“Ella, sudahlah. Nggak ada yang dirugikan,” tukas Pak Jonathan, “atau kamu mau menolongku menjelaskan semua detail fakultas farmasi yang mau ditujunya?” “Bu Ella guru bahasa, tapi dulunya kuliah farmasi juga, ya?” Aku tersenyum lebar, berpura-pura antusias mendengar penjelasan dari wali kelasku yang hari ini tampil lebih genit dari biasanya itu.“Tidak. Pak Jonathan yang pernah kuliah di sana,” sahutnya sambil mendengus kesal, “kamu jangan macem-macem, ya Alea. Ibu mengawasimu.” Ketus! Kesan itu yang kudapatkan dari kalimat bernada ancaman itu. “Alea bisa apa, Bu. Ada Pak Jonathan yang bakal kasih hukuman di samping Alea,” rengekku mengiba. Tapi sepertinya hal itu justru membuatnya semakin kesal. Bahkan ia kembali menoleh ke arah kami sesampai di kursinya semula. “Ah … kasihan banget Bu Ella, digantung sampe kering macam ikan asin,” gumamku yang bisa kupastikan didengar oleh Pak Jonathan. “Kamu tahu kenapa dia ngamuk macem itu?” “Hah? Emang apa lagi kalo bukan gara-gara Pak Jona
Tapi bukannya berhenti, Pak Jonathan justru mempercepat ayunannya. Sepertinya ia tak peduli dengan apapun. Ia justru mengayun cepat dan semakin cepat, membuat tubuhku semakin gemetar dan rasa itu semakin tak dapat kutahan. Tubuhku terasa semakin menegang karena setiap hentakannya. Membuat sensasi aneh muncul begitu saja di dalam perutku. Seakan mengaduk dengan rasa yang nikmat dan membuatku semakin tak dapat menahan keinginan untuk menumpahkannya. Hingga ia menghentak lebih dalam dan menghentikan semua itu. Kurasakan kehangatan saat ia memeluk punggungku, bersamaan dengan cairan yang merembes keluar dari celah di kedua pahaku. Panas, dalam udara yang begitu dingin.“Dia sudah kembali,” bisikku saking takutnya seseorang akan mendengar suaraku. “Aku tahu.” Kulihat lelaki itu segera memakai kembali pakaiannya. “Lalu … bagaimana kamu keluar dari sini?” tanyaku mulai panik, “Vena di luar sana.” Suara ketukan kembali terdengar. “Al … Alea. Kamu beneran udah tidur?”“Apa sebaiknya aku p
“Bomat lah, yuk kita berangkat sekarang.” Kutarik pergelangan tangan Vena, sengaja membuatnya mengikuti langkahku agar tidak lagi mengulik hal-hal yang tak seharusnya diketahuinya Jalur pendakian cukup jauh. Pantas saja para pemandu menyuruh kami bersiap sepagi itu. Medan yang cukup terjal itu seharusnya akan licin saat basah karena air hujan seperti saat ini. Namun sepertinya obyek wisata ini benar-benar dipelihara dengan baik.Udara dingin itu tetap membuat kami semangat untuk mengayunkan langkah di jalanan terjal yang terus menanjak itu. Pos satu kami lewati begitu saja hanya karena harapan menikmati munculnya sang surya dari ufuk timur, walau hanya dengan setitik harapan untuk melihatnya. “Alea! Tunggu!” Suara laki-laki itu memaksaku memperlambat langkahku. Lelaki jangkung itu akhirnya berhasil menghampiriku, setelah mendahului beberapa teman di depannya. Dengan senyum lebarnya, ia mengangkat satu tangannya lalu langsung menempatkannya di pundakku. “Hebatnya pacarku. Aku yaki
