Share

Bab 37

Penulis: Chocoberry pie
last update Terakhir Diperbarui: 2024-11-18 08:19:48

“Tolong,” teriakku sementara pintu itu kupukul dengan segenap tenaga, “buka pintunya. Tolong aku.”

Aku tahu, hampir mustahil ada orang yang masih berada di lingkungan ini, sementara hari sudah gelap. Mungkin hanya beberapa satpam yang bertugas jaga malam. Tapi itupun di luar sekolah.

Namun jika aku melakukan suatu hal berisik, aku yakin mereka akan mendengar dan menyadari bahwa ada sesuatu yang salah. Aku tidak mungkin bisa tenang dan pasrah menerima nasib begitu saja.

Aku tahu ini juga tidak akan mudah. Jarak antara tolet ke pintu gerbang sekolah sangat jauh. Sehingga walau sampai aku berteriak sampai tenggorokanku kering pun, mereka pasti masih asik dengan kesibukannya di dalam pos.

Tapi … masa sih aku harus pasrah di dalam sini. Aduh … punggungku sakit sekali.

Kutatap sekelilingku. Hanya ada celah di atas sekat bilik yang mungkin bisa aku manfaatkan untuk meninggalkan bilik yang terkunci ini. Tapi itu juga cukup tinggi untuk kupanjat.

“Tidak Alea! Kamu nggak boleh putus asa,”
Bab Terkunci
Lanjutkan Membaca di GoodNovel
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (2)
goodnovel comment avatar
Ayu Nida
double up kaka pleaseee....
goodnovel comment avatar
Ayu Nida
ayo alea jangan dekat lagi sama Doni.... Doni itu membawa pengaruh buruk buat km...
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

  • Menikahi Guru Killer   Bab 38

    Aku tahu memang nggak mudah bagi Pak Jonathan untuk melakukan semua itu. Bagaimanapun dia juga membawa nama baik SMA Merah Putih. “Kak Jeri,” sapaku. Aku segera menarik kain pashmina yang ada di dekatku untuk menutup bagian punggungku yang terbuka dan masih basah oleh salep. Entah kenapa firasatku mengatakan bahwa kedua kakak beradik ini akan kembali bertengkar. Aku benar-benar tidak ingin itu terjadi. Apapun yang terjadi, aku tidak ingin melihat keduanya bertengkar saat ini, apalagi pertengkaran itu gara-gara aku.“Aku bisa menggantikanmu menuntutnya, karena dia sudah mencelakai calon istriku,” lanjut Kak Jeri. “Kenapa Kakak selalu ikut campur masalahku. Alea itu istriku, bukan Kakak,” sahut Pak Jonathan, “jadi Kakak nggak usah ikut campur apalagi ngaku-ngaku sebagai calon suami dia.”“Kalau saja kakek sehat, kamu nggak bakal dinikahkan sama dia. Aku sudah mempersiapkan semuanya dan akan menikahinya tepat setelah kelulusannya. Aku siap. Tidak seperti kamu.Kamu nggak becus jaga d

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-18
  • Menikahi Guru Killer   Bab 39

    Dengan sekuat tenaga, aku berontak dan melemparkan tanganku ke pipinya. Rasa panas di telapak tanganku, membuatku tersadar bahwa itu hanyalah mimpi. Dan saat kubuka mataku, kusadari bahwa tangan itu justru berada di pipi Pak Jonathan. Lelaki yang sedang berbaring di sisiku itu, kini menatapku seakan protes dengan perlakuan yang kuberikan. “Maaf … aku benar-benar nggak sadar udah mukul Bapak.”“Kamu mimpi apa? Reva sama geng nya lagi?” tebak Pak Jonathan, “sudah, mereka pasti akan mendapatkan balasan yang setimpal. Sekarang tidurlah yang nyenyak.”“Hmm … Pak,” lirihku dengan ragu, “tentang Kak Jeri, Bapak nggak usah khawatir. Aku nggak bakal nikah sama dia. Setelah kita cerai nanti, aku nggak akan ganggu keluarga Darius.”Pak Jonathan justru menatapku dengan tatapan yang tak bisa kumengerti. Sesaat kemudian ia menghela napas dan berbalik memunggungiku. Entah apa yang ada di dalam pikirannya. Mungkin saja dia makin kesal karena tahu kalau aku sedang memikirkan Kak Jeri, bukan tentang

