“Kak, aku sudah cukup bersabar. Bahkan aku sudah menuruti keinginan papa dan mama untuk menggantikan kewajiban kamu menikahi Alea. Sekarang kamu datang dan … kamu sengaja kan, kamu mau mengambil semua yang sudah kudapatkan,” balas Pak Jonathan dengan suara meninggi.“Jaga ucapanmu, Jo. Kamu udah ninggalin rumah, ninggalin istri kamu ketakutan sendirian di rumah. Apa kamu masih ngerasa nggak bersalah?” “Stop! Cukup!” teriakku dengan marah, “kalau kalian terus bertengkar, lebih baik aku yang pergi.” Aku meraih kunci motorku dan segera menyalakannya. Untung saja, hanya butuh sehari motorku sudah bisa ku pakai kembali. Jika tidak, mungkin aku harus menahan diri melihat pertikaian dua kakak beradik yang sama-sama egois itu. “Lea! Alea!” Suara panggilan itu tak lagi kuhiraukan. Justru aku memacu motorku lebih kencang menyusuri jalanan yang mulai sepi. Tapi … kemana aku harus pergi? Pulang ke rumah papa, aku rasa bukan keputusan yang tepat. Aku tidak ingin membuat papa marah dan justru
“Pacaran?” Ulangku setelah Kak Bernard mengatakan satu kata yang aneh itu. Gimana nggak aneh, dia seperti sudah mengenalku. Padahal aku saja jarang bertemu dengannya. Tapi menolaknya bukan hal yang tepat karena bagaimanapun dia adalah kakak kandung Vena, sahabatku. Aku nggak mau hubunganku dan Vena rusak hanya gara-gara dia. “Iya, kita cocok. Seperti jodoh yang sengaja dipertemukan lewat Vena,” lanjutnya. “Euh … Kakak, sebenarnya aku udah punya pacar. Dan … aku sayang sama dia,” elakku, “apa Vena nggak cerita tentang ini sama kakak?”“Cuma pacar, nggak ada salahnya kamu putusin dia.” Aku terperangah mendengar kalimat yang diucapkannya dengan begitu santainya itu. Lelaki itu terlihat tenang menikmati rokok elektriknya sementara secangkir kopi hitam tersaji di depannya. “Bercanda, nggak usah kaget gitu,” sahutnya masih dengan santainya, “tapi kamu bisa mempertimbangkannya. Pacaran denganku, menikah dan kamu dapat bonus adik ipar seperti Vena.”“Hah?” “Kenapa?” tanya lelaki itu de
“Nggak usah, aku bawa motor. Tunggu aja aku di rumah,” sahutku.Aku pun langsung menutup panggilan itu. Aku rasa sebaiknya aku segera pulang sebelum Pak Jonathan benar-benar menjemputku di rumah ini. Bahaya! Bisa-bisa gosip panas langsung menyebar di SMA Merah Putih.“Siapa, Al?” tanya Vena sesaat setelah aku menutup panggilan itu, “Om Wenang?”Aku menganggukkan kepalaku. “Dia menyuruhku pulang.” “Sebenarnya apa yang terjadi? Kenapa kamu bertengkar dengan papa kamu?” selidiknya. Aku menarik sudut bibirku. “Kami nggak ada masalah. Cuman … waktu itu dia liat aku sama Doni. Dan … ah, sudahlah.”“Apa kubilang. Mending kamu jalan sama aku, Lea. Papa kamu pasti langsung ACC. Percaya deh,” kelakar Kak Bernard lagi. “Percaya apa Kak?” timpalku menanggapi perkataannya yang sudah seperti stand up komedi ala tipi swasta. “Ya … percaya kalo papa kamu pasti langsung ‘ho–oh’ liat calon mantu keren, ganteng, mapan, baik dan berkepribadian macam aku,” sahutnya, “kamu tau kan. Aku udah punya kamar
