! Kenapa juga aku harus nuruti perkataannya. Tapi … temannya, maksudnya Doni, bukan sih? Karena rasa penasaran, dengan perasaan kesal, aku pun melangkahkan kakiku menyusuri koridor menuju ke taman belakang sekolah. Taman yang hampir tak terurus karena jarang dikunjungi oleh siapapun. Namun aku benar-benar terkejut ketika melihat apa yang menantiku di sana. Senyum Doni Aryanata, teman laki-laki tertampan di sekolahku, mengembang di sudut bibirnya. Senyuman yang menambah semarak ketampanannya semakin meningkat. Di belakangnya tampak sebuah banner berukuran cukup besar bertuliskan “Alea, be my girlfriend”. “Al, aku tahu. Ini bukan pertama kali aku nembak kamu. Tapi ini udah ketiga kalinya,” ucap Doni dengan suara datar, “tapi aku nggak bisa move on sama kamu. Aku nggak bisa lupain kamu.” “Jadi … aku mau, kali ini kamu nerima aku jadi pacar kamu. Dan kali ini aku juga berharap kamu nggak bakal nolak aku lagi,” sambungnya. Lelaki muda itu mengulurkan sekuntum mawar merah padaku. Entah bunga siapa yang sudah menjadi korban keusilannya kali ini. Aku menatapnya dengan perasaan tak karuan. Tentu saja karena aku ingin sekali menerima permintaan itu, tapi bagaimana jika dia tahu kalau sore nanti aku akan menikah? Rasanya sangat tidak adil. Aku harus memendam perasaanku hanya karena ingin menuruti ambisi kakekku yang notabene sudah tenang di akhirat. Lelaki muda itu melangkah mendekat. Sepertinya dia tahu kegundahan dalam hatiku dan ingin meyakinkan perasaan kami. “Alea, aku suka kamu sejak awal kita masuk sekolah ini. Aku udah coba jalan sama banyak teman cewek lain, tapi aku nggak pernah ngerasa nyaman dan berdebar seperti saat aku dekat kamu,” bujuknya, “jadi … kenapa kamu nggak mau coba.” Sepasang mata itu terlihat begitu tulus, seakan memaksaku untuk mengiyakan semua permintaannya. Tapi … bagaimana jika karena kedekatan kami, dia tahu hubunganku dengan Pak Jonathan? Ah …. Tidak! Aku tidak bisa menolaknya. Siapa tahu dia adalah jodohku. Bukankah Pak Jonathan juga tidak akan menjadi suamiku selamanya? Ini semua hanya untuk menyenangkan orang tua kami. Bukankah Pak Jonathan juga sudah janji bakal biarin aku ngelakuin apapun yang mau aku lakukan. Aku bebas mau ngapain bahkan mau pacaran sama Doni sekalipun. Aku menghela napas panjang, mencoba memantapkan hati untuk menerima posisiku di hati lelaki itu. “Baiklah, kita coba. Tapi … aku nggak mau hubungan ini berubah menjadi tali kekang buat aku,” sahutku pada akhirnya. Doni melebarkan kedua tangannya seakan memintaku untuk masuk ke dalam pelukannya. Tapi justru aku berbalik dan melenggang pergi dari tempat itu. “Al … Alea! Pacarku, kamu mau kemana?” Aku masih mendengar teriakannya di belakangku. Dan tak lama kemudian pundakku terasa berat karena lengannya telah bertengger di sana. Kuhentikan langkahku dan berbalik menatapnya. “Lepasin tangan kamu dari pundakku.” “Nggak mau. Kenapa harus aku lepas?” tanyanya dengan gaya playboynya yang khas. “Aku nggak mau deretan para mantanmu musuhin aku. Bisa jadi geprekan aku ntar,” sahutku. “Kalo aku nggak mau?” “Ya udah, nggak jadi. Aku nggak jadi nerima perasaan kamu,” sahutku cepat. “Leh,” balasnya, “kok gitu?” “Aku pikir-pikir dulu, takut jadi