Share

Bab 61

Penulis: Chocoberry pie
last update Terakhir Diperbarui: 2024-12-05 22:42:20

“Bomat lah, yuk kita berangkat sekarang.” Kutarik pergelangan tangan Vena, sengaja membuatnya mengikuti langkahku agar tidak lagi mengulik hal-hal yang tak seharusnya diketahuinya

Jalur pendakian cukup jauh. Pantas saja para pemandu menyuruh kami bersiap sepagi itu. Medan yang cukup terjal itu seharusnya akan licin saat basah karena air hujan seperti saat ini. Namun sepertinya obyek wisata ini benar-benar dipelihara dengan baik.

Udara dingin itu tetap membuat kami semangat untuk mengayunkan langkah di jalanan terjal yang terus menanjak itu. Pos satu kami lewati begitu saja hanya karena harapan menikmati munculnya sang surya dari ufuk timur, walau hanya dengan setitik harapan untuk melihatnya.

“Alea! Tunggu!” Suara laki-laki itu memaksaku memperlambat langkahku.

Lelaki jangkung itu akhirnya berhasil menghampiriku, setelah mendahului beberapa teman di depannya. Dengan senyum lebarnya, ia mengangkat satu tangannya lalu langsung menempatkannya di pundakku.

“Hebatnya pacarku. Aku yaki
Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP
Komen (2)
goodnovel comment avatar
mommy can
ayo tegas Alea putuskan dan tolak Doni Alea kan sudah ada pak Jo suami alea jgn kasih harapan LG buat Doni..lagian bapak sidoni menyeramkan ... ..pak Jo kemanaa sih kog gak keliatan
goodnovel comment avatar
Ayu Nida
waduh gimana tuh alea.....
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

  • Menikahi Guru Killer   Bab 62

    “Sanggup apa? Sanggup dikeluarin dari sekolah atau sanggup nggak lulus?” Suara cempreng itu langsung mencuri perhatianku. Vena! Untung saja …. Dia muncul tepat waktu. Aku bahkan nggak tahu harus jawab apa. “Aduh!” seruku sambil memegang perut, “di pos dua ada toilet, kan? Aku turun duluan ya, udah kebelet.” Tanpa menunggu jawaban mereka, aku pun segera melangkah cepat menuju pos dua. Aku hanya dapat memikirkan cara ini. Walau sebenarnya aku tahu, membiarkannya berlarut seperti ini akan membuat masalah semakin berat. Tak kuhiraukan suara-suara yang memanggil namaku itu. Yang kuinginkan saat ini hanya menjauh dari mereka. Aku nggak mungkin menerima pernyataan tulus itu dan membiarkannya menjauh dari keluarganya hanya karena sebuah harapan palsu yang kuberikan. Seandainya tadi aku berani mengatakan supaya dia berhenti mengharapkan aku, pasti semuanya akan selesai. Tapi … entah kenapa aku nggak sanggup. Aku tak mau dia terpukul karena aku justru minta putus di hadapan banyak temanku

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-06
  • Menikahi Guru Killer   Bab 63

    “ … cuma perengek egois. Tapi kamu, entah kenapa aku bisa memaklumi semua sifat itu. Aku … justru merasa senang mendengar rengekanmu. Justru semua itu membuat hari-hariku jadi lebih berwarna,” ucapnya masih dengan wajah serius. Aku menelan kasar salivaku, kutatap sepasang manik gelap yang sedang menatap tanpa berkedip di depanku. Dan lagi-lagi mataku seperti memberontak, dan justru beralih menatap bibir sensual yang ditumbuhi rambut tipis itu, juga jakunnya yang turun naik dengan gerakan sexy nya. Perlahan ia mendekat dan mencondongkan tubuhnya ke arahku, membuat wajah kami begitu dekat. Jarak yang hanya bersisa beberapa inchi itu seakan memprovokasiku dengan hembusan napas hangatnya yang membelai wajahku di udara yang sedingin ini. Napas hangat itu seperti medan magnet yang menyeretku padanya. Aku berjingkat dan mengecup bibir yang sejak tadi sibuk menguraikan rangkaian katanya. “Aku juga. Hidupku tidak lagi membosankan seperti dulu setelah bertemu denganmu,” sahutku. Kutarik sud

