“Jadi kamu tahu kan, siapa yang masuk ke dalam kamar kita semalam?” ulangnya dengan pertanyaan yang sama. “Nggak tahu, lah,” sahutku dengan menyembunyikan kegugupanku, “tapi dia nggak mungkin berani sentuh aku. Kalau aku bangun terus teriak-teriak, bisa mampus dia digebukin kalian, kan.”“Ah ~ bener juga, sih,” sahut Vena. Selamat … selamat! Semoga aja dia nggak lagi lagi nanyain soal peristiwa itu. Maafin aku, Ven. Belum waktunya buat aku cerita semuanya. Tapi suatu saat nanti, aku pasti akan menceritakan semuanya sama kamu. Tapi bukan sekarang. Aku belum siap.“Lalu soal Doni, gimana? Kalau emang dia bener-bener sampe keluar dari rumahnya cuman gara-gara nggak mau move on dari kamu?” cecarnya.“Nggak tau lah,” sahutku, “mau aku sama dia atau nggak, tetep aja bapaknya serem. Aku takut.” “Tapi bapaknya Doni nggak mungkin ganggu ceweknya anaknya, kali ya,” bantah Vena, “sepertinya kamu bakal lebih aman dengan status pacar Doni. Dia nggak bakal sentuh kamu, deh Al.”“Nggak yakin juga
Suara ketukan di pintu itu, menjelaskan betapa kerasnya suara teriakanku tadi sehingga Bik Titin yang ada di lantai bawah pun dapat mendengarnya dengan jelas. “Nggak papa, Bik. Tadi cuman kaget ada jerapah lewat,” sahutku. “Astaga, Non bikin jantung Bibik copot saja,” ucapnya. Tak ada lagi suara wanita itu dari luar sana. Dan itu cukup membuatku merasa lega. “Bapak ngapain kemari?” “Ya karena kamu,” sahutnya. “Aku telpon kamu, tapi ponsel kamu mati. Aku udah cari kamu dimana-mana. Makanya begitu ketemu kamu, aku pikir aku nggak boleh pergi lagi.” “Hah! Kamu pikir aku kabur dari rumah?” Aku tertawa memikirkan hal konyol itu. Tapi melihat raut wajah serius itu, tawaku langsung berhenti. “Jadi serius, Bapak pikir aku minggat dari rumah? Tapi kenapa? Aku bahkan nggak punya alasan buat minggat.”“Aku pikir, kamu bosan denganku. Seperti yang tadi pagi kamu katakan,” jawabnya, “seperti jarak usia kita yang bakal bikin aku keliatan seperti bapak kamu.”Aku menggigit bibir bawahku dengan
Baru saja Pak Jonathan keluar dari pintu, aku mendengar dering suara ponselku. Sebuah nama mengambang di layarnya. Vena. “Alea! Alea! Dengerin! Aku punya gosip baru, nih,” ucap pemilik suara cempreng itu langsung saat panggilan itu kujawab. “Gosip apaan?” “Pak Jonathan punya pacar! Aku liat dia berduaan sama pacarnya, tengah malam!” Astaga! Apa Vena sempat lihat aku, ya. Tapi … kalau dia sempat lihat aku, nggak mungkin dia bisa telpon dan gosipin Pak Jonathan langsung padaku, kan? “Kamu kok yakin itu Pak Jonathan sama pacarnya? Bisa aja kamu salah liat.” “Yakin! Seyakin kita liat mobil limited hijaunya yang cuman satu-satunya di kota ini,” sahut Vena dengan cepat. “Jadi … kamu liat mobilnya kan? Bukan orangnya?” selidikku. Aku bisa saja mengatakan bahwa bisa saja mobil itu dibawa kerabatnya atau kemungkinan lain, seandainya ia tidak bisa membuktikan kecurigaannya. “Itu pasti dia. Jika dia tidak mengenaliku atau menyembunyikan sesuatu dari kita, siswanya, dia tidak akan kabu
Aku segera berbalik memunggunginya, dengan harapan agar ia tidak dapat mengenaliku. Untung saja lift terisi penuh sehingga aku bisa bersembunyi di antara pengunjung lainnya. Tapi setiap satu lantai lift itu berhenti, beberapa pengunjung pun turun. Bagaimana kalau mereka juga turun di lantai yang sama. Lantai lima yang merupakan lantai terakhir gedung itu. Bisa-bisa semua rahasia ini terbongkar! “Gimana? Kita bisa ketahuan,” ucapku dengan bibir komat-kamit tanpa suara pada Pak Jonathan. Tapi bukan penyelesaian yang kudapatkan dari lelaki itu. Ia justru hanya tersenyum sambil mengedikkan bahunya. Ah, benar-benar runyam! Dan … benarlah! Tepat di lantai lima gedung itu, Vena dan rombongannya turun. “Kita pulang aja, ya Pak,” bujukku sembari menekan tombol agar pintu lift segera tertutup. Namun celaka, tepat saat itu Vena menoleh ke belakang dan tatapan mata kami bertemu. Mati aku! Gadis itu berlari mendekat dan menghalangi pintu itu agar tidak tertutup. “Alea?