geprekan,” jawabku lagi sambil berlalu meninggalkannya. Ada perasaan bahagia terselip di hatiku. Bagaimana tidak, lelaki yang menjadi rebutan kaum hawa di sekolahku, bahkan menyatakan perasaannya untuk ketiga kalinya! Dunia ini terasa begitu indah, seakan semua mimpi berhasil kugenggam dengan mudahnya. Namun begitu aku berpapasan lagi dengan Pak Jonathan, mood ku kembali hancur sampai ke dasar. Astaga, bahkan hari ini adalah hari terakhir aku berstatus lajang. Biarpun itu hanya status di atas kertas, tapi pikiranku tak dapat membodohi perasaanku. Matahari semakin tinggi saat aku menatap sekelompok siswa berseragam almamater sekolahku bergerombol di halte. Tentu saja akan sangat menarik perhatian jika Pak Jonathan menjemputku di sini. Kutundukkan kepalaku melihat layar ponsel yang memperlihatkan berbagai konten menarik dalam aplikasi toktok. Mulai dari lawakan – yang entah kenapa hari ini sama sekali tak terlihat lucu, sampai berita tentang para selebriti hollywood yang begitu mengerikan. Aku bahkan benar-benar merinding mendengar kasus viral yang berkali-kali diposting dengan berita yang nyaris sama itu. Tin! Tin! Suara klakson itu menyadarkan aku bahwa tak ada lagi siapapun di tempat itu. Dan dari jendela mobil city car yang berhenti tepat di depanku, terlihatlah wajah yang sangat kukenal. “Ayo cepat!” teriaknya dari dalam mobil. Tanpa jawaban, aku segera memasukkan ponselku ke dalam tasku dan dengan enggan, masuk ke dalam mobilnya. “Pake sabuk keselamatanmu. Kita akan langsung ke rumah sakit sekarang,” perintahnya. “Langsung? Nggak pulang dulu?” “Tidak. Semua sudah menunggu kita di sana,” sahutnya seakan tidak ingin aku melarikan diri. “Heran deh. Kenapa perjanjian masa lalu bisa segitu pentingnya, sih?” gumamku dengan kesal. Tapi sepertinya Pak Jonathan tidak mendengarnya. Untung saja, bisa kubayangkan omelannya jika mendengar ucapanku tadi. Apalagi perjodohan ini menyangkut hidup kakeknya. Pak Jonathan mengecilkan volume audio mobilnya. Aku meliriknya dengan gelisah. Sungguh, suasana ini terasa begitu canggung. Bagaimanapun dia adalah guru yang selalu membuatku stress karena tugas dan hukuman yang seakan sengaja diberikannya secara khusus padaku. “Aku harap kerjasamamu kali ini. Aku harap sementara ini kamu lupakan semua yang pernah terjadi di sekolah,” ucapnya, “jangan sampai karena semua itu, rencana hari ini berantakan dan penyakit kakekku jadi semakin berat.” Aku menghela napas dengan berat. “Aku nggak bisa lupain semuanya. Tapi … jangan khawatir. Aku juga nggak mau mencelakai orang lain, kok.” “Terima kasih,” ucapnya dengan tulus. “Jadi … Bapak nggak bakalan marah dan kasih aku hukuman lagi kan setelah ini? Ehm …. Lalu nilai-nilai ulanganku juga nggak bakal dikasih jeblok lagi kan? Hmm … atau Bapak bisa kasih aku bocoran soal eh … jawaban untuk ulangan besok? Bisa kan? Bisa …. Bisa ya,” cicitku sebagai usaha merayunya. Tentu saja aku harus bisa memanfaatkan kesempatan emas seperti ini. Apalagi peluang seperti ini sangat jarang terjadi. Bukankah ini yang disebut dengan hubungan mutualisme.Pak Jonathan tersenyum. Sementara tangannya sibuk memarkirkan mobilnya dalam sederetan mobil lainnya di basement rumah sakit. Aku bisa membayangkan