“Jadi … gimana? Apa yang sebaiknya kita lakukan sekarang?” tanyaku dengan perasaan gelisah yang belum juga berakhir. “Aku tahu, tidak ada namaku dalam rencana hidupmu di masa depan. Aku nggak mau ngehancurin rancangan masa depan kamu.”Pak Jonathan justru tersenyum lebar. Ia menatapku, alih-alih layar televisi yang sedang menayangkan konflik ceritanya. “Aku nggak pernah bikin daftar rencana buat masa depanku. Tapi … aku jelas tidak melihat namaku dalam wishlist di agendamu.” Aku mengangguk anggukkan kepalaku. “Banyak hal yang harus aku ubah dalam daftar itu. Sepertinya aku mulai paham kenapa orang bisa mengatakan waktu akan mengubah segalanya.”“Seperti perasaan kamu?” “Mungkin semua tak akan sama jika kakek nggak memikirkan perjodohan ini, kan?” Dengan perasaan gelisah aku kembali melirik wajah lelaki di sisiku. Tapi entah kenapa, pandangan mataku tak bisa lepas dari bibirnya. Bibir yang sempat menyentuh bibirku. Bibir yang sempat melumat bibirku dan memberikan ledakan sensasi aneh
“Alea! Alea! Bangun!” Suara itu membuatku tersadar dari alam mimpiku. Lelaki itu menatapku seperti curiga. Apa ada sesuatu yang aneh, atau … mungkin nggak, sih, aku ngucapin sesuatu yang aneh dalam mimpiku tadi.“Mimpi apa kamu?” “E – enggak, siapa yang mimpi?” sangkalku.“Jangan katakan kalau kamu mimpiin sel telur ketemu sel sperma,” tebaknya. Senyuman nakalnya itu sukses membuatku kesal. “Boleh aja nggak ngaku. Tapi suara desahanmu tadi tidak bisa kamu tutupi,” lanjutnya seakan sengaja memojokkan aku.Hm … benarkah? Sungguh memalukan. “Ah, bomat!” Sahutku sembari melempar selimutku, “males ngeladenin debat, nggak bakal ada abisnya.” ***“Alea!” Suara cempreng itu terdengar di telingaku sesaat setelah aku masuk ke gerbang sekolah. Gadis manis itu dengan napas terengah menghampiriku. “Aku sudah dengar semuanya,” ucapnya setelah berhasil mengatur napasnya, “maafin aku, ya. Seharusnya aku temani kamu bikin tugas karya tulis itu.” “Udah, aku nggak papa. Lagian kamu juga harus ke
Berani sekali dia gunting rambut aku! Ini nggak bisa dibiarin. Kalau aku biarin, dia nggak bakalan kapok tapi bakalan terus ke sekolah ini buat nindas aku. Ah … sial. Kutekuk lengan tanganku, lalu dengan sekuat tenaga, ku hentakkan ke belakang dengan harapan siku tanganku akan menghantam tulang rusuknya. “Aargh!” Teriakan itu terdengar bersamaan dengan lepasnya rambutku dari tangannya. Aku tak mau terjadi sesuatu yang lebih buruk. Reva memiliki senjata tajam. Kurasa dia bisa jadi sangat nekat setelah terprovokasi seperti ini. Gegas aku berlari menuju pos security. Dan aku begitu bahagia saat melihat Pak Rudi, yang bertugas siang ini di dalam pos itu. “Pak, tolong Pak. Reva nindas aku lagi. Dia di sana,” laporku sembari menunjuk ke arah parkiran motor yang letaknya di balik parkiran roda empat. “Heh! Darimana dia masuk? Bukannya dia sudah keluar dari sekolah ini?” Penjaga termuda di sekolah kami itupun merasa heran. “Kamu ke dalam saja. Kasih tau siapapun guru yang kamu temui