“Jadi … kamu akhirnya mau nikah sama dia?” tanya Vena dengan sepasang mata membulat. Aku yakin dia terkejut mendengar berita ini. Sama terkejutnya dengan aku, ketika mendengar rencana perjodohan itu dari papa. Kuanggukkan kepalaku dengan lesu. “Saat itu aku sempat terpukul. Kuajukan berbagai syarat agar dia tak mau menikahiku. Tapi … karena kakeknya yang hampir meninggal, Pak Jonathan menyanggupi apapun syarat yang ku ajukan.” “Syarat?” ulangnya, “syarat apa?”“Aku nggak mau dia sentuh aku. Dan aku juga minta supaya dia nggak ikut campur dalam hidupku. Aku mau bebas menikmati masa remajaku, berpacaran dengan siapapun, berkencan dan menikah dengan lelaki pilihanku sendiri.” “What? Jangan bilang kalau … itu motivasi kamu nerima Doni jadi pacar kamu,” tebak Vena, “terus kamu sembarangan terima cowok buat dijadiin pacar kamu.”‘Bukan … bukan gitu,” sahutku cepat.“Ah … hebat! Kamu bisa pacaran sama laki-laki lain, padahal udah nikah.” “Tapi waktu itu aku sama sekali nggak tertarik sa
Suara teriakan itu terdengar keras dari speaker ponselku. Entah apa yang dilihat oleh Doni sehingga ia berteriak histeris seperti itu sebelum sambungan telepon kami terputus. “Hei! Apa yang kalian lakukan?” Hanya itu kalimat terakhir yang terdengar di telingaku. Sepertinya Doni sedang mengalami suatu masalah serius. Tapi … ah, sudahlah. Seharusnya dia bisa mengatasi semua masalah ini. Bukankah dengan uang ayahnya yang banyak itu, dia dapat menyelesaikan semua masalah. Vena benar, Doni memang asik buat dijadiin pacar. Wajahnya oke, dia baik dan bukan tipe cowok yang suka split bill kalo pacaran. Tapi … kalau buat dijadiin suami, aku harus mikir seribu kali. Dia tipe orang yang santai, nggak mau terikat aturan dan selalu mengandalkan kekayaan keluarganya, yang notabene dari hasil bisnisnya di dunia malam. Mikirin hal seperti ini saja, sudah bikin aku merinding disko. Bayangkan saja jika suatu saat nanti papanya justru mewariskan usaha ini pada Doni. Bisa jadi sifatnya berubah sepe
Waktu benar-benar terasa bergerak dengan lambat saat lampu ruang operasi itu menyala. Bahkan Pak Jonathan juga belum terlihat. Dan itu membuatku semakin gelisah. Rasa lega baru saja kurasakan saat lelaki yang kutunggu-tunggu itu muncul. Ia berlari-lari menghampiriku, masih dalam balutan seragam formalnya. “Apa yang terjadi?” tanyanya dengan raut wajah tegangnya.“Aku lewat di depan rumahnya ketika mobil patroli polisi dan ambulans datang dan mengangkutnya. Doni … ditusuk perutnya dan aku dengar mereka juga mengatakan kalau … papanya sudah … meninggal. Tidak ada wali. Bahkan mereka tidak menemukan cara untuk menghubungi mamanya. Jadi … aku mendesak rumah sakit agar mengambil tindakan terlebih dahulu. Pak Jonathan, apa aku sudah melakukan hal yang benar? Aku … aku, benar-benar takut.”Lelaki itu menghela napas. Satu tangannya terangkat dan tiba-tiba saja menarikku ke dalam pelukannya. Rasanya begitu tenang saat berada dalam pelukan itu. Seperti semua kecemasan dan kegelisahan selama
