Aku melirik ke bagian tengah tubuhnya. Celana pantai itu tak dapat menutupi sesuatu yang mengeras di baliknya. Walaupun aku belum pernah berpacaran, tapi seharusnya dia tahu kalau aku juga tidak sebodoh itu. Siapapun juga tahu kalau hal itu tidak wajar. Bahkan dalam pelajaran Biologi juga dijelaskan bahwa reaksi itu akan muncul ketika lelaki merasakan …. Ah, sudahlah. “Aku tidur dulu,” lanjutku karena tak mendapat jawaban apapun dari bibirnya. Cepat kuikat kembali tali kimonoku dan berlalu dari hadapannya. Gila! Apa sebenarnya yang tadi kurasakan? Apa miliknya benar-benar sebesar itu? Ah … pasti dia kesulitan menyembunyikannya jika terjadi hal seperti tadi di luar rumah. Sssh … sebenarnya apa sih yang dilakukan pasangan suami istri itu? Aktifitas seperti apa yang bisa membuat seorang perempuan jadi hamil. Sebaiknya aku segera cari tau. Sepertinya sangat berbahaya jika aku hidup serumah dengan laki-laki, tanpa persiapan mental seperti sekarang ini. Tapi … gimana caranya? Bahkan
Kututup pintu ruangan itu sebelum duduk tepat di depan Pak Jonathan. Lelaki yang sibuk dengan lembar-lembar jawaban penuh coretan angka itu menatapku dengan wajah keheranan. “Kamu kenapa? Datang-datang kok cemberut? Tadi nggak bisa, ujiannya?” tebaknya seperti biasa. “Bisa. Cuman … bisa nggak sih, kamu kasih tau aku, siapa mantan kamu?” Tanpa basa basi aku langsung menyampaikan keresahanku. “Apa dia itu Bu Ella?” “Loh … loh. Kenapa ini? Kok tiba-tiba bahas mantan pacar sama Bu Ella?” tanyanya kembali, seperti tidak bersalah. “Ngaku deh, Pak.” “Ngaku apaan?” “Itu, mantan kamu Bu Ella kan? Kamu itu nikahin aku cuma buat manasin dia supaya mau balikan sama kamu kan?” tuduhku, “sebenarnya dia prioritas kamu selama ini, kan?” “Linda. Nama mantan aku, Linda,” sahutnya tiba-tiba membuat semua orang yang disekitarnya terkejut, “dan aku belum pernah bertemu dengan Bu Ella sebelum aku mengajar di sini. Sudah, nggak usah cemburu.” “Seharusnya kamu tegas, nggak kasih harapan
Aku masih terngiang kata-kata yang sore tadi diucapkan oleh Pak Jonathan. “Kalau kamu cemburu, berarti kamu itu sudah cinta sama aku.” Sepertinya ungkapan itu benar. Jika aku pikirkan, cemburu itu lebih ke rasa sadar atas ketidakmampuan diri, apalagi jika dibandingkan dengan sosok yang lebih baik dari diri sendiri. Dan memang, Bu Ella terlihat lebih segalanya dibandingkan dengan diriku sendiri. “Kok, ngelamun lagi?” Tegur Pak Jonathan. Sejenak ku tatap lelaki yang sedang asik mengemudikan mobil hijau kesayangannya itu. Ia tersenyum seolah sedang mengejekku. “Siapa yang ngelamun. Aku lagi inget-inget materi yang baru kupelajari tadi, kok,” sangkalku. “Ya udah, kita turun yuk. Kita sudah sampe.” “Hah! Sampe?” Aku menatap sekelilingku. Sepi! Hanya satu gerobak penjual nasi duk duk yang sedang ngepos di sana. “Jadi … kita makan duk duk lagi malam ini?” tanyaku tak percaya. Reservasi? Reservasi macam apa yang harus dilakukannya jika cuma makan nasi duk duk macem ini.