Udara yang terasa sejuk itu tidak mampu meredam perasaan hangat di dadaku. Apalagi saat lelaki itu tiba-tiba saja mendekatkan wajahnya padaku. Hembusan hangat napasnya yang menyentuh wajahku, membuatku semakin terbuai dalam hangatnya permainan itu. Kurasakan gelenyar di dalam dadaku saat bibirnya yang hangat menyentuh bibirku, menyesapnya. Sementara lidahnya dengan lincah mendorong bibirku untuk terbuka. Panas! Rasa hangat itu semakin menyergapku. Saat kurasakan lidahnya seperti menjelajah di dalam rongga mulutku, mengabsen setiap gigi geligiku.Rasa itu … kenapa justru kurasakan pada sosok lelaki yang ini. Lelaki yang sempat ku benci dan mati-matian kutolak. Lelaki yang seharusnya kuhormati sebagai guruku. Lelaki yang usianya bahkan terpaut belasan tahun dariku itu.Aku mendorong dadanya menjauh, membuat pagutannya di bibirku lepas. Dengan cepat aku kembali menghirup udara, mengisi paru-paruku yang seolah kehabisan oksigen dan menjauh darinya. Hujan masih saja turun. Ketika Pak Jo
“Ayo, aku nggak akan ngelawan,” ucapnya seakan sengaja memprovokasi, ia menyembunyikan kedua tangannya di balik badannya, “lakukan apapun yang kamu mau.”Tapi entah kenapa mataku hanya tertuju pada bibir itu. Ia seakan menantangku untuk merasakan sebuah petualangan baru. Aku menggigit bibirku, menahan debar yang mulai kurasakan saat melihat bibir sensual dengan kumis tipis di sekelilingnya itu.Perlahan kudekatkan wajahku dan mengecupnya dengan lembut. Lelaki itu seperti sengaja membuka bibirnya, memberikan akses bagiku menelisik di antara gigi geliginya, melumat dan mencecap seperti yang biasa dilakukannya padaku. Tapi … aku terlalu malu untuk melakukan itu. Aku hendak menjauh kembali, toh tantangan itu sudah kulakukan. Tapi kedua tangan Pak Jonathan tiba-tiba saja memelukku. Tanpa kesempatan untuk menghindar, lelaki itu justru menciumku. Tapi kali ini ciumannya lebih panas dari biasanya. Kuat, panas dan liar. Namun aku menikmatinya. Aku menyukai cara dia menciumku, aku merasa dipu
“Balikan sama mantan?” Pak Jonathan justru mengulang pertanyaanku. Lelaki itu justru tertawa setelah mengucapkan kalimat itu. “Kenapa aku harus membuang sekuntum mawar yang sudah ada di dalam genggamanku, hanya untuk sekedar bunga tahi ayam?” Mendengar pernyataan itu, mau tak mau aku tersenyum. Tapi … hei, apa dia sekarang sudah pintar merayuku. Tapi jujur, kalimat itu benar-benar seperti sihir. Hatiku merasa tenang setelah mendengarnya. “Lalu tentang Doni,” ucapnya tiba-tiba. “Aku nggak mau mikir itu. Aku ngantuk,” sahutku lalu memejamkan mataku. Aroma tubuhnya, kulitnya yang lembab dan hembusan napasnya saat memelukku, membuat perasaanku tenang. Ternyata … tidur di pelukan seseorang yang kita cintai itu benar-benar nyaman. Pluk! Aku terbangun saat merasakan lengan Pak Jonathan menimpa wajahku. Lelaki itu dengan nyamannya memelukku seperti guling. Dan aku merasakan ada sesuatu yang keras menyentuh pahaku. Heh! Apa itu? Aku segera mendorong tubuhnya yang terasa berat itu menja
“Apa ini Pak?” tanyaku saking penasarannya. Jantungku berdebar, seperti halnya pikiranku yang tak keruan. Bisa saja di dalam sana adalah surat pemecatan karena melawan seorang politikus seperti ayah Reva. Atau mungkin itu bahkan surat ancaman pembunuhan. “Buka saja, itu buat kamu,” jawabnya dengan santainya. “Buat aku?” Aku menatapnya tak percaya. Apa mungkin justru aku yang akhirnya terlibat masalah dengan calon pejabat negara itu. Kuraih amplop itu dan kuintip isi di dalamnya. “Apa ini?” tanyaku