Udara sejuk dengan gerimis kecil sama sekali tak membuat rombongan kami gentar. Bus melaju menuju hotel, tempat start awal kami melakukan pendakian besok. “Al, kamu alergi lagi, ya?” Bukannya menikmati perjalanan, Vena justru mengamatiku. Aku sama sekali tak sadar jika ada bercak merah yang membekas di leherku karena aktivitas semalam.“Eh … iya. Kemarin Bik Titin masak capcay. Dia masukin udang dan cumi juga di dalamnya. Mungkin dia lupa kalo aku alergi,” sahutku sembari mengelus leherku menutupi kegugupanku. “Agak aneh nggak, sih. Bik Titin itu kan sudah ikut kamu sejak kamu masih bayi. Masa sih dia bisa ngelupain kalo anak asuhnya alergi seafood,” ujar Vena, seperti biasa insting detektifnya muncul secara tiba-tiba.Inilah salah satu alasan aku enggan membohonginya. Dia itu sangat mengenal siapa aku, bahkan lebih daripada aku mengenal diriku sendiri. “Itu karena ….”“Dia sudah demensia,” tebaknya dengan sebuah jentikan jarinya. “Bukan … bukan itu maksudku,” sahutku. Aku tidak
“Ella, sudahlah. Nggak ada yang dirugikan,” tukas Pak Jonathan, “atau kamu mau menolongku menjelaskan semua detail fakultas farmasi yang mau ditujunya?” “Bu Ella guru bahasa, tapi dulunya kuliah farmasi juga, ya?” Aku tersenyum lebar, berpura-pura antusias mendengar penjelasan dari wali kelasku yang hari ini tampil lebih genit dari biasanya itu.“Tidak. Pak Jonathan yang pernah kuliah di sana,” sahutnya sambil mendengus kesal, “kamu jangan macem-macem, ya Alea. Ibu mengawasimu.” Ketus! Kesan itu yang kudapatkan dari kalimat bernada ancaman itu. “Alea bisa apa, Bu. Ada Pak Jonathan yang bakal kasih hukuman di samping Alea,” rengekku mengiba. Tapi sepertinya hal itu justru membuatnya semakin kesal. Bahkan ia kembali menoleh ke arah kami sesampai di kursinya semula. “Ah … kasihan banget Bu Ella, digantung sampe kering macam ikan asin,” gumamku yang bisa kupastikan didengar oleh Pak Jonathan. “Kamu tahu kenapa dia ngamuk macem itu?” “Hah? Emang apa lagi kalo bukan gara-gara Pak Jona
Tapi bukannya berhenti, Pak Jonathan justru mempercepat ayunannya. Sepertinya ia tak peduli dengan apapun. Ia justru mengayun cepat dan semakin cepat, membuat tubuhku semakin gemetar dan rasa itu semakin tak dapat kutahan. Tubuhku terasa semakin menegang karena setiap hentakannya. Membuat sensasi aneh muncul begitu saja di dalam perutku. Seakan mengaduk dengan rasa yang nikmat dan membuatku semakin tak dapat menahan keinginan untuk menumpahkannya. Hingga ia menghentak lebih dalam dan menghentikan semua itu. Kurasakan kehangatan saat ia memeluk punggungku, bersamaan dengan cairan yang merembes keluar dari celah di kedua pahaku. Panas, dalam udara yang begitu dingin.“Dia sudah kembali,” bisikku saking takutnya seseorang akan mendengar suaraku. “Aku tahu.” Kulihat lelaki itu segera memakai kembali pakaiannya. “Lalu … bagaimana kamu keluar dari sini?” tanyaku mulai panik, “Vena di luar sana.” Suara ketukan kembali terdengar. “Al … Alea. Kamu beneran udah tidur?”“Apa sebaiknya aku p
