“Nggak usah cerewet. Duduk dan makan saja,” sahutnya. Daging rendang, balado telur, cumi daun kemangi, plecing kangkung lengkap dengan kacang di atasnya. Aku yakin, ini bahkan tak bisa.kita habiskan berdua. “Pak buntal, kamu … beneran nggak papa?” tanyaku. Tentu saja aku makin cemas melihat caranya melepaskan kesedihannya. Benar-benar nggak wajar. “Kamu marah?” tanyaku lagi, “aku bukan nggak mau datang ke rumah sakit, tapi … aku bingung. Jika aku datang, Bu Ella dan guru-guru lainnya pasti curiga dan berpikiran yang aneh-aneh.”“Kakek sempat sadar,” kata Pak Jonathan tanpa menggubris alasanku, “dia berpesan agar aku jaga kamu.”Aku menatapnya tak percaya. Bagaimana bisa lelaki tua itu berpesan seperti itu, bahkan aku belum pernah bertemu dengannya sekalipun. Bahkan di hari pernikahan kami, kakek masih dalam kondisi tak sadar. Atau jangan-jangan … saat ia tertidur, jiwanya melihat semuanya. Semua peristiwa yang terjadi dalam keluarga besarnya. Tiba-tiba saja aku merinding. “Mungki
“Yakin bisa tidur sampe pagi?” Kutarik selimutku sampai menutupi wajahku. Namun selimut itu justru meluncur turun sesaat kemudian, memperlihatkan senyuman di wajah lelaki yang sengaja menariknya turun. “Alea, kamu harus temani aku makan malam,” ujarnya dengan lembut dan jelas-jelas sedang merayuku, “kamu nggak datang ke pemakaman kakek, its ok. Tapi kali ini kamu harus. Kak Jericho belum tentu akan pulang kembali ke Indonesia dalam waktu dekat. Temani aku, ya.”“Ya udah … ok, aku pergi. Tapi … janji, kita nggak pulang terlalu malam,” pintaku, “ada beberapa tugas yang harus aku selesaikan. Aku nggak mau terlibat masalah dengan Bu Ella.”“Nggak masalah,” sahut Pak Jonathan, “tapi ada satu hal yang harus kamu tahu. Sebenarnya … kakek kita menjodohkan kamu dengan kakakku. Tapi karena Kak Jeri seorang yang ambisius, maka mama dan papa tidak bisa melarangnya untuk berangkat ke Amerika untuk bekerja.Sampai pada waktunya, kakek semakin melemah. Dan akhirnya mereka memintaku menggantikan Ka
“Itu karena … aku nggak mau papa sama mama sedih. Aku nggak mau mereka kepikiran,” jawabnya, “itu saja, nggak lebih.” “Kalau cuma itu, nggak perlu pake cium-cium, tau!” balasku sembari meletakkan guling di antara kami. “Kamu bagi tempat yang bener dong,” protes Pak Jonathan. “Itu hadiah buat orang yang ambil kesempatan dalam kesempitan. Sana tidur aja sama simba, biar bisa cium-cium sepuasnya,” kesalku kemudian. “Dasar cewek tengil!” Pak Jonathan malah menarik guling dan melemparkannya jauh-jauh. “Udah bagus kamu aku biarin tidur di kasurku.”Mendengar kalimat itu membuat hatiku meradang. Tentu saja karena aku juga tidak berniat memiliki kehidupan seperti ini. “Apa kamu bilang? Kasur kamu?” ucapku dengan nada yang cukup tinggi. “Kamu yang nikahin aku, kamu yang bikin aku terikat di rumah ini. Eh … kamu juga yang ngegas kalo ini kasur kamu. Ya udah, sana. Kamu beliin aku kasur baru sekarang juga.” “Kenapa juga harus beli?” balasnya. “Kasur ini cukup besar, asal kamu nggak so so’a
