Sambil nunggu eps baru novel "Menikahi Guru Killer", mampir ya ke novel temenku yang berjudul ** Si Bibir Merah by Lelevil Lelesan ** jangan lupa rate bintang 5 dan komen positif nya ya. Tengkiyuw ❤️
“Lea, be my valentine!” Ucap lelaki muda itu sembari memberikan sekotak coklat berpita merah muda. Aku meraih coklat yang bertema brown and white itu. “Wah … kamu sengaja mau bikin aku gendut, ya?” Doni menarik kembali kotak coklat itu. “Enggak … enggak, kok. Nggak papa kalo kamu nggak mau. Aku bisa kasih kamu hadiah valentine lain.” “Leh, kok diambil lagi. Ntar bisulan loh,” sahutku sambil menyambar kembali coklat itu, “cewek mana sih, yang nggak suka coklat.” Aku bisa melihat senyum kelegaan di wajahnya. Tentu saja, dia tidak perlu mencari tahu lebih lagi tentang kesukaanku jika aku menerima coklat pemberiannya. “Nanti sore … kita jalan, yuk.”“Kemana?” “Hmm … kamu mau kemana? Aku antar kamu sampe ke ujung dunia sekalipun,” jawabnya dengan gombalannya yang sangat jelas. “Hmm … tapi besok ada tes kimia. Aku nggak bisa,” sahutku. Raut kecewa terlihat jelas di wajahnya. Rasanya tak tega untuk menolaknya terus, apalagi aku sudah memberikan harapan dengan menerima cintanya, bahka
“Bantu apa? Panggil ambulans?” tanyanya dengan wajah cemas yang sangat kentara.“Nggak usah lebai, Pak,” sergahku yang semakin kesal dengan kecemasannya yang berlebihan. “Tapi kamu sakit Lea,”“Apa Bapak nggak pernah lihat cewek kalo lagi siklus?”“Maksudmu?” “Iya, siklus sebulanan. Aku butuh kompres hangat, pereda nyeri dan pembalut. Bisa Bapak beliin di toko merah depan komplek?”“Apa saja?” tanyanya lagi.“Pereda nyeri, pembalut dengan sayap.” “A–aku berangkat sekarang,” sahutnya cepat-cepat memakai kembali kaos oblong untuk menutupi kesempurnaan tubuhnya. Aku beranjak dari ranjangku begitu Pak Jonathan keluar dari rumah. Kucari sebuah botol, lalu kuisi dengan air panas. Rasanya begitu nyaman ketika benda hangat itu bersentuhan dengan perutku. Rasa nyeri itu sedikit berkurang karena kehangatan yang kurasakan.“Ini semua yang kamu butuhkan.” Pak Jonathan meletakkan kantong belanjanya. Kantong belanja yang cukup besar itu justru membuatku merasa curiga.Aku segera meraih kantong
Aku nyaris terpingkal mendengar kelatahan wali kelasku itu. Aku benar-benar tak menduga kalau dia latah. Bahkan hanya mendengar suara panci saja, ia sudah berteriak dengan kata-kata tanpa arti yang jelas. “Padahal nggak ada kuda di rumah kami. Kenapa nggak sekalian aja sama ‘dokar’nya disebut. Biar lengkap,” gumamku dalam hati.Tingkahnya sama sekali tak terlihat anggun, seperti gaya yang biasa ditampilkannya di hadapan kami, para siswanya.“Maaf, saya benar-benar kaget Pak,” ucapnya kembali dengan suara mendayunya yang khas, “apa nggak sekalian ditegur saja, pembantunya Pak. Kalau keterusan, bisa-bisa … barang-barang di rumah Pak Jo habis dirusaknya.” “Saya nggak ada pembantu, Bu.” Pak Jonathan menjawab pertanyaan itu dengan tenang. Sebuah jawaban yang aku yakin membuat Bu Ella merasa heran. “Lalu … itu tadi, siapa yang ngejatuhin barang?” tanya perempuan itu.“Ah … biasa. Barang-barang di dapur saya memang hobinya jalan-jalan sendiri, Bu. Kadang seperti tadi, melompat dari tempat