“Bu Sinta, tolong urus masalah ini. Jangan sampai karena video ini, citra sekolah kita jadi rusak.” Suara Pak Jonathan terdengar begitu tegas saat bicara dengan guru konseling sekolahku. “kita harus cari cara agar video itu tidak keluar dari lingkup sekolah kita. Astaga, bagaimana mental anak-anak melihat video sevulgar itu.”Pak Jonathan menutup panggilannya dan meletakkan ponselnya di atas meja. Lelaki itu menatapku dengan wajah kesal. “Kamu … marah sama aku?” tanyaku ragu. Wajah kesalnya sungguh membuatku tak nyaman, walau kalau dipikir sekuat apapun semua ini tak ada hubungannya denganku. Sangat tak masuk akal jika dia marah padaku. “Bukan … aku nggak marah sama kamu. Cuma … aku nggak suka kamu lihat sesuatu yang nggak pantas seperti itu,” sahutnya, “kamu pasti kaget.” Aku menganggukkan kepalaku. “Awalnya kukira tadi … video itu adalah proyek sinematografi sekolah kita. Aku nggak nyangka kalau itu adalah ….” Aku mengedikkan pundakku. “Tapi setidaknya dari video tadi, aku jadi
“Alea, tidurlah. Besok kamu masih harus ujian.” Pak.Jonathan mengecup puncak kepalaku. “Kamu juga, jangan terus mikirin masalah kerjaan. Kamu juga harus mikirin aku,” sahutku. “Iya, aku tahu,” ucapnya, “selamat ulang tahun Alea. Hari ini usia kamu sudah sembilan belas. Aku harap, aku bisa terus bersama kamu, merayakan bertambahnya usiamu di tahun depan, tahun berikutnya dan seterusnya. Aku ingin kita menua bersama.” “Tapi aku nggak mau tua,” gumamku,” aku mau waktu berhenti dan kita tetap seperti ini.” Pak Jonathan menepuk-nepuk punggungku, seakan hendak meninabobokanku dalam pelukannya. Hangat. Aroma segarnya kayu-kayuan yang maskulin menguar dari tubuhnya, seakan aroma terapi yang bisa dengan cepat membantuku lelap dalam tidurku. Malam berlalu begitu saja, hari yang semula gelap, tiba-tiba berubah terang bertabur sinar keemasan sang surya. Aku tahu dengan pasti, hari ini bukan saja berat bagiku yang harus menyelesaikan soal-soal ujian, tapi juga bagi Pak Jonathan dan
Aku dapat merasakan lidahnya menelusuri leherku, menciptakan rasa gelitik yang membuat tubuhku mengejang. Sensasi panas dan basah yang membuatku seperti menggelepar terbuai dalam gairah yang diciptakannya. Gelitik itu terasa menyusuri lekuk tubuhku. Membuat bibirku tanpa sadar mengeluarkan suara desah yang tak dapat kutahan. Apalagi saat bibir dengan kumis tipisnya itu menyentuh dadaku, mempermainkan bagian pucuknya dengan lidahnya sebelum menyesap dengan rakusnya. Ah ~ bahkan aku tak dapat mengungkapkan rasanya dengan kata-kata. Hanya … aku menyukainya. Kuulurkan tanganku untuk memeluk lehernya, menguncinya agar tidak berhenti melakukan itu. Rasa gelitik itu seperti candu. “Alea.” Kudengar suaranya menyebut namaku. Lembut dan terdengar begitu sexy.Kulepaskan pelukanku dari kepalanya. Lelaki itu tersenyum tipis, sepertinya dia tahu jika aku sedang menikmati permainannya. Ia kembali mengecup bibirku. “Sudah selesai PMS nya?” tanyanya. Aku menganggukkan kepalaku pelan. Napasku se
Sesuatu yang asing itu jelas bukan jemarinya, karena kedua tangan Pak Jonathan sedang menggenggam erat tanganku. Jantungku berdebar dengan kencang, napasku mulai memburu dan tubuhku tiba-tiba saja menegang ketika menyadari hal yang sebenarnya. “Alea, kita lakukan pelan-pelan, ya. Jangan tegang, aku nggak mau sakitin kamu,” ucapnya dengan lembut. Perlahan aku merasakan sesuatu yang keras dan padat itu melesak ke dalam intiku. Kuremas pundaknya tanpa peduli betapa kuku jemari tanganku akan melukainya. Rasa perih di dalam sana terasa begitu nyata hingga air mataku meleleh begitu saja. Pak Jonathan mengecup keningku seolah sebuah permintaan maaf tanpa kalimat. Sesaat ia terdiam, lalu kembali mendorong tubuhnya, hingga seluruh batangnya memenuhi bagian intiku. Aku tak bisa menahan suara aneh yang keluar dari dalam mulutku. Rasa perih itu perlahan mereda. Kini yang kurasakan betapa penuh sesaknya di dalam sana dan lumatan hangat di bibirku. “Alea, Alea, istriku,” ucapnya. Suaranya te