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-19
  • Menikahi Guru Killer   Bab 40

    Wajah kusut itu membuat pikiranku semakin tak karuan. Ditambah lagi saat ia masuk ke dalam rumah, ia mengacuhkanku, seakan aku tak terlihat.“Pak buntal,” sapaku, “kenapa? Apa terjadi sesuatu?” Lelaki itu mengendurkan dasi yang melingkar di lehernya. Ia menghempaskan pantatnya di atas sofa dan sesaat kemudian menghela napas panjang.“Pak, apa yang terjadi?” ulangku karena tak mendapatkan respon darinya. Pak Jonathan kali ini menatapku dengan intens. “Aku sudah menjalankan strategiku. Mengumpulkan bukti sebelum besok, bertemu dengan Pak Anjasmara Wirata, ayah dari Reva Angelista.”Aku terperangah mendengarnya. Ah ~ tentu saja. Pak Jonathan bukan orang konyol yang akan maju perang tanpa persiapan. Dia pasti akan menyiapkan amunisi, apalagi jika tahu siapa yang bakal dihadapinya. “Strategi gimana?”“Sedikit rumit, tapi kalau kamu mau mendengarkan … aku bisa menceritakannya,” sahutnya dengan antusias. Aku langsung duduk di sampingnya dan menatapnya, menunggu kalimat yang bakal keluar

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-20
  • Menikahi Guru Killer   Bab 41

    Si om botak keluar dari mobilnya. Langkahnya satu demi satu dengan pasti mendekat ke arahku. “Lima puluh juta,” ujarnya dengan mata yang berbinar seakan aku adalah daging segar yang sangat lezat di matanya.“Jangan macem-macem, Om! Om bisa ditembak sama papa ku,” ancamku, “papa aku tentara, loh!”Aku melihat ke kanan dan ke kiri. Tapi tak ada satu orang pun di sekitarku. Sepi. Pilihanku cuma ada dua, berlari pulang atau ke arah minimarket, yang pasti ada seseorang yang bisa melindungiku. Tapi keduanya sama-sama tidak bisa dibilang dekat. Aku menelan kasar salivaku. Lebih baik aku mencoba lari daripada hanya pasrah. Nasibku ada di tanganku, bukan di tangan om botak. “Tujuh puluh juta!” Ucapnya menaikkan penawarannya. “Dasar, om-om botak gila yang mesum!” Teriakku sambil berlari kembali pulang. Tapi suara langkah kaki itu seperti mengikutiku. Aku menolehkan kepalaku melewati bahuku. Tampak di belakangku lelaki itu masih berlari dengan gigihnya. Ia mengejarku.“Gila! Staminanya besa

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-21
  • Menikahi Guru Killer   Bab 42

    “... mana belum mandi, pula," gerutuku saking kesalnya.“Beneran ini? Kamu nggak perlu ini?” Pak Jonathan melambaikan benda berbentuk kotak dengan logo duo huruf C di tangannya. “Bukannya kamu telepon karena lupa sama dompet kamu?” Aku menghela napas panjang. “Tadi aku tuh nggak butuh dompet. Aku tuh butuh kamu. Kalo buat bayar jajanan macem gini, gampang. Tinggal buka dompet digital doang, terus scan. Beres,” kesalku. “Tadi … kamu butuh aku? Ada apa? Apa kapten basket itu gangguin kamu?” tebaknya dengan cepat.“Nggak, malah untung aja tadi dia lewat. Kalo nggak, babay lah semuanya,” sahutku makin kesal, "abis aku sama Om itu.“Ya udah, ya udah. Mulai sekarang, kamu nggak boleh keluar malam sendirian!” putusnya tiba-tiba. “Loh kok ….” Sungguh, setelah aku menceritakan kejadian itu, Pak Jonathan tak lepas mengawasiku. Setiap gerakanku bahkan diketahuinya. Dan tentu saja hal itu membuatku salah tingkah. “Mau bayar pake apa?”Pertanyaan mbak-mbak kasir minimarket itu membuatku kemb