Aku mengintip dari balik pintu. Kulihat dua orang laki-laki yang sejak tadi mengetuk pintu rumahku itu bernapas lega. Mereka tersenyum tanpa tahu bahwa tingkah mereka telah mengganggu ketenangan kami.“Selamat malam, Pak Jonathan,” sapanya, “saya selaku RT di blok ini dan berdasar keputusan warga, memberitahukan bahwa setiap malamnya akan diadakan giliran piket.”“Loh … loh, kok mendadak seperti ini, toh Pak RT?” “Pak Jonathan sudah dengar, kan. Tadi sore di blok depan perumahan kita, ada pembunuhan. Kita juga belum pasti dengan motifnya. Bisa jadi karena perampokan,” sahut Pak RT, “karena itu warga jadi resah, mereka takut pelaku masih berkeliaran dan mengintai. Lalu keluarga mereka menjadi sasaran berikutnya.”“Kenapa nggak bayar saja, sih. Kan kita bisa patungan buat bayar beberapa penjaga khusus blok kita,” batinku. Ingin rasanya aku keluar dan langsung menegur dua lelaki yang seperti tidak punya sopan santun karena bertamu di jam selarut ini.“Iya, saya dengar dan saya ikut mend
“Jujur, katakan sama aku. Kamu masih ada perasaan kan, sama dia?” tanyaku dengan perasaan tak karuan. Mungkin seharusnya aku tak pernah mengatakan pertanyaan seperti ini. Pertanyaan yang justru seperti bom waktu yang kupasang di antara kami. “Masih.” Jawaban itu seakan membuat jantungku berhenti berdetak. Aku masih menatapnya dalam diam. Sebuah jawaban yang akan menentukan nasib sebuah pernikahan. “Tapi perasaan yang berbeda dengan yang kurasakan untukmu,” lanjutnya, “dan aku sadar … dulu maupun sekarang, hubungan kami bukan tentang cinta.” “Lalu apa kalau bukan cinta? Tapi, kalian pacaran, kan. Mana mungkin nggak cinta?” cecarku. “Kamu mau dengar ceritaku?” tanyanya.Aku mengangguk dengan perasaan ragu. Tentu saja karena aku tidak yakin akan cerita yang akan dituturkannya. Bisa saja semua itu hanya karangannya agar aku memaafkannya. Tapi tak urung, aku ingin mendengar pembelaannya. Apa yang sebenarnya dirasakannya pada perempuan itu.Pak Jonathan menarik kursi dan duduk tepat
Setelah mengatakan semua yang mengganjal di hatiku, aku segera menutup panggilan itu. Napasku bahkan terengah hanya karena menyampaikan emosiku yang meluap hebat. Bagaimana bisa dia menuduhku seperti itu, sementara dirinya sendiri melakukan hal yang tak berbeda. Hah! Seandainya saja dia tahu kalau Doni bahkan sudah tak ada lagi di hatiku. Seandainya saja dia tahu kalau perasaanku hilang begitu saja setelah mengenal keluarganya, setelah aku merasakan betapa takutnya kehilangan dirinya saat ditahan dulu. Seandainya saja dia tahu, bahwa aku bahkan hanya mengurung diri di kamarku sejak kedatanganku, menikmati kesendirianku. Seandainya saja dia tahu bahwa kenyataan bahwa keantusiasannya datang ke acara itu telah menorehkan luka di hatiku tentang masih adanya jejak cinta di hatinya. “Ah, pusingnya kepalaku,” keluhku. Kuangkat tanganku dan mulai memijit keningku yang terasa berdenyut. Suara telepon kembali terdengar. Kali ini sengaja aku tidak mengangkatnya. Kepalaku semakin terasa pusin
“Aku ada ide!” teriak Vena tiba-tiba. Suara cempreng itu membuatku melompat saking terkejutnya. Ditambah lagi tepukannya di pundakku yang membuat jantungku berdegup lebih cepat. “Kamu pergi aja sama Kak Bernard!” “Vena …. Kali aja dia nggak marah, ngeliat aku sama kakak kamu,” keluhku, “kamu inget kan, terakhir kali mereka ketemu juga berantem. Aku nggak mau Kak Bernard terluka cuma gara-gara jagain aku.”