Aku tertawa dengan perasaan canggung. “Bapak bercanda, ya?” Kutatap wajah lelaki di hadapanku dengan perasaan tak percaya. Tapi sepasang matanya sama sekali tak memperlihatkan kebohongan. Ia bahkan tak berkedip saat mengatakan hal itu. Senyumanku langsung lenyap, saat sepasang mata itu bergeming dari mataku. Apa yang dikatakannya itu benar? Apa dia nggak bercanda seperti perkiraanku?Sampai malam, aku masih memikirkan semua pengakuannya. Bahkan sampai terbawa mimpi. Tapi dalam mimpiku, Kak Jeri justru menarikku untuk menjauh darinya. Pagi itu di sekolah, badanku terasa tak nyaman. Mungkin karena mimpi buruk itu, kualitas tidurku jadi kurang baik.Saat aku sendiri, tiba-tiba saja seseorang menutup mataku dengan sepasang tangannya. Spontan kupegang tangan itu. Dari ukurannya, seharusnya ini bukan tangan Vena. “Doni?” tebakku langsung.Lelaki itu melepaskan kedua tangannya dari mataku. “Yaah … ketahuan.” “Jelaslah. Siapa lagi yang berani ngerjain aku, selain kamu,” sahutku.“Lea, ka
Aku menoleh ke belakang, mencari tahu apa itu khayalanku saja. Tapi yang kulihat justru makhluk menyeramkan dengan sebuah gergaji mesin di tangannya. Suaranya yang keras, seperti mengubur suara orang yang memanggilku di dalam sana.Doni menarik tanganku, membuatku mau tak mau mengikuti langkahnya untuk berlari keluar. Makhluk dengan wajah tertutup topeng itu, benar-benar adalah tokoh penutup yang baik untuk wahana menyeramkan ini. Napasku masih terengah saat kami telah sampai di luar. Paving yang tergenang air dan hujan yang masih turun, walau tak sederas tadi membuatku sadar bahwa ketegangan itu sudah berlalu. “Kita langsung ke bianglala, yuk,” ajak Doni, “pasti di atas sana pemandangan sangat indah.” Aku bergeming di tempatku dengan perasaan ragu. “Don, kamu … dengar nggak, tadi di dalam sana, ada seseorang yang panggil namaku.” “Mana ada? Nggak mungkin ada yang kenal kita di sini,” sahut Doni mencoba meyakinkanku, “teman-teman kita masih di sekolah juga. Atau … mungkin salah sa
“Jam sekolah, malah kalian berdua pacaran di sini.” Suara lelaki itu terdengar cukup keras. Saking kerasnya, beberapa orang yang lewat di sekitarku pun menoleh, mengamati apa yang sedang terjadi.***“Bapak tidak pernah melarang siapapun buat pacaran. Tapi tidak di jam sekolah, “ ucap Pak Jonathan setelah kami kembali ke sekolah. Ia tidak membiarkan aku dan Doni kembali ke kelas, melainkan memarahi kami terang-terangan di kantornya.“Apa kalian tidak malu sama orang tua yang membiayai pendidikan kalian?” Suara Pak Jonathan tidak seperti biasanya, dan aku yakin bahwa kepala sekolah kami pun dapat mendengar ucapannya dari ruangannya di ujung sana.Doni mempererat genggaman tangannya. “Maaf, Pak. Kami tidak akan mengulanginya lagi.”“Doni Aryanata! Jangan karena kamu selalu menjadi andalan sekolah dalam team basket, lalu kamu seenaknya membuat masalah seperti ini,” lanjut Pak Jonathan. Kali ini suaranya sedikit menurun, “aku tahu, kamu yang ajak Alea bolos. Benar, kan?”Tak kudengar jaw