“Bomat lah, yuk kita berangkat sekarang.” Kutarik pergelangan tangan Vena, sengaja membuatnya mengikuti langkahku agar tidak lagi mengulik hal-hal yang tak seharusnya diketahuinya Jalur pendakian cukup jauh. Pantas saja para pemandu menyuruh kami bersiap sepagi itu. Medan yang cukup terjal itu seharusnya akan licin saat basah karena air hujan seperti saat ini. Namun sepertinya obyek wisata ini benar-benar dipelihara dengan baik.Udara dingin itu tetap membuat kami semangat untuk mengayunkan langkah di jalanan terjal yang terus menanjak itu. Pos satu kami lewati begitu saja hanya karena harapan menikmati munculnya sang surya dari ufuk timur, walau hanya dengan setitik harapan untuk melihatnya. “Alea! Tunggu!” Suara laki-laki itu memaksaku memperlambat langkahku. Lelaki jangkung itu akhirnya berhasil menghampiriku, setelah mendahului beberapa teman di depannya. Dengan senyum lebarnya, ia mengangkat satu tangannya lalu langsung menempatkannya di pundakku. “Hebatnya pacarku. Aku yaki
“Sanggup apa? Sanggup dikeluarin dari sekolah atau sanggup nggak lulus?” Suara cempreng itu langsung mencuri perhatianku. Vena! Untung saja …. Dia muncul tepat waktu. Aku bahkan nggak tahu harus jawab apa. “Aduh!” seruku sambil memegang perut, “di pos dua ada toilet, kan? Aku turun duluan ya, udah kebelet.” Tanpa menunggu jawaban mereka, aku pun segera melangkah cepat menuju pos dua. Aku hanya dapat memikirkan cara ini. Walau sebenarnya aku tahu, membiarkannya berlarut seperti ini akan membuat masalah semakin berat. Tak kuhiraukan suara-suara yang memanggil namaku itu. Yang kuinginkan saat ini hanya menjauh dari mereka. Aku nggak mungkin menerima pernyataan tulus itu dan membiarkannya menjauh dari keluarganya hanya karena sebuah harapan palsu yang kuberikan. Seandainya tadi aku berani mengatakan supaya dia berhenti mengharapkan aku, pasti semuanya akan selesai. Tapi … entah kenapa aku nggak sanggup. Aku tak mau dia terpukul karena aku justru minta putus di hadapan banyak temanku
“ … cuma perengek egois. Tapi kamu, entah kenapa aku bisa memaklumi semua sifat itu. Aku … justru merasa senang mendengar rengekanmu. Justru semua itu membuat hari-hariku jadi lebih berwarna,” ucapnya masih dengan wajah serius. Aku menelan kasar salivaku, kutatap sepasang manik gelap yang sedang menatap tanpa berkedip di depanku. Dan lagi-lagi mataku seperti memberontak, dan justru beralih menatap bibir sensual yang ditumbuhi rambut tipis itu, juga jakunnya yang turun naik dengan gerakan sexy nya. Perlahan ia mendekat dan mencondongkan tubuhnya ke arahku, membuat wajah kami begitu dekat. Jarak yang hanya bersisa beberapa inchi itu seakan memprovokasiku dengan hembusan napas hangatnya yang membelai wajahku di udara yang sedingin ini. Napas hangat itu seperti medan magnet yang menyeretku padanya. Aku berjingkat dan mengecup bibir yang sejak tadi sibuk menguraikan rangkaian katanya. “Aku juga. Hidupku tidak lagi membosankan seperti dulu setelah bertemu denganmu,” sahutku. Kutarik sud
Aku benar-benar tak percaya melihat isi di dalam kardus itu. Apa dia bercanda? Untuk apa bikini set sebanyak ini?“Pak Buntal, berapa yang kamu habiskan buat beli bikini sebanyak ini?” “Sepuluh,” sahutnya seolah tak ada yang salah dengan semua itu, “seperti yang pernah kamu minta. Sepuluh bikini buat kamu sekalian teman-teman kamu.” Aku benar-benar terkejut. Bagaimana bisa candaanku dianggap seserius itu. “Alea, kok melongo gitu.” Kakiku lemas seketika. Sepuluh bikini ini … apa yang harus aku lakukan pada barang tak lazim seperti ini. Barang yang bahkan enggan kugunakan. “Pak buntal, siapa yang bakal pake ini barang?” “Ya kamu, lah. Bukannya itu ada di dalam daftar hal yang ingin kamu lakukan sebelum menikah?” “Tapi foto bikini itu … sengaja aku tulis biar kamu nggak mau nikahin aku,” sahutku dengan frustasi, “lagian siapa sembilan teman yang bisa dan mau kuajak foto dengan pakaian nyaris telanjang seperti itu.” “Syukurlah.” “Lah, kok malah seneng?” “Ya jelas senang, lah,” s