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-22
  • Menikahi Guru Killer   Bab 43

    “Jadi … gimana? Apa yang sebaiknya kita lakukan sekarang?” tanyaku dengan perasaan gelisah yang belum juga berakhir. “Aku tahu, tidak ada namaku dalam rencana hidupmu di masa depan. Aku nggak mau ngehancurin rancangan masa depan kamu.”Pak Jonathan justru tersenyum lebar. Ia menatapku, alih-alih layar televisi yang sedang menayangkan konflik ceritanya. “Aku nggak pernah bikin daftar rencana buat masa depanku. Tapi … aku jelas tidak melihat namaku dalam wishlist di agendamu.” Aku mengangguk anggukkan kepalaku. “Banyak hal yang harus aku ubah dalam daftar itu. Sepertinya aku mulai paham kenapa orang bisa mengatakan waktu akan mengubah segalanya.”“Seperti perasaan kamu?” “Mungkin semua tak akan sama jika kakek nggak memikirkan perjodohan ini, kan?” Dengan perasaan gelisah aku kembali melirik wajah lelaki di sisiku. Tapi entah kenapa, pandangan mataku tak bisa lepas dari bibirnya. Bibir yang sempat menyentuh bibirku. Bibir yang sempat melumat bibirku dan memberikan ledakan sensasi aneh

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-22
  • Menikahi Guru Killer   Bab 44

    “Alea! Alea! Bangun!” Suara itu membuatku tersadar dari alam mimpiku. Lelaki itu menatapku seperti curiga. Apa ada sesuatu yang aneh, atau … mungkin nggak, sih, aku ngucapin sesuatu yang aneh dalam mimpiku tadi.“Mimpi apa kamu?” “E – enggak, siapa yang mimpi?” sangkalku.“Jangan katakan kalau kamu mimpiin sel telur ketemu sel sperma,” tebaknya. Senyuman nakalnya itu sukses membuatku kesal. “Boleh aja nggak ngaku. Tapi suara desahanmu tadi tidak bisa kamu tutupi,” lanjutnya seakan sengaja memojokkan aku.Hm … benarkah? Sungguh memalukan. “Ah, bomat!” Sahutku sembari melempar selimutku, “males ngeladenin debat, nggak bakal ada abisnya.” ***“Alea!” Suara cempreng itu terdengar di telingaku sesaat setelah aku masuk ke gerbang sekolah. Gadis manis itu dengan napas terengah menghampiriku. “Aku sudah dengar semuanya,” ucapnya setelah berhasil mengatur napasnya, “maafin aku, ya. Seharusnya aku temani kamu bikin tugas karya tulis itu.” “Udah, aku nggak papa. Lagian kamu juga harus ke

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-23
  • Menikahi Guru Killer   Bab 45

    Berani sekali dia gunting rambut aku! Ini nggak bisa dibiarin. Kalau aku biarin, dia nggak bakalan kapok tapi bakalan terus ke sekolah ini buat nindas aku. Ah … sial. Kutekuk lengan tanganku, lalu dengan sekuat tenaga, ku hentakkan ke belakang dengan harapan siku tanganku akan menghantam tulang rusuknya. “Aargh!” Teriakan itu terdengar bersamaan dengan lepasnya rambutku dari tangannya. Aku tak mau terjadi sesuatu yang lebih buruk. Reva memiliki senjata tajam. Kurasa dia bisa jadi sangat nekat setelah terprovokasi seperti ini. Gegas aku berlari menuju pos security. Dan aku begitu bahagia saat melihat Pak Rudi, yang bertugas siang ini di dalam pos itu. “Pak, tolong Pak. Reva nindas aku lagi. Dia di sana,” laporku sembari menunjuk ke arah parkiran motor yang letaknya di balik parkiran roda empat. “Heh! Darimana dia masuk? Bukannya dia sudah keluar dari sekolah ini?” Penjaga termuda di sekolah kami itupun merasa heran. “Kamu ke dalam saja. Kasih tau siapapun guru yang kamu temui