“Sanggup apa? Sanggup dikeluarin dari sekolah atau sanggup nggak lulus?” Suara cempreng itu langsung mencuri perhatianku. Vena! Untung saja …. Dia muncul tepat waktu. Aku bahkan nggak tahu harus jawab apa. “Aduh!” seruku sambil memegang perut, “di pos dua ada toilet, kan? Aku turun duluan ya, udah kebelet.” Tanpa menunggu jawaban mereka, aku pun segera melangkah cepat menuju pos dua. Aku hanya dapat memikirkan cara ini. Walau sebenarnya aku tahu, membiarkannya berlarut seperti ini akan membuat masalah semakin berat. Tak kuhiraukan suara-suara yang memanggil namaku itu. Yang kuinginkan saat ini hanya menjauh dari mereka. Aku nggak mungkin menerima pernyataan tulus itu dan membiarkannya menjauh dari keluarganya hanya karena sebuah harapan palsu yang kuberikan. Seandainya tadi aku berani mengatakan supaya dia berhenti mengharapkan aku, pasti semuanya akan selesai. Tapi … entah kenapa aku nggak sanggup. Aku tak mau dia terpukul karena aku justru minta putus di hadapan banyak temanku
“ … cuma perengek egois. Tapi kamu, entah kenapa aku bisa memaklumi semua sifat itu. Aku … justru merasa senang mendengar rengekanmu. Justru semua itu membuat hari-hariku jadi lebih berwarna,” ucapnya masih dengan wajah serius. Aku menelan kasar salivaku, kutatap sepasang manik gelap yang sedang menatap tanpa berkedip di depanku. Dan lagi-lagi mataku seperti memberontak, dan justru beralih menatap bibir sensual yang ditumbuhi rambut tipis itu, juga jakunnya yang turun naik dengan gerakan sexy nya. Perlahan ia mendekat dan mencondongkan tubuhnya ke arahku, membuat wajah kami begitu dekat. Jarak yang hanya bersisa beberapa inchi itu seakan memprovokasiku dengan hembusan napas hangatnya yang membelai wajahku di udara yang sedingin ini. Napas hangat itu seperti medan magnet yang menyeretku padanya. Aku berjingkat dan mengecup bibir yang sejak tadi sibuk menguraikan rangkaian katanya. “Aku juga. Hidupku tidak lagi membosankan seperti dulu setelah bertemu denganmu,” sahutku. Kutarik sud
Aku benar-benar tak percaya melihat isi di dalam kardus itu. Apa dia bercanda? Untuk apa bikini set sebanyak ini?“Pak Buntal, berapa yang kamu habiskan buat beli bikini sebanyak ini?” “Sepuluh,” sahutnya seolah tak ada yang salah dengan semua itu, “seperti yang pernah kamu minta. Sepuluh bikini buat kamu sekalian teman-teman kamu.” Aku benar-benar terkejut. Bagaimana bisa candaanku dianggap seserius itu. “Alea, kok melongo gitu.” Kakiku lemas seketika. Sepuluh bikini ini … apa yang harus aku lakukan pada barang tak lazim seperti ini. Barang yang bahkan enggan kugunakan. “Pak buntal, siapa yang bakal pake ini barang?” “Ya kamu, lah. Bukannya itu ada di dalam daftar hal yang ingin kamu lakukan sebelum menikah?” “Tapi foto bikini itu … sengaja aku tulis biar kamu nggak mau nikahin aku,” sahutku dengan frustasi, “lagian siapa sembilan teman yang bisa dan mau kuajak foto dengan pakaian nyaris telanjang seperti itu.” “Syukurlah.” “Lah, kok malah seneng?” “Ya jelas senang, lah,” s
Lelaki itu membelai rambutku, menyibak sebagian yang menutupi wajahku. Tatapan matanya menciptakan debaran lembut di dadaku. Dan sesaat kemudian ia telah berada di atas tubuhku. Kecupan lembutnya mendarat begitu saja di bibirku. Seakan hendak membangkitkan gairahku malam ini. Bibirnya seperti api yang hendak memercikkan setiap inci tubuhku dalam sebuah ledakan gairah. Apa ini? Kenapa malam ini dia begitu berbeda? Mungkinkah karena baju yang kugunakan malam ini? Ia menarik pakaian