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-06
  • Menikahi Guru Killer   Bab 64

    Aku benar-benar tak percaya melihat isi di dalam kardus itu. Apa dia bercanda? Untuk apa bikini set sebanyak ini?“Pak Buntal, berapa yang kamu habiskan buat beli bikini sebanyak ini?” “Sepuluh,” sahutnya seolah tak ada yang salah dengan semua itu, “seperti yang pernah kamu minta. Sepuluh bikini buat kamu sekalian teman-teman kamu.” Aku benar-benar terkejut. Bagaimana bisa candaanku dianggap seserius itu. “Alea, kok melongo gitu.” Kakiku lemas seketika. Sepuluh bikini ini … apa yang harus aku lakukan pada barang tak lazim seperti ini. Barang yang bahkan enggan kugunakan. “Pak buntal, siapa yang bakal pake ini barang?” “Ya kamu, lah. Bukannya itu ada di dalam daftar hal yang ingin kamu lakukan sebelum menikah?” “Tapi foto bikini itu … sengaja aku tulis biar kamu nggak mau nikahin aku,” sahutku dengan frustasi, “lagian siapa sembilan teman yang bisa dan mau kuajak foto dengan pakaian nyaris telanjang seperti itu.” “Syukurlah.” “Lah, kok malah seneng?” “Ya jelas senang, lah,” s

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-07
  • Menikahi Guru Killer   Bab 65

    Lelaki itu membelai rambutku, menyibak sebagian yang menutupi wajahku. Tatapan matanya menciptakan debaran lembut di dadaku. Dan sesaat kemudian ia telah berada di atas tubuhku. Kecupan lembutnya mendarat begitu saja di bibirku. Seakan hendak membangkitkan gairahku malam ini. Bibirnya seperti api yang hendak memercikkan setiap inci tubuhku dalam sebuah ledakan gairah. Apa ini? Kenapa malam ini dia begitu berbeda? Mungkinkah karena baju yang kugunakan malam ini? Ia menarik pakaian tipis yang terhubung dengan bra itu dengan kasar, hingga terdengar suara robekan dan bra itupun lepas begitu saja mengekspos yang tersembunyi di dalamnya. Suara napasku mulai memburu saat kurasakan bibirnya menyentuh bagian puncak di dadaku. Ia seperti sengaja mempermainkannya dengan lidahnya dan menyesapnya dengan rakus. Hmm … tubuhku tak lagi dapat ku kuasai. Akal sehatku tak dapat lagi mengambil alih reflek yang muncul begitu saja. Tubuhku menggeliat tanpa bisa kukendalikan. Bibirku mulai mengeluarka

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-07
  • Menikahi Guru Killer   Bab 66

    “Dih, siapa juga yang mau,” sahutku cepat sembari berguling menjauh ke sampingnya, “tapi yang tadi itu bukan senter, ya?” “Iya bukan. Itu mainan buat kamu,” jawabnya. “Mainan buat aku atau buat kamu, pak buntal?” godaku, “semua isinya seperti buat aku. Tapi … kamu yang menikmatinya bukan?” Kunaik turunkan alisku sengaja untuk menggodanya. Memang itu yang terbesit di otakku. Mulai dari baju dan benda berwarna merah muda itu semuanya seakan ditujukan buatku. Tapi … semua benda itu hanya alat untuk memperoleh kepuasan baginya, kan?Lelaki itu justru tertawa seperti mengejekku. “Sungguh? Kamu nggak suka sama alat itu? Kamu nggak bisa nikmatin getarannya tadi? Tapi … kenapa tubuh kamu tadi kelihatan heboh ya? Sampe mau pipis, kan? Tapi … kenapa sekarang nggak pipis juga, ya?” “Pak buntal, aku benci kamu.” Dengan kesal aku berbalik membelakanginya dan menarik selimutku hingga menutupi seluruh tubuhku. “Alea … Alea. Permainan tadi … bukan cuma kamu, atau aku saja yang nikmatin, tapi kit