“Kak, aku sudah cukup bersabar. Bahkan aku sudah menuruti keinginan papa dan mama untuk menggantikan kewajiban kamu menikahi Alea. Sekarang kamu datang dan … kamu sengaja kan, kamu mau mengambil semua yang sudah kudapatkan,” balas Pak Jonathan dengan suara meninggi.“Jaga ucapanmu, Jo. Kamu udah ninggalin rumah, ninggalin istri kamu ketakutan sendirian di rumah. Apa kamu masih ngerasa nggak bersalah?” “Stop! Cukup!” teriakku dengan marah, “kalau kalian terus bertengkar, lebih baik aku yang pergi.” Aku meraih kunci motorku dan segera menyalakannya. Untung saja, hanya butuh sehari motorku sudah bisa ku pakai kembali. Jika tidak, mungkin aku harus menahan diri melihat pertikaian dua kakak beradik yang sama-sama egois itu. “Lea! Alea!” Suara panggilan itu tak lagi kuhiraukan. Justru aku memacu motorku lebih kencang menyusuri jalanan yang mulai sepi. Tapi … kemana aku harus pergi? Pulang ke rumah papa, aku rasa bukan keputusan yang tepat. Aku tidak ingin membuat papa marah dan justru
“Pacaran?” Ulangku setelah Kak Bernard mengatakan satu kata yang aneh itu. Gimana nggak aneh, dia seperti sudah mengenalku. Padahal aku saja jarang bertemu dengannya. Tapi menolaknya bukan hal yang tepat karena bagaimanapun dia adalah kakak kandung Vena, sahabatku. Aku nggak mau hubunganku dan Vena rusak hanya gara-gara dia. “Iya, kita cocok. Seperti jodoh yang sengaja dipertemukan lewat Vena,” lanjutnya. “Euh … Kakak, sebenarnya aku udah punya pacar. Dan … aku sayang sama dia,” elakku, “apa Vena nggak cerita tentang ini sama kakak?”“Cuma pacar, nggak ada salahnya kamu putusin dia.” Aku terperangah mendengar kalimat yang diucapkannya dengan begitu santainya itu. Lelaki itu terlihat tenang menikmati rokok elektriknya sementara secangkir kopi hitam tersaji di depannya. “Bercanda, nggak usah kaget gitu,” sahutnya masih dengan santainya, “tapi kamu bisa mempertimbangkannya. Pacaran denganku, menikah dan kamu dapat bonus adik ipar seperti Vena.”“Hah?” “Kenapa?” tanya lelaki itu de
“Nggak usah, aku bawa motor. Tunggu aja aku di rumah,” sahutku.Aku pun langsung menutup panggilan itu. Aku rasa sebaiknya aku segera pulang sebelum Pak Jonathan benar-benar menjemputku di rumah ini. Bahaya! Bisa-bisa gosip panas langsung menyebar di SMA Merah Putih.“Siapa, Al?” tanya Vena sesaat setelah aku menutup panggilan itu, “Om Wenang?”Aku menganggukkan kepalaku. “Dia menyuruhku pulang.” “Sebenarnya apa yang terjadi? Kenapa kamu bertengkar dengan papa kamu?” selidiknya. Aku menarik sudut bibirku. “Kami nggak ada masalah. Cuman … waktu itu dia liat aku sama Doni. Dan … ah, sudahlah.”“Apa kubilang. Mending kamu jalan sama aku, Lea. Papa kamu pasti langsung ACC. Percaya deh,” kelakar Kak Bernard lagi. “Percaya apa Kak?” timpalku menanggapi perkataannya yang sudah seperti stand up komedi ala tipi swasta. “Ya … percaya kalo papa kamu pasti langsung ‘ho–oh’ liat calon mantu keren, ganteng, mapan, baik dan berkepribadian macam aku,” sahutnya, “kamu tau kan. Aku udah punya kamar
Aku tertawa dengan perasaan canggung. “Bapak bercanda, ya?” Kutatap wajah lelaki di hadapanku dengan perasaan tak percaya. Tapi sepasang matanya sama sekali tak memperlihatkan kebohongan. Ia bahkan tak berkedip saat mengatakan hal itu. Senyumanku langsung lenyap, saat sepasang mata itu bergeming dari mataku. Apa yang dikatakannya itu benar? Apa dia nggak bercanda seperti perkiraanku?Sampai malam, aku masih memikirkan semua pengakuannya. Bahkan sampai terbawa mimpi. Tapi dalam mimpiku, Kak Jeri