“Lah … memang mesti ada pengorbanan buat mencapai suatu tujuan, kan. Seperti Kak Bernard, ngelakuin itu pasti ada tujuan. Walau nggak semua tujuan itu bakal tercapai,” ucapnya, “butuh effort buat mencapai sesuatu yang kita ingini, Al.” “Iya, kamu benar. Tapi aku tetap harus memperhitungkan kerugian apa yang bakal aku terima kalau melakukan semua itu, kan?” Vena mengedikkan pundaknya. “Jadi … kamu nggak mau datang ke acara itu?” Aku menghela napas dan menggeleng pelan. “Mungkin aku akan membuat kekacauan besar, yang bisa menahannya agar tidak bisa datang ke acara itu.” “Kekacau
“Marsha memberitahukan kalau dia akan datang pada saat reuni akbar sekolah kami nanti.” Aku langsung melotot saat mendengar nama acara itu. Bukan karena aku tidak pernah mendengarnya, tapi karena aku sering membaca di media sosial bahkan cerita-cerita orang tentang acara reuni seperti ini. Acara yang justru menjadi awal perpecahan sebuah rumah tangga. “Lalu … kamu juga mau datang buat ketemu dia?” tanyaku sekali lagi tanpa sebuah basa basi. “Acara itu sebenarnya ajang paling tepat untuk mencari koneksi, memperluas hubungan kerja.” Jawaban itu sebenarnya membuatku langsung bisa memprediksi bahwa ia ingin datang walau apapun alasannya. Aku juga pasti akan terlihat konyol jika harus menahannya untuk tidak pergi. Seperti … seorang istri pencemburu yang bahkan menghalangi kemajuan langkah suaminya. “Al, kamu percaya kan, sama aku?” tanyanya sembari menatap mataku lekat lekat.Aku menarik napas panjang dan terpaksa menganggukkan kepalaku walau sejujurnya firasatku mengatakan yang sebal
“Gimana? Yang ini atau yang ini?” tanyaku sementara kedua tanganku memegang dua hanger kaos pilihanku. Pak Jonathan menggelengkan kepalanya. “Nggak … sepertinya itu nggak cocok buat aku.” Sesaat kemudian, lelaki itu kembali mencari pakaian yang cocok untuknya. Kuletakkan kembali kedua hanger itu di tempatnya. Sudah cukup banyak model yang sudah kurekomendasikan buatnya, tapi belum satupun yang dipilihnya. Entah pakaian seperti apa yang sebenarnya ingin dicarinya. “Cari kaos untuk papanya, Kak?” sapa seorang yang memakai seragam pramuniaga toko, “sepertinya kemeja akan lebih cocok untuk lelaki seusia papa kakak, jika dibandingkan dengan t shirt.” Wait! Ini sudah yang ketiga kalinya Pak Jonathan dianggap sebagai papaku. Padahal usianya cuma berjarak belasan tahun saja. “Dia suami saya, Kak,” sahutku sekali lagi memberinya sebuah pembenaran, “dia sedang cari pakaian santai yang nyaman dan tidak membuatnya terkesan lebih tua dari usianya.” “Kemeja dengan corak yang cerah, mungkin,”
“Ini Non, susunya lekas di minum, keburu dingjn.” Mbak Santi meletakkan susu hamil yang sengaja dibelikan oleh Pak Jonathan untuk menunjang nutrisiku. Sejujurnya aku merasa enggan untuk meminumnya. Bukan karena rasanya, tapi karena aromanya yang membuat perutku berontak tak ingin menerimanya. Tapi mau gimana lagi, aku juga tidak ingin bayiku kekurangan nutrisi karena aku terus memuntahkan semua yang masuk ke dalam perutku. Kucepit hidungku dan segera menegak cairan berwarna putih yang ada di dalam gelasnya hingga tandas, sebelum memasukkan permen kenyal berbentuk hamburger ke dalam mulutku. “Loh, Non mau kemana? Ke kantor lagi?” tanya Mbak Santi saat melihatku langsung mengambil sling bag kecil yang biasa kupakai. “Iya, Mbak. Mau belanja sama Pak Jonathan,” sahutku, “ada titipan?” “Beli sabun sekalian sama pembersih lantai ya, Non. Stoknya udah menipis,” jawabnya cepat. “Udah? Itu aja kan?” “Iya Non.” Setelah mencatat semua keperluan itu di dalam otakku, aku p
