Share

Bab 6

“Iya, iya. Aku lepasin.” 

Audrico melepaskan cekalan tangannya setelah kuhentakkan tanganku dengan kuat.

“Apaan sih,” omelku saking kesalnya, kuraba pergelangan tanganku yang terasa nyeri karena kekuatan tangan lelaki muda itu, “nggak usah tarik-tarik kenapa. Emangnya kamu kira aku kambing korban, apa.” 

“Enggak. Mana berani aku,” sahut Audrico dengan acuh, “ aku cuman dapat perintah buat bawa kamu ke belakang sekolah.”

“Ogah! Buat apa?” 

“Udahlah, ikut aja. Atau … mau aku tarik lagi ke sana.” 

“Kamu … udah gila ya?” 

“Nggak, bukan aku yang gila. Tapi teman aku, kalo kamu nggak ikut sama aku.” 

Ish! Kenapa juga aku harus nuruti perkataannya. Tapi … temannya, maksudnya Doni, bukan sih?

Karena rasa penasaran, dengan perasaan kesal, aku pun melangkahkan kakiku menyusuri koridor menuju ke taman belakang sekolah. Taman yang hampir tak terurus karena jarang dikunjungi oleh siapapun. 

Namun aku benar-benar terkejut ketika melihat apa yang menantiku di sana. 

Senyum Doni Aryanata, teman laki-laki tertampan di sekolahku, mengembang di sudut bibirnya. Senyuman yang menambah semarak ketampanannya semakin meningkat. 

Di belakangnya tampak sebuah banner berukuran cukup besar bertuliskan “Alea, be my girlfriend”. 

“Al, aku tahu. Ini bukan pertama kali aku nembak kamu. Tapi ini udah ketiga kalinya,” ucap Doni dengan suara datar, “tapi aku nggak bisa move on sama kamu. Aku nggak bisa lupain kamu.” 

“Jadi … aku mau, kali ini kamu nerima aku jadi pacar kamu. Dan kali ini aku juga berharap kamu nggak bakal nolak aku lagi,” sambungnya. 

Lelaki muda itu mengulurkan sekuntum mawar merah padaku. Entah bunga siapa yang sudah menjadi korban keusilannya kali ini. 

Aku menatapnya dengan perasaan tak karuan. Tentu saja karena aku ingin sekali menerima permintaan itu, tapi bagaimana jika dia tahu kalau sore nanti aku akan menikah?

Rasanya sangat tidak adil. Aku harus memendam perasaanku hanya karena ingin menuruti ambisi kakekku yang notabene sudah tenang di akhirat. 

Lelaki muda itu melangkah mendekat. Sepertinya dia tahu kegundahan dalam hatiku dan ingin meyakinkan perasaan kami.

“Alea, aku suka kamu sejak awal kita masuk sekolah ini. Aku udah coba jalan sama banyak teman cewek lain, tapi aku nggak pernah ngerasa nyaman dan berdebar seperti saat aku dekat kamu,” bujuknya, “jadi … kenapa kamu nggak mau coba.” 

Sepasang mata itu terlihat begitu tulus, seakan memaksaku untuk mengiyakan semua permintaannya. Tapi … bagaimana jika karena kedekatan kami, dia tahu hubunganku dengan Pak Jonathan? 

Ah …. Tidak! Aku tidak bisa menolaknya. Siapa tahu dia adalah jodohku. Bukankah Pak Jonathan juga tidak akan menjadi suamiku selamanya? Ini semua hanya untuk menyenangkan orang tua kami. 

Bukankah Pak Jonathan juga sudah janji bakal biarin aku ngelakuin apapun yang mau aku lakukan. Aku bebas mau ngapain bahkan mau pacaran sama Doni sekalipun. 

Aku menghela napas panjang, mencoba memantapkan hati untuk menerima posisiku di hati lelaki itu. “Baiklah, kita coba. Tapi … aku nggak mau hubungan ini berubah menjadi tali kekang buat aku,” sahutku pada akhirnya. 

Doni melebarkan kedua tangannya seakan memintaku untuk masuk ke dalam pelukannya. Tapi justru aku berbalik dan melenggang pergi dari tempat itu. 

“Al … Alea! Pacarku, kamu mau kemana?” 

Aku masih mendengar teriakannya di belakangku. Dan tak lama kemudian pundakku terasa berat karena lengannya telah bertengger di sana. 