justru menarikku untuk menjauh darinya. Pagi itu di sekolah, badanku terasa tak nyaman. Mungkin karena mimpi buruk itu, kualitas tidurku jadi kurang baik.Saat aku sendiri, tiba-tiba saja seseorang menutup mataku dengan sepasang tangannya. Spontan kupegang tangan itu. Dari ukurannya, seharusnya ini bukan tangan Vena. “Doni?” tebakku langsung.Lelaki itu melepaskan kedua tangannya dari mataku. “Yaah … ketahuan.” “Jelaslah. Siapa lagi yang berani ngerjain aku, selain kamu,” sahutku.“Lea, ka
Aku menoleh ke belakang, mencari tahu apa itu khayalanku saja. Tapi yang kulihat justru makhluk menyeramkan dengan sebuah gergaji mesin di tangannya. Suaranya yang keras, seperti mengubur suara orang yang memanggilku di dalam sana.Doni menarik tanganku, membuatku mau tak mau mengikuti langkahnya untuk berlari keluar. Makhluk dengan wajah tertutup topeng itu, benar-benar adalah tokoh penutup yang baik untuk wahana menyeramkan ini. Napasku masih terengah saat kami telah sampai di luar. Paving yang tergenang air dan hujan yang masih turun, walau tak sederas tadi membuatku sadar bahwa ketegangan itu sudah berlalu. “Kita langsung ke bianglala, yuk,” ajak Doni, “pasti di atas sana pemandangan sangat indah.” Aku bergeming di tempatku dengan perasaan ragu. “Don, kamu … dengar nggak, tadi di dalam sana, ada seseorang yang panggil namaku.” “Mana ada? Nggak mungkin ada yang kenal kita di sini,” sahut Doni mencoba meyakinkanku, “teman-teman kita masih di sekolah juga. Atau … mungkin salah sa
“Jo? Kamu … sama dia. Kenapa bisa barengan?” Suara mendayu yang khas itu, spontan membuatku menoleh ke belakang.Dan benarlah apa yang kuduga. Bu Ella sedang berdiri di belakangku. Matanya begitu bulat seperti mau lompat saat melihatku ada di sisi suamiku. Dimana salahnya? Ah ~ tentu saja karena dia belum tahu kalau kami sudah menikah.“Selamat malam, Bu,” ucapku, mati-matian menyembunyikan rasa terkejut yang ada. Kutarik sudut bibirku untuk memberinya seulas senyuman. Tapi sepertinya ia tidak menyukainya. “Alea, jangan bilang kalau kamu sedang belajar di sini,” ucap wali kelas 12A-1 itu dengan nada meninggi. Tatapan mata curiganya seperti sinar laser yang hendak menembusku. “Tapi bukan saya loh, yang bilang. Ibu sendiri yang bilang kalau aku belajar,” balasku cepat. “Bu Ella, kami sedang makan malam. Apa ada yang salah?” ungkap Pak Jonathan dengan santainya. Mata perempuan itu menatapku dengan sinis, membuatku merasa tak nyaman karenanya. “Berdua?” “Kenapa Bu, apa salah jika Pa
“Alea … Alea! Dengarkan aku,” pinta Pak Jonathan dengan tegas. Aku menatap manik hitam itu masih dengan perasaan tak karuan. Bagiku kalimat yang diucapkannya tadi adalah momok paling menyeramkan dalam hidupku. Aku tidak ingin menghancurkan impian orang yang kusayang. “Kamu nggak perlu merasa gentar. Kita sudah melakukan apa yang harus kita lakukan. Kita pulang sekarang,” perintah Pak Jonathan. Heh! Apa dia semarah itu karena aku sudah menghancurkan impiannya? Sepanjang perjalanan, aku masih saja berpikir tentang semua peristiwa yang terjadi. Semuanya terjadi begitu saja seperti sebuah mimpi. Bahkan Pak Jonathan tak memberiku kesempatan untuk memperbaiki kesalahan yang membuat impiannya hancur hanya karena tak ingin aku merendahkan diri. Aku menghela napas panjang, berharap dengan masuknya oksigen ke dalam tubuhku, pikiranku akan semakin terbuka dan bisa menyelesaikan persoalan ini. Ya, aku yakin pasti ada cara untuk menyelesaikan persoalan ini.“Kenapa? Kamu masih nggak ikhlas bua