tipis yang terhubung dengan bra itu dengan kasar, hingga terdengar suara robekan dan bra itupun lepas begitu saja mengekspos yang tersembunyi di dalamnya. Suara napasku mulai memburu saat kurasakan bibirnya menyentuh bagian puncak di dadaku. Ia seperti sengaja mempermainkannya dengan lidahnya dan menyesapnya dengan rakus. Hmm … tubuhku tak lagi dapat ku kuasai. Akal sehatku tak dapat lagi mengambil alih reflek yang muncul begitu saja. Tubuhku menggeliat tanpa bisa kukendalikan. Bibirku mulai mengeluarka
“Dih, siapa juga yang mau,” sahutku cepat sembari berguling menjauh ke sampingnya, “tapi yang tadi itu bukan senter, ya?” “Iya bukan. Itu mainan buat kamu,” jawabnya. “Mainan buat aku atau buat kamu, pak buntal?” godaku, “semua isinya seperti buat aku. Tapi … kamu yang menikmatinya bukan?” Kunaik turunkan alisku sengaja untuk menggodanya. Memang itu yang terbesit di otakku. Mulai dari baju dan benda berwarna merah muda itu semuanya seakan ditujukan buatku. Tapi … semua benda itu hanya alat untuk memperoleh kepuasan baginya, kan?Lelaki itu justru tertawa seperti mengejekku. “Sungguh? Kamu nggak suka sama alat itu? Kamu nggak bisa nikmatin getarannya tadi? Tapi … kenapa tubuh kamu tadi kelihatan heboh ya? Sampe mau pipis, kan? Tapi … kenapa sekarang nggak pipis juga, ya?” “Pak buntal, aku benci kamu.” Dengan kesal aku berbalik membelakanginya dan menarik selimutku hingga menutupi seluruh tubuhku. “Alea … Alea. Permainan tadi … bukan cuma kamu, atau aku saja yang nikmatin, tapi kit
“Iya, dia ada sama aku. Mama Intan? Ada apa Ma?” tanyaku yang masih terkejut karena tak biasanya ibu mertuaku itu melupakan salam yang biasanya diucapkannya. Firasatku mengatakan ada suatu hal sangat penting yang membuatnya panik. “Papa kamu … dia masuk rumah sakit. Dia kena serangan jantung,” ucap perempuan itu dengan suara gemetar, “kamu sama Jonathan bisa pulang, kan?” Tiba-tiba saja kakiku terasa lemas. Bukan … bukan cuma kakiku. Tubuhku terasa lemas, sampai-sampai ponselku terlepas dari tanganku. “Al … Alea, bangun.” Suara itu yang terakhir bisa kudengar. Sebelum semuanya menjadi gelap.Bau menyengat yang tercium di hidungku, membuatku tersentak kembali pada kesadaranku. Aku semakin kebingungan saat telah berada di tempat yang berbeda. “Syukurlah, kamu sudah sadar.” Wajah cemas suamiku membuatku merasa bersalah. Lelaki itu menggenggam tanganku dan mengecupnya, seakan mengungkapkan kelegaan hatinya,“Jo, kita harus pulang sekarang. Papa butuh kita,” ucapku kemudian. Ingatan
“aku yang seharusnya mengatakannya. Terima kasih Alea, karena kamu telah hadir di dunia ini, di sisiku. Dan ….” Lelaki itu mengecup lembut keningku. “... biarkan aku bertanggung jawab atas setiap penggal kisah hidupmu dan putera kita nantinya.” Kalimat itu membuatku hatiku merasa damai, ia seakan begitu mencintaiku dan calon bayi yang bahkan masih sangat sangat kecil ini. Malam itu Pak Jonathan benar-benar berbeda. Ia bersikap bukan hanya lebih lembut, tapi ia bahkan lebih protektif dalam memperlakukan aku. Ia bahkan tidak menggangguku apalagi merayuku untuk melayaninya. Lelaki itu justru memelukku dengan alasan agar aku tidak kedinginan. Dan aku tak membantah, walau aku justru merasa gerah. “Alea,” panggilnya sembari mempermainkan anak rambut di wajahku, “aku sedang membayangkan seorang bayi cantik, duduk di pangkuanmu. Wajah cantiknya, sangat mirip denganmu. Rambutnya yang ikal dan mata bulatnya sangat indah.” “Tapi Sayang, apa kamu ingin bayi perempuan?” tanyaku yang terkejut