“Kok ada Pak Jonathan, sih?” gumamku menanggapi pertanyaan Doni. “Nggak masalah kan?” Jawaban itu spontan membuatku kaget. Jangan-jangan … justru Doni lah yang mengundangnya untuk datang kemari.“Nggak masalah gimana? Dari sekian bioskop yang bisa dia kunjungi, gimana caranya dia bisa datang ke tempat yang sama dengan kita?” gumamku.“Ya … terus terang, sih. Waktu aku lagi book online tiket ini, aku kepergok sama dia,” aku Doni sembari menggaruk rambut hitamnya yang bermodel ala oppa-oppa korea, “dan dia malah nitip book satu tiket lagi ke aku.” “Duduk di sebelah kita?” tanyaku untuk memastikan. “Enggak sih, nggak di sebelah kita.” Jawaban itu cukup membuatku tenang. Bisa kubayangkan kalau Pak Jonathan duduk tepat di sampingku. Atau … di samping Doni. Dia pasti akan mengawasi kami, bukan film di hadapannya. Dan sudah pasti, itu akan sangat menyebalkan. Bukankah dia sudah berjanji akan membiarkan aku melakukan semua keinginanku. Tapi … kenapa dia justru menguntit aku sampai sejau
“Nggak usah sok sok’an ngambek! Seharusnya aku yang marah sama kamu.” Aku menoleh menatap lelaki yang kini berada di sisiku, menatap sekelilingnya seolah mencari sesuatu di sekitarnya.Wait, what? Dia yang lebih pantas ngambek? Bagaimana bisa? Jelas-jelas aku yang dirugikan. “Ya jelaslah aku marah. Bapak itu nggak nepatin kesepakatan kita,” balasku, “Bapak malah nguntit aku seperti … sengaja ingin mengacaukan hubunganku.” “Itu karena kamu juga nggak nepatin kesepakatan kita,” jawabnya, “kamu kabur di hari kebersihan. Lalu kamu lalai dengan kucing kamu, dan itu merugikan aku karena harus membereskan pup nya dan memberinya makan. Itu juga kesepakatan kita.”“Tapi Pak. Itu nggak sepadan dengan yang Bapak lakukan,” elakku, “Bapak mencampuri urusanku bahkan mengganggu kencan pertamaku.”Pak Jonathan mengedikkan pundaknya. “Aku lakukan itu buat kamu.” What? Sekarang dia justru mengatasnamakan aku. “Aku juga punya kesepakatan dengan Om Wenang buat jaga kamu,” tuturnya, “bagaimana jika l
“Ya udah, aku mau ke rumah papa aja kalo gitu. Silahkan aja kalo Bapak masih mau nguntit,” cicitku kesal.Tidak ada perubahan di rumahku. Semuanya tetap sama. Hanya papa yang kini mungkin sedang kesepian itu, terlihat bahagia ketika melihatku datang.Aku menghabiskan hari Minggu ku bersama Papa. Seperti biasa, kami selalu ribut dengan perbedaan pandangan. “Kamu kok datang sendirian. Mana Jonathan?” Aku mengedikkan pundakku. “Nggak tau. Bisa jadi dia pacaran, main sama teman-temannya atau …. Nggak tau lah.” “Kalian bertengkar? Kok jawaban kamu gitu?” tanya papa.“Dia rese, Pa,” keluhku, “dia ngerusak hubungan Alea sama teman-teman. Alea disuruh bersih-bersih rumah seperti babu. Eh, pas Alea nonton bioskop bareng teman, malah dia rese. Dia duduk di belakang kursi Alea dan …. Ah, pokoknya dia ngeselin banget.” “Nggak mungkin dia ngelakuin itu semua tanpa alasan.” “Ya, pasti alasannya biar hemat lah. Kan bisa saja dia nikah sama Alea biar dapat babu gratis,” sahutku cepat.“Kalo bers