“Maaf Tante, sebenarnya kemarin aku cuma kebetulan lewat. Aku sama Doni cuman teman sekolah. Emh, teman akrab,” tuturku tanpa mempedulikan kegelisahan di wajah lelaki muda itu. Tentu saja dia sadar kalau aku sudah beberapa kali mencoba memutuskan hubungan kami. “Teman akrab?” ulang Doni seakan kata itu terdengar aneh di telinganya. Tok tok! Aku langsung menoleh ke arah pintu, tepat dimana Pak Jonathan berdiri. Lelaki itu menutup pintu dan langsung menebarkan senyumannya. “Kamu sudah baikan, Don?” tanya Pak Jonathan dengan penuh perhatian.“Lumayan Pak,” sahutnya, “terima kasih sudah datang.” Pak Jonathan mengulurkan tangannya pada perempuan itu. “Anda pasti mamanya Doni, kan. Kenalkan, saya Jonathan. Saya guru mereka, tapi hari ini saya kemari untuk menemani istri saya menjenguk Doni, temannya.” Deg! Jantungku seperti berhenti berdetak. Bagaimana tidak, Pak Jonathan tanpa basa basi langsung memperkenalkan dirinya sebagai suamiku, pada mamanya Doni. Bahkan ia mengatakannya deng
“Siapa yang nelpon? Apa ada masalah? Kok kelihatannya serius banget?” Suara itu membuatku terkejut. Tentu saja aku tidak menyadari kehadirannya di sekitarku. Bisa saja Pak Jonathan sudah mendengar semua pembicaraan antara aku dan Vena. Tapi … dia nggak mungkin dengar apa yang Vena katakan. Bisa saja dia akan salah paham jika aku tidak menjelaskannya. Tapi … bagaimana kalau sebaliknya, dia justru sakit karena aku membahas masalah Doni lagi. “Vena … iya, Vena yang telpon,” sahutku tergagap saking gugupnya. “Kenapa lagi? Ada masalah?”“Eng … anu. Gimana ya, aduh … itu.” Sepertinya kegugupanku justru membuat lelaki itu makin penasaran. Ia menatapku dengan intens, seakan mencurigai sesuatu. “Alea. Kamu nggak perlu takut. Aku di sini bukan sebagai guru kamu,” bujuknya, “aku ini suami kamu. Dan aku janji, apapun yang terjadi aku bakal ada buat kamu, sebagai teman, supporter juga payung buat kamu berlindung.” Kalimat itu sedikit membuatku merasa lega. Aku rasa dia tidak akan marah sean
“Halo, Jo. Kamu mendengarku?” Pak Jonathan mendengus, sepertinya ia sudah mulai merasa terusik dengan tingkah Bu Ella yang memang terus melekat seperti permen karet. Tapi yang lebih menyebalkan bagiku hanyalah tingkah Pak Jonathan yang tidak dengan tegas menolaknya hanya karena takut hubungan kerjanya menjadi tidak harmonis.“Aku nggak sakit, Bu Ella. Aku cuma butuh istirahat. Jadi tolong jangan ganggu aku untuk urusan sekolah hari ini,” ucapnya dengan sopan.Aku mendecak kesal. Tentu saja kalimat itu bukan berarti sebuah penolakan. Bu Ella pasti tak bisa menangkap penolakan yang diterimanya secara ambigu itu. Nggak! Aku nggak bisa biarkan Bu Ella terus mengharapkan cinta dari Pak Jonathan. Kalau dulu, mungkin aku akan rela menyerahkan Pak Jonathan, seandainya ia bisa memenangkan hatinya. Tapi sekarang … aku tidak akan pernah membiarkan dia merayunya apalagi di depanku. Aku bukan tipe perempuan yang suka berbagi. Bagiku apa yang sudah menjadi milikku, tidak boleh dimiliki siapapun.