lagi setelah melihat lembar-lembar bergambar pahlawan proklamator itu. “Setengah gajiku bulan ini,” sahutnya, “kamu boleh pake itu buat belanja keperluan kamu. Bukannya beberapa hari lagi kamu ada acara perpisahan?” Kegelisahanku langsung lenyap. “Ya Allah, sumpah Bapak ngagetin aku. Aku pikir tadi Bapak kena skors atau bahkan diberhentikan dari sekolah, gara-gara ulah bapaknya si Reva sialan itu.” “Hiss! Kamu nggak boleh bilang gitu. Pak Hutama itu orang baik. Apalagi pihak sekolah ha
“Loh, katanya mau sayang-sayangan di rumah sama Bu Ella, mumpung aku nggak di rumah. Gimana sih?” “Siapa bilang?” bantahnya cepat, “aku malah pinginnya kamu nggak usah ikut. Aku nggak mau sendirian di rumah.”Lelaki itu menurunkan kedua tangannya. Wajahnya cemberut seperti anak kecil yang sedang merajuk. Baru kali ini aku melihatnya dengan penampilan seperti itu. Jadi … sebenarnya dia tidak rela dan tidak ingin aku berangkat. Tapi sepertinya ia tidak ingin membuyarkan euforia kebahagiaanku ketika menghabiskan waktu bersama teman-temanku dalam acara perpisahan sekolah. “Ya udah, kan aku juga pinginnya pak buntal ikut.” “Memangnya kamu risih, dan nggak takut teman-teman kamu tahu kalau kita ….” “Ya jangan sampe tahu, lah,” potongku, “itu juga gara-gara pak buntal. Coba dulu pak buntal nggak suka cari masalah buat kasih hukuman aku.” “Cari masalah gimana?” “Ingat nggak, waktu aku lari-lari di koridor terus nggak sengaja numpahin ember pel Pak Juna. Bapak malah suruh aku berdiri di
“Jo? Kamu … sama dia. Kenapa bisa barengan?” Suara mendayu yang khas itu, spontan membuatku menoleh ke belakang.Dan benarlah apa yang kuduga. Bu Ella sedang berdiri di belakangku. Matanya begitu bulat seperti mau lompat saat melihatku ada di sisi suamiku. Dimana salahnya? Ah ~ tentu saja karena dia belum tahu kalau kami sudah menikah.“Selamat malam, Bu,” ucapku, mati-matian menyembunyikan rasa terkejut yang ada. Kutarik sudut bibirku untuk memberinya seulas senyuman. Tapi sepertinya ia tidak menyukainya. “Alea, jangan bilang kalau kamu sedang belajar di sini,” ucap wali kelas 12A-1 itu dengan nada meninggi. Tatapan mata curiganya seperti sinar laser yang hendak menembusku. “Tapi bukan saya loh, yang bilang. Ibu sendiri yang bilang kalau aku belajar,” balasku cepat. “Bu Ella, kami sedang makan malam. Apa ada yang salah?” ungkap Pak Jonathan dengan santainya. Mata perempuan itu menatapku dengan sinis, membuatku merasa tak nyaman karenanya. “Berdua?” “Kenapa Bu, apa salah jika Pa
“Alea … Alea! Dengarkan aku,” pinta Pak Jonathan dengan tegas. Aku menatap manik hitam itu masih dengan perasaan tak karuan. Bagiku kalimat yang diucapkannya tadi adalah momok paling menyeramkan dalam hidupku. Aku tidak ingin menghancurkan impian orang yang kusayang. “Kamu nggak perlu merasa gentar. Kita sudah melakukan apa yang harus kita lakukan. Kita pulang sekarang,” perintah Pak Jonathan. Heh! Apa dia semarah itu karena aku sudah menghancurkan impiannya? Sepanjang perjalanan, aku masih saja berpikir tentang semua peristiwa yang terjadi. Semuanya terjadi begitu saja seperti sebuah mimpi. Bahkan Pak Jonathan tak memberiku kesempatan untuk memperbaiki kesalahan yang membuat impiannya hancur hanya karena tak ingin aku merendahkan diri. Aku menghela napas panjang, berharap dengan masuknya oksigen ke dalam tubuhku, pikiranku akan semakin terbuka dan bisa menyelesaikan persoalan ini. Ya, aku yakin pasti ada cara untuk menyelesaikan persoalan ini.“Kenapa? Kamu masih nggak ikhlas bua
