“Aduh … nggak usah tarik-tarik napa. Ntar tangan aku copot, ih,” cicitku saat Doni menarikku ke arah taman belakang sekolah.Ia melepaskanku setelah tak terlihat siapapun di sekitar kami. Sepasang tangannya kini hinggap di kedua pundakku, sementara sepasang mata kami beradu dengan intens. “Kamu … kenapa kamu pergi gitu aja. Kamu nggak angkat telpon kamu, kamu juga nggak kasih aku kabar,” protes Doni. Tangannya mengguncangku, membuat tubuhku rontak.“Sori, Don,” ucapku dengan memasang wajah menyesal, “aku … tiba-tiba saja nggak enak badan. Mungkin karena aku lupa nggak bawa jaket, jadi aku rada meriang gitu. Makanya aku putusin buat pulang, biar bisa segera istirahat.”“Tapi kamu bisa kasih kabar, kan?” protes Doni mulai tak sabar.“Sori …. Hape aku mati waktu itu,” imbuhku, “batrenya low. Kamu … marah sama aku?” Aku melihat lelaki muda itu menghela napas. Wajah tegang yang semula terlihat dengan jelas, perlahan kembali melembut. “Nggak … aku nggak marah. Cuman … kamu nggak boleh ngi
“Udah selesai pacarannya?” Entah sejak kapan Pak Jonathan berdiri di belakangku. Kenapa lama-lama dia makin mirip makhluk astral yang bisa muncul tiba-tiba di tempat yang diinginkannya. Atau … jangan-jangan dia punya kekuatan super yang bisa teleportasi kemanapun sesuai keinginannya. Membayangkannya saja sudah membuatku merinding. “Ish! Memangnya kenapa? Bukannya kita sudah sepakat nggak bakal ikut campur urusan pribadi masing-masing?”“No … no … no! Tapi ini sekolah dan aku guru kamu,” sahutnya dengan nada yang menyebalkan, “nggak boleh pacaran di sekolah.”Aku mencebik kesal. “Aku sama dia nggak ngapa-ngapain, kok. Kita cuman ngobrol,” gerutuku. Aku harap dia tidak mempermasalahkan kecelakaan kecil tadi dan berasumsi bahwa kami berpelukan dengan sengaja.Pak Jonathan justru mengangkat tangannya dengan kedua jari menunjuk matanya lalu mengarahkannya padaku, kemudian ia pergi begitu saja. “Dasar ikan buntal!” desisku kesal. Aku menghentakkan kakiku dengan kesal. Sungguh, dia itu se
“Tiga … empat … lima ….” Doni terus menghitung dengan tempo yang sama. Mungkin karena dalam jiwa atletnya tertanam sportifitas, jadi ia tidak dengan curang mempercepat tempo hitungannya.Sementara aku selangkah demi selangkan mundur dan semakin jauh darinya.“Enam … tujuh … delapan,” hitungnya tanpa tahu aku telah berada di depan pintu rumahku, dengan tangan siap membukanya.“Sembilan … sepuluh.” Tentu saja aku sudah berada di dalam rumah. Dengan cepat, aku naik ke lantai atas, tempat kamarku berada dan melihatnya dari balkon. ‘Doni!” teriakku memanggilnya. Kulambaikan tanganku setelah meletakkannya di bibirku. Bukankah yang diinginkannya adalah ciuman perpisahan? Aku dapat melihat raut kecewa dengan jelas di wajahnya. Namun aku tak peduli, ku lambaikan tanganku sambil berteriak, “sampai ketemu besok!”***Aku duduk di depan meja makan, menerima tatapan menghakimi yang seperti hendak menelanku dengan ribuan pertanyaan yang belum terucap dari bibir papa.“Kamu pulang lagi? Kamu yaki
“Kalo kamu nggak sebutin apa yang ketinggalan, itu artinya nggak penting,” sahut Pak Jonathan, “jadi kita nggak perlu putar balik.” Aku merengut kesal. Tentu saja karena rencanaku tidak berhasil kali ini. Tapi nggak papa, seharusnya aku bisa minta papaku untuk mengirim Bik Titin ke rumah nanti. Jam sudah menunjuk pukul lima saat kami tiba di rumah. Tapi entah kenapa aku merasa ada yang salah. Ada sesuatu yang tidak biasanya, aku merasa ada sesuatu yang hilang. Tapi apa …. Rumah masih dalam keadaan rapi. Tidak ada siapapun yang masuk, bahkan tidak ada kotoran simba di bak pasirnya. Dan cat food yang tersaji di piringnya pun belum tersentuh. Simba! Dimana kucing abu itu berada? Kuarahkan pandanganku ke sekeliling ruangan. Tapi tidak terlihat pergerakan kucing kecil nan lincah itu. “Pak buntal, simba dimana?” tanyaku pada lelaki yang langsung menyibukkan diri dengan setumpuk lembaran jawaban di hadapannya. “Mungkin dia sembunyi di kolong. Atau … keperangkap lagi di bawah panci