Aku segera menyembunyikan motorku di balik mobil Pak Jonathan. Lalu dengan mengendap-endap, aku melangkah masuk melalui pintu belakang. Tanpa suara, aku berjingkat mencari keberadaan dua orang yang pasti sedang bersama di dalam rumah ini. Tapi … tidak ada siapapun di ruang tamu. Ruangan itu sepi dan masih terlihat rapi seperti saat kutinggalkan. Kemana mereka? Nggak mungkin Pak Jonathan membawa wanita itu ke dalam kamar kami. Kamar dimana jejak keberadaanku terlihat dengan begitu jelas. “Bu Ella?” Aku tak bisa mempercayai penglihatanku. Mungkin saja ini cuma halusinasiku semata. Kugosok mataku dengan tanganku dan kucoba untuk mengamati kembali pemandangan di hadapanku. “Nggak perlu, Ella. Aku bisa melakukannya sendiri,” tolak Pak Jonathan saat sendok itu terangkat menuju mulutnya, “pulanglah. Aku nggak mau kamu kesorean di jalanan.” “Siapa yang tega ninggalin kamu kalo sakit gini? Apalagi kamu tinggal sendirian, kalo ada apa-apa gimana?” ucap perempuan bertubuh sintal itu. Bener
“Sepertinya kamu udah jatuh cinta sama aku,” lirihnya. “Jatuh cinta,” ulangku, “menurutmu, cinta itu seperti apa? Apa merasa sedih kalau orang yang kita kenal jatuh sakit, juga dianggap perasaan cinta? Kalau seperti itu … banyak sekali orang yang aku cintai.” “Aku sedih jika papa sakit, aku juga sedih kalau Vena nggak masuk sekolah. Aku juga sedih karena Bu Sisca nggak ngajar kelas informatika lagi.” “Bu Sisca berhenti karena menikah,” tukas Pak Jonathan. “Iya, aku tahu. Tapi … apa itu yang dinamakan cinta?” Tanpa kuduga, lelaki itu mengangguk. “Kamu cinta papa kamu sebagai orang tua. Kamu cinta Vena sebagai kawan, dan kamu cinta pelajaran informatika karena Bu Sisca guru yang baik. Begitu juga perasaan kamu sama aku.” “Hah? Tapi aku sedih karena aku nggak tega liat kamu sakit. Itu doang,” elakku. “Kamu nggak mungkin sedih kalo kamu benci sama aku. Kamu justru bakal senang kalau aku – orang yang nggak kamu sukai ini – sakit. Kamu justru lebih berharap aku nggak ada di
“Iya, dia ada sama aku. Mama Intan? Ada apa Ma?” tanyaku yang masih terkejut karena tak biasanya ibu mertuaku itu melupakan salam yang biasanya diucapkannya. Firasatku mengatakan ada suatu hal sangat penting yang membuatnya panik. “Papa kamu … dia masuk rumah sakit. Dia kena serangan jantung,” ucap perempuan itu dengan suara gemetar, “kamu sama Jonathan bisa pulang, kan?” Tiba-tiba saja kakiku terasa lemas. Bukan … bukan cuma kakiku. Tubuhku terasa lemas, sampai-sampai ponselku terlepas dari tanganku. “Al … Alea, bangun.” Suara itu yang terakhir bisa kudengar. Sebelum semuanya menjadi gelap.Bau menyengat yang tercium di hidungku, membuatku tersentak kembali pada kesadaranku. Aku semakin kebingungan saat telah berada di tempat yang berbeda. “Syukurlah, kamu sudah sadar.” Wajah cemas suamiku membuatku merasa bersalah. Lelaki itu menggenggam tanganku dan mengecupnya, seakan mengungkapkan kelegaan hatinya,“Jo, kita harus pulang sekarang. Papa butuh kita,” ucapku kemudian. Ingatan
“aku yang seharusnya mengatakannya. Terima kasih Alea, karena kamu telah hadir di dunia ini, di sisiku. Dan ….” Lelaki itu mengecup lembut keningku. “... biarkan aku bertanggung jawab atas setiap penggal kisah hidupmu dan putera kita nantinya.” Kalimat itu membuatku hatiku merasa damai, ia seakan begitu mencintaiku dan calon bayi yang bahkan masih sangat sangat kecil ini. Malam itu Pak Jonathan benar-benar berbeda. Ia bersikap bukan hanya lebih lembut, tapi ia bahkan lebih protektif dalam memperlakukan aku. Ia bahkan tidak menggangguku apalagi merayuku untuk melayaninya. Lelaki itu justru memelukku dengan alasan agar aku tidak kedinginan. Dan aku tak membantah, walau aku justru merasa gerah. “Alea,” panggilnya sembari mempermainkan anak rambut di wajahku, “aku sedang membayangkan seorang bayi cantik, duduk di pangkuanmu. Wajah cantiknya, sangat mirip denganmu. Rambutnya yang ikal dan mata bulatnya sangat indah.” “Tapi Sayang, apa kamu ingin bayi perempuan?” tanyaku yang terkejut