“Kok bengong gitu sih?” tanyaku, “kamu jadi ikutan kecewa, ya?” Tapi Pak Jonathan justru menggelengkan kepalanya. “Kemari … kemari Alea. Kita coba sekali lagi.”“Pak buntal, kalau memang hasilnya negatif. Mau sepuluh merk yang berbeda juga bakal negatif, kan.” “Tapi ini nggak negatif, Al. Ini sama sekali nggak negatif,” ucap Pak Jonathan.“Hah! Kok bisa?” “Kemari! Kita cek dengan merk yang lain.” Sekali lagi Pak Jonathan mencelupkan benda mungil itu, hanya seujung kecil, dibawah garis tanda selama beberapa detik dan mengangkatnya. Tak berapa lama kemudian garis itu muncul, memperlihatkan tanda saling silang di dalam lingkarannya. “Positif!” teriak Pak Jonathan dengan gembiranya. “Ini positif, Sayang!” Lelaki itu langsung memeluk tubuhku dan meluncurkan kecupannya di kedua pipiku, di dahiku … di seluruh wajahku secara bertubi-tubi. “Alea, cintaku, makasih ya. Ini hadiah paling indah yang pernah aku dapatkan seumur hidupku,” ucapnya dengan senyum yang tak lepas dari bibirnya. Ia
“Pak Buntal! Kamu mau kemana?” tanyaku dengan perasaan frustasi. Kenapa dia langsung pergi tanpa mengatakan apapun? Apa dia tahu apa yang sedang kualami? Apa dia menjauh karena takut ketular? Lelaki itu mengusap tubuhnya dengan handuk sembari menoleh kepadaku. “Kamu tunggu di sini bentar, ya. Aku harus beli sesuatu.” “Beli sesuatu? Aku nggak boleh ikut?” tanyaku lagi. “Nggak. Aku segera kembali,” ucapnya kali ini dengan terburu-buru ia memakai kemeja dan celana pantainya. Baru saja ia hendak membuka pintu kamar mandi, ia kembali melangkah ke arahku dan mendekatkan wajahnya untuk mengecup keningku. “Alea, aku akan segera kembali. Tunggu ya. Tunggu aku di sini,” pamitnya sebelum benar-benar meninggalkanku sendirian. Iya! Dia benar-benar meninggalkan aku sendirian di sini. Di kamar ini. Aku menghela napas dan kupejamkan mataku, menikmati hangatnya air di dalam bak penuh kelopak mawar. Aromanya bahkan membuat perasaanku jauh lebih tenang. Pak Jonathan nggak mungk
Kukeluarkan isi perutku begitu saja. Tentu saja kejadian itu membuat Pak Jonathan terkejut. Dan kali ini aku tak mungkin lagi bisa menyembunyikannya. “Alea, kamu nggak papa?”“Nggak papa, mungkin cuman masuk angin.” “Kamu yakin cuman masuk angin?” tegasnya lagi. Tatapannya jelas menunjukkan kecurigaannya. Haruskah aku mengatakan semuanya sekarang? Tapi … aku tidak mau dia kembali terpukul.seperti saat kehilangan kekasihnya. Haruskah aku menjauh darinya agar ia tidak kembali tersakiti. Tapi aku tak yakin bisa hidup tanpa dia. “Alea,” panggilnya sembari membersihkan bibirku dengan sehelai tisu di tangannya, “aku tahu kamu menyembunyikan sesuatu.:Aku langsung menggeleng cepat. “Enggak! Memangnya apa yang harus aku sembunyikan?”“Kamu … kamu keliatan aneh hari ini. Tidak seperti biasanya. Seperti ada sesuatu yang sedang kamu sembunyikan,” ungkapnya tentang kecurigaan yang dirasakannya. “Aku nggak suka kepang. Rambutku jadi rusak, kan,” keluhku mengabaikan perkataannya. “Selesai!”