Lelaki itu membelai rambutku, menyibak sebagian yang menutupi wajahku. Tatapan matanya menciptakan debaran lembut di dadaku. Dan sesaat kemudian ia telah berada di atas tubuhku. Kecupan lembutnya mendarat begitu saja di bibirku. Seakan hendak membangkitkan gairahku malam ini. Bibirnya seperti api yang hendak memercikkan setiap inci tubuhku dalam sebuah ledakan gairah. Apa ini? Kenapa malam ini dia begitu berbeda? Mungkinkah karena baju yang kugunakan malam ini? Ia menarik pakaian tipis yang terhubung dengan bra itu dengan kasar, hingga terdengar suara robekan dan bra itupun lepas begitu saja mengekspos yang tersembunyi di dalamnya. Suara napasku mulai memburu saat kurasakan bibirnya menyentuh bagian puncak di dadaku. Ia seperti sengaja mempermainkannya dengan lidahnya dan menyesapnya dengan rakus. Hmm … tubuhku tak lagi dapat ku kuasai. Akal sehatku tak dapat lagi mengambil alih reflek yang muncul begitu saja. Tubuhku menggeliat tanpa bisa kukendalikan. Bibirku mulai mengeluarka
“Jujur, katakan sama aku. Kamu masih ada perasaan kan, sama dia?” tanyaku dengan perasaan tak karuan. Mungkin seharusnya aku tak pernah mengatakan pertanyaan seperti ini. Pertanyaan yang justru seperti bom waktu yang kupasang di antara kami. “Masih.” Jawaban itu seakan membuat jantungku berhenti berdetak. Aku masih menatapnya dalam diam. Sebuah jawaban yang akan menentukan nasib sebuah pernikahan. “Tapi perasaan yang berbeda dengan yang kurasakan untukmu,” lanjutnya, “dan aku sadar … dulu maupun sekarang, hubungan kami bukan tentang cinta.” “Lalu apa kalau bukan cinta? Tapi, kalian pacaran, kan. Mana mungkin nggak cinta?” cecarku. “Kamu mau dengar ceritaku?” tanyanya.Aku mengangguk dengan perasaan ragu. Tentu saja karena aku tidak yakin akan cerita yang akan dituturkannya. Bisa saja semua itu hanya karangannya agar aku memaafkannya. Tapi tak urung, aku ingin mendengar pembelaannya. Apa yang sebenarnya dirasakannya pada perempuan itu.Pak Jonathan menarik kursi dan duduk tepat
Setelah mengatakan semua yang mengganjal di hatiku, aku segera menutup panggilan itu. Napasku bahkan terengah hanya karena menyampaikan emosiku yang meluap hebat. Bagaimana bisa dia menuduhku seperti itu, sementara dirinya sendiri melakukan hal yang tak berbeda. Hah! Seandainya saja dia tahu kalau Doni bahkan sudah tak ada lagi di hatiku. Seandainya saja dia tahu kalau perasaanku hilang begitu saja setelah mengenal keluarganya, setelah aku merasakan betapa takutnya kehilangan dirinya saat ditahan dulu. Seandainya saja dia tahu, bahwa aku bahkan hanya mengurung diri di kamarku sejak kedatanganku, menikmati kesendirianku. Seandainya saja dia tahu bahwa kenyataan bahwa keantusiasannya datang ke acara itu telah menorehkan luka di hatiku tentang masih adanya jejak cinta di hatinya. “Ah, pusingnya kepalaku,” keluhku. Kuangkat tanganku dan mulai memijit keningku yang terasa berdenyut. Suara telepon kembali terdengar. Kali ini sengaja aku tidak mengangkatnya. Kepalaku semakin terasa pusin