jawaban yang pasti keluar dari mulutnya. Tentu saja dia tidak akan menolaknya. Tentu saja dia tidak ingin mengecewakan aku dengan menolak permintaan semudah ini. “Tidak.” Lelaki itu menatapku dengan matanya yang tajam. “Aku nggak bisa mentolerir siapapun yang mencontek apalagi yang berusaha membeli soal.” Aku mencebikkan bibirku dengan kesal. “Bapak suka ya, kalo aku nggak lulus? Gimana pikiran Om Darius sama papa kalo liat nilaiku ntar. Suaminya guru matematika, tapi kok istrinya nilai matematikanya jeblok?” Pak Jonathan mengangkat telunjuknya dan menekan keningku. “Makanya belajar!” Ish! Nyebelin banget nih orang. Seandainya saja dia nggak punya pengaruh buat nilai rapotku, pasti aku nggak akan segan buat balas perlakuannya. Lelaki itu turun dari mobilnya. Tentu saja aku cepat-cepat turun mengikuti langkahnya. Kaki-kaki panjangnya me
Hari sudah gelap saat aku sampai di rumah Pak Jonathan. Rumah yang tidak bisa dibilang besar itu hanya mempunyai satu kamar tidur dan sebuah kamar yang lebih terlihat mirip gudang. Namun perabot di dalam tiap ruangnya yang terkesan minimalis, membuat kesan rumah itu terlihat lebih luas dari yang seharusnya. Aku merebahkan tubuhku ke atas kasur empuk. Rasa capek karena padatnya aktivitas hari ini, membuatku ingin segera memejamkan mata. Tentu saja setelah aku membasuh tubuhku terlebih dahulu. Seharusnya Pak Jonathan sudah selesai membersihkan diri. Aku bisa menebaknya karena tak terdengar lagi suara gemericik air dari dalam sana. Tapi kenapa dia tak juga keluar dari kamar mandi. Dia terlalu lama, sampai kandung kemihku rasanya tak sanggup lagi menahan cairan yang sejak tadi kutahan. “Pak! Pak Jonathan,” panggilku di depan pintu kamar mandi.Baru saja kuayunkan tanganku untuk mengetuk, daun pintu itu terbuka lebar. Aku dapat melihat tubuh lelaki yang kini telah jadi suamiku itu. T
Sesuatu yang bergerak di bawah panci berbahan alumunium itu, membuatku perasaan gelisahku semakin kuat. Panci yang dalam posisi tertelungkup itu bergerak tak beraturan, memperlihatkan kehadiran sebuah nyawa di dalamnya. “Ti–tikus?” Pikiranku langsung tertuju pada sosok makhluk berwarna hitam yang paling kutakuti. Sosok hitam yang dalam pikiranku adalah makhluk terjorok penghuni selokan itu selalu sukses membuatku merinding jejingkrakan. Aku segera mencari perlindungan. Dan perlindungan terdekat adalah dia! Lelaki yang ada di dekatku. “Ti–tikus!” teriakku. Kutarik dia dan kujadikan sebagai tameng dari makhluk kecil di bawah sana. “Heh! Mesum!” Suara laki-laki itu terdengar beberapa saat kemudian.Saat itulah aku menyadari sesuatu yang tidak seharusnya. Sepasang tanganku merasakan padat dan kerasnya dada Pak Jonathan yang kupeluk dari belakang. Kulitnya yang masih lembab dan terbuka itu terasa begitu segar, sesegar aroma segarnya sabun yang masih melekat di kulitnya. “Heh! Mesum,