“Maaf Tante, sebenarnya kemarin aku cuma kebetulan lewat. Aku sama Doni cuman teman sekolah. Emh, teman akrab,” tuturku tanpa mempedulikan kegelisahan di wajah lelaki muda itu. Tentu saja dia sadar kalau aku sudah beberapa kali mencoba memutuskan hubungan kami. “Teman akrab?” ulang Doni seakan kata itu terdengar aneh di telinganya. Tok tok! Aku langsung menoleh ke arah pintu, tepat dimana Pak Jonathan berdiri. Lelaki itu menutup pintu dan langsung menebarkan senyumannya. “Kamu sudah baikan, Don?” tanya Pak Jonathan dengan penuh perhatian.“Lumayan Pak,” sahutnya, “terima kasih sudah datang.” Pak Jonathan mengulurkan tangannya pada perempuan itu. “Anda pasti mamanya Doni, kan. Kenalkan, saya Jonathan. Saya guru mereka, tapi hari ini saya kemari untuk menemani istri saya menjenguk Doni, temannya.” Deg! Jantungku seperti berhenti berdetak. Bagaimana tidak, Pak Jonathan tanpa basa basi langsung memperkenalkan dirinya sebagai suamiku, pada mamanya Doni. Bahkan ia mengatakannya deng
“Siapa yang nelpon? Apa ada masalah? Kok kelihatannya serius banget?” Suara itu membuatku terkejut. Tentu saja aku tidak menyadari kehadirannya di sekitarku. Bisa saja Pak Jonathan sudah mendengar semua pembicaraan antara aku dan Vena. Tapi … dia nggak mungkin dengar apa yang Vena katakan. Bisa saja dia akan salah paham jika aku tidak menjelaskannya. Tapi … bagaimana kalau sebaliknya, dia justru sakit karena aku membahas masalah Doni lagi. “Vena … iya, Vena yang telpon,” sahutku tergagap saking gugupnya. “Kenapa lagi? Ada masalah?”“Eng … anu. Gimana ya, aduh … itu.” Sepertinya kegugupanku justru membuat lelaki itu makin penasaran. Ia menatapku dengan intens, seakan mencurigai sesuatu. “Alea. Kamu nggak perlu takut. Aku di sini bukan sebagai guru kamu,” bujuknya, “aku ini suami kamu. Dan aku janji, apapun yang terjadi aku bakal ada buat kamu, sebagai teman, supporter juga payung buat kamu berlindung.” Kalimat itu sedikit membuatku merasa lega. Aku rasa dia tidak akan marah sean
“Halo, Jo. Kamu mendengarku?” Pak Jonathan mendengus, sepertinya ia sudah mulai merasa terusik dengan tingkah Bu Ella yang memang terus melekat seperti permen karet. Tapi yang lebih menyebalkan bagiku hanyalah tingkah Pak Jonathan yang tidak dengan tegas menolaknya hanya karena takut hubungan kerjanya menjadi tidak harmonis.“Aku nggak sakit, Bu Ella. Aku cuma butuh istirahat. Jadi tolong jangan ganggu aku untuk urusan sekolah hari ini,” ucapnya dengan sopan.Aku mendecak kesal. Tentu saja kalimat itu bukan berarti sebuah penolakan. Bu Ella pasti tak bisa menangkap penolakan yang diterimanya secara ambigu itu. Nggak! Aku nggak bisa biarkan Bu Ella terus mengharapkan cinta dari Pak Jonathan. Kalau dulu, mungkin aku akan rela menyerahkan Pak Jonathan, seandainya ia bisa memenangkan hatinya. Tapi sekarang … aku tidak akan pernah membiarkan dia merayunya apalagi di depanku. Aku bukan tipe perempuan yang suka berbagi. Bagiku apa yang sudah menjadi milikku, tidak boleh dimiliki siapapun.
