Aku menoleh ke belakang, mencari tahu apa itu khayalanku saja. Tapi yang kulihat justru makhluk menyeramkan dengan sebuah gergaji mesin di tangannya. Suaranya yang keras, seperti mengubur suara orang yang memanggilku di dalam sana.Doni menarik tanganku, membuatku mau tak mau mengikuti langkahnya untuk berlari keluar. Makhluk dengan wajah tertutup topeng itu, benar-benar adalah tokoh penutup yang baik untuk wahana menyeramkan ini. Napasku masih terengah saat kami telah sampai di luar. Paving yang tergenang air dan hujan yang masih turun, walau tak sederas tadi membuatku sadar bahwa ketegangan itu sudah berlalu. “Kita langsung ke bianglala, yuk,” ajak Doni, “pasti di atas sana pemandangan sangat indah.” Aku bergeming di tempatku dengan perasaan ragu. “Don, kamu … dengar nggak, tadi di dalam sana, ada seseorang yang panggil namaku.” “Mana ada? Nggak mungkin ada yang kenal kita di sini,” sahut Doni mencoba meyakinkanku, “teman-teman kita masih di sekolah juga. Atau … mungkin salah sa
“Jam sekolah, malah kalian berdua pacaran di sini.” Suara lelaki itu terdengar cukup keras. Saking kerasnya, beberapa orang yang lewat di sekitarku pun menoleh, mengamati apa yang sedang terjadi.***“Bapak tidak pernah melarang siapapun buat pacaran. Tapi tidak di jam sekolah, “ ucap Pak Jonathan setelah kami kembali ke sekolah. Ia tidak membiarkan aku dan Doni kembali ke kelas, melainkan memarahi kami terang-terangan di kantornya.“Apa kalian tidak malu sama orang tua yang membiayai pendidikan kalian?” Suara Pak Jonathan tidak seperti biasanya, dan aku yakin bahwa kepala sekolah kami pun dapat mendengar ucapannya dari ruangannya di ujung sana.Doni mempererat genggaman tangannya. “Maaf, Pak. Kami tidak akan mengulanginya lagi.”“Doni Aryanata! Jangan karena kamu selalu menjadi andalan sekolah dalam team basket, lalu kamu seenaknya membuat masalah seperti ini,” lanjut Pak Jonathan. Kali ini suaranya sedikit menurun, “aku tahu, kamu yang ajak Alea bolos. Benar, kan?”Tak kudengar jaw
Aku segera menyembunyikan motorku di balik mobil Pak Jonathan. Lalu dengan mengendap-endap, aku melangkah masuk melalui pintu belakang. Tanpa suara, aku berjingkat mencari keberadaan dua orang yang pasti sedang bersama di dalam rumah ini. Tapi … tidak ada siapapun di ruang tamu. Ruangan itu sepi dan masih terlihat rapi seperti saat kutinggalkan. Kemana mereka? Nggak mungkin Pak Jonathan membawa wanita itu ke dalam kamar kami. Kamar dimana jejak keberadaanku terlihat dengan begitu jelas. “Bu Ella?” Aku tak bisa mempercayai penglihatanku. Mungkin saja ini cuma halusinasiku semata. Kugosok mataku dengan tanganku dan kucoba untuk mengamati kembali pemandangan di hadapanku. “Nggak perlu, Ella. Aku bisa melakukannya sendiri,” tolak Pak Jonathan saat sendok itu terangkat menuju mulutnya, “pulanglah. Aku nggak mau kamu kesorean di jalanan.” “Siapa yang tega ninggalin kamu kalo sakit gini? Apalagi kamu tinggal sendirian, kalo ada apa-apa gimana?” ucap perempuan bertubuh sintal itu. Bener
“Sepertinya kamu udah jatuh cinta sama aku,” lirihnya. “Jatuh cinta,” ulangku, “menurutmu, cinta itu seperti apa? Apa merasa sedih kalau orang yang kita kenal jatuh sakit, juga dianggap perasaan cinta? Kalau seperti itu … banyak sekali orang yang aku cintai.” “Aku sedih jika papa sakit, aku juga sedih kalau Vena nggak masuk sekolah. Aku juga sedih karena Bu Sisca nggak ngajar kelas informatika lagi.” “Bu Sisca berhenti karena menikah,” tukas Pak Jonathan. “Iya, aku tahu. Tapi … apa itu yang dinamakan cinta?” Tanpa kuduga, lelaki itu mengangguk. “Kamu cinta papa kamu sebagai orang tua. Kamu cinta Vena sebagai kawan, dan kamu cinta pelajaran informatika karena Bu Sisca guru yang baik. Begitu juga perasaan kamu sama aku.” “Hah? Tapi aku sedih karena aku nggak tega liat kamu sakit. Itu doang,” elakku. “Kamu nggak mungkin sedih kalo kamu benci sama aku. Kamu justru bakal senang kalau aku – orang yang nggak kamu sukai ini – sakit. Kamu justru lebih berharap aku nggak ada di dunia