Udara sejuk dengan gerimis kecil sama sekali tak membuat rombongan kami gentar. Bus melaju menuju hotel, tempat start awal kami melakukan pendakian besok. “Al, kamu alergi lagi, ya?” Bukannya menikmati perjalanan, Vena justru mengamatiku. Aku sama sekali tak sadar jika ada bercak merah yang membekas di leherku karena aktivitas semalam.“Eh … iya. Kemarin Bik Titin masak capcay. Dia masukin udang dan cumi juga di dalamnya. Mungkin dia lupa kalo aku alergi,” sahutku sembari mengelus leherku menutupi kegugupanku. “Agak aneh nggak, sih. Bik Titin itu kan sudah ikut kamu sejak kamu masih bayi. Masa sih dia bisa ngelupain kalo anak asuhnya alergi seafood,” ujar Vena, seperti biasa insting detektifnya muncul secara tiba-tiba.Inilah salah satu alasan aku enggan membohonginya. Dia itu sangat mengenal siapa aku, bahkan lebih daripada aku mengenal diriku sendiri. “Itu karena ….”“Dia sudah demensia,” tebaknya dengan sebuah jentikan jarinya. “Bukan … bukan itu maksudku,” sahutku. Aku tidak
Aku menggigit bibirku, berusaha menahan rasa sakit yang masih bisa kurasakan saat benda berukuran besar itu tenggelam di dalamku. Bahkan aku dapat merasakan sensasi yang berbeda dari biasanya. Dalam posisi ini, belalai itu bahkan tenggelam lebih dalam lagi. Lebih dari biasanya.Pak Jonathan memegang pinggangku. Dengan mata terpejam ia berusaha membimbingku agar aku mulai bergerak naik dan turun. “Sayang, bergeraklah,” pintanya, “jangan menjepitku seperti ini.”Kuikuti arahannya dengan hati-hati. Entah apa yang dirasakannya, saat aku mulai bergerak, suara erangan keluar dari bibirnya. Tangannya yang semula berada di pinggangku, kini dengan nakalnya membelai tubuhku, menyentuh sepasang gumpalan padat dan meremasnya kuat. Heh! Kenapa sensasi yang kurasakan saat ini begitu hebat. Apalagi saat aku mempercepat gerakanku. Setiap gesekannya menciptakan gelitik yang membuatku melayang dan menginginkan lebih. Bahkan di dalam sana aku merasa penuh, sesak, membuat kedut-kedut itu semakin mengg
“Tapi kenapa harus mawar? Dan … kenapa di atas ranjang kita?” tanyaku. Pasti ada alasan dia meletakkan kelopak mawar di atas ranjang kami, walau ia tahu akan tak nyaman rasanya untuk tidur diatasnya.Tapi Pak Jonathan justru tersenyum. “Aku hanya ingin melihat mawarku berada di antara bunga mawar lainnya,” tuturnya, “dan … kau tahu, mawarku paling cantik diantara ratusan mawar di kamar ini.” “Hah! Mana ada. Aku manusia, bukan bunga, Pak Buntal,” sahutku sembari mencubit pinggangnya, walau jujur dalam hatiku berbunga-bunga mendengar rayuannya. “Kamu tahu … aku paling suka liat wajah kamu yang memerah seperti sekarang ini,” pujinya lagi, “terlihat begitu ….”Ia mendekatkan bibirnya ke telingaku dan berbisik, “... sexy.” Aku menelan kasar salivaku. Gemuruh di dadaku, terasa begitu hebat. Bahkan membuatku gelisah, seandainya saja Pak Jonathan bisa mendengarkan suaranya. Hanya bayangan diriku yang terlihat dengan jelas dalam sepasang mata jernihnya, seakan menyatakan hanya aku yang ada