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-08
  • Menikahi Guru Killer   Bab 67

    “Jadi kamu tahu kan, siapa yang masuk ke dalam kamar kita semalam?” ulangnya dengan pertanyaan yang sama. “Nggak tahu, lah,” sahutku dengan menyembunyikan kegugupanku, “tapi dia nggak mungkin berani sentuh aku. Kalau aku bangun terus teriak-teriak, bisa mampus dia digebukin kalian, kan.”“Ah ~ bener juga, sih,” sahut Vena. Selamat … selamat! Semoga aja dia nggak lagi lagi nanyain soal peristiwa itu. Maafin aku, Ven. Belum waktunya buat aku cerita semuanya. Tapi suatu saat nanti, aku pasti akan menceritakan semuanya sama kamu. Tapi bukan sekarang. Aku belum siap.“Lalu soal Doni, gimana? Kalau emang dia bener-bener sampe keluar dari rumahnya cuman gara-gara nggak mau move on dari kamu?” cecarnya.“Nggak tau lah,” sahutku, “mau aku sama dia atau nggak, tetep aja bapaknya serem. Aku takut.” “Tapi bapaknya Doni nggak mungkin ganggu ceweknya anaknya, kali ya,” bantah Vena, “sepertinya kamu bakal lebih aman dengan status pacar Doni. Dia nggak bakal sentuh kamu, deh Al.”“Nggak yakin juga

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-09
  • Menikahi Guru Killer   Bab 68

    Suara ketukan di pintu itu, menjelaskan betapa kerasnya suara teriakanku tadi sehingga Bik Titin yang ada di lantai bawah pun dapat mendengarnya dengan jelas. “Nggak papa, Bik. Tadi cuman kaget ada jerapah lewat,” sahutku. “Astaga, Non bikin jantung Bibik copot saja,” ucapnya. Tak ada lagi suara wanita itu dari luar sana. Dan itu cukup membuatku merasa lega. “Bapak ngapain kemari?” “Ya karena kamu,” sahutnya. “Aku telpon kamu, tapi ponsel kamu mati. Aku udah cari kamu dimana-mana. Makanya begitu ketemu kamu, aku pikir aku nggak boleh pergi lagi.” “Hah! Kamu pikir aku kabur dari rumah?” Aku tertawa memikirkan hal konyol itu. Tapi melihat raut wajah serius itu, tawaku langsung berhenti. “Jadi serius, Bapak pikir aku minggat dari rumah? Tapi kenapa? Aku bahkan nggak punya alasan buat minggat.”“Aku pikir, kamu bosan denganku. Seperti yang tadi pagi kamu katakan,” jawabnya, “seperti jarak usia kita yang bakal bikin aku keliatan seperti bapak kamu.”Aku menggigit bibir bawahku dengan

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-09
  • Menikahi Guru Killer   Bab 69

    Baru saja Pak Jonathan keluar dari pintu, aku mendengar dering suara ponselku. Sebuah nama mengambang di layarnya. Vena. “Alea! Alea! Dengerin! Aku punya gosip baru, nih,” ucap pemilik suara cempreng itu langsung saat panggilan itu kujawab. “Gosip apaan?” “Pak Jonathan punya pacar! Aku liat dia berduaan sama pacarnya, tengah malam!” Astaga! Apa Vena sempat lihat aku, ya. Tapi … kalau dia sempat lihat aku, nggak mungkin dia bisa telpon dan gosipin Pak Jonathan langsung padaku, kan? “Kamu kok yakin itu Pak Jonathan sama pacarnya? Bisa aja kamu salah liat.” “Yakin! Seyakin kita liat mobil limited hijaunya yang cuman satu-satunya di kota ini,” sahut Vena dengan cepat. “Jadi … kamu liat mobilnya kan? Bukan orangnya?” selidikku. Aku bisa saja mengatakan bahwa bisa saja mobil itu dibawa kerabatnya atau kemungkinan lain, seandainya ia tidak bisa membuktikan kecurigaannya. “Itu pasti dia. Jika dia tidak mengenaliku atau menyembunyikan sesuatu dari kita, siswanya, dia tidak akan kabu