Kuhentikan langkahku dan berbalik menatapnya. “Lepasin tangan kamu dari pundakku.”

“Nggak mau. Kenapa harus aku lepas?” tanyanya dengan gaya playboynya yang khas.

“Aku nggak mau deretan para mantanmu musuhin aku. Bisa jadi geprekan aku ntar,” sahutku.

“Kalo aku nggak mau?”

“Ya udah, nggak jadi. Aku nggak jadi nerima perasaan kamu,” sahutku cepat. 

“Leh,” balasnya, “kok gitu?”

“Aku pikir-pikir dulu, takut jadi geprekan,” jawabku lagi sambil berlalu meninggalkannya. 

Ada perasaan bahagia terselip di hatiku. Bagaimana tidak, lelaki yang menjadi rebutan kaum hawa di sekolahku, bahkan menyatakan perasaannya untuk ketiga kalinya! 

Dunia ini terasa begitu indah, seakan semua mimpi berhasil kugenggam dengan mudahnya. 

Namun begitu aku berpapasan lagi dengan Pak Jonathan, mood ku kembali hancur sampai ke dasar. Astaga, bahkan hari ini adalah hari terakhir aku berstatus lajang. 

Biarpun itu hanya status di atas kertas, tapi pikiranku tak dapat membodohi perasaanku.

Matahari semakin tinggi saat aku menatap sekelompok siswa berseragam almamater sekolahku bergerombol di halte. Tentu saja akan sangat menarik perhatian jika Pak Jonathan menjemputku di sini. 

Kutundukkan kepalaku melihat layar ponsel yang memperlihatkan berbagai konten menarik dalam aplikasi toktok. Mulai dari lawakan – yang entah kenapa hari ini sama sekali tak terlihat lucu, sampai berita tentang para selebriti hollywood yang begitu mengerikan. Aku bahkan benar-benar merinding mendengar kasus viral yang berkali-kali diposting dengan berita yang nyaris sama itu. 

Tin! Tin!

Suara klakson itu menyadarkan aku bahwa tak ada lagi siapapun di tempat itu. Dan dari jendela mobil city car yang berhenti tepat di depanku, terlihatlah wajah yang sangat kukenal. 

“Ayo cepat!” teriaknya dari dalam mobil. 

Tanpa jawaban, aku segera memasukkan ponselku ke dalam tasku dan dengan enggan, masuk ke dalam mobilnya. 

“Pake sabuk keselamatanmu. Kita akan langsung ke rumah sakit sekarang,” perintahnya. 

“Langsung? Nggak pulang dulu?” 

“Tidak. Semua sudah menunggu kita di sana,” sahutnya seakan tidak ingin aku melarikan diri. 

“Heran deh. Kenapa perjanjian masa lalu bisa segitu pentingnya, sih?” gumamku dengan kesal. 

Tapi sepertinya Pak Jonathan tidak mendengarnya. Untung saja, bisa kubayangkan omelannya jika mendengar ucapanku tadi. Apalagi perjodohan ini menyangkut hidup kakeknya. 

Pak Jonathan mengecilkan volume audio mobilnya. Aku meliriknya dengan gelisah. Sungguh, suasana ini terasa begitu canggung. Bagaimanapun dia adalah guru yang selalu membuatku stress karena tugas dan hukuman yang seakan sengaja diberikannya secara khusus padaku. 

“Aku harap kerjasamamu kali ini. Aku harap sementara ini kamu lupakan semua yang pernah terjadi di sekolah,” ucapnya, “jangan sampai karena semua itu, rencana hari ini berantakan dan penyakit kakekku jadi semakin berat.” 

Aku menghela napas dengan berat. “Aku nggak bisa lupain semuanya. Tapi … jangan khawatir. Aku juga nggak mau mencelakai orang lain, kok.” 

“Terima kasih,” ucapnya dengan tulus. 

“Jadi … Bapak nggak bakalan marah dan kasih aku hukuman lagi kan setelah ini? Ehm …. Lalu nilai-nilai ulanganku juga nggak bakal dikasih jeblok lagi kan? Hmm … atau Bapak bisa kasih aku bocoran soal eh … jawaban untuk ulangan besok? Bisa kan? Bisa …. Bisa ya,” cicitku sebagai usaha merayunya.

Tentu saja aku harus bisa memanfaatkan kesempatan emas seperti ini. Apalagi peluang seperti ini sangat jarang terjadi. Bukankah ini yang disebut dengan hubungan mutualisme. 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status