“Kok bengong gitu sih?” tanyaku, “kamu jadi ikutan kecewa, ya?” Tapi Pak Jonathan justru menggelengkan kepalanya. “Kemari … kemari Alea. Kita coba sekali lagi.”“Pak buntal, kalau memang hasilnya negatif. Mau sepuluh merk yang berbeda juga bakal negatif, kan.” “Tapi ini nggak negatif, Al. Ini sama sekali nggak negatif,” ucap Pak Jonathan.“Hah! Kok bisa?” “Kemari! Kita cek dengan merk yang lain.” Sekali lagi Pak Jonathan mencelupkan benda mungil itu, hanya seujung kecil, dibawah garis tanda selama beberapa detik dan mengangkatnya. Tak berapa lama kemudian garis itu muncul, memperlihatkan tanda saling silang di dalam lingkarannya. “Positif!” teriak Pak Jonathan dengan gembiranya. “Ini positif, Sayang!” Lelaki itu langsung memeluk tubuhku dan meluncurkan kecupannya di kedua pipiku, di dahiku … di seluruh wajahku secara bertubi-tubi. “Alea, cintaku, makasih ya. Ini hadiah paling indah yang pernah aku dapatkan seumur hidupku,” ucapnya dengan senyum yang tak lepas dari bibirnya. Ia
“Pak Buntal! Kamu mau kemana?” tanyaku dengan perasaan frustasi. Kenapa dia langsung pergi tanpa mengatakan apapun? Apa dia tahu apa yang sedang kualami? Apa dia menjauh karena takut ketular? Lelaki itu mengusap tubuhnya dengan handuk sembari menoleh kepadaku. “Kamu tunggu di sini bentar, ya. Aku harus beli sesuatu.” “Beli sesuatu? Aku nggak boleh ikut?” tanyaku lagi. “Nggak. Aku segera kembali,” ucapnya kali ini dengan terburu-buru ia memakai kemeja dan celana pantainya. Baru saja ia hendak membuka pintu kamar mandi, ia kembali melangkah ke arahku dan mendekatkan wajahnya untuk mengecup keningku. “Alea, aku akan segera kembali. Tunggu ya. Tunggu aku di sini,” pamitnya sebelum benar-benar meninggalkanku sendirian. Iya! Dia benar-benar meninggalkan aku sendirian di sini. Di kamar ini. Aku menghela napas dan kupejamkan mataku, menikmati hangatnya air di dalam bak penuh kelopak mawar. Aromanya bahkan membuat perasaanku jauh lebih tenang. Pak Jonathan nggak mungk
Kukeluarkan isi perutku begitu saja. Tentu saja kejadian itu membuat Pak Jonathan terkejut. Dan kali ini aku tak mungkin lagi bisa menyembunyikannya. “Alea, kamu nggak papa?”“Nggak papa, mungkin cuman masuk angin.” “Kamu yakin cuman masuk angin?” tegasnya lagi. Tatapannya jelas menunjukkan kecurigaannya. Haruskah aku mengatakan semuanya sekarang? Tapi … aku tidak mau dia kembali terpukul.seperti saat kehilangan kekasihnya. Haruskah aku menjauh darinya agar ia tidak kembali tersakiti. Tapi aku tak yakin bisa hidup tanpa dia. “Alea,” panggilnya sembari membersihkan bibirku dengan sehelai tisu di tangannya, “aku tahu kamu menyembunyikan sesuatu.:Aku langsung menggeleng cepat. “Enggak! Memangnya apa yang harus aku sembunyikan?”“Kamu … kamu keliatan aneh hari ini. Tidak seperti biasanya. Seperti ada sesuatu yang sedang kamu sembunyikan,” ungkapnya tentang kecurigaan yang dirasakannya. “Aku nggak suka kepang. Rambutku jadi rusak, kan,” keluhku mengabaikan perkataannya. “Selesai!”