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-10

Bab terbaru

  • Menikahi Guru Killer   Bab 80

    “Jo? Kamu … sama dia. Kenapa bisa barengan?” Suara mendayu yang khas itu, spontan membuatku menoleh ke belakang.Dan benarlah apa yang kuduga. Bu Ella sedang berdiri di belakangku. Matanya begitu bulat seperti mau lompat saat melihatku ada di sisi suamiku. Dimana salahnya? Ah ~ tentu saja karena dia belum tahu kalau kami sudah menikah.“Selamat malam, Bu,” ucapku, mati-matian menyembunyikan rasa terkejut yang ada. Kutarik sudut bibirku untuk memberinya seulas senyuman. Tapi sepertinya ia tidak menyukainya. “Alea, jangan bilang kalau kamu sedang belajar di sini,” ucap wali kelas 12A-1 itu dengan nada meninggi. Tatapan mata curiganya seperti sinar laser yang hendak menembusku. “Tapi bukan saya loh, yang bilang. Ibu sendiri yang bilang kalau aku belajar,” balasku cepat. “Bu Ella, kami sedang makan malam. Apa ada yang salah?” ungkap Pak Jonathan dengan santainya. Mata perempuan itu menatapku dengan sinis, membuatku merasa tak nyaman karenanya. “Berdua?” “Kenapa Bu, apa salah jika Pa

  • Menikahi Guru Killer   Bab 79

    “Alea … Alea! Dengarkan aku,” pinta Pak Jonathan dengan tegas. Aku menatap manik hitam itu masih dengan perasaan tak karuan. Bagiku kalimat yang diucapkannya tadi adalah momok paling menyeramkan dalam hidupku. Aku tidak ingin menghancurkan impian orang yang kusayang. “Kamu nggak perlu merasa gentar. Kita sudah melakukan apa yang harus kita lakukan. Kita pulang sekarang,” perintah Pak Jonathan. Heh! Apa dia semarah itu karena aku sudah menghancurkan impiannya? Sepanjang perjalanan, aku masih saja berpikir tentang semua peristiwa yang terjadi. Semuanya terjadi begitu saja seperti sebuah mimpi. Bahkan Pak Jonathan tak memberiku kesempatan untuk memperbaiki kesalahan yang membuat impiannya hancur hanya karena tak ingin aku merendahkan diri. Aku menghela napas panjang, berharap dengan masuknya oksigen ke dalam tubuhku, pikiranku akan semakin terbuka dan bisa menyelesaikan persoalan ini. Ya, aku yakin pasti ada cara untuk menyelesaikan persoalan ini.“Kenapa? Kamu masih nggak ikhlas bua

  • Menikahi Guru Killer   Bab 78

    “Maaf Tante, sebenarnya kemarin aku cuma kebetulan lewat. Aku sama Doni cuman teman sekolah. Emh, teman akrab,” tuturku tanpa mempedulikan kegelisahan di wajah lelaki muda itu. Tentu saja dia sadar kalau aku sudah beberapa kali mencoba memutuskan hubungan kami. “Teman akrab?” ulang Doni seakan kata itu terdengar aneh di telinganya. Tok tok! Aku langsung menoleh ke arah pintu, tepat dimana Pak Jonathan berdiri. Lelaki itu menutup pintu dan langsung menebarkan senyumannya. “Kamu sudah baikan, Don?” tanya Pak Jonathan dengan penuh perhatian.“Lumayan Pak,” sahutnya, “terima kasih sudah datang.” Pak Jonathan mengulurkan tangannya pada perempuan itu. “Anda pasti mamanya Doni, kan. Kenalkan, saya Jonathan. Saya guru mereka, tapi hari ini saya kemari untuk menemani istri saya menjenguk Doni, temannya.” Deg! Jantungku seperti berhenti berdetak. Bagaimana tidak, Pak Jonathan tanpa basa basi langsung memperkenalkan dirinya sebagai suamiku, pada mamanya Doni. Bahkan ia mengatakannya deng