“Aku ada ide!” teriak Vena tiba-tiba. Suara cempreng itu membuatku melompat saking terkejutnya. Ditambah lagi tepukannya di pundakku yang membuat jantungku berdegup lebih cepat. “Kamu pergi aja sama Kak Bernard!” “Vena …. Kali aja dia nggak marah, ngeliat aku sama kakak kamu,” keluhku, “kamu inget kan, terakhir kali mereka ketemu juga berantem. Aku nggak mau Kak Bernard terluka cuma gara-gara jagain aku.”“Lah … memang mesti ada pengorbanan buat mencapai suatu tujuan, kan. Seperti Kak Bernard, ngelakuin itu pasti ada tujuan. Walau nggak semua tujuan itu bakal tercapai,” ucapnya, “butuh effort buat mencapai sesuatu yang kita ingini, Al.” “Iya, kamu benar. Tapi aku tetap harus memperhitungkan kerugian apa yang bakal aku terima kalau melakukan semua itu, kan?” Vena mengedikkan pundaknya. “Jadi … kamu nggak mau datang ke acara itu?” Aku menghela napas dan menggeleng pelan. “Mungkin aku akan membuat kekacauan besar, yang bisa menahannya agar tidak bisa datang ke acara itu.” “Kekacau
“Marsha memberitahukan kalau dia akan datang pada saat reuni akbar sekolah kami nanti.” Aku langsung melotot saat mendengar nama acara itu. Bukan karena aku tidak pernah mendengarnya, tapi karena aku sering membaca di media sosial bahkan cerita-cerita orang tentang acara reuni seperti ini. Acara yang justru menjadi awal perpecahan sebuah rumah tangga. “Lalu … kamu juga mau datang buat ketemu dia?” tanyaku sekali lagi tanpa sebuah basa basi. “Acara itu sebenarnya ajang paling tepat untuk mencari koneksi, memperluas hubungan kerja.” Jawaban itu sebenarnya membuatku langsung bisa memprediksi bahwa ia ingin datang walau apapun alasannya. Aku juga pasti akan terlihat konyol jika harus menahannya untuk tidak pergi. Seperti … seorang istri pencemburu yang bahkan menghalangi kemajuan langkah suaminya. “Al, kamu percaya kan, sama aku?” tanyanya sembari menatap mataku lekat lekat.Aku menarik napas panjang dan terpaksa menganggukkan kepalaku walau sejujurnya firasatku mengatakan yang sebal
“Gimana? Yang ini atau yang ini?” tanyaku sementara kedua tanganku memegang dua hanger kaos pilihanku. Pak Jonathan menggelengkan kepalanya. “Nggak … sepertinya itu nggak cocok buat aku.” Sesaat kemudian, lelaki itu kembali mencari pakaian yang cocok untuknya. Kuletakkan kembali kedua hanger itu di tempatnya. Sudah cukup banyak model yang sudah kurekomendasikan buatnya, tapi belum satupun yang dipilihnya. Entah pakaian seperti apa yang sebenarnya ingin dicarinya. “Cari kaos untuk papanya, Kak?” sapa seorang yang memakai seragam pramuniaga toko, “sepertinya kemeja akan lebih cocok untuk lelaki seusia papa kakak, jika dibandingkan dengan t shirt.” Wait! Ini sudah yang ketiga kalinya Pak Jonathan dianggap sebagai papaku. Padahal usianya cuma berjarak belasan tahun saja. “Dia suami saya, Kak,” sahutku sekali lagi memberinya sebuah pembenaran, “dia sedang cari pakaian santai yang nyaman dan tidak membuatnya terkesan lebih tua dari usianya.” “Kemeja dengan corak yang cerah, mungkin,”
“Ini Non, susunya lekas di minum, keburu dingjn.” Mbak Santi meletakkan susu hamil yang sengaja dibelikan oleh Pak Jonathan untuk menunjang nutrisiku. Sejujurnya aku merasa enggan untuk meminumnya. Bukan karena rasanya, tapi karena aromanya yang membuat perutku berontak tak ingin menerimanya. Tapi mau gimana lagi, aku juga tidak ingin bayiku kekurangan nutrisi karena aku terus memuntahkan semua yang masuk ke dalam perutku. Kucepit hidungku dan segera menegak cairan berwarna putih yang ada di dalam gelasnya hingga tandas, sebelum memasukkan permen kenyal berbentuk hamburger ke dalam mulutku. “Loh, Non mau kemana? Ke kantor lagi?” tanya Mbak Santi saat melihatku langsung mengambil sling bag kecil yang biasa kupakai. “Iya, Mbak. Mau belanja sama Pak Jonathan,” sahutku, “ada titipan?” “Beli sabun sekalian sama pembersih lantai ya, Non. Stoknya udah menipis,” jawabnya cepat. “Udah? Itu aja kan?” “Iya Non.” Setelah mencatat semua keperluan itu di dalam otakku, aku p