Pagi itu seperti biasa, Pak Jonathan terlihat sibuk membuat sarapan. Aku bisa melihat meja dapur yang sangat berantakan. “Ta–ra! Selesai!” Ucapnya dengan nada riang tak seperti biasanya.“Ini sandwich tuna keju buat kamu. Cepet dihabiskan biar nggak terlambat sekolahnya.”Aku tersenyum senang. Sepertinya Pak Jonathan nggak selamanya sekejam itu sama aku. Buktinya pagi ini dia buatin aku sarapan semacam ini. Yaa … paling tidak, effortnya keliatan lah sebagai seorang suami. Kuraih piring sandwich dan mulai memotongnya menjadi beberapa bagian sebelum masuk ke dalam mulutku. Tapi … kenapa rasanya aneh seperti …. Aku langsung memuntahkan kembali suapan pertamaku. “Kenapa? Itu makanan sehat loh,” ucapnya tanpa rasa bersalah. “Bapak masukin apa di dalamnya. Kenapa rasanya pedes, seperti … ada balsam di dalamnya,” tebakku sambil menjulurkan lidahku yang terasa panas. “Masa sih?” sahutnya dengan senyuman yang membuatku semakin curiga. Perlahan kudekatkan hidungku ke hidangan itu. Tapi a
“Aduh … nggak usah tarik-tarik napa. Ntar tangan aku copot, ih,” cicitku saat Doni menarikku ke arah taman belakang sekolah.Ia melepaskanku setelah tak terlihat siapapun di sekitar kami. Sepasang tangannya kini hinggap di kedua pundakku, sementara sepasang mata kami beradu dengan intens. “Kamu … kenapa kamu pergi gitu aja. Kamu nggak angkat telpon kamu, kamu juga nggak kasih aku kabar,” protes Doni. Tangannya mengguncangku, membuat tubuhku rontak.“Sori, Don,” ucapku dengan memasang wajah menyesal, “aku … tiba-tiba saja nggak enak badan. Mungkin karena aku lupa nggak bawa jaket, jadi aku rada meriang gitu. Makanya aku putusin buat pulang, biar bisa segera istirahat.”“Tapi kamu bisa kasih kabar, kan?” protes Doni mulai tak sabar.“Sori …. Hape aku mati waktu itu,” imbuhku, “batrenya low. Kamu … marah sama aku?” Aku melihat lelaki muda itu menghela napas. Wajah tegang yang semula terlihat dengan jelas, perlahan kembali melembut. “Nggak … aku nggak marah. Cuman … kamu nggak boleh ngi
“Jo? Kamu … sama dia. Kenapa bisa barengan?” Suara mendayu yang khas itu, spontan membuatku menoleh ke belakang.Dan benarlah apa yang kuduga. Bu Ella sedang berdiri di belakangku. Matanya begitu bulat seperti mau lompat saat melihatku ada di sisi suamiku. Dimana salahnya? Ah ~ tentu saja karena dia belum tahu kalau kami sudah menikah.“Selamat malam, Bu,” ucapku, mati-matian menyembunyikan rasa terkejut yang ada. Kutarik sudut bibirku untuk memberinya seulas senyuman. Tapi sepertinya ia tidak menyukainya. “Alea, jangan bilang kalau kamu sedang belajar di sini,” ucap wali kelas 12A-1 itu dengan nada meninggi. Tatapan mata curiganya seperti sinar laser yang hendak menembusku. “Tapi bukan saya loh, yang bilang. Ibu sendiri yang bilang kalau aku belajar,” balasku cepat. “Bu Ella, kami sedang makan malam. Apa ada yang salah?” ungkap Pak Jonathan dengan santainya. Mata perempuan itu menatapku dengan sinis, membuatku merasa tak nyaman karenanya. “Berdua?” “Kenapa Bu, apa salah jika Pa
“Alea … Alea! Dengarkan aku,” pinta Pak Jonathan dengan tegas. Aku menatap manik hitam itu masih dengan perasaan tak karuan. Bagiku kalimat yang diucapkannya tadi adalah momok paling menyeramkan dalam hidupku. Aku tidak ingin menghancurkan impian orang yang kusayang. “Kamu nggak perlu merasa gentar. Kita sudah melakukan apa yang harus kita lakukan. Kita pulang sekarang,” perintah Pak Jonathan. Heh! Apa dia semarah itu karena aku sudah menghancurkan impiannya? Sepanjang perjalanan, aku masih saja berpikir tentang semua peristiwa yang terjadi. Semuanya terjadi begitu saja seperti sebuah mimpi. Bahkan Pak Jonathan tak memberiku kesempatan untuk memperbaiki kesalahan yang membuat impiannya hancur hanya karena tak ingin aku merendahkan diri. Aku menghela napas panjang, berharap dengan masuknya oksigen ke dalam tubuhku, pikiranku akan semakin terbuka dan bisa menyelesaikan persoalan ini. Ya, aku yakin pasti ada cara untuk menyelesaikan persoalan ini.“Kenapa? Kamu masih nggak ikhlas bua