  • Menikahi Guru Killer   Bab 77

    “Siapa yang nelpon? Apa ada masalah? Kok kelihatannya serius banget?” Suara itu membuatku terkejut. Tentu saja aku tidak menyadari kehadirannya di sekitarku. Bisa saja Pak Jonathan sudah mendengar semua pembicaraan antara aku dan Vena. Tapi … dia nggak mungkin dengar apa yang Vena katakan. Bisa saja dia akan salah paham jika aku tidak menjelaskannya. Tapi … bagaimana kalau sebaliknya, dia justru sakit karena aku membahas masalah Doni lagi. “Vena … iya, Vena yang telpon,” sahutku tergagap saking gugupnya. “Kenapa lagi? Ada masalah?”“Eng … anu. Gimana ya, aduh … itu.” Sepertinya kegugupanku justru membuat lelaki itu makin penasaran. Ia menatapku dengan intens, seakan mencurigai sesuatu. “Alea. Kamu nggak perlu takut. Aku di sini bukan sebagai guru kamu,” bujuknya, “aku ini suami kamu. Dan aku janji, apapun yang terjadi aku bakal ada buat kamu, sebagai teman, supporter juga payung buat kamu berlindung.” Kalimat itu sedikit membuatku merasa lega. Aku rasa dia tidak akan marah sean

  • Menikahi Guru Killer   Bab 76

    “Halo, Jo. Kamu mendengarku?” Pak Jonathan mendengus, sepertinya ia sudah mulai merasa terusik dengan tingkah Bu Ella yang memang terus melekat seperti permen karet. Tapi yang lebih menyebalkan bagiku hanyalah tingkah Pak Jonathan yang tidak dengan tegas menolaknya hanya karena takut hubungan kerjanya menjadi tidak harmonis.“Aku nggak sakit, Bu Ella. Aku cuma butuh istirahat. Jadi tolong jangan ganggu aku untuk urusan sekolah hari ini,” ucapnya dengan sopan.Aku mendecak kesal. Tentu saja kalimat itu bukan berarti sebuah penolakan. Bu Ella pasti tak bisa menangkap penolakan yang diterimanya secara ambigu itu. Nggak! Aku nggak bisa biarkan Bu Ella terus mengharapkan cinta dari Pak Jonathan. Kalau dulu, mungkin aku akan rela menyerahkan Pak Jonathan, seandainya ia bisa memenangkan hatinya. Tapi sekarang … aku tidak akan pernah membiarkan dia merayunya apalagi di depanku. Aku bukan tipe perempuan yang suka berbagi. Bagiku apa yang sudah menjadi milikku, tidak boleh dimiliki siapapun.

  • Menikahi Guru Killer   Bab 75

    Rasa itu terasa begitu nyata. Bahkan sapuan basah di leherku seakan langsung menyentakku kembali ke alam nyata. Ini benar-benar nyata! Setiap sentuhan yang kurasakan benar-benar nyata.Aku langsung bernapas lega saat menyadari bahwa di hadapanku bukan lelaki yang sama. Tentu saja itu semua hanya mimpi. Doni tidak mungkin melakukan hal seaneh itu. Yang aku tahu, dia memang playboy. Namun ia tidak pernah memaksakan hal seperti itu padaku.Dan lagi, tidak seharusnya aku merasa cemas pada orang yang mungkin saat ini masih terbaring dalam masa pemulihan pasca operasi di kamar rawat inapnya. Itu semua hanya mimpi. Pak Jonathan menggenggam tanganku dengan erat. Bibirnya mengecup di leherku. Panas, seperti hendak membakar dan mengurungku dalam hasratnya yang membara. Napasku terengah, udara yang mengisi paru-paruku, membuat dadaku terasa penuh lalu kosong dalam seketika secara bergantian. Rasa gelitik terasa begitu nikmat saat ia menyentuh di bagian dadaku, membuat bagian puncaknya terasa p