“Please …” lirihku sembari meremas pundaknya. Rasa gemas membuatku tak mampu menguasai diri, apalagi di saat hasratku seakan meluap sampai ke ubun-ubun. Tapi lelaki itu seperti tak peduli akan rengekan atau desah nafasku yang semakin tak karuan. Ia justru menempelkan ujung lidahnya dan berputar mengelilingi bagian puncak di dadaku. Tubuhku semakin menegang karenanya. Sepasang tanganku menggapai rambutnya, mencengkeram helaian berwarna hitam yang tumbuh di batok kepalanya“Al, kamu mau punya suami botak?” Akhirnya ia berhenti melakukan hal yang menyebalkan itu. Kulepaskan cengkraman tanganku dan menyilangkan kedua tanganku di depan dada. “Makanya jangan cari gara-ga–”Tok! Tok! Tok!Mendengar suara ketukan itu, membuatku menghentikan ucapanku. Tentu saja hal itu sangat menggangguku, bahkan kami belum sempat bercinta. “Tunggu sebentar,” ucap Pak Jonathan sembari beranjak dari atas tubuhku dengan gerakan enggannya. Lelaki itu cepat-cepat memakai celana panjangnya sampai terhuyung ka
“Tentu saja, mereka semua justru yang akan iri sama aku,” sahutku cepat, “karena semua hal yang setiap perempuan inginkan, ada sama kamu.” “Alea, kamu lagi ngejek aku, kan?” “Kok ngejek? Aku bicara apa adanya, kok,” balasku, “kamu itu mapan, ganteng, pintar dan ….” “Dan apa?” “Nggak jadi.” Aku langsung berbalik dan melangkah kembali masuk ke halaman rumahku. Sumpah! Demi apa aku sampai mengatakan semua itu. Tapi … sepertinya nggak masalah kalau sesekali aku memujinya seperti ini. Mungkin ia jadi pencemburu karena ketidak percaya diriannya saja. “Dan apa Al? Kamu sengaja ya, mau bikin aku mati penasaran.” “Nggak, aku bilang nggak jadi,” sahutku. Sepertinya semua yang kukatakan tadi, sudah cukup. “Alea!” panggilnya dengan suara merayu sembari mengikuti langkahku, “dan apa dong.”Kudengar suara pintu tertutup di belakangku. Dan sesaat kemudian kurasakan sentuhan tangannya di bahuku. Tangan itu membuatku mau tak mau memutar tubuhku untuk menghadapnya. “Dan apa, Al?” tanyanya deng
Aku berdiri dari kursiku. Ingin sekali kulempar semua hidangan di hadapanku. Bagaimana bisa ia mengatakan semuanya tanpa rasa bersalah, seolah semua yang sudah kami lalui hanyalah sebuah lelucon belaka. Kecewa? Tentu saja aku merasa sangat kecewa. Kalimat itu bahkan membuatku merasa tak berharga lagi. Seakan dia hendak mencampakkan aku setelah semua cinta tulus yang kuberikan. Sepertinya aku salah karena mengira ia mencintai dan memperlakukanku dengan tulus. Rasa sakit seperti menamparku pada kenyataan yang kini kurasakan.“Jadi … setelah semua ketulusan yang aku berikan, kamu berniat mencampakkan aku?” “Bukan … bukan seperti itu. Al, aku tahu kamu terpaksa menikah denganku. Bahkan kamu mengajukan daftar keinginan hanya untuk membuatku mundur,” ucapnya dengan wajah yang seperti frustasi, “setelah peristiwa hari ini, akhirnya aku menyadari bahwa perasaan itu tak bisa dipaksakan. Aku tidak bisa memaksamu untuk membalas perasaanku.”Aku menghela napas sedalam-dalamnya dan menghembuska