Rasa itu terasa begitu nyata. Bahkan sapuan basah di leherku seakan langsung menyentakku kembali ke alam nyata. Ini benar-benar nyata! Setiap sentuhan yang kurasakan benar-benar nyata.Aku langsung bernapas lega saat menyadari bahwa di hadapanku bukan lelaki yang sama. Tentu saja itu semua hanya mimpi. Doni tidak mungkin melakukan hal seaneh itu. Yang aku tahu, dia memang playboy. Namun ia tidak pernah memaksakan hal seperti itu padaku.Dan lagi, tidak seharusnya aku merasa cemas pada orang yang mungkin saat ini masih terbaring dalam masa pemulihan pasca operasi di kamar rawat inapnya. Itu semua hanya mimpi. Pak Jonathan menggenggam tanganku dengan erat. Bibirnya mengecup di leherku. Panas, seperti hendak membakar dan mengurungku dalam hasratnya yang membara. Napasku terengah, udara yang mengisi paru-paruku, membuat dadaku terasa penuh lalu kosong dalam seketika secara bergantian. Rasa gelitik terasa begitu nikmat saat ia menyentuh di bagian dadaku, membuat bagian puncaknya terasa p
Aku mengintip dari balik pintu. Kulihat dua orang laki-laki yang sejak tadi mengetuk pintu rumahku itu bernapas lega. Mereka tersenyum tanpa tahu bahwa tingkah mereka telah mengganggu ketenangan kami.“Selamat malam, Pak Jonathan,” sapanya, “saya selaku RT di blok ini dan berdasar keputusan warga, memberitahukan bahwa setiap malamnya akan diadakan giliran piket.”“Loh … loh, kok mendadak seperti ini, toh Pak RT?” “Pak Jonathan sudah dengar, kan. Tadi sore di blok depan perumahan kita, ada pembunuhan. Kita juga belum pasti dengan motifnya. Bisa jadi karena perampokan,” sahut Pak RT, “karena itu warga jadi resah, mereka takut pelaku masih berkeliaran dan mengintai. Lalu keluarga mereka menjadi sasaran berikutnya.”“Kenapa nggak bayar saja, sih. Kan kita bisa patungan buat bayar beberapa penjaga khusus blok kita,” batinku. Ingin rasanya aku keluar dan langsung menegur dua lelaki yang seperti tidak punya sopan santun karena bertamu di jam selarut ini.“Iya, saya dengar dan saya ikut mend
Waktu benar-benar terasa bergerak dengan lambat saat lampu ruang operasi itu menyala. Bahkan Pak Jonathan juga belum terlihat. Dan itu membuatku semakin gelisah. Rasa lega baru saja kurasakan saat lelaki yang kutunggu-tunggu itu muncul. Ia berlari-lari menghampiriku, masih dalam balutan seragam formalnya. “Apa yang terjadi?” tanyanya dengan raut wajah tegangnya.“Aku lewat di depan rumahnya ketika mobil patroli polisi dan ambulans datang dan mengangkutnya. Doni … ditusuk perutnya dan aku dengar mereka juga mengatakan kalau … papanya sudah … meninggal. Tidak ada wali. Bahkan mereka tidak menemukan cara untuk menghubungi mamanya. Jadi … aku mendesak rumah sakit agar mengambil tindakan terlebih dahulu. Pak Jonathan, apa aku sudah melakukan hal yang benar? Aku … aku, benar-benar takut.”Lelaki itu menghela napas. Satu tangannya terangkat dan tiba-tiba saja menarikku ke dalam pelukannya. Rasanya begitu tenang saat berada dalam pelukan itu. Seperti semua kecemasan dan kegelisahan selama
Suara teriakan itu terdengar keras dari speaker ponselku. Entah apa yang dilihat oleh Doni sehingga ia berteriak histeris seperti itu sebelum sambungan telepon kami terputus. “Hei! Apa yang kalian lakukan?” Hanya itu kalimat terakhir yang terdengar di telingaku. Sepertinya Doni sedang mengalami suatu masalah serius. Tapi … ah, sudahlah. Seharusnya dia bisa mengatasi semua masalah ini. Bukankah dengan uang ayahnya yang banyak itu, dia dapat menyelesaikan semua masalah. Vena benar, Doni memang asik buat dijadiin pacar. Wajahnya oke, dia baik dan bukan tipe cowok yang suka split bill kalo pacaran. Tapi … kalau buat dijadiin suami, aku harus mikir seribu kali. Dia tipe orang yang santai, nggak mau terikat aturan dan selalu mengandalkan kekayaan keluarganya, yang notabene dari hasil bisnisnya di dunia malam. Mikirin hal seperti ini saja, sudah bikin aku merinding disko. Bayangkan saja jika suatu saat nanti papanya justru mewariskan usaha ini pada Doni. Bisa jadi sifatnya berubah sepe