“Aku bakal … bikin semua orang di sekolah kita tahu, kalau Bapak itu nggak pantes buat jadi guru kesiswaan. Bapak cuma … cuma predator siswi di bawah umur,” cicitku kesal, “Bapak bahkan menikahi siswinya yang belum genap sembilan belas tahun.” “Silahkan saja,” sahutnya dengan angkuh, “paling juga … kita berdua dikeluarkan dari sekolah. Dan … bukan aku yang rugi, tapi kamu yang seharusnya tinggal menyelesaikan ujian akhir saja.” Aku mencebik kesal. Mau tak mau kurebahkan tubuhku dengan posisi membelakanginya. Bisa kubayangkan, setiap malam aku harus mengalami hal menyebalkan seperti ini. Seperti kebahagiaan yang biasanya ada, tiba-tiba saja lenyap tak berbekas. Malam semakin larut dan aku sama sekali tidak bisa memejamkan mata. Tidur di tempat yang sama sekali asing, bahkan bersama lelaki yang sebelum ini kukenali sebagai guru matematika di sekolahku. Guru temperamental yang seolah berambisi untuk menjatuhkan mentalku hanya karena tak sanggup menolak sebuah perjodohan. Tiba-tiba
Rasanya ingin sekali aku berteriak meluapkan semua kekesalanku. Tidak ada sarapan, tidak ada pula ijin untuk cuti hari ini. Tidak ada kata selain si menyebalkan yang lebih pantas baginya. “Kok manyun gitu sih?” tanya Vena setengah berbisik di sela pelajaran bahasa Inggris yang sedang berlangsung, “ada masalah?” “Nggak, aku cuma sedikit lelah dan ngantuk,” balasku berbisik.“Ijin ke UKS?” sahutnya, “kamu mau tiduran sebentar, kan?” “Aku defisit lima jam istirahatku,” sahutku lagi, “bayangin … dari delapan jam, aku cuman tidur tiga jam.” “Emang ngapain aja kamu kok bisa tidur cuman tiga jam?” tanya Vena yang seperti mencurigaiku.“Aku —”“Alea! Vena! Pack your books and stationery, go to the student section and ask for punishment for your noisy chatter on my class,” perintahnya perempuan setengah baya bertubuh tambun itu. “Huu!” Suara itu berkumandang seolah paduan suara yang mengiringi gerakan kami mengemas semua harta benda kami yang terserak di atas meja.“Habislah kita!” Gumamk
“Tentu saja. Aku bukan teman yang suka mengobral gosip sahabat aku sendiri. Tenang aja,” sahut Vena dengan cepat. Aku menarik sudut bibirku, memberikannya seulas senyuman. “Doni nembak aku kemaren.” “Hah!” Sepasang mata gadis di hadapanku membulat. “Kamu yakin itu yang bikin kamu gelisah beberapa hari terakhir?” Aku menganggukkan kepalaku. Tentu saja aku tidak mungkin memberitahunya kalau penyebab kegelisahanku adalah Pak Jonathan, karena guru yang paling kuhindari itu ternyata harus menjadi suamiku. “Aku belum memberinya jawaban,” sahutku memberikan alibi tambahan. “Alea … Alea. Aku pikir masalah besar apa, ternyata cuman gara-gara si kapten basket itu lagi,” cetus Vena yang tampaknya agak kecewa mendengar berita itu. “Apa dia segitu penting sampai kamu nggak bisa tidur?” “Sepertinya,” sahutku. “Ya udah, terima aja. Nggak usah dibikin susah. Cuman … kamu mesti siap mental buat dijadiin mantan dalam daftarnya,” tuturnya lagi, “kamu siap?” Aku menganggukkan kepalaku. “S
“Lea, be my valentine!” Ucap lelaki muda itu sembari memberikan sekotak coklat berpita merah muda. Aku meraih coklat yang bertema brown and white itu. “Wah … kamu sengaja mau bikin aku gendut, ya?” Doni menarik kembali kotak coklat itu. “Enggak … enggak, kok. Nggak papa kalo kamu nggak mau. Aku bisa kasih kamu hadiah valentine lain.” “Leh, kok diambil lagi. Ntar bisulan loh,” sahutku sambil menyambar kembali coklat itu, “cewek mana sih, yang nggak suka coklat.” Aku bisa melihat senyum kelegaan di wajahnya. Tentu saja, dia tidak perlu mencari tahu lebih lagi tentang kesukaanku jika aku menerima coklat pemberiannya. “Nanti sore … kita jalan, yuk.”“Kemana?” “Hmm … kamu mau kemana? Aku antar kamu sampe ke ujung dunia sekalipun,” jawabnya dengan gombalannya yang sangat jelas. “Hmm … tapi besok ada tes kimia. Aku nggak bisa,” sahutku. Raut kecewa terlihat jelas di wajahnya. Rasanya tak tega untuk menolaknya terus, apalagi aku sudah memberikan harapan dengan menerima cintanya, bahka