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-24

Bab terbaru

  • Menikahi Guru Killer   Bab 122

    “Iya, dia ada sama aku. Mama Intan? Ada apa Ma?” tanyaku yang masih terkejut karena tak biasanya ibu mertuaku itu melupakan salam yang biasanya diucapkannya. Firasatku mengatakan ada suatu hal sangat penting yang membuatnya panik. “Papa kamu … dia masuk rumah sakit. Dia kena serangan jantung,” ucap perempuan itu dengan suara gemetar, “kamu sama Jonathan bisa pulang, kan?” Tiba-tiba saja kakiku terasa lemas. Bukan … bukan cuma kakiku. Tubuhku terasa lemas, sampai-sampai ponselku terlepas dari tanganku. “Al … Alea, bangun.” Suara itu yang terakhir bisa kudengar. Sebelum semuanya menjadi gelap.Bau menyengat yang tercium di hidungku, membuatku tersentak kembali pada kesadaranku. Aku semakin kebingungan saat telah berada di tempat yang berbeda. “Syukurlah, kamu sudah sadar.” Wajah cemas suamiku membuatku merasa bersalah. Lelaki itu menggenggam tanganku dan mengecupnya, seakan mengungkapkan kelegaan hatinya,“Jo, kita harus pulang sekarang. Papa butuh kita,” ucapku kemudian. Ingatan

  • Menikahi Guru Killer   Bab 120

    “aku yang seharusnya mengatakannya. Terima kasih Alea, karena kamu telah hadir di dunia ini, di sisiku. Dan ….” Lelaki itu mengecup lembut keningku. “... biarkan aku bertanggung jawab atas setiap penggal kisah hidupmu dan putera kita nantinya.” Kalimat itu membuatku hatiku merasa damai, ia seakan begitu mencintaiku dan calon bayi yang bahkan masih sangat sangat kecil ini. Malam itu Pak Jonathan benar-benar berbeda. Ia bersikap bukan hanya lebih lembut, tapi ia bahkan lebih protektif dalam memperlakukan aku. Ia bahkan tidak menggangguku apalagi merayuku untuk melayaninya. Lelaki itu justru memelukku dengan alasan agar aku tidak kedinginan. Dan aku tak membantah, walau aku justru merasa gerah. “Alea,” panggilnya sembari mempermainkan anak rambut di wajahku, “aku sedang membayangkan seorang bayi cantik, duduk di pangkuanmu. Wajah cantiknya, sangat mirip denganmu. Rambutnya yang ikal dan mata bulatnya sangat indah.” “Tapi Sayang, apa kamu ingin bayi perempuan?” tanyaku yang terkejut

  • Menikahi Guru Killer   Bab 119

    “Kok bengong gitu sih?” tanyaku, “kamu jadi ikutan kecewa, ya?” Tapi Pak Jonathan justru menggelengkan kepalanya. “Kemari … kemari Alea. Kita coba sekali lagi.”“Pak buntal, kalau memang hasilnya negatif. Mau sepuluh merk yang berbeda juga bakal negatif, kan.” “Tapi ini nggak negatif, Al. Ini sama sekali nggak negatif,” ucap Pak Jonathan.“Hah! Kok bisa?” “Kemari! Kita cek dengan merk yang lain.” Sekali lagi Pak Jonathan mencelupkan benda mungil itu, hanya seujung kecil, dibawah garis tanda selama beberapa detik dan mengangkatnya. Tak berapa lama kemudian garis itu muncul, memperlihatkan tanda saling silang di dalam lingkarannya. “Positif!” teriak Pak Jonathan dengan gembiranya. “Ini positif, Sayang!” Lelaki itu langsung memeluk tubuhku dan meluncurkan kecupannya di kedua pipiku, di dahiku … di seluruh wajahku secara bertubi-tubi. “Alea, cintaku, makasih ya. Ini hadiah paling indah yang pernah aku dapatkan seumur hidupku,” ucapnya dengan senyum yang tak lepas dari bibirnya. Ia