“Jadi kamu udah telat dua minggu?” Sepasang mata gadis itu mendelik saat aku mengatakan masalah yang aku alami. Cepat-cepat aku arahkan telapak tanganku menutupi mulutnya.“Jangan keras-keras, Ven!” kesalku tanpa melepaskan tanganku dari mulutnya. Gadis itu langsung menganggukkan kepalanya, sebuah tanda bahwa ia akan mengikuti aturan mainku. “Ini bukan pertama kalinya aku telat. Jadi aku nggak yakin kalo nggak ada sesuatu di dalam sana,” lanjutku.“Iya, aku tahu kamu sering telat datang bulan. Tapi … kamu yakin nggak mau ceritain ini sama suami kamu?” tanya Vena. Kini suaranya terdengar cemas. “Kalau aku cerita, terus dia malah nggak suka sama aku yang penyakitan ini, gimana?” “Kamu nggak boleh punya pikiran negatif dulu sama suami kamu.” Gadis itu menarik sudut bibirnya. “Siapa tahu dia punya solusi buat kamu.” Aku menghela napas panjang. “Benar juga. Tapi … kalau aku menceritakan semuanya sekarang, bisa-bisa rencana bulan madu kami gagal.”“Nggak papa juga, kan. Kamu bisa lakuk
“Nikah lagi?” ulang lelaki itu. Tak lama kemudian, ia tertawa. “Kamu ini keterlaluan, ya.” Hah? Kenapa aku yang keterlaluan?“Aku sudah pernah bilang, kan, sama kamu. Hatiku ini cuman satu. Dan itu sudah kamu curi,” jawabnya sembari mencubit pucuk hidungku, “apa mungkin hatiku kamu kembalikan, pencuri?” “Auw! Sakit ih!” teriakku.“Siapa suruh bikin pertanyaan konyol macam itu,” sahutnya.Aku mencebik kesal. “Jawab sih jawab, tapi nggak usah cubit-cubit juga, kan.”“Jadi gimana … kita mesti rajin nih,” godanya.“Hih! Dasar mesum,” ketusku. “Eh … tapi kamu suka, kan?” Godanya.“Pak buntal tukang mesum,” balasku tak mau kalah.“Tapi kamu yang teriak dan mendesah paling keras, kan,” godanya lagi, “Jo nat ahh.”Aku langsung mendelik saat ia menirukan caraku memanggil namanya. Sungguh bikin aku kesal. “Pak buntal! Kamu ini benar-benar keterlaluan!” Tanpa ampun, aku menyerangnya dengan cubitan-cubitan kecil di pinggangnya.Malam itu bahkan aku merasa kesulitan untuk memejamkan mata. Kali
“Dia memang lebih segalanya dari kamu. Tapi aku justru begitu bodohnya menyerahkan segalanya buat kamu. Puas?” ucapku dengan perasaan kesal. Sangat sangat kesal. Bagaimana bisa dia cemburu pada lelaki lain, sedangkan aku sudah memilih dia dan menyerahkan segalanya buat dia.“Jonathan? Ada apa ini? Kalian bertengkar?” Suara perempuan itu membuatku terkejut. Aku langsung menoleh ke arah suara yang tak asing di telingaku itu. “Mama Intan.” Aku mengerutkan keningku dan berlari mendekati mama mertuaku yang paling baik itu. “Pak Jonathan jahat. Masa sih, dia pake acara cemburu-cemburuan sama kakaknya sahabat Al.”“Cemburu cemburuan gimana, sih.” Mama Intan mengerutkan keningnya sepertinya ia kebingungan karena tidak tahu apa yang sedang kami diskusikan. “Coba kamu jelasin dulu sama mama”“Nggak, nggak ada apa-apa, kok ma,” bantah Pak Jonathan.“Masak Alea sudah kasih semuanya sama Pak Jonathan, tapi dia masih saja cemburu sama Kak Bernard,” keluhku, “kalau memang Alea mau sama kak Bernar