“Jadi beneran udah nggak mau ngomong lagi sama aku, nih?” Aku diam tak menjawab, tentu saja masih dengan perasaan kesal karena sama sekali tak menyangka bahwa dia akan cemburu bahkan pada orang-orang yang sama sekali tak kukenal. Haruskah dia seposesif itu?“Ah … itu kedai gelatonya,” ucapnya. Mendengar itu, mau tak mau aku mengangkat wajahku, mencari tahu kebenaran kalimat yang diucapkannya. Tapi tidak ada kedai gelato semacam itu di depanku. Dia hanya sedang mengalihkan perhatianku saja.Aku melepaskan genggaman tanganku dan hanya terus melangkah menyusuri trotoar yang dipadati oleh pejalan kaki. Tak tahu kenapa perasaanku menjadi semakin kacau. Untung saja tak berapa lama kemudian, aku melihat sebuah kedai gelato. Seharusnya dinginnya gelato dan rasa manis legitnya dapat menenangkan perasaanku. Masih dengan mengabaikan keberadaan lelaki di sisiku, aku masuk ke dalamnya dan membeli tiga scoop varian rasa favoritku. “Sayang … kamu mau ngambek sampe kapan,” tanyanya sembari duduk
“Alea,” panggil Pak Jonathan dari suaranya kurasa dia sudah merasa kesal. Tapi aku tetap mengacuhkannya. Tapi tiba-tiba pandanganku menjadi gelap. Bule ganteng yang sedang bawa papan surfing ke arahku itu sama sekali tak terlihat.“Pak buntal! Apaan sih,” tegurku sembari menepiskan tangannya yang sedang menutupi mataku. “Kamu tuh, macam nggak pernah liat cowok ganteng aja,” jawabnya. “Nah … kamu sendiri?” Aku pun tak mau kalah. “Udah … udah, yuk. Kita ke tempat lain saja,” sahutnya mengakhiri perdebatan kami. “Nggak mau,” rengekku, “aku masih mau di sini.” “Ya udah, kalau gitu aku jalan dulu, ya,” pamitnya dan langsung berdiri dari sisiku. Tentu saja aku nggak mau ditinggal sendirian. Kupegang tangannya, menahannya agar tak beranjak dari sisiku. “Eh … eh. Emangnya kamu mau kemana?” tanyaku dengan perasaan enggan. “Jalan. Seingatku ada kedai gelato di sana,” jawabnya sembari menunjuk ke suatu arah. Mendengar kata gelato, membuat semangatku kembali lagi. Membayangkan rasa ding
Aku menggigit bibirku, berusaha menahan rasa sakit yang masih bisa kurasakan saat benda berukuran besar itu tenggelam di dalamku. Bahkan aku dapat merasakan sensasi yang berbeda dari biasanya. Dalam posisi ini, belalai itu bahkan tenggelam lebih dalam lagi. Lebih dari biasanya. Pak Jonathan memegang pinggangku. Dengan mata terpejam ia berusaha membimbingku agar aku mulai bergerak naik dan turun. “Sayang, bergeraklah,” pintanya, “jangan menjepitku seperti ini.” Kuikuti arahannya dengan hati-hati. Entah apa yang dirasakannya, saat aku mulai bergerak, suara erangan keluar dari bibirnya. Tangannya yang semula berada di pinggangku, kini dengan nakalnya membelai tubuhku, menyentuh sepasang gumpalan padat dan meremasnya kuat. Heh! Kenapa sensasi yang kurasakan saat ini begitu hebat. Apalagi saat aku mempercepat gerakanku. Setiap gesekannya menciptakan gelitik yang membuatku melayang dan menginginkan lebih. Bahkan di dalam sana aku merasa penuh, sesak, membuat kedut-kedut itu sema
“Tapi kenapa harus mawar? Dan … kenapa di atas ranjang kita?” tanyaku. Pasti ada alasan dia meletakkan kelopak mawar di atas ranjang kami, walau ia tahu akan tak nyaman rasanya untuk tidur diatasnya.Tapi Pak Jonathan justru tersenyum. “Aku hanya ingin melihat mawarku berada di antara bunga mawar lainnya,” tuturnya, “dan … kau tahu, mawarku paling cantik diantara ratusan mawar di kamar ini.” “Hah! Mana ada. Aku manusia, bukan bunga, Pak Buntal,” sahutku sembari mencubit pinggangnya, walau jujur dalam hatiku berbunga-bunga mendengar rayuannya. “Kamu tahu … aku paling suka liat wajah kamu yang memerah seperti sekarang ini,” pujinya lagi, “terlihat begitu ….”Ia mendekatkan bibirnya ke telingaku dan berbisik, “... sexy.” Aku menelan kasar salivaku. Gemuruh di dadaku, terasa begitu hebat. Bahkan membuatku gelisah, seandainya saja Pak Jonathan bisa mendengarkan suaranya. Hanya bayangan diriku yang terlihat dengan jelas dalam sepasang mata jernihnya, seakan menyatakan hanya aku yang ada