  • Menikahi Guru Killer   Bab 118

    “Pak Buntal! Kamu mau kemana?” tanyaku dengan perasaan frustasi. Kenapa dia langsung pergi tanpa mengatakan apapun? Apa dia tahu apa yang sedang kualami? Apa dia menjauh karena takut ketular? Lelaki itu mengusap tubuhnya dengan handuk sembari menoleh kepadaku. “Kamu tunggu di sini bentar, ya. Aku harus beli sesuatu.” “Beli sesuatu? Aku nggak boleh ikut?” tanyaku lagi. “Nggak. Aku segera kembali,” ucapnya kali ini dengan terburu-buru ia memakai kemeja dan celana pantainya. Baru saja ia hendak membuka pintu kamar mandi, ia kembali melangkah ke arahku dan mendekatkan wajahnya untuk mengecup keningku. “Alea, aku akan segera kembali. Tunggu ya. Tunggu aku di sini,” pamitnya sebelum benar-benar meninggalkanku sendirian. Iya! Dia benar-benar meninggalkan aku sendirian di sini. Di kamar ini. Aku menghela napas dan kupejamkan mataku, menikmati hangatnya air di dalam bak penuh kelopak mawar. Aromanya bahkan membuat perasaanku jauh lebih tenang. Pak Jonathan nggak mungk

  • Menikahi Guru Killer   Bab 117

    Kukeluarkan isi perutku begitu saja. Tentu saja kejadian itu membuat Pak Jonathan terkejut. Dan kali ini aku tak mungkin lagi bisa menyembunyikannya. “Alea, kamu nggak papa?”“Nggak papa, mungkin cuman masuk angin.” “Kamu yakin cuman masuk angin?” tegasnya lagi. Tatapannya jelas menunjukkan kecurigaannya. Haruskah aku mengatakan semuanya sekarang? Tapi … aku tidak mau dia kembali terpukul.seperti saat kehilangan kekasihnya. Haruskah aku menjauh darinya agar ia tidak kembali tersakiti. Tapi aku tak yakin bisa hidup tanpa dia. “Alea,” panggilnya sembari membersihkan bibirku dengan sehelai tisu di tangannya, “aku tahu kamu menyembunyikan sesuatu.:Aku langsung menggeleng cepat. “Enggak! Memangnya apa yang harus aku sembunyikan?”“Kamu … kamu keliatan aneh hari ini. Tidak seperti biasanya. Seperti ada sesuatu yang sedang kamu sembunyikan,” ungkapnya tentang kecurigaan yang dirasakannya. “Aku nggak suka kepang. Rambutku jadi rusak, kan,” keluhku mengabaikan perkataannya. “Selesai!”

  • Menikahi Guru Killer   Bav 116

    “Jadi beneran udah nggak mau ngomong lagi sama aku, nih?” Aku diam tak menjawab, tentu saja masih dengan perasaan kesal karena sama sekali tak menyangka bahwa dia akan cemburu bahkan pada orang-orang yang sama sekali tak kukenal. Haruskah dia seposesif itu?“Ah … itu kedai gelatonya,” ucapnya. Mendengar itu, mau tak mau aku mengangkat wajahku, mencari tahu kebenaran kalimat yang diucapkannya. Tapi tidak ada kedai gelato semacam itu di depanku. Dia hanya sedang mengalihkan perhatianku saja.Aku melepaskan genggaman tanganku dan hanya terus melangkah menyusuri trotoar yang dipadati oleh pejalan kaki. Tak tahu kenapa perasaanku menjadi semakin kacau. Untung saja tak berapa lama kemudian, aku melihat sebuah kedai gelato. Seharusnya dinginnya gelato dan rasa manis legitnya dapat menenangkan perasaanku. Masih dengan mengabaikan keberadaan lelaki di sisiku, aku masuk ke dalamnya dan membeli tiga scoop varian rasa favoritku. “Sayang … kamu mau ngambek sampe kapan,” tanyanya sembari duduk