“Maaf Tante, sebenarnya kemarin aku cuma kebetulan lewat. Aku sama Doni cuman teman sekolah. Emh, teman akrab,” tuturku tanpa mempedulikan kegelisahan di wajah lelaki muda itu. Tentu saja dia sadar kalau aku sudah beberapa kali mencoba memutuskan hubungan kami. “Teman akrab?” ulang Doni seakan kata itu terdengar aneh di telinganya. Tok tok! Aku langsung menoleh ke arah pintu, tepat dimana Pak Jonathan berdiri. Lelaki itu menutup pintu dan langsung menebarkan senyumannya. “Kamu sudah baikan, Don?” tanya Pak Jonathan dengan penuh perhatian.“Lumayan Pak,” sahutnya, “terima kasih sudah datang.” Pak Jonathan mengulurkan tangannya pada perempuan itu. “Anda pasti mamanya Doni, kan. Kenalkan, saya Jonathan. Saya guru mereka, tapi hari ini saya kemari untuk menemani istri saya menjenguk Doni, temannya.” Deg! Jantungku seperti berhenti berdetak. Bagaimana tidak, Pak Jonathan tanpa basa basi langsung memperkenalkan dirinya sebagai suamiku, pada mamanya Doni. Bahkan ia mengatakannya deng
“Siapa yang nelpon? Apa ada masalah? Kok kelihatannya serius banget?” Suara itu membuatku terkejut. Tentu saja aku tidak menyadari kehadirannya di sekitarku. Bisa saja Pak Jonathan sudah mendengar semua pembicaraan antara aku dan Vena. Tapi … dia nggak mungkin dengar apa yang Vena katakan. Bisa saja dia akan salah paham jika aku tidak menjelaskannya. Tapi … bagaimana kalau sebaliknya, dia justru sakit karena aku membahas masalah Doni lagi. “Vena … iya, Vena yang telpon,” sahutku tergagap saking gugupnya. “Kenapa lagi? Ada masalah?”“Eng … anu. Gimana ya, aduh … itu.” Sepertinya kegugupanku justru membuat lelaki itu makin penasaran. Ia menatapku dengan intens, seakan mencurigai sesuatu. “Alea. Kamu nggak perlu takut. Aku di sini bukan sebagai guru kamu,” bujuknya, “aku ini suami kamu. Dan aku janji, apapun yang terjadi aku bakal ada buat kamu, sebagai teman, supporter juga payung buat kamu berlindung.” Kalimat itu sedikit membuatku merasa lega. Aku rasa dia tidak akan marah sean
“Halo, Jo. Kamu mendengarku?” Pak Jonathan mendengus, sepertinya ia sudah mulai merasa terusik dengan tingkah Bu Ella yang memang terus melekat seperti permen karet. Tapi yang lebih menyebalkan bagiku hanyalah tingkah Pak Jonathan yang tidak dengan tegas menolaknya hanya karena takut hubungan kerjanya menjadi tidak harmonis.“Aku nggak sakit, Bu Ella. Aku cuma butuh istirahat. Jadi tolong jangan ganggu aku untuk urusan sekolah hari ini,” ucapnya dengan sopan.Aku mendecak kesal. Tentu saja kalimat itu bukan berarti sebuah penolakan. Bu Ella pasti tak bisa menangkap penolakan yang diterimanya secara ambigu itu. Nggak! Aku nggak bisa biarkan Bu Ella terus mengharapkan cinta dari Pak Jonathan. Kalau dulu, mungkin aku akan rela menyerahkan Pak Jonathan, seandainya ia bisa memenangkan hatinya. Tapi sekarang … aku tidak akan pernah membiarkan dia merayunya apalagi di depanku. Aku bukan tipe perempuan yang suka berbagi. Bagiku apa yang sudah menjadi milikku, tidak boleh dimiliki siapapun.