“Bantu apa? Panggil ambulans?” tanyanya dengan wajah cemas yang sangat kentara.“Nggak usah lebai, Pak,” sergahku yang semakin kesal dengan kecemasannya yang berlebihan. “Tapi kamu sakit Lea,”“Apa Bapak nggak pernah lihat cewek kalo lagi siklus?”“Maksudmu?” “Iya, siklus sebulanan. Aku butuh kompres hangat, pereda nyeri dan pembalut. Bisa Bapak beliin di toko merah depan komplek?”“Apa saja?” tanyanya lagi.“Pereda nyeri, pembalut dengan sayap.” “A–aku berangkat sekarang,” sahutnya cepat-cepat memakai kembali kaos oblong untuk menutupi kesempurnaan tubuhnya. Aku beranjak dari ranjangku begitu Pak Jonathan keluar dari rumah. Kucari sebuah botol, lalu kuisi dengan air panas. Rasanya begitu nyaman ketika benda hangat itu bersentuhan dengan perutku. Rasa nyeri itu sedikit berkurang karena kehangatan yang kurasakan.“Ini semua yang kamu butuhkan.” Pak Jonathan meletakkan kantong belanjanya. Kantong belanja yang cukup besar itu justru membuatku merasa curiga.Aku segera meraih kantong
“Jo? Kamu … sama dia. Kenapa bisa barengan?” Suara mendayu yang khas itu, spontan membuatku menoleh ke belakang.Dan benarlah apa yang kuduga. Bu Ella sedang berdiri di belakangku. Matanya begitu bulat seperti mau lompat saat melihatku ada di sisi suamiku. Dimana salahnya? Ah ~ tentu saja karena dia belum tahu kalau kami sudah menikah.“Selamat malam, Bu,” ucapku, mati-matian menyembunyikan rasa terkejut yang ada. Kutarik sudut bibirku untuk memberinya seulas senyuman. Tapi sepertinya ia tidak menyukainya. “Alea, jangan bilang kalau kamu sedang belajar di sini,” ucap wali kelas 12A-1 itu dengan nada meninggi. Tatapan mata curiganya seperti sinar laser yang hendak menembusku. “Tapi bukan saya loh, yang bilang. Ibu sendiri yang bilang kalau aku belajar,” balasku cepat. “Bu Ella, kami sedang makan malam. Apa ada yang salah?” ungkap Pak Jonathan dengan santainya. Mata perempuan itu menatapku dengan sinis, membuatku merasa tak nyaman karenanya. “Berdua?” “Kenapa Bu, apa salah jika Pa
“Alea … Alea! Dengarkan aku,” pinta Pak Jonathan dengan tegas. Aku menatap manik hitam itu masih dengan perasaan tak karuan. Bagiku kalimat yang diucapkannya tadi adalah momok paling menyeramkan dalam hidupku. Aku tidak ingin menghancurkan impian orang yang kusayang. “Kamu nggak perlu merasa gentar. Kita sudah melakukan apa yang harus kita lakukan. Kita pulang sekarang,” perintah Pak Jonathan. Heh! Apa dia semarah itu karena aku sudah menghancurkan impiannya? Sepanjang perjalanan, aku masih saja berpikir tentang semua peristiwa yang terjadi. Semuanya terjadi begitu saja seperti sebuah mimpi. Bahkan Pak Jonathan tak memberiku kesempatan untuk memperbaiki kesalahan yang membuat impiannya hancur hanya karena tak ingin aku merendahkan diri. Aku menghela napas panjang, berharap dengan masuknya oksigen ke dalam tubuhku, pikiranku akan semakin terbuka dan bisa menyelesaikan persoalan ini. Ya, aku yakin pasti ada cara untuk menyelesaikan persoalan ini.“Kenapa? Kamu masih nggak ikhlas bua