“Hah! Apa?” “Kamu belum dengar ya? Ada siswi sekolah kita yang nikah sama om-om!” ulang Vena, kali ini suara cemprengnya hampir memecahkan gendang telingaku. “Memangnya siapa?” tanyaku sambil berusaha menyembunyikan kegugupanku.“Nggak jelas juga, sih,” sahut Vena, “tapi beberapa siswa sempat liat cewek itu naik mobil asing di halte depan sekolah.” Jantungku seperti mau lompat dari tempatnya. Halte depan sekolah. Bisa jadi yang sedang mereka perbincangkan itu aku. Mungkinkah gosip itu tentang aku dan Pak Jonathan yang saat itu hendak ke rumah sakit untuk meresmikan pernikahan kami?“Ya udahlah, nggak usah terlalu dipikirkan. Bisa saja mereka cuma mengira-ngira. Bisa jadi om-om yang mereka maksud itu justru papanya,” cicitku untuk mempengaruhi cara berpikir Vena, “kasihan loh, yang terlanjur dikatain. Apalagi … penyebaran berita hoax macam itu, sekarang sudah bisa dituntut secara hukum, loh.” Vena mendadak diam. Aku rasa dia sedang memikirkan sesuatu. Mungkin perkataanku yang diras
Aku menatapnya dengan jantung yang berdebar dengan kencang. Matanya – hidungnya yang runcing – bibirnya …. Pak Jonathan berdehem dan segera bangkit. “Maaf, itu tadi aku benar-benar nggak sengaja,” ucapnya dengan canggung, “lain kali kalo naruh sandal jangan di situ. Bikin orang kesandung.”“Iya. Hmm … Pak Jonathan udah denger kalo di sekolah kita … ada beredar gosip siswi yang lagi hamil?” tanyaku. “Gosip. Buat apa kamu mikirin cerita yang belum tentu kebenarannya?” sahut Pak Jonathan.“Masalahnya … aku ngerasa kalo orang yang mereka gosipin itu kita,” cicitku. “Memangnya kamu hamil?” “Enggak sih, tapi … gosipnya, cewek yang hamil itu pernah keliatan dijemput sama om-om di halte depan sekolah.” “Maksud kamu, aku om-om yang dimaksud mereka?” tanyanya, “jadi kamu dari tadi nggak bisa tidur gara-gara gosip itu?” “Ya … iyalah,” sahutku, “gimana kalo gara-gara ini, kita dikeluarkan dari sekolah.”“Coba kamu pikir, mungkin nggak … ada murid SMA Merah Putih yang nggak kenal sama aku s
“Nggak usah cerewet. Duduk dan makan saja,” sahutnya. Daging rendang, balado telur, cumi daun kemangi, plecing kangkung lengkap dengan kacang di atasnya. Aku yakin, ini bahkan tak bisa.kita habiskan berdua. “Pak buntal, kamu … beneran nggak papa?” tanyaku. Tentu saja aku makin cemas melihat caranya melepaskan kesedihannya. Benar-benar nggak wajar. “Kamu marah?” tanyaku lagi, “aku bukan nggak mau datang ke rumah sakit, tapi … aku bingung. Jika aku datang, Bu Ella dan guru-guru lainnya pasti curiga dan berpikiran yang aneh-aneh.”“Kakek sempat sadar,” kata Pak Jonathan tanpa menggubris alasanku, “dia berpesan agar aku jaga kamu.”Aku menatapnya tak percaya. Bagaimana bisa lelaki tua itu berpesan seperti itu, bahkan aku belum pernah bertemu dengannya sekalipun. Bahkan di hari pernikahan kami, kakek masih dalam kondisi tak sadar. Atau jangan-jangan … saat ia tertidur, jiwanya melihat semuanya. Semua peristiwa yang terjadi dalam keluarga besarnya. Tiba-tiba saja aku merinding. “Mungki
“Yakin bisa tidur sampe pagi?” Kutarik selimutku sampai menutupi wajahku. Namun selimut itu justru meluncur turun sesaat kemudian, memperlihatkan senyuman di wajah lelaki yang sengaja menariknya turun. “Alea, kamu harus temani aku makan malam,” ujarnya dengan lembut dan jelas-jelas sedang merayuku, “kamu nggak datang ke pemakaman kakek, its ok. Tapi kali ini kamu harus. Kak Jericho belum tentu akan pulang kembali ke Indonesia dalam waktu dekat. Temani aku, ya.”“Ya udah … ok, aku pergi. Tapi … janji, kita nggak pulang terlalu malam,” pintaku, “ada beberapa tugas yang harus aku selesaikan. Aku nggak mau terlibat masalah dengan Bu Ella.”“Nggak masalah,” sahut Pak Jonathan, “tapi ada satu hal yang harus kamu tahu. Sebenarnya … kakek kita menjodohkan kamu dengan kakakku. Tapi karena Kak Jeri seorang yang ambisius, maka mama dan papa tidak bisa melarangnya untuk berangkat ke Amerika untuk bekerja.Sampai pada waktunya, kakek semakin melemah. Dan akhirnya mereka memintaku menggantikan Ka