“Jadi beneran udah nggak mau ngomong lagi sama aku, nih?” Aku diam tak menjawab, tentu saja masih dengan perasaan kesal karena sama sekali tak menyangka bahwa dia akan cemburu bahkan pada orang-orang yang sama sekali tak kukenal. Haruskah dia seposesif itu?“Ah … itu kedai gelatonya,” ucapnya. Mendengar itu, mau tak mau aku mengangkat wajahku, mencari tahu kebenaran kalimat yang diucapkannya. Tapi tidak ada kedai gelato semacam itu di depanku. Dia hanya sedang mengalihkan perhatianku saja.Aku melepaskan genggaman tanganku dan hanya terus melangkah menyusuri trotoar yang dipadati oleh pejalan kaki. Tak tahu kenapa perasaanku menjadi semakin kacau. Untung saja tak berapa lama kemudian, aku melihat sebuah kedai gelato. Seharusnya dinginnya gelato dan rasa manis legitnya dapat menenangkan perasaanku. Masih dengan mengabaikan keberadaan lelaki di sisiku, aku masuk ke dalamnya dan membeli tiga scoop varian rasa favoritku. “Sayang … kamu mau ngambek sampe kapan,” tanyanya sembari duduk
“Alea,” panggil Pak Jonathan dari suaranya kurasa dia sudah merasa kesal. Tapi aku tetap mengacuhkannya. Tapi tiba-tiba pandanganku menjadi gelap. Bule ganteng yang sedang bawa papan surfing ke arahku itu sama sekali tak terlihat.“Pak buntal! Apaan sih,” tegurku sembari menepiskan tangannya yang sedang menutupi mataku. “Kamu tuh, macam nggak pernah liat cowok ganteng aja,” jawabnya. “Nah … kamu sendiri?” Aku pun tak mau kalah. “Udah … udah, yuk. Kita ke tempat lain saja,” sahutnya mengakhiri perdebatan kami. “Nggak mau,” rengekku, “aku masih mau di sini.” “Ya udah, kalau gitu aku jalan dulu, ya,” pamitnya dan langsung berdiri dari sisiku. Tentu saja aku nggak mau ditinggal sendirian. Kupegang tangannya, menahannya agar tak beranjak dari sisiku. “Eh … eh. Emangnya kamu mau kemana?” tanyaku dengan perasaan enggan. “Jalan. Seingatku ada kedai gelato di sana,” jawabnya sembari menunjuk ke suatu arah. Mendengar kata gelato, membuat semangatku kembali lagi. Membayangkan rasa ding
Aku menggigit bibirku, berusaha menahan rasa sakit yang masih bisa kurasakan saat benda berukuran besar itu tenggelam di dalamku. Bahkan aku dapat merasakan sensasi yang berbeda dari biasanya. Dalam posisi ini, belalai itu bahkan tenggelam lebih dalam lagi. Lebih dari biasanya. Pak Jonathan memegang pinggangku. Dengan mata terpejam ia berusaha membimbingku agar aku mulai bergerak naik dan turun. “Sayang, bergeraklah,” pintanya, “jangan menjepitku seperti ini.” Kuikuti arahannya dengan hati-hati. Entah apa yang dirasakannya, saat aku mulai bergerak, suara erangan keluar dari bibirnya. Tangannya yang semula berada di pinggangku, kini dengan nakalnya membelai tubuhku, menyentuh sepasang gumpalan padat dan meremasnya kuat. Heh! Kenapa sensasi yang kurasakan saat ini begitu hebat. Apalagi saat aku mempercepat gerakanku. Setiap gesekannya menciptakan gelitik yang membuatku melayang dan menginginkan lebih. Bahkan di dalam sana aku merasa penuh, sesak, membuat kedut-kedut itu sema
“Tapi kenapa harus mawar? Dan … kenapa di atas ranjang kita?” tanyaku. Pasti ada alasan dia meletakkan kelopak mawar di atas ranjang kami, walau ia tahu akan tak nyaman rasanya untuk tidur diatasnya.Tapi Pak Jonathan justru tersenyum. “Aku hanya ingin melihat mawarku berada di antara bunga mawar lainnya,” tuturnya, “dan … kau tahu, mawarku paling cantik diantara ratusan mawar di kamar ini.” “Hah! Mana ada. Aku manusia, bukan bunga, Pak Buntal,” sahutku sembari mencubit pinggangnya, walau jujur dalam hatiku berbunga-bunga mendengar rayuannya. “Kamu tahu … aku paling suka liat wajah kamu yang memerah seperti sekarang ini,” pujinya lagi, “terlihat begitu ….”Ia mendekatkan bibirnya ke telingaku dan berbisik, “... sexy.” Aku menelan kasar salivaku. Gemuruh di dadaku, terasa begitu hebat. Bahkan membuatku gelisah, seandainya saja Pak Jonathan bisa mendengarkan suaranya. Hanya bayangan diriku yang terlihat dengan jelas dalam sepasang mata jernihnya, seakan menyatakan hanya aku yang ada