“Maaf Tante, sebenarnya kemarin aku cuma kebetulan lewat. Aku sama Doni cuman teman sekolah. Emh, teman akrab,” tuturku tanpa mempedulikan kegelisahan di wajah lelaki muda itu. Tentu saja dia sadar kalau aku sudah beberapa kali mencoba memutuskan hubungan kami. “Teman akrab?” ulang Doni seakan kata itu terdengar aneh di telinganya. Tok tok! Aku langsung menoleh ke arah pintu, tepat dimana Pak Jonathan berdiri. Lelaki itu menutup pintu dan langsung menebarkan senyumannya. “Kamu sudah baikan, Don?” tanya Pak Jonathan dengan penuh perhatian.“Lumayan Pak,” sahutnya, “terima kasih sudah datang.” Pak Jonathan mengulurkan tangannya pada perempuan itu. “Anda pasti mamanya Doni, kan. Kenalkan, saya Jonathan. Saya guru mereka, tapi hari ini saya kemari untuk menemani istri saya menjenguk Doni, temannya.” Deg! Jantungku seperti berhenti berdetak. Bagaimana tidak, Pak Jonathan tanpa basa basi langsung memperkenalkan dirinya sebagai suamiku, pada mamanya Doni. Bahkan ia mengatakannya deng
“Siapa yang nelpon? Apa ada masalah? Kok kelihatannya serius banget?” Suara itu membuatku terkejut. Tentu saja aku tidak menyadari kehadirannya di sekitarku. Bisa saja Pak Jonathan sudah mendengar semua pembicaraan antara aku dan Vena. Tapi … dia nggak mungkin dengar apa yang Vena katakan. Bisa saja dia akan salah paham jika aku tidak menjelaskannya. Tapi … bagaimana kalau sebaliknya, dia justru sakit karena aku membahas masalah Doni lagi. “Vena … iya, Vena yang telpon,” sahutku tergagap saking gugupnya. “Kenapa lagi? Ada masalah?”“Eng … anu. Gimana ya, aduh … itu.” Sepertinya kegugupanku justru membuat lelaki itu makin penasaran. Ia menatapku dengan intens, seakan mencurigai sesuatu. “Alea. Kamu nggak perlu takut. Aku di sini bukan sebagai guru kamu,” bujuknya, “aku ini suami kamu. Dan aku janji, apapun yang terjadi aku bakal ada buat kamu, sebagai teman, supporter juga payung buat kamu berlindung.” Kalimat itu sedikit membuatku merasa lega. Aku rasa dia tidak akan marah sean
“Halo, Jo. Kamu mendengarku?” Pak Jonathan mendengus, sepertinya ia sudah mulai merasa terusik dengan tingkah Bu Ella yang memang terus melekat seperti permen karet. Tapi yang lebih menyebalkan bagiku hanyalah tingkah Pak Jonathan yang tidak dengan tegas menolaknya hanya karena takut hubungan kerjanya menjadi tidak harmonis.“Aku nggak sakit, Bu Ella. Aku cuma butuh istirahat. Jadi tolong jangan ganggu aku untuk urusan sekolah hari ini,” ucapnya dengan sopan.Aku mendecak kesal. Tentu saja kalimat itu bukan berarti sebuah penolakan. Bu Ella pasti tak bisa menangkap penolakan yang diterimanya secara ambigu itu. Nggak! Aku nggak bisa biarkan Bu Ella terus mengharapkan cinta dari Pak Jonathan. Kalau dulu, mungkin aku akan rela menyerahkan Pak Jonathan, seandainya ia bisa memenangkan hatinya. Tapi sekarang … aku tidak akan pernah membiarkan dia merayunya apalagi di depanku. Aku bukan tipe perempuan yang suka berbagi. Bagiku apa yang sudah menjadi milikku, tidak boleh dimiliki siapapun.