“Tolong,” teriakku sementara pintu itu kupukul dengan segenap tenaga, “buka pintunya. Tolong aku.”Aku tahu, hampir mustahil ada orang yang masih berada di lingkungan ini, sementara hari sudah gelap. Mungkin hanya beberapa satpam yang bertugas jaga malam. Tapi itupun di luar sekolah. Namun jika aku melakukan suatu hal berisik, aku yakin mereka akan mendengar dan menyadari bahwa ada sesuatu yang salah. Aku tidak mungkin bisa tenang dan pasrah menerima nasib begitu saja. Aku tahu ini juga tidak akan mudah. Jarak antara tolet ke pintu gerbang sekolah sangat jauh. Sehingga walau sampai aku berteriak sampai tenggorokanku kering pun, mereka pasti masih asik dengan kesibukannya di dalam pos. Tapi … masa sih aku harus pasrah di dalam sini. Aduh … punggungku sakit sekali. Kutatap sekelilingku. Hanya ada celah di atas sekat bilik yang mungkin bisa aku manfaatkan untuk meninggalkan bilik yang terkunci ini. Tapi itu juga cukup tinggi untuk kupanjat. “Tidak Alea! Kamu nggak boleh putus asa,”
“Nggak mau, Pa!” teriakku dengan kesal. Kuletakkan kedua tanganku menutup telingaku rapat-rapat. “Pokoknya Alea nggak mau dijodohin. Titik!”“Alea, ini permintaan terakhir kakek kamu, loh. Dia udah janji bakal nikahin keturunannya dengan keturunan sahabatnya.” Sesak rasa di dadaku, ketika papa tiba-tiba menyampaikan wasiat kakekku. Bukan tentang harta, tapi tentang perjodohan konyol antara keluargaku dengan keluarga sahabatnya. “Kalau memang Papa mau, kenapa nggak Papa aja yang nikah sama anaknya?” balasku masih tidak bisa menerima kenyataan. “Anaknya cowok, Alea,” sahut papaku, “cowok nggak bisa nikah sama cowok.” “Iya, tapi nggak harus ngorbanin Alea juga, kan,” omelku, “emangnya Alea kucing, gitu? Bisa asal dikawinin gitu aja sama kucing lain yang baru ditemuinnya.”“Bukan gitu, Al. Papa udah lihat kok, calon suami kamu. Dia itu lelaki hebat! Dia sudah mandiri bahkan di usianya yang masih terbilang muda, pekerja keras, baik, sopan, ganteng, pinter pula. Paket lengkap lah buat d
“Non Alea sudah bangun?” Suara Bik Titin membuatku tersadar bahwa semua itu hanyalah mimpi. Perempuan setengah baya itu memang selalu datang di pagi hari dan pulang di sore hari. Ia satu-satunya orang yang kami andalkan membantu kami membereskan pekerjaan rumah semenjak mama pergi. “Mimpi apa sih Non, kok sampe teriak histeris gitu?” tanya Bik Titin mengkepo sementara tangannya sibuk merapikan tirai yang baru saja dibukanya. “Mimpi digigit macan ompong, Bik,” sahutku kesal. “Eh, macan ompong,” timpal Bik Titin sambil tertawa, “geli dong, Non. Diemut namanya, bukan digigit.” “Nggak tahu lah!” teriakku dari dalam kamar mandi. Tiba-tiba saja tercetus beragam ide di benakku. Bagaimana seandainya Bik Titin menggantikan aku untuk menikahi pria itu? Atau …. Bagaimana kalau aku kabur dari rumah? Mungkin papa akan membatalkan perjodohan itu. Lagipula aku bisa tinggal sementara di rumah Vena sampai papa nggak marah lagi. Ah! Sepertinya hanya ini hal yang paling masuk akal. Pagi itu sen
Aku menganggukkan kepalaku dengan lesu, ketika Vena menarikku masuk ke kantin siang itu. “Nah … gitu dong. Kamu harus makan, biar isi kepalamu juga nggak zonk,” cicit Vena sembari menyodorkan semangkuk nasi ayam geprek dan segelas teh hangat ke hadapanku. “Gimana tadi? Simba kelihatan marah banget pas suruh kamu ke ruangannya,” tanya Vena padaku. “Ya gitu, deh,” sahutku tanpa semangat, “kayaknya sih dia emang benci aku. Kamu tahu kan, banyak kok yang sering nggak kerjain tugas tapi dia fine-fine aja. Tapi begitu aku yang ngelakuin …. Duar! Bom atom langsung jatuh dan meletus!” Aku memasukkan sesuap makananku. Terasa pedasnya sambal bawang menyengat di lidahku. Perlahan ku seruput teh hangatku sebelum melanjutkan kalimatku. “Udahlah … rasanya dia emang sengaja. Sepertinya dia punya dendam kesumat sama aku deh, tapi aku nggak tau, aku salah apa sama dia.” “Alea! Jangan-jangan … dia naksir kamu,” cetus Vena tiba-tiba membuatku hampir tersedak. “Kok kamu bilang gitu sih?” tanyaku s