Rasa itu terasa begitu nyata. Bahkan sapuan basah di leherku seakan langsung menyentakku kembali ke alam nyata. Ini benar-benar nyata! Setiap sentuhan yang kurasakan benar-benar nyata.Aku langsung bernapas lega saat menyadari bahwa di hadapanku bukan lelaki yang sama. Tentu saja itu semua hanya mimpi. Doni tidak mungkin melakukan hal seaneh itu. Yang aku tahu, dia memang playboy. Namun ia tidak pernah memaksakan hal seperti itu padaku.Dan lagi, tidak seharusnya aku merasa cemas pada orang yang mungkin saat ini masih terbaring dalam masa pemulihan pasca operasi di kamar rawat inapnya. Itu semua hanya mimpi. Pak Jonathan menggenggam tanganku dengan erat. Bibirnya mengecup di leherku. Panas, seperti hendak membakar dan mengurungku dalam hasratnya yang membara. Napasku terengah, udara yang mengisi paru-paruku, membuat dadaku terasa penuh lalu kosong dalam seketika secara bergantian. Rasa gelitik terasa begitu nikmat saat ia menyentuh di bagian dadaku, membuat bagian puncaknya terasa p
Aku mengintip dari balik pintu. Kulihat dua orang laki-laki yang sejak tadi mengetuk pintu rumahku itu bernapas lega. Mereka tersenyum tanpa tahu bahwa tingkah mereka telah mengganggu ketenangan kami.“Selamat malam, Pak Jonathan,” sapanya, “saya selaku RT di blok ini dan berdasar keputusan warga, memberitahukan bahwa setiap malamnya akan diadakan giliran piket.”“Loh … loh, kok mendadak seperti ini, toh Pak RT?” “Pak Jonathan sudah dengar, kan. Tadi sore di blok depan perumahan kita, ada pembunuhan. Kita juga belum pasti dengan motifnya. Bisa jadi karena perampokan,” sahut Pak RT, “karena itu warga jadi resah, mereka takut pelaku masih berkeliaran dan mengintai. Lalu keluarga mereka menjadi sasaran berikutnya.”“Kenapa nggak bayar saja, sih. Kan kita bisa patungan buat bayar beberapa penjaga khusus blok kita,” batinku. Ingin rasanya aku keluar dan langsung menegur dua lelaki yang seperti tidak punya sopan santun karena bertamu di jam selarut ini.“Iya, saya dengar dan saya ikut mend
Waktu benar-benar terasa bergerak dengan lambat saat lampu ruang operasi itu menyala. Bahkan Pak Jonathan juga belum terlihat. Dan itu membuatku semakin gelisah. Rasa lega baru saja kurasakan saat lelaki yang kutunggu-tunggu itu muncul. Ia berlari-lari menghampiriku, masih dalam balutan seragam formalnya. “Apa yang terjadi?” tanyanya dengan raut wajah tegangnya.“Aku lewat di depan rumahnya ketika mobil patroli polisi dan ambulans datang dan mengangkutnya. Doni … ditusuk perutnya dan aku dengar mereka juga mengatakan kalau … papanya sudah … meninggal. Tidak ada wali. Bahkan mereka tidak menemukan cara untuk menghubungi mamanya. Jadi … aku mendesak rumah sakit agar mengambil tindakan terlebih dahulu. Pak Jonathan, apa aku sudah melakukan hal yang benar? Aku … aku, benar-benar takut.”Lelaki itu menghela napas. Satu tangannya terangkat dan tiba-tiba saja menarikku ke dalam pelukannya. Rasanya begitu tenang saat berada dalam pelukan itu. Seperti semua kecemasan dan kegelisahan selama
Suara teriakan itu terdengar keras dari speaker ponselku. Entah apa yang dilihat oleh Doni sehingga ia berteriak histeris seperti itu sebelum sambungan telepon kami terputus. “Hei! Apa yang kalian lakukan?” Hanya itu kalimat terakhir yang terdengar di telingaku. Sepertinya Doni sedang mengalami suatu masalah serius. Tapi … ah, sudahlah. Seharusnya dia bisa mengatasi semua masalah ini. Bukankah dengan uang ayahnya yang banyak itu, dia dapat menyelesaikan semua masalah. Vena benar, Doni memang asik buat dijadiin pacar. Wajahnya oke, dia baik dan bukan tipe cowok yang suka split bill kalo pacaran. Tapi … kalau buat dijadiin suami, aku harus mikir seribu kali. Dia tipe orang yang santai, nggak mau terikat aturan dan selalu mengandalkan kekayaan keluarganya, yang notabene dari hasil bisnisnya di dunia malam. Mikirin hal seperti ini saja, sudah bikin aku merinding disko. Bayangkan saja jika suatu saat nanti papanya justru mewariskan usaha ini pada Doni. Bisa jadi sifatnya berubah sepe