Semakin lama kurasakan hentakan yang diberikannya pun semakin intens. Setiap hentakannya seakan menenggelamkanku dalam hasrat yang semakin dalam. Tubuhku terasa begitu ringan, seakan semua beban yang ada, terlepas saat itu pula. Dekapan hangat dan hentakan yang semakin memanas itu semakin membuatku melayang. Tetes keringatnya kurasakan menyentuh kulitku saat ia semakin memacu dan menciptakan gelitik yang semakin menggila di dalam perutku. Kuremas kuat pundaknya, sehingga tanpa sadar kuku-kuku jemari tanganku menancap menembus kulitnya. “Kita selesaikan bersama, Sayang,” ucapnya seperti sebuah tanda bagiku tentang hentakan dahsyat yang akan diberikannya. Semakin cepat, kuat, liar dan dalam. “Jo nath aah–” teriakku terputus saat hentakan itu berakhir dengan begitu dalam. Hentakan yang seperti menghentikan suplai oksigen dalam paru-paruku dalam seketika, sehingga membuat tubuhku lemas larut dalam perasaan yang indah. Apakah ini yang dinamakan surga dunia.Kurasakan kedut-kedut di d
“Aku tidak pernah meninggalkan siapapun, Alea,” sahut Jonathan. Ku oleskan salep pada lebam yang sama sekali tak estetik di wajahnya. Bahkan dengan sengaja aku menyentuhnya dengan sedikit kasar karena masih merasa gemas. Sampai babak belur seperti itu pun ia masih tetap tidak mengaku juga. Lelaki itu meringis tanpa berani mengeluhkan kekasaranku. “Tidurlah, biar demam kamu lekas hilang,” perintahku.“Tapi Al, aku tak akan bisa tenang selama kamu masih salah paham seperti sekarang ini,” keluhnya. “Kenapa? Kamu udah jelasin kalau hubungan kamu sama Marsha bukan pacar. Kamu teman yang sedang terlibat kerjasama urusan bisnis. Gitu kan?” paparku, “aku dah dengar semua. Perkara aku bisa percaya atau tidak, apa pedulimu?”“Alea, jelas aku peduli.” Lelaki itu menegakkan tubuhnya di atas ranjangnya. Sepasang matanya menatapku seakan mencari sesuatu di dalamnya.“Apa yang harus aku lakukan agar kamu kembali seperti Aleaku yang dulu?” lanjutnya dengan suara frustasi. “Dengan semua kejujuranm
“Jangan Kak, jangan pukul dia.” Aku berpaling mengamati luka lebam di wajah suamiku. Entah kenapa hatiku merasa ikut sakit. “Minggir Alea, dia perlu diberi pelajaran. Dia nggak tahu gimana cara memperlakukan istri dengan baik.” Kak Bernard mengepalkan tinjunya, siap memberikan pukulannya sekali lagi.“Cukup Kak. Dia sudah luka seperti ini,” teriakku dalam ledakan emosi, “apa kakak mau membunuhnya sekalian?” Kepalan tangan itu perlahan terurai bersama seraut wajah kecewanya yang sangat kentara. “Pergilah, aku butuh waktu buat sendiri,” perintahku pada lelaki yang berdiri tegak dengan pipi lebamnya di depanku.“Marsha benar-benar bukan mantan kekasihku. Aku ke tempatnya hanya karena urusan bisnis,” terangnya tanpa kuminta.“Pulanglah, aku benar-benar butuh waktu buat berpikir.”“Kamu nggak denger dia bilang apa?” Kak Bernard tiba-tiba berdiri di antara kami. Lelaki itu mendorong Pak Jonathan menjauh dari hadapanku. Aku bahkan bergeming di tempatku, walau perasaanku berontak ingin b
“Pada latihan casting, ya? Aku boleh ikutan?” “Kak Bernard! Minggir sana!” usir Vena sembari mengibaskan kedua tangannya, “ganggu aja.”“Wait … wait. Jangan bilang kalau bidadari cantikku ini nangis beneran,” lanjut Kak Bernard. Aku mengusap kedua mataku karena tak ingin memperlihatkan kelemahanku pada siapapun termasuk kakak sahabatku sendiri. Tapi ternyata hal itu terlalu berat. Dan aku kembali menangis dengan semakin kencang. “Kak Bernard ….” “Iya cantik. Siapa yang nakal?” tanyanya seperti peduli padaku. Ia mendekat dan duduk di antara kami berdua.“Kakak yang nakal,” sahutku sambil menangis semakin keras, “kenapa kamu ganggu aku. Kakak nggak ada bedanya sama dia. Semua laki-laki sama.”Kali ini lelaki itu justru terdiam. Ia menghela napas sebelum mengungkapkan apa yang ada di dalam hatinya. “Semua laki-laki itu sama. Tapi kamu justru lebih memilih dia. Semua perempuan itu sama, tapi aku justru menyukai kamu.” Aku langsung terdiam mendengar kalimat itu. Bukan hanya aku, bahk