“Please …” lirihku sembari meremas pundaknya. Rasa gemas membuatku tak mampu menguasai diri, apalagi di saat hasratku seakan meluap sampai ke ubun-ubun. Tapi lelaki itu seperti tak peduli akan rengekan atau desah nafasku yang semakin tak karuan. Ia justru menempelkan ujung lidahnya dan berputar mengelilingi bagian puncak di dadaku. Tubuhku semakin menegang karenanya. Sepasang tanganku menggapai rambutnya, mencengkeram helaian berwarna hitam yang tumbuh di batok kepalanya“Al, kamu mau punya suami botak?” Akhirnya ia berhenti melakukan hal yang menyebalkan itu. Kulepaskan cengkraman tanganku dan menyilangkan kedua tanganku di depan dada. “Makanya jangan cari gara-ga–”Tok! Tok! Tok!Mendengar suara ketukan itu, membuatku menghentikan ucapanku. Tentu saja hal itu sangat menggangguku, bahkan kami belum sempat bercinta. “Tunggu sebentar,” ucap Pak Jonathan sembari beranjak dari atas tubuhku dengan gerakan enggannya. Lelaki itu cepat-cepat memakai celana panjangnya sampai terhuyung ka
“Tentu saja, mereka semua justru yang akan iri sama aku,” sahutku cepat, “karena semua hal yang setiap perempuan inginkan, ada sama kamu.” “Alea, kamu lagi ngejek aku, kan?” “Kok ngejek? Aku bicara apa adanya, kok,” balasku, “kamu itu mapan, ganteng, pintar dan ….” “Dan apa?” “Nggak jadi.” Aku langsung berbalik dan melangkah kembali masuk ke halaman rumahku. Sumpah! Demi apa aku sampai mengatakan semua itu. Tapi … sepertinya nggak masalah kalau sesekali aku memujinya seperti ini. Mungkin ia jadi pencemburu karena ketidak percaya diriannya saja. “Dan apa Al? Kamu sengaja ya, mau bikin aku mati penasaran.” “Nggak, aku bilang nggak jadi,” sahutku. Sepertinya semua yang kukatakan tadi, sudah cukup. “Alea!” panggilnya dengan suara merayu sembari mengikuti langkahku, “dan apa dong.”Kudengar suara pintu tertutup di belakangku. Dan sesaat kemudian kurasakan sentuhan tangannya di bahuku. Tangan itu membuatku mau tak mau memutar tubuhku untuk menghadapnya. “Dan apa, Al?” tanyanya deng
Aku berdiri dari kursiku. Ingin sekali kulempar semua hidangan di hadapanku. Bagaimana bisa ia mengatakan semuanya tanpa rasa bersalah, seolah semua yang sudah kami lalui hanyalah sebuah lelucon belaka. Kecewa? Tentu saja aku merasa sangat kecewa. Kalimat itu bahkan membuatku merasa tak berharga lagi. Seakan dia hendak mencampakkan aku setelah semua cinta tulus yang kuberikan. Sepertinya aku salah karena mengira ia mencintai dan memperlakukanku dengan tulus. Rasa sakit seperti menamparku pada kenyataan yang kini kurasakan.“Jadi … setelah semua ketulusan yang aku berikan, kamu berniat mencampakkan aku?” “Bukan … bukan seperti itu. Al, aku tahu kamu terpaksa menikah denganku. Bahkan kamu mengajukan daftar keinginan hanya untuk membuatku mundur,” ucapnya dengan wajah yang seperti frustasi, “setelah peristiwa hari ini, akhirnya aku menyadari bahwa perasaan itu tak bisa dipaksakan. Aku tidak bisa memaksamu untuk membalas perasaanku.”Aku menghela napas sedalam-dalamnya dan menghembuska