Rasa itu terasa begitu nyata. Bahkan sapuan basah di leherku seakan langsung menyentakku kembali ke alam nyata. Ini benar-benar nyata! Setiap sentuhan yang kurasakan benar-benar nyata.Aku langsung bernapas lega saat menyadari bahwa di hadapanku bukan lelaki yang sama. Tentu saja itu semua hanya mimpi. Doni tidak mungkin melakukan hal seaneh itu. Yang aku tahu, dia memang playboy. Namun ia tidak pernah memaksakan hal seperti itu padaku.Dan lagi, tidak seharusnya aku merasa cemas pada orang yang mungkin saat ini masih terbaring dalam masa pemulihan pasca operasi di kamar rawat inapnya. Itu semua hanya mimpi. Pak Jonathan menggenggam tanganku dengan erat. Bibirnya mengecup di leherku. Panas, seperti hendak membakar dan mengurungku dalam hasratnya yang membara. Napasku terengah, udara yang mengisi paru-paruku, membuat dadaku terasa penuh lalu kosong dalam seketika secara bergantian. Rasa gelitik terasa begitu nikmat saat ia menyentuh di bagian dadaku, membuat bagian puncaknya terasa p
Aku mengintip dari balik pintu. Kulihat dua orang laki-laki yang sejak tadi mengetuk pintu rumahku itu bernapas lega. Mereka tersenyum tanpa tahu bahwa tingkah mereka telah mengganggu ketenangan kami.“Selamat malam, Pak Jonathan,” sapanya, “saya selaku RT di blok ini dan berdasar keputusan warga, memberitahukan bahwa setiap malamnya akan diadakan giliran piket.”“Loh … loh, kok mendadak seperti ini, toh Pak RT?” “Pak Jonathan sudah dengar, kan. Tadi sore di blok depan perumahan kita, ada pembunuhan. Kita juga belum pasti dengan motifnya. Bisa jadi karena perampokan,” sahut Pak RT, “karena itu warga jadi resah, mereka takut pelaku masih berkeliaran dan mengintai. Lalu keluarga mereka menjadi sasaran berikutnya.”“Kenapa nggak bayar saja, sih. Kan kita bisa patungan buat bayar beberapa penjaga khusus blok kita,” batinku. Ingin rasanya aku keluar dan langsung menegur dua lelaki yang seperti tidak punya sopan santun karena bertamu di jam selarut ini.“Iya, saya dengar dan saya ikut mend
Waktu benar-benar terasa bergerak dengan lambat saat lampu ruang operasi itu menyala. Bahkan Pak Jonathan juga belum terlihat. Dan itu membuatku semakin gelisah. Rasa lega baru saja kurasakan saat lelaki yang kutunggu-tunggu itu muncul. Ia berlari-lari menghampiriku, masih dalam balutan seragam formalnya. “Apa yang terjadi?” tanyanya dengan raut wajah tegangnya.“Aku lewat di depan rumahnya ketika mobil patroli polisi dan ambulans datang dan mengangkutnya. Doni … ditusuk perutnya dan aku dengar mereka juga mengatakan kalau … papanya sudah … meninggal. Tidak ada wali. Bahkan mereka tidak menemukan cara untuk menghubungi mamanya. Jadi … aku mendesak rumah sakit agar mengambil tindakan terlebih dahulu. Pak Jonathan, apa aku sudah melakukan hal yang benar? Aku … aku, benar-benar takut.”Lelaki itu menghela napas. Satu tangannya terangkat dan tiba-tiba saja menarikku ke dalam pelukannya. Rasanya begitu tenang saat berada dalam pelukan itu. Seperti semua kecemasan dan kegelisahan selama
Suara teriakan itu terdengar keras dari speaker ponselku. Entah apa yang dilihat oleh Doni sehingga ia berteriak histeris seperti itu sebelum sambungan telepon kami terputus. “Hei! Apa yang kalian lakukan?” Hanya itu kalimat terakhir yang terdengar di telingaku. Sepertinya Doni sedang mengalami suatu masalah serius. Tapi … ah, sudahlah. Seharusnya dia bisa mengatasi semua masalah ini. Bukankah dengan uang ayahnya yang banyak itu, dia dapat menyelesaikan semua masalah. Vena benar, Doni memang asik buat dijadiin pacar. Wajahnya oke, dia baik dan bukan tipe cowok yang suka split bill kalo pacaran. Tapi … kalau buat dijadiin suami, aku harus mikir seribu kali. Dia tipe orang yang santai, nggak mau terikat aturan dan selalu mengandalkan kekayaan keluarganya, yang notabene dari hasil bisnisnya di dunia malam. Mikirin hal seperti ini saja, sudah bikin aku merinding disko. Bayangkan saja jika suatu saat nanti papanya justru mewariskan usaha ini pada Doni. Bisa jadi sifatnya berubah sepe