  • Menikahi Guru Killer   Bab 74

    Aku mengintip dari balik pintu. Kulihat dua orang laki-laki yang sejak tadi mengetuk pintu rumahku itu bernapas lega. Mereka tersenyum tanpa tahu bahwa tingkah mereka telah mengganggu ketenangan kami.“Selamat malam, Pak Jonathan,” sapanya, “saya selaku RT di blok ini dan berdasar keputusan warga, memberitahukan bahwa setiap malamnya akan diadakan giliran piket.”“Loh … loh, kok mendadak seperti ini, toh Pak RT?” “Pak Jonathan sudah dengar, kan. Tadi sore di blok depan perumahan kita, ada pembunuhan. Kita juga belum pasti dengan motifnya. Bisa jadi karena perampokan,” sahut Pak RT, “karena itu warga jadi resah, mereka takut pelaku masih berkeliaran dan mengintai. Lalu keluarga mereka menjadi sasaran berikutnya.”“Kenapa nggak bayar saja, sih. Kan kita bisa patungan buat bayar beberapa penjaga khusus blok kita,” batinku. Ingin rasanya aku keluar dan langsung menegur dua lelaki yang seperti tidak punya sopan santun karena bertamu di jam selarut ini.“Iya, saya dengar dan saya ikut mend

  • Menikahi Guru Killer   Bab 73

    Waktu benar-benar terasa bergerak dengan lambat saat lampu ruang operasi itu menyala. Bahkan Pak Jonathan juga belum terlihat. Dan itu membuatku semakin gelisah. Rasa lega baru saja kurasakan saat lelaki yang kutunggu-tunggu itu muncul. Ia berlari-lari menghampiriku, masih dalam balutan seragam formalnya. “Apa yang terjadi?” tanyanya dengan raut wajah tegangnya.“Aku lewat di depan rumahnya ketika mobil patroli polisi dan ambulans datang dan mengangkutnya. Doni … ditusuk perutnya dan aku dengar mereka juga mengatakan kalau … papanya sudah … meninggal. Tidak ada wali. Bahkan mereka tidak menemukan cara untuk menghubungi mamanya. Jadi … aku mendesak rumah sakit agar mengambil tindakan terlebih dahulu. Pak Jonathan, apa aku sudah melakukan hal yang benar? Aku … aku, benar-benar takut.”Lelaki itu menghela napas. Satu tangannya terangkat dan tiba-tiba saja menarikku ke dalam pelukannya. Rasanya begitu tenang saat berada dalam pelukan itu. Seperti semua kecemasan dan kegelisahan selama

  • Menikahi Guru Killer   Bab 72

    Suara teriakan itu terdengar keras dari speaker ponselku. Entah apa yang dilihat oleh Doni sehingga ia berteriak histeris seperti itu sebelum sambungan telepon kami terputus. “Hei! Apa yang kalian lakukan?” Hanya itu kalimat terakhir yang terdengar di telingaku. Sepertinya Doni sedang mengalami suatu masalah serius. Tapi … ah, sudahlah. Seharusnya dia bisa mengatasi semua masalah ini. Bukankah dengan uang ayahnya yang banyak itu, dia dapat menyelesaikan semua masalah. Vena benar, Doni memang asik buat dijadiin pacar. Wajahnya oke, dia baik dan bukan tipe cowok yang suka split bill kalo pacaran. Tapi … kalau buat dijadiin suami, aku harus mikir seribu kali. Dia tipe orang yang santai, nggak mau terikat aturan dan selalu mengandalkan kekayaan keluarganya, yang notabene dari hasil bisnisnya di dunia malam. Mikirin hal seperti ini saja, sudah bikin aku merinding disko. Bayangkan saja jika suatu saat nanti papanya justru mewariskan usaha ini pada Doni. Bisa jadi sifatnya berubah sepe

DMCA.com Protection Status