Rasa itu terasa begitu nyata. Bahkan sapuan basah di leherku seakan langsung menyentakku kembali ke alam nyata. Ini benar-benar nyata! Setiap sentuhan yang kurasakan benar-benar nyata.Aku langsung bernapas lega saat menyadari bahwa di hadapanku bukan lelaki yang sama. Tentu saja itu semua hanya mimpi. Doni tidak mungkin melakukan hal seaneh itu. Yang aku tahu, dia memang playboy. Namun ia tidak pernah memaksakan hal seperti itu padaku.Dan lagi, tidak seharusnya aku merasa cemas pada orang yang mungkin saat ini masih terbaring dalam masa pemulihan pasca operasi di kamar rawat inapnya. Itu semua hanya mimpi. Pak Jonathan menggenggam tanganku dengan erat. Bibirnya mengecup di leherku. Panas, seperti hendak membakar dan mengurungku dalam hasratnya yang membara. Napasku terengah, udara yang mengisi paru-paruku, membuat dadaku terasa penuh lalu kosong dalam seketika secara bergantian. Rasa gelitik terasa begitu nikmat saat ia menyentuh di bagian dadaku, membuat bagian puncaknya terasa p
Aku mengintip dari balik pintu. Kulihat dua orang laki-laki yang sejak tadi mengetuk pintu rumahku itu bernapas lega. Mereka tersenyum tanpa tahu bahwa tingkah mereka telah mengganggu ketenangan kami.“Selamat malam, Pak Jonathan,” sapanya, “saya selaku RT di blok ini dan berdasar keputusan warga, memberitahukan bahwa setiap malamnya akan diadakan giliran piket.”“Loh … loh, kok mendadak seperti ini, toh Pak RT?” “Pak Jonathan sudah dengar, kan. Tadi sore di blok depan perumahan kita, ada pembunuhan. Kita juga belum pasti dengan motifnya. Bisa jadi karena perampokan,” sahut Pak RT, “karena itu warga jadi resah, mereka takut pelaku masih berkeliaran dan mengintai. Lalu keluarga mereka menjadi sasaran berikutnya.”“Kenapa nggak bayar saja, sih. Kan kita bisa patungan buat bayar beberapa penjaga khusus blok kita,” batinku. Ingin rasanya aku keluar dan langsung menegur dua lelaki yang seperti tidak punya sopan santun karena bertamu di jam selarut ini.“Iya, saya dengar dan saya ikut mend
Waktu benar-benar terasa bergerak dengan lambat saat lampu ruang operasi itu menyala. Bahkan Pak Jonathan juga belum terlihat. Dan itu membuatku semakin gelisah. Rasa lega baru saja kurasakan saat lelaki yang kutunggu-tunggu itu muncul. Ia berlari-lari menghampiriku, masih dalam balutan seragam formalnya. “Apa yang terjadi?” tanyanya dengan raut wajah tegangnya.“Aku lewat di depan rumahnya ketika mobil patroli polisi dan ambulans datang dan mengangkutnya. Doni … ditusuk perutnya dan aku dengar mereka juga mengatakan kalau … papanya sudah … meninggal. Tidak ada wali. Bahkan mereka tidak menemukan cara untuk menghubungi mamanya. Jadi … aku mendesak rumah sakit agar mengambil tindakan terlebih dahulu. Pak Jonathan, apa aku sudah melakukan hal yang benar? Aku … aku, benar-benar takut.”Lelaki itu menghela napas. Satu tangannya terangkat dan tiba-tiba saja menarikku ke dalam pelukannya. Rasanya begitu tenang saat berada dalam pelukan itu. Seperti semua kecemasan dan kegelisahan selama
Suara teriakan itu terdengar keras dari speaker ponselku. Entah apa yang dilihat oleh Doni sehingga ia berteriak histeris seperti itu sebelum sambungan telepon kami terputus. “Hei! Apa yang kalian lakukan?” Hanya itu kalimat terakhir yang terdengar di telingaku. Sepertinya Doni sedang mengalami suatu masalah serius. Tapi … ah, sudahlah. Seharusnya dia bisa mengatasi semua masalah ini. Bukankah dengan uang ayahnya yang banyak itu, dia dapat menyelesaikan semua masalah. Vena benar, Doni memang asik buat dijadiin pacar. Wajahnya oke, dia baik dan bukan tipe cowok yang suka split bill kalo pacaran. Tapi … kalau buat dijadiin suami, aku harus mikir seribu kali. Dia tipe orang yang santai, nggak mau terikat aturan dan selalu mengandalkan kekayaan keluarganya, yang notabene dari hasil bisnisnya di dunia malam. Mikirin hal seperti ini saja, sudah bikin aku merinding disko. Bayangkan saja jika suatu saat nanti papanya justru mewariskan usaha ini pada Doni. Bisa jadi sifatnya berubah sepe