  • Menikahi Guru Killer   Bab 115

    “Alea,” panggil Pak Jonathan dari suaranya kurasa dia sudah merasa kesal. Tapi aku tetap mengacuhkannya. Tapi tiba-tiba pandanganku menjadi gelap. Bule ganteng yang sedang bawa papan surfing ke arahku itu sama sekali tak terlihat.“Pak buntal! Apaan sih,” tegurku sembari menepiskan tangannya yang sedang menutupi mataku. “Kamu tuh, macam nggak pernah liat cowok ganteng aja,” jawabnya. “Nah … kamu sendiri?” Aku pun tak mau kalah. “Udah … udah, yuk. Kita ke tempat lain saja,” sahutnya mengakhiri perdebatan kami. “Nggak mau,” rengekku, “aku masih mau di sini.” “Ya udah, kalau gitu aku jalan dulu, ya,” pamitnya dan langsung berdiri dari sisiku. Tentu saja aku nggak mau ditinggal sendirian. Kupegang tangannya, menahannya agar tak beranjak dari sisiku. “Eh … eh. Emangnya kamu mau kemana?” tanyaku dengan perasaan enggan. “Jalan. Seingatku ada kedai gelato di sana,” jawabnya sembari menunjuk ke suatu arah. Mendengar kata gelato, membuat semangatku kembali lagi. Membayangkan rasa ding

  • Menikahi Guru Killer   Bab 114

    Aku menggigit bibirku, berusaha menahan rasa sakit yang masih bisa kurasakan saat benda berukuran besar itu tenggelam di dalamku. Bahkan aku dapat merasakan sensasi yang berbeda dari biasanya. Dalam posisi ini, belalai itu bahkan tenggelam lebih dalam lagi. Lebih dari biasanya. Pak Jonathan memegang pinggangku. Dengan mata terpejam ia berusaha membimbingku agar aku mulai bergerak naik dan turun. “Sayang, bergeraklah,” pintanya, “jangan menjepitku seperti ini.” Kuikuti arahannya dengan hati-hati. Entah apa yang dirasakannya, saat aku mulai bergerak, suara erangan keluar dari bibirnya. Tangannya yang semula berada di pinggangku, kini dengan nakalnya membelai tubuhku, menyentuh sepasang gumpalan padat dan meremasnya kuat. Heh! Kenapa sensasi yang kurasakan saat ini begitu hebat. Apalagi saat aku mempercepat gerakanku. Setiap gesekannya menciptakan gelitik yang membuatku melayang dan menginginkan lebih. Bahkan di dalam sana aku merasa penuh, sesak, membuat kedut-kedut itu sema

  • Menikahi Guru Killer   Bab 113

    “Tapi kenapa harus mawar? Dan … kenapa di atas ranjang kita?” tanyaku. Pasti ada alasan dia meletakkan kelopak mawar di atas ranjang kami, walau ia tahu akan tak nyaman rasanya untuk tidur diatasnya.Tapi Pak Jonathan justru tersenyum. “Aku hanya ingin melihat mawarku berada di antara bunga mawar lainnya,” tuturnya, “dan … kau tahu, mawarku paling cantik diantara ratusan mawar di kamar ini.” “Hah! Mana ada. Aku manusia, bukan bunga, Pak Buntal,” sahutku sembari mencubit pinggangnya, walau jujur dalam hatiku berbunga-bunga mendengar rayuannya. “Kamu tahu … aku paling suka liat wajah kamu yang memerah seperti sekarang ini,” pujinya lagi, “terlihat begitu ….”Ia mendekatkan bibirnya ke telingaku dan berbisik, “... sexy.” Aku menelan kasar salivaku. Gemuruh di dadaku, terasa begitu hebat. Bahkan membuatku gelisah, seandainya saja Pak Jonathan bisa mendengarkan suaranya. Hanya bayangan diriku yang terlihat dengan jelas dalam sepasang mata jernihnya, seakan menyatakan hanya aku yang ada

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status